Ada bahaya magnet reaksioner dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bisa menjerumuskan rakyat. Aksi 4 November dan berikutnya 2 Desember serta aksi-aksi turunannya yang dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada dasarnya berwatak reaksioner. Reaksioner dalam pengertian; konservatif ekstrim; bersifat menentang kemajuan atau pembaruan; bersifat berlawanan dengan tindakan revolusioner.
Mengapa? Pertama, cap penistaan agama adalah peninggalan masyarakat pra-kapitalisme khususnya masyarakat feodalisme dimana elit agama memberikan cap dan pembenaran relijius kepada kekuasaan kerajaan dengan imbal balik hak-hak istimewa dan monopoli tafsir agama sehingga siapapun yang mengkritik kerajaan disamakan dengan membangkang pada agama karena raja dicap sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Kedua, gerakan ini dipenuhi politik rasis. Sentimen anti Tionghoa, anti kafir, anti asing-aseng-asong, tak peduli betapa keras berusaha disembunyikan, memenuhi gerakan ini. Ketiga, gerakan anti penistaan agama yang dipimpin FPI dan MUI ini sebenarnya bukan soal agama. Melainkan taktik dan manuver Oposisi Kanan Borjuis untuk menjegal Basuki Tjahaya Purnama dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta sekaligus upaya mengguncang rezim borjuis Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Rezim Basuki Tjahaya Purnama di Provinsi DKI Jakarta maupun rezim Jokowi-JK memang harus dikritik, ditentang, dan dilawan. Namun bukan karena identitas suku, agama, dan rasnya, melainkan karena kebijakannya yang menindas dan menghisap.
Tuduhan Penistaan Agama dan Urgensi Sekularisasi
Memang kita harus menyoroti fakta bahwasanya politik Basuki Tjahaya Purnama sarat kontradiksi dan permasalahan. Pertama, Basuki mewakili kepentingan kapital dan lebih berpihak pada pemodal serta menindas rakyat miskin. Penggusurannya pada pemukiman-pemukiman kaum miskin kota seringkali diiringi dengan cap kaum miskin penyebab banjir. Bahkan tak jarang juga diiringi represi. Sementara itu pemukiman-pemukiman mewah yang merusak lingkungan tidak pernah disentuh. Basuki juga dengan keras kepala mendesakkan proyek reklamasi yang akan berakibat penyingkiran kaum nelayan. Bahkan dalam kasus ini ia berhasil menang dengan tersingkirkannya Rizal Ramli, bekas menteri yang menghalangi proyek reklamasi dicopot jabatannya oleh Jokowi. Kedua, Basuki berpolitik dengan sangat oportunis. Meskipun seorang minoritas Tionghoa, suatu bagian dari kelompok yang menderita rasisme, namun tidak pernah menunjukkan komitmennya terhadap penegakan HAM dan perjuangan anti rasisme. Sedemikian oportunisnya sampai ia tidak pernah mempermasalahkan maju lewat partai-partai (yang dipimpin) pelanggar HAM dan bekas Orde Baru (yang mempraktikkan rasisme anti-Tionghoa secara sistematis). Awalnya maju melalui Partai Golkar, kemudian masuk Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, sampai akhirnya keluar, mendirikan Teman Ahok kemudian membubarkannya dan bersekutu dengan PDIP. Padahal PDIP ini partai yang sama yang bertanggungjawab atas penggempuran Aceh lewat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Jadi jelas urusan HAM tidak pernah menjadi prioritas utama Basuki. Sebaliknya, dan ini menjadi poin Ketiga, Basuki tidak segan-segan menjalankan represi dan memberangus demokrasi. Baik dengan mengerahkan aparat-aparat militer dan kepolisian untuk melancarkan penggusuran-penggusuran maupun dengan memberlakukan peraturan larangan demonstrasi di depan Istana Negara. Dikombinasikan dengan buruknya komunikasi politik Basuki dan peran Good Cop Bad Cop yang dulu dimainkannya bersama Jokowi (yang memainkan peran Good Cop) sekarang tinggal Basuki (yang memainkan peran Bad Cop), ini kemudian mempertajam intrik dan konflik di DKI Jakarta yang menemukan momentumnya dengan isu dugaan penistaan agama.
