AksiDiskusi

Melestarikan Kebhinnekaan (Harus) Melawan Penindasan

bhinekaRasisme yang disebarkan Oposisi Kanan Borjuis dan mewujud dalam aksi rasis pimpinan FPI dan MUI mulai dilawan balik. Perlawanan balik ini seringkali berwujud aksi pro kebhinnekaan di berbagai kota. Termasuk di Malang. Minggu pagi (27/11/2016) pemuda mahasiswa yang mengatasnamakan Masyarakat Bhinneka mengadakan aksi penggalangan aspirasi pro-Kebhinnekaan, pro-toleransi beragama, dan pro-Multikulturalisme  di area Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day di jalan Ijen. Aksi yang diikuti 23 orang ini juga membagikan bertangkai-tangkai mawar merah pada para pengguna jalan sebagai perlambang keberanian berdiri di hadapan rasisme dan terorisme. Malam harinya diadakan diskusi Kebangsaan dengan tema: “Merawat Kebhinekaan dan Meneguhkan Persatuan” yang melibatkan Jaringan Gusdurian Jawa Timur, Lembaga Bhineka Nusantara, dan Rektor Universitas Raden Rahmat sebagai pematerinya. Lalu Senin malamnya (28/11/2016) Masyarakat Bhinneka Malang mengadakan aksi penyalaan lilin di Jalan Veteran depan Dinas Pendidikan. Jumlah massa aksi naik menjadi 35 orang. Tidak hanya dihadiri para pemuda mahasiswa. Namun juga melibatkan para pemuka agama yang berbeda-beda. Berikutnya Kamis malam, ormas-ormas mahasiswa Cipayung mengadakan doa bersama di depan Stasiun Kota Malang. Selanjutnya Jumat Siang, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang menghimpun para perwakilan dari tujuh agama dan kepercayaan mengadakan diskusi di Universitas Muhammadiyah Malang. Berikutnya pada 2 Desember malam, Gubuk Baca Tulis bersama Komunitas Kalimetro mengadakan diskusi “Tionghoa dalam Pusaran 411-212”. Semakin lama isu anti rasisme makin diterima luas di berbagai kalangan masyarakat Malang.

Leon Kastayudha, dari Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO PRP), berorasi di aksi Masyarakat Bhinneka dalam CFD hari Minggu. “Sentimen rasisme anti-Tionghoa, retorika anti kafir, slogan anti asing-aseng-asong, digembar-gemborkan dalam momentum Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan tujuan menjegal Basuki Tjahaya Purnama. Memang Basuki sebagai Gubernur Jakarta harus dikritik bahkan ditentang karena kebijakan-kebijakannya yang menindas. Seperti penggusuran disertai represi disana-sini, reklamasi, hingga larangan berdemonstrasi di depan Istana Negara yang dikeluarkannya. Namun itu tidak ada sangkut pautnya dengan ras Tionghoanya maupun agama Kristennya. Sesungguhnya di baliknya ada kepentingan politik dan kapital. Rakyat tidak boleh membiarkan dirinya dipecahbelah dan diadudomba oleh kepentingan dua kubu penindas ini,” serunya.

Sebagaimana keterangan dalam undangannya, aksi-aksi Masyarakat Bhinneka ini dilatari respon atas meningkatnya serangan rasis. “…dalam beberapa minggu ini persatuan dan kebhinekaan kita sebagai sebuah bangsa menghadapi ujian berat. Dimana kelompok-kelompok intoleran mulai melakukan aksi teror dengan memanfaatkan situasi sosial-politik yang sedang memanas, dimulai dengan aksi pelemparan bom molotov terhadap vihara di Singkawang dan ancaman bom terhadap salah satu Gereja di Kota Batu. Kelompok-kelompok Intoleran tersebut menginginkan kita terpecah belah dan saling berkonflik antar anak bangsa, selagi kita berkonflik mereka akan bertampik kegirangan merayakan kemenangan atas hancurnya persatuan kebhinekaan kita.”

