Internasional

Apa Makna Kemenangan Trump?

dumb-trumpApa Dampaknya bagi Indonesia dan Apa yang Harus Dikerjakan?

 

Donald Trump menang Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS). Kali ini sejarah berulang secara terbalik. Pertama sebagai komedi The Simpsons. Kedua sebagai tragedi di AS. Logikanya, seharusnya orang yang rasis, Islamophobis, seksis terhadap perempuan, xenophobis dan anti-imigran, tidak akan bisa maju mencapres apalagi bisa memenangkan Pilpres. Menangnya sosok Trump, seseorang yang bukan hanya merepresentasikan namun juga menggalang dukungan besar dari kaum kanan reaksioner, bigot, dan penuh prasangka demikian, bukan hal yang masuk akal. Namun kita harus menekankan, ini zamannya krisis kapitalisme, dimana logika dan akal dibuang. Ini zamannya pergolakan, dimana belokan-belokan tajam dan perubahan-perubahan mendadak sudah, sedang, dan masih akan terus terjadi.

Sejak awal kita harus menekankan, dalam Pilpres AS 2016 tidak ada capres yang mewakili kepentingan kelas buruh dan rakyat pekerja. Kedua capres, baik Trump maupun Clinton dan kedua partai, baik Partai Republik maupun Partai Demokrat pada pokoknya sama-sama mewakili kepentingan kapitalisme. Persamaan di antara kedua kubu yang bermusuhan ini sebenarnya lebih besar daripada persamaannya dengan rakyat. Sebagaimana dikatakan Bilven dari Ultimus, yang satu adalah serigala dan lainnya adalah serigala berbulu domba.

Trump memang berasal dari kelas borjuis. Komisi Pemilu Federal merilis rincian kekayaan dan saham yang dia kumpulkan saat menjadi bakal calon presider dari Partai Republik. Rincian itu mengungkap asetnya sbesar US$ 1,4 miliar dan hutang besar setidaknya sebesar US$ 265 juta. Namun bukan hanya ia merupakan borjuis, secara gamblang dan terang benderang Trump juga seorang reaksioner hampir dalam segala aspek.

Pertama, Trump seorang yang seksis dalam perkataan maupun perbuatan. Rekaman percakapannya dengan Billy Bush dalam bus studio menunjukkan bagaimana Trump menyombongkan tindakannya memaksa mencium dan menggerayangi para perempuan. Ia menyatakan, “Aku langsung ciumi mereka…tak pakai menunggu. Dan saat kau seorang bintang mereka biarkan kau melakukannya, kau bisa melakukan apapun…jambak mereka di tempiknya.” Trump juga berkali-kali dilaporkan dan digugat karena ketidaksenonohan atau bahkan pelecehan seksual. Kemudian saat Gail Collins, kolumnis New York Times, menulis rumor tentang kebangkrutan Trump, Trump mengiriminya salinan artikelnya dengan foto Gail dilingkari dan Trump menuliskan “mukanya anjing” di atasnya. Trump juga merespon pertanyaan-pertanyaan Megyn Kelly, seorang Jurnalis yang menjadi pembawa acara debat Capres Republiken yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan tajam tentang seksisme Trump, dengan mencapnya sebagai perempuan judes karena sedang mens. Trump mengatakan, “Kalian bisa lihat ada darah keluar dari matanya. Darah keluar dari seluruh bagian tubuhnya.”

Kedua, Trump merupakan rasis. Ia menyatakan, “Saat Meksiko mengirimkan orang-orangnya, mereka tidak mengirimkan yang terbaik…mereka mengirimkan orang-orang yang punya banyak masalah, dan mereka membawa masalah-masalah tersebut bersama mereka. Mereka membawa narkoba. Mereka membawa kriminalitas. Mereka pemerkosa. Sebagian, asumsi saya, orang-orang baik”. Bahkan beberapa tokoh Republiken sendiri mengecam rasisme Trump. Mitt Romney misalnya pada Juni 2016 menyatakan keprihatinannya bahwa kepresidenan Trump akan mengakibatkan, “trickle down racism, trickle down bigotry, trickle down misogyny, dan semua hal demikian yang luar biasa berbahaya bagi hati dan sifat Amerika.” Rasisme Trump bahkan menarik banyak dukungan dari kaum fasis yang sebelumnya tidak memiliki platform. Mulai dari Alt-Right (kelompok aktivisme sayap kanan berbasis internet), Ku Klux Klan (KKK), hingga Neo-NAZI menggalang dukungan untuk Trump. Richard Spencer, yang mengoperasikan Institut Kebijakan Nasional, suatu lembaga nasionalis kulit putih, menyatakan, “Sebelum adanya Trump, gagasan-gagasan identitas kami, gagasan-gagasan nasional, tidak punya tempat.” Kemudian Editor The Daily Stormer, situs Neo NAZI, menyatakan, “Hampir semua NAZI Alt-Right yang saya kenal menjadi sukarelawan untuk kampanye Trump.” Kemudian Rocky Suhayda, Ketua Partai NAZI Amerika mengatakan bahwa “meskipun Trump bukan salah seorang di antara kita namun pemilihannya akan menjadi peluang riil bagi gerakan nasionalis kulit putih.”

Ketiga, Trump adalah seorang Imperialis dan pendukung terang-terangan atas Imperialisme AS. Trump menyatakan ia akan “membom habis” ladang-ladang minyak yang dikuasai ISIS di Irak. Selanjutnya pasca serangan teroris ISIS di Paris Trump menyatakan, “Saya akan ledakkan pipa-pipa minyak mereka, saya akan ledakkan penyulingan mereka, dan kau tahu apa, kalian akan mendapati Exxon datang di sana dalam dua bulan…dan saya akan ambil minyaknya.” Saat ditanya bagaimana kalau Irak memprotes pengeboman AS terhadap ladang-ladang minyaknya, Trump menjawab bahwa Irak adalah negara korup yang tidak pantas ia hormati.

Trump juga merupakan pendukung total terhadap Israel. Ia memberikan dukungan kepada Benjamin Nentanyahu dalam Pemilu Israel tahun 2013. Tahun 2015 ia menyatakan: “Kami cinta Israel, kami akan berjuang untuk Israel 100 persen, 1000 persen, ia akan di sana selamanya.” Ia mendukung sepenuhnya bahkan dengan antusias menyemangati pembangunan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Trump mengatakan Israel harus terus melanjutkannya tanpa jeda sama sekali.

