Opini Pembaca

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Perjuangan Kelas

Jumat, 10 Desember 1948, Universal Declaration of Human Rights (UDHDR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) diadopsi dan diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dua tahun berikutnya 10 Desember, melalui Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum PBB, hari Hak Asasi Manusia (HAM) resmi disahkan untuk diperingati tiap tahunnya oleh seluruh negara anggota.

HAM, sebagaimana termuat di DUHAM, terdiri dari hak atas kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan. Kebebasan dalam hal ini juga termasuk bebas dari diskriminasi ras, warna kulit jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selain itu juga bebas dari perbudakan, penyiksaan, dan kesewenang-wenangan.

Turut diatur dalam DUHAM ini, hak untuk mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain. Artinya seorang pengungsi yang melarikan diri dari negara asalnya, entah karena alasan perang, bencana alam, pemberangusan terhadap kebebasan berserikat dan berpendapat, maupun kediktatoran, dan alasan lain diluar kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, berhak mendapatkan tempat mengungsi dan perlindungan di negara tujuan. Melengkapi hak untuk mendapatkan suaka ini, DUHAM juga mengatur bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan dan kewarganegaraan itu tidak bisa dicabut atau ditolak penggantiannya secara sewenang-sewenang.

DUHAM juga mengatur hak atas pernikahan bersasarkan konsensus, kepemilkan harta, kebebasan berpikir, berpendapat, berserikat, beragama, serta berpartisipasi dalam pemerintahan. Selain itu DUHAM juga menjamin bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial, pekerjaan yang layak, kesehatan, pendidikan, dan berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan.

Pencetusan, perumusan, pembahasan, serta pengesahan DUHAM dan Hari HAM ini hanya terjadi selang beberapa tahun setelah usainya Perang Dunia II (PD II). Perang Dunia II, suatu perang Imperialis kedua yang terjadi di skala dunia, merupakan monster yang lebih mengerikan daripada PD I. Bangkitnya fasisme, Holocaust yang membantai jutaan orang Yahudi dan mangsa-mangsa lainnya dari fasisme, serta kejahatan-kejahatan perang merupakan torehan luka mendalam bagi umat manusia di abad 20.

Bagaimanapun juga proklamasi DUHAM ini mengandung banyak kontradiksi karena melibatkan pula banyak negara Imperialis dan pelanggar HAM. Britania Raya merupakan negara Imperialis yang pernah menginvasi seluruh benua yang ada di muka bumi, Amerika Serikat (AS) bukan saja suatu negara yang didirikan di atas pembantaian dan penjajahan terhadap kaum Indian atau pribumi Amerika serta perbudakan terhadap kaum kulit hitam, namun juga menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki serta menewaskan jutaan perempuan dan anak-anak yang tidak berdosa. Hal serupa juga berlaku bagi Prancis, Belanda, dan negara-negara Imperialis lainnya. Bagaimana bisa negara-negara Imperialis, yang merupakan biangnya pelanggar HAM, bicara mengenai HAM? Kita perlu memakai perspektif perjuangan kelas untuk memahami persoalan dan menjawab pertanyaan ini.

Secara historis, konsep HAM secara universal merupakan hal baru yang tidak dikenal di masyarakat perbudakan dan masyarakat feodal. Hak seseorang, baik hak atas harta benda, hak berpendapat, hak berorganisasi, dan hak berpolitik, terkait erat dengan posisi kelasnya dalam tatanan masyarakat tersebut. Seorang tuan budak sekaligus seorang raja seperti Alexander di Macedonia, tidak saja punya hak atas harta benda dan hak mengenyam pendidikan namun juga punyak hak untuk memerintah negara dan menguasai budak-budak, yang mana di sisi lain tidak punyak hak sama sekali. Begitu pula Louis XVI sang kaisar Prancis yang tidak hanya memiliki hak atas kekayaan, alat produksi, dan hak menentukan upeti dari tani hamba namun juga hak untuk menentukan titah negara, hingga ia kemudian bisa mengatakan “L’etat c’est moi” atau “negara adalah saya”. Karena kaisar juga punya apa yang dinamakan sebagai “divine rights” atau hak suci dengan kata lain menguasai tahta Prancis secara turun temurun sebagai wakil tuhan di muka bumi, maka siapapun yang menentang kaisar disamakan dengan menentang tuhan.

Munculnya peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia, terkait langsung dengan perjuangan rakyat tertindas melawan kelas penguasa penindas. Dalam alur perjuangan demikianlah, baik itu berakhir dengan kemenangan, kompromi, atau bahkan kekalahan sekalipun, muncul dan diresmikanlah peraturan-peraturan yang menjamin hak manusia. Misalnya Declaration of The Rights of Men atau Deklarasi Hak-Hak Manusia yang dilahirkan dari Revolusi Prancis.