Aji Prasetyo, seniman sekaligus aktivis lembaga Bhinneka Nusantara, dalam aksi nyala lilin berorasi: “Empati telah terhadap sesama telah hilang. Cinta kasih digantikan kebencian rasis. Padahal kita seharusnya menunjukkan cinta terlepas perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Tapi cinta tidak mungkin tanpa bicara keadilan dan kemanusiaan. Kita tunjukkan kepada mereka seperti apa berkebangsaan yang sejati sesungguhnya.”

Devara dari Anti Fasis Nusantara membacakan puisinya kemudian menyatakan bahwa meskipun berbeda suku, etnisitas, dan agama, sesungguhnya manusia bersaudara. “Kita satu ras; ras umat manusia,” ujarnya.

Turut hadir dalam aksi nyala lilin tersebut, para mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB). Berkebalikan dengan HMI Makassar yang mengeluarkan retorika rasis dan mendukung Aksi 4 November, HMI FH UB menyatakan mengutuk demonstrasi dan penyebaran wacana rasis. “Banyak oknum tidak bertanggungjawab dengan berdalih agama hendak memecah belah masyarakat dan persatuan Indonesia. Padahal Indonesia tidak akan ada tanpa Sumpah Pemuda, tanpa persatuan antar suku, ras, agama, dan golongan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Agama adalah urusan manusia dengan Tuhannya,” ungkap oratornya.

Selanjutnya dalam undangannya Masyarakat Bhinneka menyerukan, “…untuk berpartisipasi dalam aksi nyata menjaga perdamaian dan persatuan kita, mari bersama-sama kita tunjukkan kepada mereka yang menginginkan perpecahan dan permusuhan di antara kita bahwa kita masih satu nusa dan satu bangsa dalam indahnya perbedaan….mari bersama bergandengan tangan, bergabung dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat untuk melakukan aksi nyata menjaga kebhinekaan.”

Persoalan Kebhinnekaan Terkait Persoalan Penindasan

Terdapat lebih dari 300 kelompok etnis di Indonesia baik dari kalangan pribumi maupun pendatang. Selain itu terdapat enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katholik dan Konghucu, serta 245 agama dan kepercayaan yang belum diakui secara resmi di Indonesia. Hal tersebut membuat Indonesia sebagai salah satu negara dengan kebhinekaan atau kemajemukan masyarakat tertinggi di dunia. Permasalahan rasisme dan bentrokan antar suku, agama, dan ras di Indonesia tidak muncul dengan sendirinya melainkan akibat konstruksi penindasan imperialisme dan kapitalisme di satu sisi serta gagal dan cacatnya revolusi demokratis nasional di sisi lain.

Rasisme di Indonesia sendiri tidak bisa dilepaskan dari praktik rezim kolonial Hindia Belanda yang menerapkan stratifikasi sosial. Masyarakat dibagi-bagi ke dalam tiga golongan. Golongan Eropa, golongan Timur Asing, kemudian golongan pribumi. Dengan itu bukan hanya rakyat dihegemoni namun juga dipecahbelah berdasarkan etnisitas agar tidak bersatu melawan kelas penindas. Politik rasis ini kemudian diteruskan rezim kediktatoran militer Orde Baru. Berdirinya rezim Orde Baru tidak hanya menandai rekolonialisasi Indonesia ke tangan Imperialisme namun juga penumbuhan dan penularan rasisme. Kali ini tidak hanya menarget kaum Tionghoa namun juga kaum Melanesia-Papua. Meskipun gerakan demokratis yang memaksa Harto turun berhasil membuahkan demokrasi yang lebih luas dan hak-hak bagi kaum Tionghoa secara lebih besar namun rasisme itu masih bercokol hingga sekarang.

