Sebanyak 47 pemuda mahasiswa dari berbagai pendidikan tinggi di Malang berdemonstrasi memperingati Hari Anti Korupsi pada Jumat (9/12/2016). Mereka menyatakan bahwasanya praktik korupsi memberikan dampak lanjutan berupa tidak terpenuhinya hak-hak rakyat. Atha Narsa dalam orasinya menyatakan, “Pendapatan negara yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan publik malah diselewengkan untuk kelompok dan pribadi.”
Sebagaimana keterangan rilis pers Alainsi Rakyat Anti Korupsi: “Malang Raya pada periode 2012-2015 berdasarkan temuan Malang Corruption Watch (MCW) bahwa terdapat beberapa kasus korupsi dengan jumlah kerugian negara yang sangat besar, misalkan, korupsi pengadaan lahan RSUDA Kota Malang sebesar Rp 4.300.000.000,-, korupsi pengerjaan jembatan Kedungkandang dengan besaran Rp 7.900.000.000,- (baca Temuan MCW), korupsi pengerjaan drainase sebesar Rp 5.817.000.000,-, korupsi kecurangan Rumah Sakit dalam pengelolaan BPJS dengan besaran Rp 90.000.000.000,-. Beberapa kasus korupsi dengan jumlah kerugian yang begitu besar seharusnya menjadi perhatian lebih bagi penegak Hukum Kota Malang. Namun yang terjadi hari ini adalah kasus-kasus tersebut memiliki status peradilan yang tidak jelas. Artinya bahwa, selain korupsi yang menjadi sumber masalah yang harus dibasmi, ternyata pada tingkat penegakan Hukum pun bermasalah…”
Massa aksi juga mengekspos bahwasanya korupsi tidak hanya di Pemkot Malang namun juga di institusi pendidikan. “Misalkan: Pertama, UIN Malang. Korupsi dana pengadaan lahan dengan kerugian mencapai tiga milyar. Kedua, Universitas Negeri Malang. Korupsi pengadaan peralatan Lab dengan jumlah kerugian mencapai 14 Milyar rupiah. Ketiga, Universitas Kanjuruhan Malang. Korupsi dana hibah DITJEN DIKTI dengan kerugian mencapai 995 juta. Selain korupsi perguruan tinggi Kota Malang, diperparah dengan korupsi yang dilakukan salah satu dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya Malang yakni, korupsi penambangan pasir besi di Dusun Kaliwelang, Desa Bades Lumajang yang dilakukan oleh PT Indonesia Mining Modern Sejahtera (IMMS) dengan pasal penambanan tanpa izin penggunaan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan jumlah kerugian mencapai 79 Miliar (baca surya.co.id)…”
April, orator lainnya, menyatakan, “Modus korupsi di institusi pendidikan berjalan dengan berbagai cara. Mark up anggaran, monopoli penyelenggaraan tender, untuk memperkaya diri. Kepentingan mahasiswa dan rakyat diabaikan karena sibuk mengambil uang rakyat…banyak universitas bekerjasama dengan para koruptor. Terdapat 16 perguruan tinggi terlibat kasus korupsi dengan nilai kurang lebih 200 miliar. Universitas Brawijaya banyak tersangkut kasus korupsi dan terindikasi korupsi yang sulit dan tidak tersentuh apalagi diungkap. Banyak pungli di fakultas-fakultas. Misalnya praktik menambah uang praktikum. Praktik-praktik korupsi juga membuat banyak bangunan mangkrak. Kita ingin rakyat dapat hak atas pendidikan tapi malah dipermainkan birokrat.”
Hayyik dari Malang Corruption Watch menyatakan, “Lebih dari 70% APBN Indonesia dari hutang luar negeri bukan saja membuat kita tersandera kepentingan kapitalis global sehingga aset-aset nasional yang dikuasai Imperialis tidak bisa dinasionalisasi namun lebih parahnya lagi hutang itu pun dikorupsi. Padahal kalau tidak ada korupsi maka rakyat Indonesia pasti akan sejahtera.”
Leon Kastayudha dari Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO PRP) membenarkan hal ini. “Abraham Samad, mantan pimpinan KPK, dua tahun lalu pernah menyatakan kalau kekayaan Indonesia tidak dikorupsi serta dikuasai oleh para penguasa dan pengusaha hitam di Indonesia maka pendapatan tiap orang dari rakyat di Indonesia bisa sebesar Rp 30 juta per bulan. Itu setara dengan upah minimum buruh di Australia per bulannya. Artinya korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari penjajahan, penghisapan, dan penindasan.”
