Aksi

Aksi Kamisan 13 Malang Raya Dukung Petani Tolak Pembangunan yang Korbankan Rakyat

kamisan-malang-petaniMaraknya perampasan tanah dan penggusuran petani oleh aparat berdalih pembangunan kapitalistis mendorong massa aksi kamisan Malang Raya menggelar solidaritasnya. Menyerukan “Hentikan Kekerasan terhadap Petani!”, 23 pemuda berdemonstrasi di depan Balai Kota Malang, Kamis  (1/12/2016). Mereka mengecam pengerahan 1.500 aparat gabungan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Polisi Republik Indonesia (Polri), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan bersenjata lengkap yang menyerbu ratusan petani yang tengah mempertahankan tanahnya pada Kamis (17/11/2016). Menurut Hayyi dari Malang Corruption Watch (MCW), “Para petani ini menjadi benteng terakhir setelah sepuluh desa lainnya telah digusur demi proyek pembangunan Bandara Kertajati atau yang lebih dikenal dengan proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Mereka tidak pernah diajak mediasi secara adil mengenai kelanjutan ruang hidup mereka yang direbut paksa demi proyek infrastruktur bandara.”

Ia melanjutkan “Dalam waktu yang hampir bersamaan, ribuan aparat keamanan  yang terdiri dari Kepolisian Sektor (Polsek), Kepolisian Resor (Polres) Langkat, Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Brimob Polda), TNI, Pamswakarsa memaksa masuk ke Desa Mekarjaya Kec. Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Sebanyak 24 alat berat mereka persiapkan untuk menghancurkan rumah dan juga tanaman yang ada di lahan milik petani Desa Mekar Jaya. Petani dipaksa menyerahkan lahan yang menjadi tidak saja alat produksi, melainkan juga ruang hidup…” Pegiat Komunitas Kalimetro ini kemudian melanjutkan, “Selain dua konflik tersebut, sebelum-sebelumnya juga terjadi banyak konflik yang membuat rakyat berdarah dan meneteskan air mata. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 252 konflik agraria terjadi pada 2015. Di mana sebanyak 70 konflik akibat proyek infrastruktur Negara. Dan 175 konflik terkait perkebunan. Luasan konflik pembangunan infrastruktur pada 2015 sebesar 10.603 hektare. Untuk sektor perkebunan menempati urutan pertama karena luas konflik mencapai 302.525 hektare dari total konflik semua sektor 400.430 hektare.”

Orator aksi menyatakan, “Tindakan aparat ini adalah tindakan biadab. Karena petani bukanlah kriminal atau penjahat yang pantas diperlakukan demikian. Sebaliknya, justru petani adalah pahlawan bangsa. Petani adalah sokoguru pembebasan. Tanpa petani tidak akan ada nasi dan lauk pauk yang bisa disantap di meja makan. Tanpa petani tidak akan ada buah-buahan dan sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan harus diingat, seragam, peralatan, bahkan persenjataan aparat juga dibeli dengan dibayar dari pajak rakyat, termasuk petani. Militer dan polisi telah durhaka terhadap petani! Bukannya mengayomi dan melindungi rakyat tapi malah mengayomi dan melindungi korporat!” kecamnya.

Tolak Pembangunan yang Korbankan Rakyat

Sebagaimana penjelasan rilis persnya, Komite Aksi Kamisan Malang Raya memaparkan: “Maraknya konflik yang merampas ruang hidup (baca; agraria) tidak bisa dilepaskan dari kebijakan nasional yang orientasinya adalah untuk memfasilitasi lajunya arus modal di Indonesia. Secara umum, proyek itu bernama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Istilah yang indah namun menyimpan kebopengan yang mengancam ruang sosial-ekologis rakyat.”

“MP3EI mencacah Indonesia menjadi enam koridor blok ekonomi atau blok produksi berbasis komoditas utama yang saling terkoneksi. Blok ekonomi ini bisa dibaca sebagai komodifikasi Negara itu sendiri. Bisa dibayangkan, betapa telah diobralnya sumberdaya Negara atau Negara itu sendiri menjadi komoditas-komoditas ekonomi yang siap saji serta siap jual kepada modal swasta/asing. Negara tak ubahnya hanya menjajakan sumberdaya Negara menjadi dagangan yang menunggu pembeli. Emas, minyak, nikel, tembaga, batu bara, hutan, laut, keelokan alam, keindahan pegunungan, serta SDM (tenaga kerja/buruh) murah menunggu untuk dieksploitasi.”