Kontroversi dugaan penistaan agama itu sendiri memang muncul akibat pernyataan Basuki Tjahaya Purnama terkait Q.S. Al-Maidah yang kemudian dibingkai Buni Yani dan diunggah ke media sosial. Namun semua ini muncul dengan latar belakang dan konteks Pilgub DKI Jakarta. Basuki Tjahaya Purnama diserang dengan retorika politik yang menggunakan dalih-dalih agama, yaitu bahwasanya seorang kafir tidak berhak menjadi pemimpin atas umat Islam. Ini isu yang bahkan sudah dipakai sejak kontestasi Pilgub DKI periode sebelumnya saat Basuki maju sebagai calon Wakil Gubernur mendampingi Jokowi.
Masih bisa dipakainya isu agama untuk memberikan pembenaran maupun sebaliknya mengklaim ketidaklayakan seseorang menduduki suatu jabatan publik menunjukkan tidak tuntasnya pemisahan agama dari negara yang merupakan bagian permasalahan yang lebih besar: tidak tuntasnya pembentukan negara bangsa. Dengan kata lain tidak tuntasnya tugas-tugas demokratis nasional.
Tugas-tugas revolusi demokratis nasional pada hakikatnya adalah penggulingan feodalisme dan monarki serta membentuk kapitalisme. Secara lebih rinci memuat penghapusan feodalisme dan penghambaan, reforma agraria, penghapusan monarki dan pembentukan parlemen demokratis, pembentukan negara bangsa dengan batasan-batasan wilayah dan pasar nasionalnya, pembebasan nasional, modernisasi masyarakat, serta industrialisasi. Termasuk di dalamnya adalah penerapan sekularisasi atau pemisahan agama dari negara yang terkait erat dengan jaminan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya kebebasan beragama dan beribadah.
Dalam masyarakat pra-kapitalis, khususnya saat monarki absolut masih berdigdaya, tidak ada kebebasan beribadah dan beragama. Kerajaan memiliki agama resminya. Ini berdasarkan persekutuan antara raja-raja, yang pada hakikatnya berasal dari kelas tuan tanah, dengan kaum elit agamawan. Hubungan simbiosis ini membuat kaum elit agamawan mendapatkan hak-hak istimewa sekaligus monopoli tafsir keagamaan serta hegemoni terhadap massa di satu sisi serta di sisi lain membuat raja-raja mendapatkan pembenaran dengan sokongan klaim agama, misalnya dengan cap bahwa raja adalah perwakilan Tuhan di muka bumi. Konsekuensinya siapapun yang mengkritik apalagi melawan raja disamakan dengan menentang agama dan Tuhan. Secara historis, kelas borjuasi dalam tugas-tugas revolusi demokratis nasionalnya berkepentingan untuk menghancurkan hal ini. Melaksanakan sekularisasi, pemisahan agama dari negara, serta menerapkan kebebasan pers, kebebasan berpendapat, beragama, dan beribadah. Agar agama tidak lagi digunakan sebagai pembenaran penindasan dan kekuasaan kaum Monarkis.
Meskipun pada dasarnya kepentingan kelas borjuis adalah menyingkirkan penghalang bagi operasi bisnis serta kapitalnya. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dipergunakan borjuasi untuk menyuarakan kepentingannya lewat media massa-media massa kapitalistis. Kebebasan berorganisasi digunakan borjuasi untuk membentuk persekutuan-persekutuan atau bahkan kartel-kartel. Kebebasan beragama dan beribadah digunakan borjuasi agar para kapitalis dari luar kalangan agama yang dianut kaum Monarkis juga bebas beroperasi mengakumulasi kekayaan.
