AksiPernyataan Sikap

Nawa Cita Perlindungan BMI dan Road Map 2017 Taktik Pemerintah Mengirim Buruh Murah Tanpa Perlindungan

imd⁠⁠⁠HARI MIGRAN SEDUNIA PERNYATAAN SIKAP KOBUMI-AMP-PPRI

18 Desember 1990, PBB melahirkan sebuah konvesi tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya. Ini menunjukan pengakuan dunia terhadap perlindungan buruh migran dan keluarganya dari segala bentuk penindasan dan exploitasi yang selama ini masih menimpa buruh migran di penjuru dunia. Upah murah, jam kerja panjang, diskriminasi hingga pada kasus kasus traficking penjualan anak anak di bawah umur yang melebar pada kejahatan penjualan organ tubuh.

Lahirnya konvensi perlindungan buruh migran dan keluarganya ini sebanarnya adalah salah satu kemenangan perjuangan panjang dari massa yang terorganisir dan menyuarakan tentang perlindungan terhadap buruh migran, namun hingga detik ini kemenangan itu sepertinya hanya sebagai symbol saja bagi kalangan pemodal yang hanya mau mengeruk keuntungan dari kondisi buruh migran.
Bahkan di kawasan ASEAN sendiri sampai detik ini belum juga mencapai konsensus mengenai instrumen hukum mengenai pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Sudah seharusnya mandat untuk membentuk instrumen tersebut segera disahkan karena telah diperintahkan sepuluh pemimpin negara ASEAN melalui Deklarasi Cebu 2007.
Artikel 22 dalam Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran yang disahkan di Cebu, Filipina, tersebut menyatakan pentingnya mengharmonisasikan hukum perburuhan di tingkat nasional dengan standar internasional dari Internasional Labour Organisation (ILO). Standar internasional tersebut meliputi perlindungan kondisi kerja dan kehidupan, penegakan standar perburuhan, perjanjian kerja, dan lain sebagainya.

Pemerintahan rejim Jokowi sepertinya membiarkan saja kemacetan instrumen hukum di ASEAN dan ini terkait hingga kini respon terhadap penolakan terhadap UU nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan buruh migran tidak dijawab dengan pembuatan Undang – Undang baru.

Menjelang dua tahun masa pemerintahan rejim Jokowi JK yakni pada tanggal 20 Oktober 2014, janji-janji yang dibungkus dengan jargon Nawacita sepertinya tidak akan merubah duka buruh migran. Rejim Jokowi-JK hanya bisa membuat “tagline” negara hadir untuk semua Buruh migran Indonesia (BMI) dan keluarganya yang selama ini terabaikan.

Rejim Jokowi JK tidak juga menyelesaikan masalah BMI terutama tingginya angka perbudakan yang dialami bahkan terancam hukuman mati. BMI tetap saja dianggap obyek penghisapan yang dilakukan lewat pemerasan dan perampasan upah. Sementara itu kasus-kasus normatif yang dialami oleh buruh migran seperti gaji yang tidak dibayar, bekerja melebihi waktu, pelecehan seksual, perkosaan hingga kekerasan yang berujung pada kematian juga terus berlangsung. Padahal Dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK setidaknya ada 3 institusi yang memiliki mandat untuk perlindungan buruh migran yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Namun Kementerian-kementerian dalam Kabinet kerja Jokowi JK malah melanjutkan kebijakan-kebijakan kontradiktif dari menteri sebelumnya mengenai RoadMap Penghapusan PRT Migran. Dalam perspektif hak asasi manusia, argumen pelarangan PRT migran ke luar negeri sebagai langkah prakmatis rejim malas kerja. Dalam prakteknya, langkah moratorium dan penghentian permanen hanya menghasilkan potensi pembesaran praktek perdagangan manusia atasnama pengiriman massal buruh ke luar negeri. Ironisnya, pada era pemerintahan saat ini, moratorium penempatan buruh migran menjadi kebijakan permanen yang dilegitimasi dengan Permenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke 19 negara tujuan di Timur Tengah yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Kebijakan ini bisa dipastikan akan meriplikasi kegagalan moratorium-moratorium sebelumnya.

Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran hanyalah isapan jempol belaka. Kinerja Kementerian luar negeri beserta jajaran perwakilan RI di luar negeri masih bekerja sebatas pelayanan normatif. Bahkan bekerja dengan cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran yang malah melihat masalah yang dihadapi buruh Indonesia di luar negeri adalah “beban” yang tak harus mereka tanggung.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai institusi yang dimandatkan oleh UU No. 39/2004 masih terus “terjebak” dalam masalah duplikasi kewenangan dengan bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di lingkungan Kemenaker. Tuntutan penurunan biaya penempatan, pengawasan PPTKIS jahat dan belum melihat Serikat Buruh sebagai organisasi resmi perwakilan buruh migran dan anggota keluarganya bukanlah prioritas kerja.

Hingga dua tahun Kobumi menilai pemerintahan Jokowi-JK tidak akan mau mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diratifikasi dengan UU No. 6/2012) serta tidak akan mau meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT sebagai salah satu sektor buruh migran.
Di hong kong, perjuanga buruh migran sedikit membuahkan hasil dengan diberlakukannya kembali kontrak mandiri. Namun sayang, kontrak mandiri itu hanya berlaku bagi PRTA yang bekerja pada majikan yang sama. Kami menilai kebijakan itu hanya pemeberlakuan setengah hati dari KJRI hong kong kepada perjuangan panjang BMI yang sejak tahun 2000.

Bagaimana dengan kebijakan pemerintah Hong kong sendiri?? Hingga detik ini, pemerintah hong kong dibawah rejim Tiongkok yang mengaku sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia belum juga meratifikasi konvensi ILO C 189 sebagai acuan atas perlindungan buruh migran. Yang mengakibatkan lahirnya perbudakan modern tanpa henti!

Bahkan aturan diskriminatif-pun tidak luput menjalari instansi keimigrasian hong kong melalui aturan pengetatan visa kerja kepada buruh migran yang diketahui beberapa kali terputus kontraknya ( job Hoping ) namun tidak berlaku bagi majikan.

Di hari migran sedunia ini kami menuntut
1. Cabut UU No. 39/2014, Buat Dan Sahkan UU Perlindungan Buruh Migran yang Pro Buruh.
2. Hapuskan Biaya Penempatan BMI (Stop Overcharging)
3. Kesetaraan Standarisasi Upah Layak Bagi BMI Di Semua Negara Penempatan
4. Tolak PP 78/2015.
5. Naikkan Upah Buruh Minimal 50%.
6. Berlakukan 7 Jam Kerja Dan 1 Jam Istirahat.
7. Bebaskan BMI Untuk Proses Kontrak Mandiri bagi seluruh buruh migran
8. Cabut Sistem Online Penempatan BMI.
9. Cabut KTKLN.
10. Cabut Penutupan Penempatan BMI Ke Timur Tengah,
11. Berikan Kepastian Perlindungan BMI.
12. Kepastian Kontrak Kerja Bagi BMI, Minimal 3 Tahun.
13. Perlindungan BMI Dari PHK sepihak dan Permudah Kontrak Baru.
14. Jaminan Sosial Bagi BMI Dan Keluarganya, Sebagai Tanggung Jawab Negara.
15. Tolak Sistem KUR Dan Kebijakan Wajib Transfer Gaji BMI
16. Hapus Pelarangan Pindah Agen
17. Tingkatkan Dan Prioritraskan Pelayanan KBRI/KJRI Di Negara Penempatan
18. Hapuskan Sistem Perbudakan Modern.
19. Selamatkan BMI Dari Ancaman Hukuman Mati.
20. Bubarkan BNP2TKI
21. Dan Hapuskan Pelibatan Swasta (PPTKIS Dan Perusahaan Asuransi) Dalam Proses Penempatan BMI.
22. Tolak road map 2017
23. Ratifikasi Konvensi ILO No 189 Tentang Kerja Layak PRT.
24. Cabut tuduhan job hopping kepada PRTA
25. Ratifikasi konvensi ILO C 189
Hong kong, 15 Desember 2016

Loading

Comment here