Politik di Indonesia hampir selalu menghadirkan upaya militer untuk mencengkeram segala lini kehidupan rakyat. Alih-alih menjadi garda terdepan dalam menjaga musuh dari luar, mereka justru menjadi bagian dari kaki tangan kapitalis dan tidak jarang bermetamorphosis menjadi kapitalis-birokrat pemburu rente. Supremasi masyarakat sipil terus berupaya mereka kangkangi. Itu yang membuat dalam sejarahnya sering terjadi pergolakan antara sipil dengan militer.
Saat masa revolusi melawan kolonialisme Belanda (1945-1948) perselisihan antara militer dan sipil sudah mulai meletup. Itu melibatkan perwira militer dengan latar belakang berbeda-beda, sebagian perwira muda bekas tentara penjajah Belanda, dan sebagian berasal dari Organisasi kemiliteran cadangan khususnya Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang, serta Laskar-laskar rakyat. Mereka sama-sama berjuang melawan Belanda dengan perang gerilya (Crouch, 1999).
Namun jika ditelisik lebih mendalam, perjuangan tersebut bertumpu pada kekuatan massa rakyat dan itu tidak membedakan kehidupan sipil dan militer. Melalui jalan politik, rakyat diorganisir untuk menjadi kekuatan progresif penggerak revolusi nasional. Disaat yang sama, pemimpin dari politisi sipil memperhitungkan lingkungan internasional, sehingga memilih jalan diplomasi. Perbedaan prinsipil yang membentuk watak perjuangan revolusi Indonesia tidak lepas dari latar belakang elit politik yang mendoktrinasi militer sebagai alat negara yang harus netral dan tunduk pada keputusan politik. Sementara pimpinan tentara non profesional (misalnya dari kubu PETA) mengganggap perlu untuk ikut berpolitik. Begitu juga dengan pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar, sebagian merupakan anggota organisasi politik. Pada masa-masa ini, militer mencari bentuk dan posisi yang cocok dalam kehidupan bernegara (Crouch, 1999). Hingga muncul dekrit Presiden 5 Juli 1949 menempatkan militer pada posisi politik yang diperhitungkan (Chrisnandi, 2005). Mereka menjadi garda berkumpulnya kaum kontra-revolusi dalam menghadang gerakan revolusi sosialis pada masa itu. Pabrik-pabrik dan perkebunan yang berhasil dinasionalisasi banyak yang diduduki para militer. Itu menjadi ladang bisnis mereka.
Polemik politik militer vs sipil yang cukup menguat, mengantarkan pada tragedi kemanusiaan 1965. Disana menjadi awal hegemoni Militer di bawah kediktatoran pemerintahan Soeharto dibawah pondasi genosida terhadap kaum kiri dan soekarnois. Untuk kemudian mengembalikan cengkraman modal internasional ke Indonesia. Dominasi militer menyebar seperti urat nadi dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Mengatasnamakan stabilitas politik demi pembangunan ekonomi, moncong senjata siap menyasar mereka yang berbeda suara. Setiap hal yang dianggap dapat mengganggu stabilitas ekonomi (versi Soeharto) wajib diberangus dan menjadi wewenang militer. Militer menjadi alat penjaga modal, penjamin akumulasi kapital, serta ikut mengais remah-remah dari proses eksploitasi. Militer secara institusional terlibat dalam bisnis: Memiliki Koperasi untuk kesejahteraan prajurit dan keluarganya; Unit Usaha yang dikelola oleh yayasan untuk kesejahteraan dan pendidikan; dan Ketiga, keterlibatan TNI dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina dan Bulog (Samego, dkk 1998, 67-68). Laporan Tim Nasional Pengalihan Bisnis TNI mencatat:
“[…] 1.321 unit koperasi milik TNI, dengan posisi keuangan dari aset total sekitar 3,2 Trilyun, kewajiban sekitar Rp 970 Milyar. Sehingga aset bersih khusus yayasan dan koperasi adalah Rp 2,2 Trilyun. Namun total aset tersebut belum tentu semuanya dari bisnis TNI—dari aset bersih Rp 2,2 triliun itu yayasan memiliki Rp 1,4 triliun dan koperasi sekitar Rp 805 miliar. Dan yang banyak asetnya berasal dari pemanfaatan tanah”. (Tempo, 14/10/2009)
Sebagian besar aktivitas bisnis TNI bekerja sama dengan perusahaan asing dan juga dengan para konglomerat dalam negeri (Cholisin, 2002: 157-158, Robison, 2012: 200). Bisnis yang tidak memperhatikan fairness dan absennya kepastian hukum, seakan menolak sistem perekonomian modern/mekanisme pasar (Muhaimin, 2006:66; Samego, dkk 151). Bisnis militer bagi angkatan bersenjata melahirkan kelas komprador ketimbang kapitalis murni. Tercipta relasi ekonomi yang berjalan diluar kaidah-kaidah pasar mengakibatkan “ekonomi biaya tinggi”. Menyeret perekonomian nasional kepusaran krisis moneter. (Samego, 1998: 151-152). Contoh lain dapat kita lihat dalam Laporan Penelitian Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) di Bojonegoro, Boven Digoel, dan Poso, bahwa bisnis militer tidak hanya dipandang sebagai kegiatan bisnis konvensional yang dijalankan oleh militer. Namun lebih dari itu, kegiatan ini “kerap bersentuhan langsung dengan kekerasan, kriminal dan menyalahgunaan wewenang” (KontraS, 2004: 3)
.Reformasi 1998 bercita-cita mengahapuskan cengkraman militer diaspek kehidupan masyarakat. Semangat mengembalikan militer ke barak menjadi nyawa dari gerakan reformasi. Seperti terkait dengan pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan. Selain itu fungsi sosial politik militer juga eksklusi dari tupoksi. Militer tidak boleh terlibat politik praktis, dituntut lebih profesional, dan tidak berbisnis. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-undang tentang TNI.