Maka pada hakikatnya, sekularisasi dan persamaan hak, yang merupakan bagian dari tugas-tugas revolusi demokratis nasional ini bukanlah tugas-tugas kelas proletar melainkan tugas-tugas kelas borjuasi. Namun kelas borjuasi Indonesia terlambat masuk ke dalam sejarah, mereka tidak memiliki kekuatan modal maupun teknologi serta inovasi yang besar dan perkasa, mereka di bawah gencetan kapital raksasa Imperialis bahkan seringkali bergantung dan terikat seribu benang kepada modal internasional. Ini mengakibatkan mereka tidak memiliki watak progresif revolusioner bila dibandingkan kebangkitan kelas borjuis melawan feodalisme dan monarkisme absolut di Eropa dan Amerika khususnya Prancis.
Kita melihat kelas borjuis Indonesia justru banyak yang melakukan kapitulasi. Hatta dan Sjahrir lewat berbagai perjanjian dan politik diplomasi, terutama Konferensi Meja Bundar (KMB) justru mengembalikan berbagai aset Imperialis di Indonesia, baik dalam bentuk perusahaan, tambang, perkebunan, perhotelan, dan sebagainya, yang selama ini sudah menghisap rakyat pekerja Indonesia. Bahkan hutang-hutang dan kerugian perang Hindia Belanda harus ditanggung Indonesia. Kemudian Soekarno (bersama Hatta dan lainnya) meskipun menyatakan menentang fasisme namun ia malah berkolaborasi dengan rezim fasis Jepang dengan dalih perjuangan kooperatif untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Berikutnya saat dihadapkan dengan momentum penting melawan Kontra Revolusi 1965 yang dilancarkan Soeharto, Soekarno malah memilih mengalah dengan alasan tidak mau bangsanya mengalami perpecahan. Selanjutnya Bung Tomo yang terlibat dalam perjuangan melawan Imperialisme Belanda, di kemudian hari menjadi pengusaha nasional, malah ikut mendukung Orde Baru. Daftar ini bisa terus merentang sampai sekarang. Surya Paloh yang menggembar-gemborkan restorasi Indonesia dan kedaulatan nasional justru memberangus kebebasan berserikat dengan memecat Luviana dan 11 jurnalis Metro TV yang ingin berserikat dan menuntut demokratisasi siaran. Surya Paloh juga kalap saat buruh melancarkan Mogok Nasional (Monas) dan memperingatkan agar tidak membuat para investor luar negeri kabur.
Artinya kelas borjuis Indonesia bahkan tidak mampu dan tidak bisa dipercaya bahkan untuk sekadar mengemban tugas-tugas revolusi Demokratis Nasional sekalipun. Mereka tidak mampu dan tidak mau menjalankan tugas pembentukan negara bangsa dengan batasan-batasan wilayah dan pasar nasionalnya. Mereka tidak mau dan tidak mampu mengemban pembebasan nasional. Justru sebaliknya mereka tergantung di hadapan modal , modernisasi masyarakat, serta industrialisasi.Mereka tidak mau dan tidak mampu menjalankan reforma agraria. Bukan hanya masih ada keberadaan tuan tanah tradisional namun juga muncul kapitalis-kapitalis agraria. Mereka tidak mau dan tidak mampu menghapuskan monarki secara tuntas dan mewujudkan republik dengan parlemen demokratis. Kemudian, dalam konteks kontroversi penistaan agama ini, kelas borjuis Indonesia juga tidak mampu menerapkan sekularisme dan memisahkan agama dari urusan pemerintahan serta ketatanegaraan. Sebaliknya justru kita sering menyaksikan betapa banyak kasus dimana berbagai faksi kaum borjuis justru menyalahgunakan agama untuk pembenaran praktik-praktik penindasan kapitalistis mereka. Termasuk salah satunya ditunjukkan lewat GNPFMUI ini.
Sayangnya beberapa elemen dari gerakan rakyat malah terseret dan mendukung GNPFMUI ini secara langsung maupun tidak langsung. Pertama, ada massa yang dipengaruh birokrat serikat di bawah pimpinan Said Iqbal. Kedua, ormas-ormas yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR). Ketiga, Ilham Syah, Ketua Umum Konfederasi Pergerakan Buruh Indonesia (KPBI).