Selain itu ia juga mendukung invasi AS terhadap Libya untuk menggulingkan Muammar Khadafi dengan dalih menghentikan pembantaian dan krisis kemanusiaan meskipun sempat mencla-mencle dan bergonta-ganti posisi. Mei 2016 Trump kemudian menyatakan AS perlu membombardir ISIS di Libya.

Selain itu sikap Trump terhadap Iran adalah kebalikan total dari Obama. Kita perlu memahami di sini, bahwa menjelang akhir masa kekuasaan rezim Obama, Imperialis AS terpaksa memberikan kompromi kepada Iran. AS kemudian menjalin Perjanjian Nuklir Internasional dengan Iran (yang dinegosiasikan antara AS dengan lima negara besar lain di dunia). Trump terang-terangan menentang ini. Juni 2016 Trump menyatakan, “Iran sekarang menjadi kekuatan Islam paling dominan di Timur Tengah dan menempuh jalan ke persenjataan nuklir.” Ia mengkritik perjanjian itu, “Kita memberi mereka milyaran dolar lewat perjanjian ini, yang seharusnya tidak kita berikan pada mereka. Harusnya kita simpan sendiri uang itu.” Pernyataan Trump ini sebenarnya pemelintiran fakta dan propaganda negatif terhadap Iran. Sebab kenyataannya yang dilakukan rezim Obama bukanlah menggelontorkan uang kepada Iran. Melainkan mencairkan aset-aset Iran di bank-bank dan institusi-institusi finansial di luar negeri yang dulunya dibekukan atas perintah Imperialis AS. (Nilai aset ini sebesar antara US$ 25 miliar hingga US$56 miliar). Bahkan Trump mengancam Iran, “Iran mengolah nuklir…(saya) akan memberikan sanksi besar. Akan saya gandakan bahkan kalikan tiga sanksi-sanksinya dan memaksa mereka menerima perjanjian dengan kekuatan AS.”

Bahkan ia menganjurkan agar Imperialisme AS lebih keras, lebih agresif, dan lebih brutal lagi. Trump mendukung metode penyiksaan Waterboarding. “’Mereka bertanya kepadaku, apa tanggapan anda tentang waterboarding, Pak Trump?’ Aku bilang aku mencintainya. Aku mencintainya dan aku pikir itu hal yang hebat. Lalu aku mengatakan, kita harus membuatnya lebih keras daripada sekadar waterboarding, dan kalau kalian pikir hal itu tidak manjur, kawan, maka kalian salah,” katanya. Trump bahkan mendukung kejahatan perang dan pelanggaran HAM. “…kita mengobarkan perang yang sangat tepat secara politik. Hal lainnya yang harus diperhatikan terkait para teroris adalah kalian harus menghabisi keluarga-keluarga mereka,” ujarnya. Trump bahkan mengagumi bagaimana pemerintah Tiongkok menghabisi demonstrasi Tiananmen. “Saat para mahasiswa membanjiri alun-alun Tiananmen, pemerintah Tiongkok hampir meledakkannya. Mereka kejam, mereka sadis, namun mereka menghantamnya dengan kekuatan. Mereka menunjukkanmu kekuatannya. Sedangkan negara kita sekarang terlihat lemah…seperti diludahi negara-negara lain di dunia.” Trump bahkan mendukung persenjataan nuklir. Ia bahkan menyarankan negara-negara sekutu AS yang tergantung pada militer AS seperti Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi perlu memiliki senjata nuklir. “Perhatikan, senjata nuklir seharusnya tidak dirundingkan, namun apakah ada waktunya senjata nuklir bisa digunakan? Mungkin saja,” kata Trump.

Clinton dan Konvensi Nasional Demokrat (DNC) telah menempuh manuver-manuver tidak demokratis demi menjegal kemenangan Bernie Sanders. Bocoran dari Wikileaks mengungkap konspirasi internal dari Partai Demokrat untuk menggembosi majunya Sanders. Kemudian meskipun Clinton mengklaim sebagai feminis dalam ambisinya menjadi presiden perempuan pertama di AS namun Clinton tidaklah benar-benar berkomitmen dalam perjuangan pembebasan perempuan. Sebaliknya banyak perbuatannya malah bertentangan dengan perkataannya. Misalnya para pegawai perempuan yang dipekerjakan di Clinton Foundation (Yayasan Clinton) hanya dibayar 75% dibandingkan para pegawai laki-lakinya. Ini bahkan lebih parah daripada standar gap upah gender di rata-rata organisasi nirlaba yang sebesar 75%. Dengan kata lain Clinton hanya membayar upah pegawai perempuannya senilai US$7,20 per jamnya dibandingkan pegawai laki-lakinya yang dibayar US$10 per jamnya. Tidak peduli kalau pekerjaan mereka itu sama beratnya. Memang tidak sedikit orang-orang reaksioner, seksis, dan misoginis. Namun banyak juga orang dan pemilih yang tidak punya masalah untuk mencoblos Capres perempuan. Masalahnya Clinton sama sekali tidak mewakili kepentingan perempuan sekaligus tidak mewakili kepentingan rakyat. Apa yang pada pokoknya ia wakili adalah kepentingan korporat.

Sebagai bagian dari bukan hanya Partai Demokrat namun juga pemerintahan rezim Obama, oleh karenanya Clinton adalah bagian dari status quo yang bertanggung jawab atas penderitaan kelas buruh dan rakyat AS akibat krisis kapitalisme. Tingkat rata-rata pendapatan rumah tangga tetap di bawah tingkat sebelum krisis meskipun naik 5,2% antara 2014 dan 2015. Bahkan mengalami penurunan relatif Pendapatan Domestik Bruto per kepala secara konsisten sejak pertengahan 1970an. Sedangkan di sisi lain kesenjangan terus meningkat tajam. AS merupakan negara dengan kesenjangan tertinggi di antara negara-negara maju bahkan negara dengan peningkatan kesenjangan paling pesat di antara tujuh ekonomi berpendapatan tinggi di dunia.