Tak Ada Kapitalisme Tanpa Korupsi
Kenyataannya korupsi itu sendiri merupakan hal yang hakiki ada dalam kapitalisme. Sebab kapitalisme itu sendiri berdasarkan pada pencurian nilai lebih yang sebenarnya dihasilkan oleh kelas buruh.
Dalam Pamflet Apa Itu Kapitalisme dan Bagaimana Cara Melawannya yang diterbitkan KPO PRP Malang dijelaskan: “(misalnya) seorang buruh yang bekerja di pabrik pakaian. Ia wajib bekerja selama delapan jam per harinya. Upah umum kira-kira sebesar Rp 1.040.000 per bulan. Sementara ia wajib bekerja selama delapan jam sehari untuk 26 hari kerja. Berarti dalam sehari ia bekerja dengan imbalan Rp 5.000 per jam. Dalam delapan jam kerja, buruh mampu menghasilkan 10 potong celana dari satu gulung kain. Harga kain sebagai bahan setengah jadi sebelum diolah menjadi bahan jadi, yaitu celana, seharga Rp 120.000,- per gulung. Biaya produksi tambahan seperti harga benang, listrik, perawatan mesin, dan lain-lain, ditetapkan sebesar Rp 30.000,-. Dengan demikian total biaya produksi per hari untuk 10 celana jadi siap pakai, sebesar Rp 190.000,- ( Rp 40.000,- untuk upah buruh + Rp 120.000,- untuk bahan mentah + Rp 30.000,- untuk biaya produksi tambahan). Namun kapitalis dapat menjual ke pasar minimal seharga 50.000,- untuk satu celana. Sehingga dari 10 celana bisa didapatkan uang sebesar Rp 500.000,-. Dengan demikian nilai baru yang dihasilkan sebesar Rp 310.000,- (Rp 500.000,- dari total harga 10 celana di pasar – Rp 190.000,- dari total biaya produksi untuk 10 celana). Pertanyaannya adalah siapa yang menghasilkan nilai lebih tersebut? Siapa yang mengerjakan pekerjaan selama delapan jam sehari untuk mengolah bahan setengah jadi menjadi celana siap pakai? Jawabannya adalah buruh. Namun kemanakah uang Rp 310.000,- tersebut masuk? Apakah masuk ke kantong buruh? Bukan. Karena buruh hanya dibayar Rp 40.000,- sehari. Bahkan dalam banyak kasus di kota Malang di pabrik-pabrik yang menerapkan sistem kerja kontrak dan atau outsourcing hanya membayar buruh sebesar Rp 10.000,- sehari.”
Ini tidak hanya berlaku dalam hal buruh pabrikan atau pekerja kerah biru (blue collar workers) namun juga sering berlaku terhadap buruh kantoran atau pekerja kerah putih (white collar workers). Dengan kata lain tidak hanya berlaku di sektor barang namun juga sektor jasa. Termasuk pendidikan. Salah satu lembaga bimbingan di Malang menggaji pengajarnya yang bekerja delapan jam per hari selama enam hari dalam seminggu dengan upah bulanan sebesar Rp 1.500.000,-. Sedangkan di sisi lain biaya kursus tiap siswa adalah Rp 500.000,- per bulannya. Rata-rata tiap pertemuan berlangsung selama dua jam. Dengan demikian tiap hari satu pengajar mengajar empat kelas. Bila satu peserta kursus setiap bulannya mendapatkan empat kali pertemuan (satu minggu sekali) maka tiap pertemuan sama dengan ia membayar Rp 125.000,-. Jadi bila satu pengajar bahasa Inggris dalam seharinya mengajar empat kelas maka ia sudah mendatangkan pemasukan bagi lembaga bimbingan belajar sebanyak Rp 500.000,-. Itu bila dalam satu kelas cuma ada satu orang. Bila dalam satu kelas ada lima orang maka dalam sehari, pengajar bisa mendatangkan pemasukan sebanyak Rp 2.500.000,-. Bila dalam sekelas ada sepuluh orang maka dalam satu hari, pengajar telah mendatangkan pemasukan sebesar Rp 5.000.000,-. Artinya kalau upah pengajar sesuai pemasukan yang dihasilkannya maka ia sebenarnya tidak perlu bekerja enam hari kerja selama sebulan. Cukup bekerja selama sehari saja. Namun dalam kapitalisme, sang pengajar ini tidak hanya bekerja untuk mendapatkan nilai sesuai upahnya namun juga bekerja untuk menghasilkan nilai lebih bagi kapitalis. Kalaupun dipotong dengan biaya operasional seperti papan tulis, listrik, air, dan sebagainya, nilai lebih terbanyak tetap lari masuk ke kantong kapitalis.