Bangkitnya kelas borjuasi dan masyarakat kapitalisme melalui berbagai babakan revolusi, seperti Revolusi Industri, Revolusi Amerika, dan puncaknya Revolusi Prancis, membangkitkan pula gagasan-gagasan mengenai hak manusia yang sebelumnya ditindas mutlak oleh kelas feodal dan rezim monarki absolut. Kebebasan berkumpul dan berpendapat serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dijunjung tinggi bersama panji-panji demokrasi dan republik dengan slogan liberte, egalite, fraternite atau kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Namun bagaimanapun juga ini juga tidak terlepas dari kepentingan kelas borjuasi, kelas penguasa baru di tatanan masyarakat baru: kapitalisme.

Karl Marx memandang bahwa seluruh institusi, praktek, dan artefak sejarah manusia, termasuk HAM merupakan konstruksi sosial yang terus berubah. HAM, bagi Marx, juga merupakan fenomena hubungan-hubungan sosial yang merupakan konvensi-konvensi yang terikat pada suatu era sejarah manusia yang penentuannya tak lepas dari mekanisme penyediaan kebutuhan-kebutuhan material dan keinginan-keinginan manusia. HAM, yang bangkit seiring dengan bangkitnya borjuasi dan kapitalisme, baik berbentuk peraturan, undang-undang, konstitusi, maupun hanya sekedar slogan, merupakan alat bagi kelas penguasa dan ideologinya ini.

Zoltan Zigedy menulis bahwasanya Marx melalui karyanya “Bruno Bauer, Die Judenfrage”, memahami gagasan hak-hak manusia yang diusung borjuasi merupakan pemikiran individualisme yang diagung-agungkan dan menentukan  ikatan-ikatan kehidupan sosial: “Tak ada satupun hal dari apa yang disebut-sebut sebagai hak manusia, bersifat melampaui manusia egoistis…dengan kata lain, seorang individu yang tercerabut dari lingkungannya, menarik diri, dan sepenuhnya dikuasai kepentingan pribadinya dan bertindak sesuai kebimbangan pribadinya…satu-satunya ikatan antar manusia adalah keperluan alaminya, kebutuhan dan kepentingan pribadi, serta perlindungannya terhadap hak milik pribadi dan orang-orang egoistisnya.”

Dalam formulasi awal inilah Marx mengembangkan pemikiran bahwasanya hak-hak manusia yang muncul seiring dengan kebangkitan borjuasi terkait erat dengan manusia sebagai “homo economicus” atau manusia dengan kepentingan pribadi, individual, dan asosial.

Karena itu kebebasan dalam tatanan masyarakat kapitalis adalah kebebasan bagi borjuasi untuk menanamkan kapitalnya, mengeksploitasi tenaga kerja, menjual dan mendistribusikan komoditasnya, mengakumulasi keuntungan, dan mengekspansi pasar-pasar baru dan kesetaraan yang dimaksudnya adalah kesetaraan jual beli di pasar.  Kebebasan pers berlaku agar media massa bisa memberitakan kondisi pasar dan potensi-potensi ekonomi yang menguntungkan borjuasi. Bahkan kebebasan memilih dan dipilih dalam pemerintahan awalnya tidak hanya tidak berlaku bagi buruh dan rakyat jelata namun juga kaum perempuan dikecualikan haknya.

Ini tidak menjadikan kaum pejuang kelas mengutuk apalagi mencampakkan HAM, namun meletakkan kebangkitan dan perkembangannya dalam konteks kebangkitan dan perkembangan kapitalisme. Sepanjang kapitalisme menjadi tenaga pendorong pembebasan melawan feodalisme, HAM juga berfungsi sebagai landasan pembebasan masyarakat dan pembentukan masyarakat yang lebih adil. Emansipasi borjuasi merupakan langkah raksasa bagi emansipasi massa dan kemajuan rakyat pekerja. Ini tidak boleh diartikan sebagai buah kebaikan kelas borjuasi semata melainkan buah dari perjuangan berjuta massa yang mendesakkan hak-hak demokratis mereka untuk kesetaraan dan kebebasan berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik di republik-republik borjuis. Seruan-seruan HAM inilah yang turut mendorong perjuangan melawan perbudakan, perjuangan hak pilih universal, dan berbagai reforma penting lainnya. Bagaimanapun juga, kaum Marxis menyadari, bahwa reforma-reforma berdasarkan HAM tersebut bisa diperjuangkan dan dimenangkan namun sepanjang berlaku dalam batasan kapitalisme, reforma-reforma tersebut hanya untuk “menyempurnakan” dan “melengkapi” kekuasaan borjuasi, bukan menantang apalagi mengalahkannya.