Memang kenyatannya Clinton bukanlah antitesis atau lawan mutlak bagi Trump. Di satu sisi ada Trump yang seksis tapi di sisi lain Clinton, meskipun mengaku feminis, namun tidak benar-benar berkomitmen atas perjuangan pembebasan perempuan melawan seksisme. Di satu sisi ada Trump yang homophobis, namun di sisi lain Clinton bukanlah orang yang sejak awal pro kesetaraan hak bagi LGBT. Bahkan Clinton awalnya sempat menolak tuntutan aktivis LGBT atas legalisasi pernikahan sesama jenis. Tahun 2000 Clinton menyatakan menolak segala bentuk pengakuan legal atas hubungan LGBT baik dalam bentuk kepartneran domestik maupun dalam bentuk. Baru tahun 2006 ia menyatakan mendukung hak negara bagian untuk mengizinkan pernikahan sesama jenis. Kemudian baru tujuh tahun kemudian ia mendukung hak nasional atas pernikahan sesama jenis.

Patut diperhatikan pula, di satu sisi Trump, yang tidak pernah menjadi pejabat pemerintahan sama sekali, memang menggembar-gemborkan akan meningkatkan anggaran militer serta menyiratkan akan melakukan petualangan Imperialistis. Namun Clinton, di kubu seberang, justru sudah lama menjalankan peran imperialistis demikian. Clinton, sebagai seorang senator New York yang terpilih pada tahun 2000, memberikan suaranya mendukung invasi imperialistis AS dalam bentuk Perang Afghanistan dan Perang Irak. Selain itu sebagai Menteri Luar Negeri rezim pemerintahan Obama dari tahun 2009 ke 2013, Clinton mengesahkan intervensi militer AS ke Libya dengan demikian membantu penggulingan rezim kediktatoran Khadafi di satu sisi sekaligus mengamankan kepentingan Imperialis dengan mencegah kemungkinan munculnya gerakan demokratis dan kerakyatan di Libya yang bisa merebut kekuasaan. Selain itu Clinton juga menorganisir pengisolasian diplomatis serta sanksi-sanksi internasional terhadap Iran demi memaksakan pembatasan program Nulir Iran. Ini sama sekali bukan untuk dunia yang lebih aman dari senjata maupun perang nuklir. Karena di satu sisi AS juga mengembangkan senjata nuklir dan di sisi lain juga mengizinkan (meskipun tidak secara terang-terangan) rezim Zionis Israel mengembangkannya.

Maka masuk akal kalau banyak orang di Amerika sudah membenci Clinton. Mereka memandangnya sebagai seorang pembohong, pemanipulasi, orang yang berbuat curang, sekaligus antek bayaran Wall Street. Bagi banyak orang Clinton adalah seorang kariris ambisius dengan politik korporat. Jadi politik pilihan yang paling sedikit mudharatnya atau Lesser Evilism jelas tidak cukup menipu dan meyakinkan banyak orang untuk memilihnya. Ini dibuktikan dengan banyak fakta. Suara yang memilih Clinton di antara generasi Milennials, alias mereka yang lahir di abad 21, 11% lebih rendah di Florida tahun ini dibandingkan dengan yang dulunya memilih Obama.

Dukungan besar-besaran dari kelas borjuis, termasuk dari mayoritas media massa kapitalis, terhadap Clinton, justru semakin mendiskreditkannya. Sebab ini berlangsung di tengah pembelahan atau munculnya jurang yang semakin melebar antara para politisi, media borjuasi, dan mereka yang selama ini mendominasi wacana serta opini publik di satu sisi serta di sisi lain lapisan masyarakat yang selama ini dirugikan krisis dan semakin tidak mempercayai pemerintah. Patut disoroti bahwasanya naiknya popularitas Sanders di satu kubu dan Trump di kubu lainnya, karena menaiki gelombang kemarahan massa, dengan menyatakan bahwa selama ini rakyat dikhianati oleh elit-elit penguasa yang merampas hak-hak mereka. Bedanya Trump mencela rezim pemerintahan Obama dan di sisi lain mengambinghitamkan soal imigran ilegal sebagai penyebab keterpurukan ekonomi, kaum Latin sebagai biang permasalahan sosial, dan umat Muslim sebagai biang terorisme.

Apa Dampak Kemenangan Trump

Kini Partai Republiken menguasai Gedung Putih (dengan kemenangan Trump) sekaligus menguasai Kongres di AS. Secara de jure rezim yang kini berkuasa di pemerintah

Kemenangan Trump akan mengakibatkan banyak hal, baik bagi kapitalisme di satu sisi maupun bagi perjuangan kelas di sisi lain. Bahkan sebelum hasil akhir diumumkan indeks rata-rata industrial Dow Jones turun 700 poin, peso Meksiko kehilangan 10% nilainya terhadap dolar, harga-harga emas naik, dan pasar Asia bergolak. Meskipun di sisi lain, saham industri persenjataan dan militer naik dan antusiasme meningkat di pasar perbankan dan farmasi.

Selain semua gembar-gembor reaksionernya, Trump juga mengumbar janji-janji kampanye. Janji bahwa akan ada pekerjaan untuk semua orang, janji menghapus Obamacare yang carut marut, janji meningkatkan ekonomi, dan semua janji-janji yang pada intinya menambal sulam kapitalisme. Namun dalam masa krisis kapitalisme sulit untuk ditambal sulam. Banyak daerah di AS terkena hantaman keras krisis dan menderita kemiskinan serta permasalahan sosial. Alih-alih kemiskinan mereka terentaskan dan permasalahan sosialnya tertuntaskan, mereka akan mendapati nasib mereka akan semakin menderita di bawah rezim Trump. Sebab saat kapitalisme mengalami krisis, maka kelas dan rezim penindas yang berkuasa akan memperhebat penghisapan dan penindasan terhadap buruh untuk menyelamatkan kapitalisme itu sendiri.

Ini sudah tampak dalam rencana-rencana yang sudah dibuat dalam beberapa hari pertama pasca kemenangan Trump. Segi kebijakan fiskal Trump mengusung pemotongan-pemotongan pajak yang lebih besar. Trump mengampanyekan pemotongan pajak korporat dari sebesar 35% menjadi sebesar 15% diiringi penghapusan berbagai deduksi dan celah bisnis. Bila diterapkan maka ini akan menjadi pemotongan pajak terbesar diantara negara-negara industri mayor yang rata-rata pajak korporatnya sebesar 25%. Lalu Trump juga menyatakan akan mencabut pajak pertanahan yang berlaku terhadap pewarisan tanah yang bernilai US$5,45 juta bagi individu dan $10,9 juta bagi pasangan, atau dengan kata lain bagi kaum paling kaya yang berjumlah 0,2% populasi AS. Pajak pendapatan pribadi juga akan dikurangi dimana nilai tertinggi akan dikurangi dari 39,6% menjadi 25%. Sedangkan di sisi lain pembelanjaan pemerintah akan semakin digenjot. Sebagai akibatnya terdapat potensi turunnya pendapatan negara sebanyak US$ 6,2 triliun selama satu dasawarsa ke depan. Hutang pemerintah juga akan naik dari 77% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) menjadi 105% untuk sepuluh tahun berikutnya. Selain itu perencanaan perpajakan baru yang diajukan Trump akan mengakibatkan hilangnya $5 triliun selama sepuluh tahun ke depan di satu sisi serta di sisi lain akan meningkatkan beban pajak bagi keluarga-keluarga yang berpendapatan menengah dan rendah.