Awalnya birokrat serikat di sekitar Said Iqbal tidak langsung bisa mengerahkan dukungan secara formal terhadap GNPF-MUI. Oleh karena itu alih-alih menggunakan nama KSPI atau aliansi Gerakan Buruh Indonesia (GBI), mereka menggunakan nama Gerakan Pekerja Indonesia (GPI), yang ironisnya menggunakan simbol kepal kiri bermotif bendera Palestina. Barulah pada kesempatan berikutnya birokrat serikat Said Iqbal menyatakan KSPI akan mengadakan mogok nasional bertepatan dan bersamaan dengan aksi Bela Islam Jilid 2.
Hal itu menurut mereka dilakukan karena “ada irisan isu dan kepentingan yang sama yaitu “Menegakkan supremasi hukum dan rasa keadilan”, “Menolak upah murah, menolak penggusuran yang melanggar HAM dan menolak reklamasi yang merusak lingkungan”. Tuntutannya termasuk: cabut PP 78, naikan UMP/ UMK 15%-20% dan penjarakan “Ahok” penista agama. Said Iqbal berdalih, “Kasus Ahok itu penistaan agama yang kemudian meminta penegakan hukum, tapi penegakan hukum itu diulur-ulur. Itu ada arogansi kekuasaan dan juga ada kekuatan modal di belakangnya. Sedangkan, upah buruh itu diputuskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, itu berdasarkan arogansi kekuasaan, jadi sama saja ada persinggungan kepentingan.”
Danial Indrakusuma dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) dengan tepat mengkritik hal ini. “Bagaimana mungkin kuras pabrik bila KSPI justru ikut aksi bela agama? Dengan KSPI ikut aksi bela agama, maka justru KSPI sudah melemahkan gerakan buruh, karena buruh yang akan aksi melawan PP 78 AKAN SEMAKIN SEDIKIT DAN TIDAK MEMILIKI KEPEMIMPINAN. Kepemimpinan aksi menolak PP 78 oleh unsur-unsur gerakan di luar KSPI lebih sedikit massanya dan memerlukan keberanian lebih–karena belum tentu diikuti oleh massa anggota KSPI.”
“Jangan memanipulasi seolah aksi bela agama KSPI bisa ampuh bila sekalian dengan menuntut PP78. Perhatian rezim akan justru terfokus pada aksi bela agama, bukan pada tuntutan PP78; jangan memanipulasi aksi KSPI 2 Desember: seolah KSPI tidak akan terlibat dalam aksi bela agama, dan meminta kaum buruh aksi menuntut PP78 secara terpisah. Jangan pragmatis: bernafsu memperbanyak massa pada 2 Desember, agar AKSI MENUNTUT PP78 BERBARENGAN DENGAN AKSI BELA AGAMA, AGAR aksi menuntut PP78 akan mendapat tambahan massa. Yang akan terjadi sebenarnya justru sebaliknya, aksi bela agama seperti mendapat tambahan massa dari buruh, dan pihak dari yang aksi bela agama akan semakin mendapat alasan bahwa buruh pun tidak puas terhadap pemerintah. Dan jangan menyembunyikan fakta bahwa KSPI tidak terlibat dalam aksi bela negara. Mereka bisa saja memanipulasinya seperti dalam aksi 4 November: mereka menggunakan nama lain, bukan KSPI,” ungkapnya.