Dalam sejarah, kaum Marxis bersama kelas buruh secara terus-menerus memperjuangkan pemenuhan HAM dalam perspektif perjuangan kelas. Perjuangan menuntut delapan jam kerja sehari misalnya, merupakan perjuangan kelas dimana buruh berhadap-hadapan dengan kepentingan laba borjuasi, yang di masa awal kebangkitan kapitalisme buruh dipaksa bekerja hingga lebih dari 18 jam sehari, dengan kondisi kerja buruk, bahkan banyak buruh anak yang dipaksa bekerja di cerobong-cerobong asap pabrik. Reforma-reforma lain, seperti upah minimum, jaminan sosial, kesetaraan dalam perkawinan, bahkan isu-isu yang lebih radikal seperti pembebasan perempuan, dekolonisasi, merupakan isu yang terkait hak-hak manusia yang sudah lama diperjuangkan kaum Marxis. Bahkan beberapa capaian sudah terlebih dahulu dimenangkan kaum Marxis. Misalkan dengan revolusi Oktober, kaum perempuan di Rusia memenangkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemerintahan pada 1918, sementara AS yang mengaku sebagai negara paling demokratis baru memberikan hak pilih pada perempuan di tahun 1920. Kemudian dukungan terhadap kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang ditindas Imperialisme seperti Irlandia, Polandia, bahkan Tiongkok, secara aktif diberikan oleh Kaum Marxis.

Sementara itu di sisi lain, kelas borjuasi hanya bersifat revolusioner dan mengusung penegakan HAM hanya ketika melawan feodalisme dan saat kelas borjuasi menjadi kelas penguasa baru maka kelas borjuasi menjadi reaksioner dan kehilangan seluruh sifat revolusionernya. Komitmennya terhadap HAM yang meskipun memang hanya diusung demi kepentingan kapitalnya selalu dicampakkannya untuk mengamankan dan memperkokoh kekuasaan kelasnya, khususnya di masa-masa krisis.

Karena itu meskipun DUHAM mengatur mengenai kebebasan dari diskriminasi, puluhan tahun semenjak proklamasinya kita masih menyaksikan diskriminasi dan penindasan terhadap bangsa Palestina yang dijadikan sumber buruh murah bagi kelas penguasa Israel. Diskriminasi, ketidakadilan hukum, bahkan pembunuhan oleh aparat terhadap kaum kulit hitam di AS sebagaimana terjadi dengan kasus Treyvor Martin, Michael Brown di Ferguson, akhir-akhir ini. Diskriminasi dan intimidasi terhadap para pengguna bahasa Navajo di Kanada dan Kurdi di Turki serta Suriah. Larangan terhadap politik Sosialis di Republik Korea atau Korea Selatan dan larangan terhadap Falun Gong di Republik Rakyat Tiongkok. Rasisme dan perlakuan keji terhadap para pencari suaka oleh negara Australia, AS, dan Inggris. Begitupula kebebasan berpikir, berpendapat, berserikat, beragama yang masih terus dirongrong di berbagai negara, khususnya negara-negara Imperialis, seperti AS, Britania Raya, Prancis, Jerman, Australia, dan negara-negara reaksioner lainnya. Pemenuhan HAM tidak bisa diserahkan pada kebaikan hati kelas borjuasi yang kini berkuasa. Pemenuhan HAM harus diperjuangkan sendiri oleh rakyat pekerja baik yang ada di negara-negara Imperialis maupun negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia.

Pelanggaran HAM di Indonesia

Bila kita mengacu pada definisi hukum, khususnya Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Secara lebih lanjut, kasus-kasus pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, kasus pelanggaran HAM berat: pembunuhan masal (genosida), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. Kedua, kasus pelanggaran HAM biasa, meliputi: pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, dan menghilangkan nyawa orang lain.

Hingga kini setidaknya terdapat banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang mana keadilan belum ditegakkan bagi para korban dan para pelaku tidak dihukum. Pertama, kasus pelanggaran HAM berat berupa pembantaian 1965-1967 terhadap seluruh orang komunis atau yang dicap komunis. Kedua, kasus penembak misterius atau petrus pada tahun 1982-1985. Ketiga, tragedi penghilangan aktivis pada tahun 1997-1998. Keempat, juga tragedi Trisakti pada 1998. Kelima, Kasus pembantaian Talangsari pada tahun 1989. Keenam, kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Keenam, pembunuhan terhadap aktivis atau para pekerja yang bersinggungan dengan kediktatoran penguasa, antara lain pembunuhan terhadap Munir, Udin, dan Marsinah.