Meskipun demikian mendengar ini, masuk akal kalau perusahaan-perusahaan farmasi menyambut gembira menangnya Trump. Karena mereka akan menikmati kebebasan atau setidaknya kelonggaran lebih besar dari tekanan pengaturan harga yang ditetapkan rezim Partai Demokrat. Selain perusahaan-perusahaan farmasi, perusahaan perbankan juga akan semakin terjamin keberadaannya dengan pernyataan Trump yang mendukung pemberian dana talangan kepada bank-bank di AS.

Selain itu Trump juga secara terang-terangan berusaha campur tangan terhadap Federal Reserve AS. Sembari mengkritik Federal Reserve dan menyebut mereka “lembek”, Trump menuntut Federal Reserve menggenjot tingkat suku bunga. Bahkan Trump juga menyatakan mendukung proposal yang akan memberikan Kongres kemampuan untuk mengaudit pengambilan keputusan Federal Reserve serta mengambil alih kekuatan Federal Reserve itu sendiri. Ini menandai upaya kontrol moneter yang jauh berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Riak-riak pergesekan kekuatan eksekutif dan bank sentral di kemudian hari akan menciptakan gelombang pasang konflik dan permasalahan.

Sedangkan segi kebijakan perdagangan Trump mengusung proteksionisme. Ini bukan berarti dia menentang perdagangan bebas dan neoliberalisme secara harafiah sebab ia sendiri mengklaim bahwa ia merupakan free trader atau pedagang bebas sekaligus pendukung perdagangan bebas. Namun ia hanya akan mendukung perdagangan bebas selama kapitalisme AS diuntungkan. Trump menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan yang baik untuk negara-negara lain namun tidak baik bagi AS adalah “penghisap darah”. Ia menyatakan North America Free Trade Agreement (NAFTA) atau Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara sebagai “perjanjian terburuk dalam sejarah” serta mengumbar janji akan merenegosiasi atau mematahkan perjanjian NAFTA. Selain itu Trump juga menyatakan ia menentang rencana Trans Pacific Partnership (TPP) atau Kerjasama Lintas Pasifik. Kemudian Trump mengusulkan menaikkan tarif ekspor Tiongkok ke AS sebesar 45% dan tarif ekspor Meksiko ke AS sebesar 35%. Selain itu Trump juga menyebut World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia sebagai suatu “bencana” dan berkehendak melakukan renegoisasi atau keluar dari WTO kecuali usulan peningkatan tarifnya disetujui.

Jadi proteksionismenya Trump harus dipahami sebagai bukan hal anti kapitalis melainkan prioritas kepada AS sebagai negara kapitalis dan pihak kapitalis nasional. Ini merupakan pergeseran dari paradigma kapitalisme global menjadi kapitalisme nasional. Bagaimanapun juga saat kapitalisme sudah menjadi corak produksi yang mendunia, langkah mundur ke kapitalisme nasional seperti upaya membalik sejarah atau memutar jarum jam ke arah kiri. Mustahil dan sia-sia. Bahkan akan menciptakan permasalahan. Pengetatan atau bahkan penutupan ekonomi AS melalui proteksionisme akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat perdagangan global yang bahkan saat ini pun sedang mengalami stagnansi dan penurunan. Proteksionisme Trump akan mempengaruhi Tiongkok dan Korea Selatan yang merupakan salah satu negara eksportir utama ke AS. Bahkan saat ini pun Jepang, salah satu sekutu AS, gencar melakukan lobi agar pemerintahan Trump tidak menutup diri dari industri otomotif Jepang. Bahkan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, langsung melakukan kunjungan ke New York untuk membujuk Trump dengan dalih mobil-mobil Jepang kini dibuat dan dirakit di AS sehingga bisa membantu program peningkatan lapangan pekerjaan yang dijanjikan Trump. Ini dilakukan Jepang karena frustasi mendengar kenyataan bahwa TPP dan Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP) atau Kerjasama Investasi dan Perdagangan Lintas Atlantis juga terancam dibatalkan oleh Trump. Padahal Jepang memproyeksikan bahwa dengan TPP, PDB Jepang diproyeksikan terdorong 2,7% pada tahun 2030. Sekarang proyeksi ini menguap sudah. Padahal ekonomi Jepang adalah salah satu elemen kunci di Asia dan dunia. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, Proteksionisme Trump yang merupakan senjatanya untuk mengatasi krisis hanya akan memicu krisis lebih besar di kemudian hari. Sebab akan memicu efek domino, negara-negara lain akan ikut menerapkan proteksionisme, sebagai akibatnya tingkat perdagangan semakin menurun, dan semakin menenggelamkan dunia ke dalam resesi.

Tiongkok yang diancam Trump akan dikenai peningkatan tarif impor ke AS itu sendiri sebenarnya sudah mengalami defisit perdagangan sebesar setengah dari defisit perdagangan Amerika.  Lebih parah dari Tiongkok, Eropa juga akan terkena dampak negatif proteksionisme AS. Memang tingkat ekspor Eropa ke AS sebesar 14% (lebih rendah daripada tingkat ekspor Tiongkok ke AS yang sebesar 18%) namun sebanyak 40% pertumbuhan ekspor terkini berbasis mata uang Uni Eropa.  Demikianlah proteksionisme AS menjadi ancaman lebih besar bagi Eropa daripada Tiongkok itu sendiri.

Menurut analisis oleh Peterson Institute for International Economics, proposal peningkatan tarif terhadap Tiongkok dan Meksiko yang diajukan Trump, bila disetujui dan diberlakukan bisa memicu balasan peningkatan tarif dari Tiongkok dan Meksiko pula. Analisis mereka memperkirakan bilamana balasan tersebut diterapkan maka akan mendorong AS terperosok ke dalam resesi dan mengakibatkan hilangnya lima juta lapangan pekerjaan di AS.