Sebenarnya sikap KSPI secara langsung dipengaruhi oleh dominasi birokrat serikat sekaligus kelanjutan kolaborasi kelasnya mendukung kubu Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 lalu. Basis material dan latar belakang munculnya birokrat serikat muncul dari keperluan atas keberadaan pengurus-pengurus serikat buruh yang bekerja penuh waktu. Buruh-buruh yang bekerja penuh waktu kesulitan mengurus serikat bila harus menyambi kerja di satu sisi sedangkan di sisi lain harus menunggui sekretariat, merespon keluhan buruh, menjalankan advokasi atau pendampingan, sekaligus memberikan edukasi. Oleh karena itu ditunjuklah orang-orang tertentu dalam serikat yang relatif berpengalaman dan cakap dan paham persoalan perburuhan untuk menjadi pengurus dengan dibayar dari iuran anggota. Sehingga mereka tidak lagi memburuh melainkan secara penuh waktu menduduki jabatan-jabatan atau posisi-posisi pengurus dalam serikat untuk menangani soal-soal perburuhan. Termasuk menjadi mediator atau negosiator saat muncul proses perselisihan antara buruh dan majikan. Lama kelamaan terjadi proses birokratisasi. Mulai muncul proses dimana para buruh anggota serikat yang sudah terlalu lelah dengan urusan pekerjaan akhirnya menyerahkan semua urusan serikat kepada para birokrat ini. Sedangkan di sisi lain para birokrat serikat juga semakin tidak mau repot menjalankan kaderisasi agar semakin banyak anggota yang cakap berorganisasi dan paham persoalan hukum sekaligus tidak mau repot membangun kesadaran kelas para anggotanya sehingga para birokrat ini semakin lepas dari mekanisme check and balance atau kontrol demokratis dari para anggotanya. Proses birokratisasi ini selanjutnya kian parah sebab saat bernegosiasi dengan para pengusaha atau kapitalis, birokrat serikat yang menjalankan peran sebagai negosiator ini sering diajak berunding di tempat mewah, diajak makan prasmanan mewah atau jamuan di restoran mahal, bahkan kerap diberi uang saku juga. Akibatnya lambat laun, birokrat serikat ini mengidap asumsi seolah-olah ternyata kapitalis itu bukanlah penindas, konglomerat itu bukan orang jahat, karena semua perlakuan baik yang disaksikannya. Akhirnya dalam berbagai kasus, kaum birokrat serikat ini malah lebih mencari jalan tengah dan mencapai kompromi-kompromi. Bukan memperjuangkan tuntutan para anggota serikat yang diwakilinya agar dipenuhi sepenuhnya. Bahkan birokrat-birokrat ini kemudian juga bisa semakin bersifat dan bersikap kolot dan reaksioner. Mereka jadi kesal bahkan marah kalau buruh-buruh serikatnya berdemonstrasi atau mogok kerja tanpa sepengetahua dan seizin birokrat serikat. Dalam beberapa kasus, kaum birokrat serikat lebih menghendaki urusan perundingan diserahkan pada mereka sementara para buruh mereka dorong kembali kerja. Inilah mengapa birokrat serikat malah bisa menjadi pihak yang justru menghalangi radikalisasi buruh. Bahkan bisa menjadi pihak yang mengkhianati perjuangan buruh. Ini adalah fenomena yang bisa menjangkiti serikat buruh manapun. Bukan hanya KSPI saja.
Dalam kasus KSPI kita bisa melihat banyak bentuk bagaimana birokrat serikat ini justru melukai pergerakan buruh itu sendiri. Misalkan melarang anggotanya mengikuti pendidikan ekonmi politik di Rumah Buruh dan Saung Buruh. Selanjutnya saat premanisme menyerang gerakan serikat buruh, kaum birokrat ini justru menghadapinya dengan menjalin kompromi dengan para preman serta menyingkirkan orang-orang yang dianggap mengganggu kompromi itu.