Pelanggaran HAM macam demikian merupakan ciri hakiki negara reaksioner yang merupakan instrumen untuk mengamankan kepentingan kelas penindas yang berkuasa. Khusus di Indonesia, pelanggaran HAM merupakan salah satu prasyarat mendasar bagi berdiri dan bertahannya rezim kedikatoran militer Orde Baru serta para pendukungnya yang menghamba pada Imperialisme di bawah pimpinan AS.  Meskipun kemudian Soeharto dan rezim kediktatoran militer Orde Baru jatuh setelah berbagai pergolakan massa di tahun 1998, namun karena kelas tertindas, yaitu kelas buruh, bersama elemen-elemen rakyat pekerja lainnya tidak berhasil merebut kekuasaan, maka ini memberi ruang bagi kelas borjuis untuk kembali berkuasa, walaupun tidak bisa menggunakan intimidasi dan represi sebesar yang digunakan rezim kediktatoran militer Orde Baru.

Indonesia, baik di bawah pemerintahan sebelumnya, yaitu rezim SBY, maupun pemerintahan terkini: rezim Jokowi-JK sama-sama mengalami berbagai pelanggaran HAM baru. Ekosida lumpur lapindo, perampasan tanah dan penembakan terhadap kaum tani, pemberangusan serikat buruh, intimidasi dan represi terhadap wartawan, merupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di sepuluh tahun rezim  SBY.

Namun ironisnya, oleh rezim Jokowi-JK, melalui Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah, dinyatakan: “10 tahun terakhir ini tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat…Jadi ini suatu keberhasilan dari pemerintahan SBY. Memang kalau lihat 2004 sampai 2010, tidak ada kasus seperti Munir”. Teuku Faizasyah dan juga seluruh jajaran pemerintahan Jokowi-JK jelas mengabaikan fakta sebagaimana yang dicatat AGRA bahwasanya pemerintahan SBY, telah memenjarakan (kriminalisasi) 1.180 kaum tani, menganiaya 556 kaum tani dan membunuh 65 petani. Termasuk fakta yang dirilis KONTRAS dimana sepanjang tahun 2013, terdapat 4569 rakyat yang menjadi korban pelanggaraan HAM dan ratusan diantaranya meninggal dunia di tangan aparat militer dan kepolisian. Pengabaian ini jelas bukan hanya disebabkan bahwasanya pemerintahan Jokowi-JK diisi dan dikelilingi oleh para pelanggar HAM seperti Ryamizard dan Hendropriyono serta Wiranto dan Sutiyoso namun juga disebabkan bahwasanya pemerintahan Jokowi-JK juga mewakili kepentingan kelas penindas yang sama: borjuasi yang menghamba pada Imperialisme.

Karenanya, masuk akal kalau dalam menyikapi gerakan buruh dan mahasiswa yang menolak penaikan harga BBM dan menuntut kenaikan upah maupun kaum tani di Rembang, Karawang, dan sebagainya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah kompak lebih memilih melakukan represi dan intimidasi serta melanggar hak-hak asasi manusia.

Sekali lagi kita perlu mencamkan bahwasanya negara adalah organ kekuasaan politik dari kelas penguasa. Sebagaimana yang dijelaskan Lenin dalam “Negara dan Revolusi”, “Negara adalah badan khusus bersenjata untuk menindas kelas.” dengan demikian suatu demokrasi parlementer dalam kapitalisme tak peduli sedemokratis apapun itu berfungsi untuk melayani kepentingan kelas penindas yang berkuasa. Lenin memandang demokrasi parlementer dipengaruhi oleh semakin meningkatnya pengaruh-pengaruh birokrat dan militer dan dengan demikian demokrasi parlementer berfungsi :untuk menentukan dalam beberapa tahun sekali anggota mana dari kelas penguasa yang akan menindas dan menggilas rakyat melalui parlemen–inilah esensi sesungguhnya dari parlementarisme borjuis, bukan hanya dalam monarki konstitusional parlementer, namun juga dalam republik-republik paling demokratis”. Karena itu sudah merupakan tugas kelas buruh dan rakyat untuk melawan dan menggulingkan tirani borjuasi ini. Tanpa penggulingan tirani tidak akan ada demokrasi sejati.

ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader KPO PRP

Loading

Comment here