Hampir dua dekade peristiwa 98 berlalu, namun demiliterisasi masih jauh panggang daripada api. Demi menjaga akumulasi kapital, militer seringkali menjadi kaki-tangan para kapitalis. Mereka menghalalkan pembantaian pada bangsa Papua. Karpet merah digelar untuk para pemilik modal dengan menodongkan moncong senjata pada petani Kulon progo, Suryokonto, Sukamulya, Rembang, Pati dll. Meskipun demikian, TNI kerap menutup-nutupi sisi hitamnya. Seolah-olah paling mengerti tentang toleransi, kemanusiaan, dan Kebhinnekaan. sehingga rakyat sipil (termasuk mahasiswa) perlu mendapat pencerahan darinya. Mereka berbicara tentang nasionalisme sempit dan omong kosong bela negara, sembari mengabaikan roh nasionalisme bangsa Indonesia yang sebenarnya yaitu terkait tentang politik pembebasan, emansipasi, dan egalitarian.
Supremasi sipil semakin dikebiri. Militer ingin kembali mengatur hajat hidup rakyat. Mulai dari urusan sepak bola, tiket, sampai kampus-kampus menjadi arena penetrasi. Dalam 3 bulan terakhir sedikitnya tercatat 3 kampus besar di Indonesia disambangi. Dimulai dari penerimaan Maba UI, seminar Nasional Universitas Kristen Indonesia dikunjungi oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal Gatot Nurmantyo, beserta jajarannya. Terakhir di Univ. Trisakti yang dihadiri oleh 80 Presiden mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari seluruh Indonesia menjadi wadah upaya hegemoni.
Awalnya dengan cara menanamkan rasa takut bagi rakyat tentang kemungkinan ancaman. Biasanya TNI membagi menjadi dua kemungkinan: 1) Ancaman potensial yang bersifat klasik, merupakan ancaman yang mungkin terjadi namun bersifat embrional & letent (merujuk pada kebangkitan PKI, gerakan separatis, makar dll). 2) Ancaman yang bersifat Faktual, atau yang nyata-nyata dihadapi atau sudah terjadi & sedang terjadi. Contohnya, sebagaimana yang diceramahkan di UI: bahwa ada peningkatan personel militer Amerika di Darwin, Australia (dari 1500 menjadi 2500) yang berjarak kurang dari 90 KM dari Maluku, masalah terorisme, dll.
Kita perlu mengingat bahwa hal serupa pernah digunakan oleh petinggi militer dimasa revolusi 1957 (saat sistem parlementer mengalami kemacetan), sehingga militer yang turut dalam politik semakin bebas mengumumkan status darurat perang, dan membuat kebijakan strategis militer lainnya (Crouch, 1999:21). Begitu juga dengan masa pemerintahan Soeharto yang memberangus ruang demokrasi demi sebuah dalih stabilitas politik. Dari situ kemudian berimplikasi pada peran yang lebih besar dalam menentukan kebijakan Ekonomi dan Politik hingga hari ini. Dan bukankah militer yang mengembalikan cengkraman Imperialisme Amerika Serikat dan sebagainya? Dengan menggulingkan Soekarno dan berkuasa selama 32 tahun. Adalah Rejim Militer Soeharto juga yang berkongkalikong bersama Australia untuk menginvasi Timor Leste.
Cengkeram militerisasi diranah sipil juga terjadi dengan masih tetap dijalankannya fungsi komando teritorial, kodam, dan babinsa. Mereka lebih senang mengawasi dan menakut-nakuti rakyat dibanding menentang neo-kolonialisme yang membuat Indonesia tidak berdaya. Itu memang menjadi watak dari militer Indonesia. Sementara ditingkatan mahasiswa, Resimen Mahasiswa (Menwa) saat ini masih tetap ada. Walaupun sekarang hanya menjadi sebatas UKM di tingkat kampus dan tidak ada campur tangan militer untuk mendidik serta mengintervensinya seperti yang dijalankan pada saat orba.
Oleh karena masih begitu maraknya pemasalahan yang melibatkan militer, kami dari FRAM menuntut:
- Tarik Militer Kembali Ke Barak
- Bubarkan Komando Teritorial
- Adili Jenderal-jenderal Pelanggar HAM.
Narahubung : 0856 00367202
Front Rakyat Anti Militerisme (FRAM)
Comment here