Sedangkan dari segi lingkungan, rezim Trump akan semakin mendorong kerusakan ekologis. Trump menampik konsensus ilmiah tentang perubahan iklim. Ia berulang kali menyatakan pemanasan global adalah hoax. Ia menyatakan, “Konsep pemanasan global diciptakan oleh dan untuk Tiongkok agar membuat sektor manufaktur AS tidak bisa bersaing.” Dalam kampanyenya Trump menampik semua perjanjian terkait perubahan iklim. Ia menunjuk Kevin Cramer, anggota Partai Republik dari Dakota Utara, yang merupakan salah satu pendukung pengeboran dan pertambangan serta pembantah perubahan iklim, untuk merumuskan kebijakan energi pemerintahan Trump. Saat berkampanye Trump, ia merilis perencanaan  energi yang berfokus pada sumber daya berbasis fosil dan melemahkan peraturan enviromental. Ia menyatakan akan mencabut Perencanaan Tindakan Iklim dan peraturan Air di Amerika Serikat. Bahkan Trump berikrar dalam pidato bulan Mei 2016 tentang kebijakan energi untuk “membatalkan perjanjian iklim Paris” yang diadopsi pada Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2015 dimana 170 negara menyatakan komitmennya untuk membatasi emisi karbon. Selain itu Trump juga menyatakan mempertimbangkan mengajukan Harold Hamm, kapitalis perminyakan dan gas, sebagai menteri energi padahal selama ini Hamm memprioritaskan ekspansi pengeboran dan menentang peraturan-peraturan enviromental yang dipandangnya membatasi produksi minyak.

Maka sebagai salah satu konsekuensinya: segi Energi dan Sumber Daya Trump merencanakan meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Ini bukan hanya menandai ditinggalkannya paradigma rezim-rezim sebelumnya yang merencanakan minyak domestik AS diprioritaskan dipakai bila cadangan minyak dunia secara keseluruhan surut. Namun juga menandai benih-benih semakit merosotnya harga minyak global dan komoditas-komoditas turunannya. Patut dipertimbangkan pula risiko semakin meningkatnya independensi (bahkan potensi rivalitas) negara-negara sekutu AS yang selama ini mengamankan pasokan minyak untuk kebutuhan industri dan konsumsi AS, seperti Israel dan Arab Saudi.

Meskipun demikian akan terdapat perbedaan politik Imperialis AS di bawah rezim pemerintahan Trump bila dibandingkan di bawah rezim pemerintahan Clinton. Clinton akan mendorong pergesekan dan konfrontasi secara lebih terbuka melawan negara-negara rival kapitalis AS, seperti Rusia dan Tiongkok. Artinya pertentangan lewat proxy di Timur Tengah dan Eropa Timur serta Pasifik akan semakin menajam. Berbeda dengan itu, Trump kemungkinan besar akan menghindari atau setidaknya menunda sementara waktu pergesekan, pertentangan, dan konfrontasi demikian. Konflik militer lebih akan difokuskan pada perang menghancurkan ISIS. Meskipun demikian rezim Trump sama sekali tidak berencana mengurangi anggaran persenjataan dan militer AS. Sebaliknya Trump berkomitmen akan meningkatkannya secara besar-besaran. Trump menyatakan personel militer AS akan ditambah dari 475 ribu orang menjadi 540 ribu orang. Demi mewujudkan hal ini anggaran militer secara konkret harus ditingkatkan sebanyak US$ 30 miliar. Bukan hanya dalam jumlah personelnya, rezim Trump juga akan menambah kapal perang AS menjadi 350 unit. Selain itu Trump juga menjanjikan meningkatkan kapabilitas kapal destroyer, menambah pesawat tempur dari 1.113 unit menjadi 1.200 unit. Salah satu cara untuk mendanai peningkatan anggaran militer yang direncanakan Trump ini adalah dengan menarik dana dari negara-negara yang terdapat keberadaan pangkalan militer AS disana. Artinya bukan hanya menarik dana dari negara-negara sub-Imperialis seperti Jerman dan Jepang namun juga negara kapitalis seperti Arab Saudi serta semi-koloni seperti Filipina. Trump bahkan mengancam akan menghentikan impor minyak dari Arab Saudi kecuali pemerintahan Saudi menyediakan pasukan-pasukan Angkatan Darat untuk mengalahkan ISIS.

Maka mundurnya Imperialis AS di geopolitik yang terdapat rival-rival negara Imperialis dan kapitalis lain di satu sisi serta peningkatan anggaran militer di sisi lain berarti dua hal. Pertama, negara-negara di Timur Tengah yang selama ini menjadi antek Imperialis AS akan terpaksa mengambil peran geopolitik semakin besar. Ini bahkan sudah terlihat dalam tahun-tahun belakangan dimana Saudi dan Turki secara aktif mendukung beberapa faksi pemberontak untuk menggulingkan Bassar Al-Assad. Saudi juga membombardir Yemen dalam upayanya memerangi rezim pemberontak Houthi yang memiliki hubungan dengan Iran. Kedua, rezim pemerintah AS memberikan sinyal akan mengarahkan orientasi imperialistisnya ke zona-zona yang lebih aman dari pertentangan atau intervensi oleh rival-rival kapitalisnya. Oleh karena itu kemungkinan besar intervensi imperialistis AS (baik dalam bentuk dukungan terhadap kegiatan-kegiatan subversif, pensponsoran kudeta, hingga invasi militer secara langsung) akan diarahkan ke Amerika Latin. Terutama karena gerakan kiri di Amerika Latin secara keseluruhan sedang melemah dan terpukul mundur. Kemenangan Trump akan mendorong para pendukung liberalisasi pasar dan restorasi kapitalisme di Kuba serta oposisi borjuis di Venezuela semakin merangsek maju.