“Model pembangunan yang diusung oleh MP3EI, yang sebenarnya juga atas arahan rezim kapitalisme global, bersendikan pada tiga hal; konsesi sumber daya alam skala luas, pembentukan kawasan ekonomi khusus, dan pembangunan proyek-proyek infrasruktur. Kekayaan sumberdaya alam diberikan terhadap perusahaan-perusahaan raksasa lokal/asing untuk memenuhi pasar global. Lantas, apa bedanya dengan zaman kolonial Belanda-Jepang yang menempatkan Indonesia sebagai pemasok dan tempat produksi kebutuhan global.”

“Untuk mempermudah koneksi antar blok produksi (blok eksploitasi) dan proses eksplorasi-eksploitasi, rezim pemerintahmenggenjot pembangunan infrastruktur. Tujuannya jelas, memfasilitasi arus modal, terutama asing, untuk menjarah potensi-potensi kekayaan sumberdaya alam Negara yang melimpah. Lalu, apa bedanya dengan kolonial Belanda yang membangun rel, jembatan, jalan raya pos anyer-panarukan, pembangkit listrik, bandara, yang tujuan utamanya adalah untuk mengeruk sumber daya Indonesia sebagai komoditas yang menguntungkan bagi penjajah?”

“Padahal infrastruktur itu dibangun dari hutang dan pengurangan subsidi bagi rakyat. Bagi rezim kapitalisme global, infrastruktur juga menjadi lahan bisnis. Mulai dari proses pembangunannya, sampai nanti penggunaannya. Hal ini diperparah dengan maraknya korupsi di sektor infrastruktur. Singkatnya, infrastruktur telah bergeser dari layanan publik yang disediakan oleh Negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat, menjadi satu bisnis yang menguntungkan bagi swasta serta demi tujuan-tujuan industri.”

“Proyek infrastruktur yang menjadi salah satu pilar pokok dalam MP3EI, diperkuat dengan perangkat UU yang sifatnya memaksa terhadap rakyat. Sebut saja UU No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, telah menempatkan rakyat pada posisi yang tidak berdaulat. Rakyat, mau-tidak mau, suka-tidak suka, mengizinkan-tidak mengizinkan, menikmati-tidak menikmati, dipaksa harus tetap menjual tanahnya yang sedang terkena rencana proyek infratruktur. Jika rakyat menolak, pemerintah akan tetap memaksa dengan membawa ke proses peradilan. Pertanyaannya adalah, kalau benar ini kepentingan umum mengapa rakyat banyak yang menolak dan memilih jalan konflik? Bukankah ini merupakan kepentingan kelompok tertentu (baca; pemodal, korporasi, asing, swasta, birokrat rakus, politisi lapar, broker), yang kemudian dijustifikasi sebagai kepentingan umum (baca: rakyat)?”

Kenyataannya memang kebutuhan rakyat tidaklah diproritaskan dalam pembangunan-pembangunan hari ini. Banyak sawah dan ladang kesulitan irigasi dan pengairan namun perusahaan-perusahaan difasilitasi untuk mengeruk dan menyedot air. Banyak desa belum dialiri listrik tetapi smelter-smelter masif dibangun untuk kepentingan kapitalis-kapitalis pertambangan. Banyak bandara dan pelabuhan dibangun namun sarana transportasi publik yang berkualitas dan terjangkau tidak disediakan bagi rakyat. Jelaslah pembangunan-pembangunan ini bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat tapi memenuhi kebutuhan konglomerat dan pejabat. Watak negara Indonesia hari ini adalah negara borjuis yang melayani kepentingan kapitalis dan Imperialis.

Leon Kastayudha dari Kongres Politik Organisasi Rakyat Pekerja (KPO PRP) menambahkan, “Penindasan terhadap petani hari ini juga merupakan penindasan terhadap rakyat. Karena semakin disingkirkannya petani maka semakin hancur pula lingkungan hidup dan kedaulatan pangan kita. Semakin banyaknya bencana alam, seperti bencana asap, banjir, pemanasan global bukan terjadi begitu saja. Tapi akibat penyingkiran petani dan ekspansi kapitalisme. Semakin petani tersingkir maka Indonesia juga semakin tergantung pada impor-impor pangan dari perusahaan-perusahaan kapitalis global yang dilanggengkan lewat perjanjian-perjanjian dan skema perdagangan neoliberal. Oleh karena itu rakyat harus mendukung perjuangan petani,” orasinya. (lk)

Loading

Comment here