Persoalannya pembentukan negara bangsa Indonesia atau tugas-tugas revolusi demokratis nasional belum tuntas. Bahkan bisa dibilang gagal. Tugas-tugas revolusi demokratis nasional intinya merupakan penggulingan feodalisme dan monarki serta pembentukan kapitalisme (peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat Industri). Secara lebih rinci memuat penghapusan feodalisme (yaitu kekuasaan tuan tanah dan penghambaan), pelaksanaan reforma agraria, pembubaran monarki serta pencabutan gelar-gelar dan penghapusan hak-hak istimewa atau previlese para bangsawan. Kemudian pembentukan parlemen demokratis dengan persamaan hak universal. Lalu pembentukan negara bangsa dengan batasan-batasan wilayah dan pasar nasionalnya. Kemudian pembebasan nasional dari Imperialisme. Pelaksanaan modernisasi masyarakat, serta industrialisasi nasional. Tak ketinggalan, secara tak terpisahkan di dalamnya adalah penerapan sekularisasi atau pemisahan agama dari negara. Ini terkait erat dengan jaminan dan penegakan demokrasi serta Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya kebebasan beragama dan beribadah.

Permasalahannya,sebagaimana dikatakan Leon Trotsky, kaum borjuasi di negara kapitalis terbelakang, termasuk di Indonesia, tidak mampu memainkan peran progresifnya. Mereka tidak mampu mengemban dan menuntaskan tugas-tugas demokratis nasionalnya. Karena modal mereka sedikit dan tidak berdaya di hadapan kapital raksasa internasional. Inilah yang membuat mereka memiliki watak lemah dan bimbang. Oleh karena itu tugas-tugas perjuangan demokratis nasional harus diambil alih diemban oleh kelas buruh yang menggandeng kaum tani serta seluruh kaum tertindas dan menghubungkannya ke perjuangan untuk sosialisme.

Termasuk di dalamnya tentu saja perjuangan untuk mewujudkan kebebasan beragama dan beribadah. Ini tak terpisahkan dari perjuangan untuk sekularisasi atau pemisahan agama dari pemerintahan. Agama seharusnya menjadi urusan internal masing-masing umat atau pemeluknya. Setiap agama, baik itu agama Samawi seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, maupun agama lainnya seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan berbagai agama lokal serta aliran kepercayaan berhak untuk ada dan pemeluknya harus dijamin kebebasannya beribadah. Termasuk kebebasan untuk tidak beribadah dan beragama. Dengan kata lain harus ada pula perlindungan serta jaminan kebebasan bagi kaum ateis dan agnostis. Setiap orang seharusnya berhak menduduki posisi apapun terlepas dari apapun agamanya, sukunya, ataupun rasnya.

Meskipun demikian kita harus memahami, sesungguhnya manusia tidak dibedakan berdasarkan suku, agama, dan ras yang berlainan. Melainkan apakah dia berpihak pada penindasan atau pada pembebasan. George W.Bush dan Raja Faisal meskipun berbeda agama namun dipersatukan oleh kepentingan penindasan dan penghisapan. Sedangkan di sisi lain meskipun berbeda agama, kelas buruh punya kepentingan sama:penghapusan kapitalisme. Garis kelas membelah semua identitas.

Oleh karena itu, dan ini yang membedakan kaum sosialis dengan kaum liberal, kita tidak puas hanya dengan toleransi antar umat beragama. Sebab tidaklah cukup sekadar menerima dan menoleransi para pemeluk agama dan ibadah-ibadahnya yang berbeda, kita butuh menggalang solidaritas dan persatuan antar kelas tertindas yang berbeda-beda agama. Kita tidak puas hanya dengan pluralisme. Sebab tidaklah cukup memandang bahwa agama-agama memiliki kesamaan ajaran, kebenaran, dan nilai positif universal, karena masih dikungkung batasan-batasan masyarakat kelas, sehingga kita perlu melampauinya bersama kepemimpinan kelas yang paling berkepentingan atas kebenaran itu sendiri: kelas proletar. Kita juga tidak puas hanya dengan multikulturalisme. Karena tidaklah cukup hanya sekadar eksistensi, penerimaan, atau pempromosian tradisi kultural yang jamak dan bhinneka, bila itu masih berada dalam batas sistem penindasan, dan sebaliknya kita butuh membangun kultur atau budaya baru, yaitu budaya pembebasan dan budaya pencerahan yang bersifat lintas agama sekaligus trans-sektor kaum tertindas.

Seribu bunga bisa mekar bersama namun mereka hanya bisa bertahan bila kita menyingkirkan gulma dan hama yang mengancamnya. (lk)

Loading

Comment here