Sebagai konsekuensi langsung mundurnya Imperialis AS di beberapa bidang dan belahan dunia, maka peran negara-negara Imperialis dan negara-negara sub-imperialis maupun negara-negara kapitalis lainnya akan semakin menguat. Dari luar kubu Imperialisme AS, utamanya adalah Rusia dan Tiongkok. Peran Rusia akan semakin menguat di Eropa Timur dan Tiongkok akan semakin agresif di Asia dan Afrika. Namun tidak ketinggalan juga Iran yang semakin meningkat pengaruhnya di kancah ekonomi politik Timur Tengah. Ini akan memicu reaksi balik dari negara-negara yang secara tradisional menjadi sekutu atau bahkan semi koloni AS. Jepang di bawah Perdana Menteri Shinzo Abe sudah merencanakan dan menerapkan remiliterisasi dalam tingkatan tertinggi pasca kekalahannya tahun 1945 di Perang Dunia II. Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara teluk lainnya yang sebelumnya menjadi sekutu tradisional Imperialis AS, semakin agresif mengamankan kepentingannya di Timur Tengah, tidak hanya dengan mensponsori banyak kubu pemberontak di Suriah namun juga secara langsung membombardir para pemberontak Yemen yang didukung Iran. Artinya dimana-mana kita melihat semakin tajamnya kontradiksi antar negara kapitalis yang bahkan sudah meletus dalam bentuk perang. Naiknya rezim Trump tidak akan meredakan kontradiksi ini. Sebaliknya justru akan semakin mempertajamnya.

Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Kebijakan-kebijakan rezim Trump akan berdampak banyak bagi Indonesia. Pemasukan dari segi ekspor Indonesia ke AS jelas akan menurun seiring diterapkannya kebijakan Proteksionisme Trump di AS. Aliran kapital yang ditanamkan AS di Indonesia yang sudah macet kemudian menurun akibat krisis kapitalisme, akan semakin menurun lagi. Saat ini saja proyek-proyek pembangunan infrastruktur rezim Jokowi-JK sudah mengalami hambatan akibat kurangnya pendanaan. Rezim borjuis Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) akan semakin gencar berusaha mencari kapital-kapital dari negara-negara kapitalis lainnya untuk ditanamkan di Indonesia, menambal semakin banyak lubang kapital yang ditinggalkan AS. Sementara pihak Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bahkan sudah menyatakan pemerintah perlu menjual aset-aset negara untuk mendapatkan pembiayaan agar proyek-proyek infrastruktur bisa berlanjut.

Selain itu, sebagaimana dilansir bizjournals pada 25 November 2015, Trump merupakan salah satu pemegang saham di Freeport-McMoran, perusahaan induk dari PT Freeport Indonesia. Sehingga bisa dipastikan keberadaan Freeport sebagai salah satu perusahaan Imperialis yang menindas dan menghisap di Papua akan terus berlangsung.

Selanjutnya, proteksionisme Trump akan memberikan efek domino yang juga pada gilirannya kelak akan menimpa Indonesia. Bilamana pasar AS menutup diri atau setidaknya mempersempit diri dari barang-barang Tiongkok maka bisa timbul dua konsekuensi bagi Indonesia. Pertama, dengan melemahnya ekonomi Tiongkok akibat hilang atau menurunnya ekspor Tiongkok ke AS maka sebagai akibatnya ekspor Indonesia ke Tiongkok juga akan menurun. Kedua, sebagai konsekuensi hilang atau turunnya ekspor Tiongkok ke AS, maka Tiongkok akan mengalihkan ekspor-ekspor komoditasnya ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Langkah Tiongkok ini akan diikuti negara-negara lain yang sebelumnya termasuk para importir terbesar ke AS. Tidak hanya Tiongkok namun juga Kanada, Meksiko, Jepang, dan Jerman. Kesimpulannya bukan hanya ekspor Indonesia semakin menurun namun akan semakin banyak komoditas luar negeri membanjiri Indonesia. Pada gilirannya ini bisa menimbulkan lagi gelombang PHK di Indonesia. Inisiatif pemerintah untuk menggenjot konsumerisme, sebagaimana yang dilakukan di masa rezim SBY, tidak akan berarti banyak untuk menangani permasalahan ekonomi demikian yang pada hakikatnya adalah krisis overproduksi.

Sedangkan dalam segi lingkungan dan ekologi, Trump menyatakan bahwa bila ia terpilih sebagai presiden maka ia akan “menghentikan semua pembayaran dolar pajak AS untuk program-program pemanasan global.” Ini akan membalikkan semua perjanjian AS untuk menyalurkan dana pada negara-negara berkembang sebagai bentuk pendampingan mitigasi perubahan iklim serta melemahkan atau bahkan bisa membalik niatan negara-negara lain untuk bertindak mengatasi pemanasan global. (Meskipun sebenarnya pada hakikatnya selama ini sebenarnya kebijakan kapitalis AS  soal lingkungan memang berupa penggelontoran uang yang bertujuan lebih mendorong agar negara berkembang, terutama yang memiliki hutan hujan tropis, untuk menyerap karbon yang sebenarnya lebih banyak dihasilkan oleh negara-negara Imperialis khususnya AS). Artinya dengan Indonesia sebagai salah satu negara yang akan semakin kehilangan pasokan dana-dana enviromental dari Imperialis AS, maka perusakan lingkungan yang sudah sedemikian parah di Indonesia akan semakin masif dengan skala kecepatan dan skala luas yang lebih tinggi.

Dalam skala global, kemenangan Trump, yang merepresentasikan pula kemenangan kaum kanan reaksioner, Islamophobis, rasis, seksis, dan anti-imigran di AS, merupakan bagian ofensif sekaligus akan semakin mendorong kaum kanan reaksioner di berbagai negara lainnya. Kita bukan hanya menyaksikan terpilihnya Pauline Hanson sebagai senator serta bangkitnya United Patriot Front (UPF) yang Islamophobis di Australia, bangkitnya partai UKIP pimpinan Nigel Farage yang anti imigran di Britania, dan naiknya PEGIDA yang anti-Islam di Jerman, semakin naiknya partainya Geert Wilders di Belanda, namun juga potensi kemenangan Marine Le Pen dan Front Nasional nya di Prancis dengan semua sentimen rasis, anti-imigran, dan Islamophobisnya.