Kapitalis birokrat juga beroperasi dengan pencurian nilai lebih bahkan berkecenderungan ke arah korupsi. Masih dalam pamflet yang sama: “Apa itu kapitalis birokrat? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) mendefinisikan Kapitalis birokrat sebagai orang yang mempunyai kedudukan di dalam lembaga pemerintah atau di dalam organisasi politik yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri. Pengertian ini benar tapi penjelasannya tidak mencukupi dari segi ekonomi politik. Kapitalis birokrat adalah kelas yang selalu ada dalam dan tidak terpisahkan dari sistem demokrasi borjuis. Dalam demokrasi borjuis, mereka yang ingin maju dalam pemilu harus memiliki dana kampanye tidak hanya dalam jutaan rupiah tapi milyaran rupiah lebih. Tentu saja mereka yang punya dana sedemikian besar kalau bukan konglomerat kaya-raya, maka adalah para politisi yang berhutang pada konglomerat atau kaum kapitalis. Lantas begitu mereka berkuasa tentu saja mereka akan berusaha mengembalikan hutang mereka pada kapitalis. Karena itu mereka menuntut gaji setinggi-tingginya, tunjangan sebesar-besarnya, dan fasilitas sebanyak-banyaknya. Kalau ini belum cukup mereka akan melakukan cara-cara ilegal, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kalau belum cukup atau seringakali sebagai prasyarat inheren, maka mereka harus membuat peraturan-peraturan yang mengakomodir kepentingan kapitalis. Semakin tinggi tingkat pemerintahannya, semakin besar tingkat kapitalisnya, bahkan di tingkat nasional, penyandang dananya adalah kapitalis internasional atau bisa kita sebut kaum Imperialis.”
Oleh karena itu perjuangan menghapuskan korupsi secara tuntas, secara sepenuhnya, hanya bisa menang mutlak dengan penghapusan kapitalisme itu sendiri dan pembangunan sosialisme di bawah kekuasaan kelas buruh. Alat-alat produksi dikuasai oleh mereka yang bekerja dan dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat dimana tata kelola diselenggarakan melalui demokrasi proletarian, yang jauh lebih demokratis daripada demokrasi borjuis. Demokrasi proletarian muncul melalui revolusi-revolusi buruh. Dalam demokrasi proletarian, kelas buruh memilih wakil-wakilnya sendiri untuk duduk di dalam dewan-dewan buruh demi memperjuangkan kepentingan kelas buruh. Mereka bisa dipilih dan diganti (di-“recall”) kapanpun dengan konsensus para buruh dan diupah sama besarnya dengan upah seorang buruh terampil. Tidak seperti para wakil rakyat dan pejabat pemerintahan borjuis yang gaji dan pendapatannya berlipat-lipat besarnya daripada upah buruh. Dewan-dewan buruh telah lahir dalam berbagai nama, mulai Commune di Paris tahun 1871, Soviet di Rusia tahun 1905 dan 1917 serta Hungaria tahun 1956, Kolektif Industrial dan Komune Agraria di Spanyol tahun 1936, Solidarnosc di Polandia tahun 1980, Cordone di Chile tahun 1972, serta Syura di Iran tahun 1979. Namun tentu saja kelas penindas, baik kapitalis maupun para koruptor tidak akan sukarela melepaskan kekuasaannya dan penindasannya. Mereka akan mengorganisir kontra-revolusi untuk menggulingkan kekuasaan kelas buruh. Maka dari itu perjuangan menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme harus terus meluas di skala dunia. Kalau tidak demikian maka kapitalisme beserta dengan semua pencuriannya dan korupsinya akan kembali. Sebagaimana kata Rosa Luxemburg, “pilihannya hanya dua: Sosialisme atau Barbarisme.” (lk)
Comment here