Hal yang sama juga akan terjadi di Indonesia. Basis kemenangan Trump, yaitu impotensi kubu borjuasi liberal untuk menyelesaikan krisis, akan mendorong semakin menguatnya Oposisi Kanan Borjuis. Ini di Indonesia dimanifestasikan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang di dalamnya utamanya dipegang oleh Partai Gerindra dan PKS, namun juga melibatkan partai-partai yang lebih kecil seperti Partai Bulan Bintang (PBB) nya Yusril Ihza Mahendra dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo)nya Harry Tanoe. Meskipun selama dua tahun lebih rezim pemerintahan Jokowi-JK berhasil mengooptasi PPP, PAN, bahkan Partai Golkar menjadi bagian dari partai-partai pendukung pemerintah. Namun taktik ini justru gagal mengisolasi KMP. KMP justru mendapat sekutu non-partai dari gerakan buruh, yang diwakili oleh KSPI, dan dari gerakan fundamentalis Islam, yang diwakili oleh FPI. Dalam perkembangan terbaru belakangan ini, kita menyaksikan justru rezim Jokowi-JK yang terpaksa merapat ke kubu Prabowo-KMP. Menjelang aksi demo 4 November Jokowi beserta jajarannya mendatangi Prabowo di Hambalang. Kita bisa melihat satu sisi, demi mengisolasi kubu SBY dan meredam para aktor 4 November, Jokowi-JK bersedia memberikan konsesi ke kubu Gerindra, dengan menawari bergabung ke dalam pemerintahan. Sisi lain kubu Prabowo-Gerindra bersedia menurunkan kapital politiknya dan tidak sabar (atau tidak kerasan) menjadi oposisi (kanan borjuis) dan harus menunggu tiga tahun lagi.

Sedangkan di sisi lain, naiknya Trump ke kursi kepresidenan AS juga akan menjadi amunisi bagi semakin mengeras dan ofensifnya kaum reaksioner fundamentalis di Indonesia. Naiknya Trump dengan semua retorika Islamophobis dan pandangan Imperialistisnya akan semakin mempertajam kontradiksi reaksioner berbasis oposisi biner “Muslim vs Kafir” yang selama ini merupakan wacana yang dipakai kaum fundamentalis. Jonathan Russell, Kepala Kebijakan dari Quilliam, memperingatkan bahwa retorika anti-Muslim Trump memang justru akan mendorong narasi ISIS. “Trump akan berkontribusi pada radikalisasi Islamis karena komentar-komentarnya akan membuat Muslim merasa tidak diterima di Amerika. Keluhan ini akan mendorong krisis identitas, yang saat digabungkan akan menajdi kombinasi potensial terhadap kerapuhan yang mana sangat lihai dieksploitasi oleh ISIS dengan narasi Islamisnya.”

Apa yang Harus Dikerjakan?

Baik di AS maupun di Indonesia kita menyaksikan ambruknya politik lesser evil-ism atau politik memimpin penindas yang paling sedikit mudharatnya. Wacana dan praktik lesser evil-ism menyesatkan, menggiring, dan menjerumuskannya ke rawa kolaborasi kelas. Kemenangan Trump yang merepresentasikan kaum reaksioner justru didorong oleh politik kolaborasi kelas yang mengarahkan massa rakyat untuk mendukung Obama dengan ilusi-ilusi berslogan “Change” dan “Hope” atau “Perubahan” dan “Harapan”. Obama bersama rezim Partai Demokrat yang (secara inheren) tetap mewakili kepentingan kapitalisme dan Imperialisme sudah terbukti tidak memberikan perubahan berarti yang mampu mengatasi kemiskinan rakyat akibat krisis bahkan menghancurkan semakin banyak harapan rakyat dengan kebijakan-kebijakannya. (Setelah ilusi populisme yang sudah dipakai di Pilpres yang memenangkan Obama ke periode pertama kepresidenan) politik lesser evil-ism ini sudah dipakai memenangkan Obama untuk meraih periode kedua kepresidenannya. Lesser evil-ism ini tidak bisa dan terbukti gagal dipakai untuk kedua kalinya sekarang demi memenangkan Hillary Clinton. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah di masa krisis kapitalisme semakin parah dan sedemikian mempertajam kesenjangan, kemiskinan, ketertindasan, dan kesengsaraan di masyarakat, maka bukan hanya timbul polarisasi semakin tajam, namun massa itu sendiri akan semakin berayun dari kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Massa mencari jalan keluar dari krisis dari manapun jalan itu kelihatan dan dari siapapun yang menawarkan.

Hal serupa (meskipun tak sama) juga terjadi di Indonesia. Rezim Jokowi-JK yang didukung para kolaborator kelas di Indonesia dengan dalih mempertahankan demokrasi dan menghadang ancaman fasisme, semakin lama malah semakin menunjukkan watak represif kapitalistisnya. Bukan hanya semakin banyak pemberangusan demokrasi berupa pembubaran-pembubaran forum dan diskusi di berbagai tempat dan pembredelan di kampus-kampus. Bukan hanya semakin banyak represi dan intimidasi serta kriminalisasi terhadap kaum buruh. Bukan hanya semakin banyak perampasan tanah dan penembakan aparat terhadap petani. Namun kita juga menyaksikan Jokowi juga semakin merapat ke para pelanggar HAM bahkan melantik mereka menjadi menteri-menteri. Sekarang pun kita sudah menyaksikan Jokowi merapat ke Prabowo-Gerindra. Sudah semakin tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kubu borjuasi. Kedua kubu sama-sama penuh para pelanggar HAM, antek kediktatoran militer Orde Baru, dan kapitalis.

Baik dalam kasus Trump maupun kasus Jokowi kita tidak hanya menyaksikan gagalnya politik lesser evil-ism dan ambruknya kolaborasi kelas namun juga kekecewaan bahkan ketakutan serta demoralisasi yang menyebarluas. Kepada massa demikian kita perlu mengatakan: setiap orang pernah berbuat kesalahan, namun kita bisa memilih: tenggelam dalam keputusasaan atau bangkit dan mengorganisir perlawanan. Reaksi sedang naik pasang. Kita bisa lari, sembunyi, atau sebaliknya bersama-sama membela diri dengan melawan balik tirani ini. Tak ada waktu yang lebih baik sekaligus lebih mendesak daripada sekarang. Sekaranglah momentum untuk membangun gerakan anti Imperialisme. Sekaranglah momentum untuk membangun perlawanan terhadap militerisme dan premanisme. Sekaranglah momentum untuk membangun perjuangan melawan seksisme dan rasisme. Sekaranglah momentum untuk membangun perjuangan demokrasi. Sekaranglah momentum untuk membangun persatuan perjuangan kelas melawan penindasan.

Kita butuh membangun dan menyebarkan wacana-wacana progresif revolusioner. Kita butuh membangun simpul-simpul perlawanan. Kita butuh membangun jejaring-jejaring solidaritas. Kita butuh membangun dan (kalau sudah ada) memajukan organ-organ massa rakyat. Kita butuh membangun unit-unit pertahanan (laskar buruh, laskar tani, laskar pemuda, laskar rakyat) untuk membela diri dari pemberangusan demokrasi, represi, dan premanisme. Kita butuh membangun persatuan perjuangan kelas. Persatuan perjuangan kelas yang bukan hanya bertujuan melawan Imperialisme, memberantas politik upah murah, melenyapkan penindasan terhadap suku bangsa marjinal, menghancurkan seksisme, menghapuskan komersialisasi pendidikan, menghentikan perusakan lingkungan, dan perampasan tanah, namun juga menggulingkan kapitalisme. Sehingga (serta) lebih dari segalanya, kita butuh membangun Kepeloporan Revolusioner.

ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader KPO PRP

REFERENSI:

Peterson, John. 9 November 2016. America’s Brexit: To Fight Trump, Fight Capitalism! In Defence of Marxism. (Online). http://www.marxist.com/americas-brexit-to-fight-trump-fight-capitalism.htm

Wolf, Martin. Financial Times. (Online).

Lopez, Daniel. 11 November 2016. Initial Thoughts on Trump’s Victory. Facebook. (Online).

BBC. 17 November 2016. BBC World News. Big TV Channels.

Rowter, Kahlil. 11 November 2016. Commentary: What Does Trump’s Win Mean for The Indonesian Economy. The Jakarta Post. (Online).

Rita, Maria. 9 November 2016. Donald Trump akan Memicu Perang Dunia III? Tempo. (Online).

Parton, Heather Digby. 2 Mei 2016. Donald Trump is An Imperialist Thug: Stop Saying He’s Less Hawkish than Hillary Clinton. Salon. (Online).

Schleifer, Theodore. 11 Juni 2016. Mitt Romney says Donald Trump will Change America with ‘Trickle-Down Racism’. CNN. (Online).

BBC. 18 November 2016. Asia News. Big TV Channels.

Jakarta News Globe. 18 November 2016. Indonesia News Highlight. Berita Satu. Big TV Channels.

Berdikari Online. 9 November 2016. 7 Janji Kampanye Donald Trump yang Paling Berbahaya. (Online). http://www.berdikarionline.com/7-janji-kampanye-donald-trump-paling-berbahaya/

Volcovici, Valerie. 13 Mei 2016. Trump Taps Climate Change Skeptic, Fracking Advocate as Key Energy Advisors. Reuters. (Online). http://www.reuters.com/article/us-usa-election-trump-energy-idUSKCN0Y41ZP, diakses pada 5 Desember 2016.

Conline, Michelle. 21 Juli 2016. Exclusive: Trump Considering Fracking Mogul Harold Hamm as Energy Secretary Sources. Reuters. (Online). http://www.reuters.com/article/us-usa-election-trump-hamm-exclusive-idUSKCN10100Z, diakses pada 5 Desember 2016.

Parker, Ashley&Davenport, Coral. 21 Mei 2016. Donald Trump’s Energy Plan: More Fossil Fuels and Fewer Rules. New York Times. (Online). http://www.nytimes.com/2016/05/27/us/politics/donald-trump-global-warming-energy-policy.html, diakses pada 5 Desember 2016.

Davis, Bob. 19 September 2016. Trump Trade Plan Could Push US into Recession Study Says. Wall Street Journal.

Washington Post. 8 Agustus 2016. Donald Trump’s Economic Speech Annotated. (Online). https://www.washingtonpost.com/news/the-fix/wp/2016/08/08/donald-trumps-economic-speech-annotated/, diakses pada 5 Desember 2016

Tanksersley, Jim. 24 September 2016. A New Study Says Trump Would Raises Taxes for Millions. Trump’s Campaingn Insists He Won’t. Washington Post. (Online) https://www.washingtonpost.com/news/wonk/wp/2016/09/24/a-new-study-says-trump-would-raise-taxes-for-millions-trumps-campaign-insists-he-wont/, diakses pada 5 Desember 2016.

Reuters. 7 April 2016. Factbox: Fed and Presidential Campaign: Where Candidates Stand. (Online) http://www.reuters.com/article/us-usa-fed-politics-factbox-idUSKCN0X40BZ, diakses pada 5 Desember 2016.

The O’Reilly Factor. 17 Juni 2015. Donald Trump Running for President. Fox News. (Online). http://www.foxnews.com/transcript/2015/06/17/donald-trump-running-for-president/, diakses pada 5 Desember 2016.

Youtube. 12 November 2015. Donald Trump on ISIS – “I Would Bomb The SHIT out of ’em!” https://www.youtube.com/watch?v=aWejiXvd-P8 (Online), diakses pada 5 Desember 2016.

Sommer, Kaplan Allison. 16 Januari 2013. “You’re Not Fired!” Donald Trump Endorses Netanyahu. Haaretz. (Online) http://www.haaretz.com/blogs/routine-emergencies/you-re-not-fired-donald-trump-endorses-netanyahu.premium-1.494207, diakses pada 5 Desember 2016.

Shapiro, Ben. 2 April 2015. Donald Trump Melissa Rivers Headline Algemeiner Gala. The Observer. (Online) http://observer.com/2015/02/donald-trump-melissa-rivers-headline-algemeiner-gala/, diakses pada 5 Desember 2016.

Diamond, Jeremy. 27 Mei 2016. Trump Suggests US Should Bomb Libya. CNN. (Online) http://www.cnn.com/2016/05/27/politics/donald-trump-libya-isis/index.html, diakses pada 5 Desember 2016.

Russel, Honathan. 9 Desember 2015. Why Trump is Playing Right Into ISIS Hands. CNN. (Online) http://www.cnn.com/2015/12/08/opinions/trump-isis/, diakses pada 5 Desember 2016.

Woods, Alan. 18 November 2016. The Meaning of Donald Trump. In Defence of Marxism. (Online) http://www.marxist.com/the-meaning-of-donald-trump.htm, diakses pada 19 November 2016.

Waskita, Ferdinand. 21 November 2016. Gerindra Siap Masuk Pemerintahan Jokowi. Tribun News. (Online) www.tribunnews.com/nasional/2016/11/21/gerindra-siap-masuk-pemerintahan-jokowi-jk, diakses pada 21 November 2016.

Suryowati, Estu. 10 November 2016. Trump Menang, China Kena Imbas Pertama, Indonesia Berikutnya. Kompas. (Online) http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/11/10/185947326/trump.menang. china.kena.imbas.pertama. indonesia.berikutnya, diakses pada 10 November 2016.

Loading

Comment here