Bahkan terdapat kolaborasi kelas antara elit serikat buruh dengan kaum kapitalis di tingkat perusahaan untuk memastikan agar operasi pabrik terus berjalan. Misalnya saat mogok nasional jilid 2 banyak birokrat serikat di pabrik-pabrik besar justru tidak mogok kerja karena banyak di antara mereka menjalin kesepakatan dengan majikan mereka. Ini terulang lagi pada mogok 2015. Contoh lain kolaborasi kelas adalah kolaborasi yang dilakukan oleh Obon Tabroni dari KSPI dan FSPMI yang dimajukan untuk mencalonkan diri di Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bekasi. Menurut Sarinah dari Solidaritas.net, Obon pernah berpidato di Rumah Buruh, meminta situasi kondusif menjelang Pilkada. Artinya demi melancarkan kepentingan politik mencalonkan diri di Pilkada, Obon memberikan kompromi pada kaum kapitalis di Bekasi. Ini kemudian berimplikasi pada pelemahan pemogokan buruh di Kabupaten Bekasi. Bahkan pada hari H Monas 2015, alih-alih memimpin pemogokan atau aksi massa buruh di Kabupaten Bekasi, Obon dan para pendukungnya malah pergi ke Bogor dan Bekasi Kota. Lebih parahnya lagi, kaum elit birokrat KSPI di Kabupaten Bekasi ini juga bahkan berkolaborasi dengan kaum lumpen proletar penindas buruh. Ini ditunjukkan dengan lobi-lobi yang dilakukan Obon ke Anwar Musyadad dari Masyarakat Peduli Investor (MPI) dengan didampingi Darwoto dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Padahal MPI ini berkali-kali melakukan tindak kejahatan premanisme terhadap buruh. Mulai dari penghadangan terhadap demonstrasi buruh di kawasan MM2100, pelucutan terhadap baju dan atribut buruh, bahkan mereka juga mendirikan pos-pos di berbagai titik dalam kawasan industri berupa tenda-tenda shelter. Padahal Indra Munaswar, Presidum Komite Aksi Jaminan Sosial dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR dan KAJS serta Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) pada Kamis 29 Februari 2013 dulu sudah mengadukan bahwa “LSM ini baru dibentuk dan langsung dibenturkan dengan buruh. Contohnya di setiap kita demo, mereka yang menghadang. Walaupun buruh sudah berdemo sesuai dengan undang-undang, mereka menghadang,” kata Indra.
Sedangkan sikap Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang malah ikut bermain sentimen penistaan agama justru merupakan kesalahan manuver buntutisme dan oportunisme kanan. Ironisnya mereka yang melakukan ini adalah ormas-ormas yang (sebelumnya) menganut asas Demokratis Nasional (sekarang GSBI, AGRA, dan FMN sudah menganut Pancasila). Perjuangan Demokratis Nasional itu salah satunya perjuangan memisahkan agama dari negara, sekularisasi, kebebasan beragama dan beribadah. Sehingga agama tidak bisa ditunggangi dijadikan pembenaran untuk penindasan dan “penistaan agama” tidak bisa dijadikan dalih kriminalisasi. Bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melakukan tindak kriminal.
Ini bukan soal membela Basuki Tjahaya Purnama, karena Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta mewakili kepentingan borjuasi, biang penggusuran kaum miskin kota dan membela kaum pejabat dan konglomerat. Serta oleh karenanya harus dilawan. Namun poin pokok yang diserang Basuki, betapapun kasar caranya, adalah soal Non-Muslim tidak boleh jadi pemimpin.
Perjuangan demokratis nasional dan perjuangan sosialisme harus melawan sektarianisme, rasisme, diskriminasi agama serta semua dalih penistaan agama yang pada intinya hanya selubung pembenaran penindasan. Kita harus menekankan bahwa umat manusia tidak terbagi ke dalam Muslim dan Kafir. Tapi terbagi ke dalam kelas tertindas dan kelas penindas.Oleh karenanya kita tidak boleh dan tidak bisa ikut bermain sentimen agama.
Berapa kali aktivis buruh dicap komunis, berapa kali kaum tani distigma ateis, berapa kali kaum kiri dan sosialis dilabeli tidak bertuhan dan menista agama serta difatwa halal darahnya? Berapa kali diskusi dan pembubaran film dibubarkan oleh FPI? Terlalu sering! GSBI pun juga pernah merasakannya.
Karena itu kita tidak perlu ikut debat tafsir agama, tidak perlu rebutan mana yang menista agama atau tidak. Karena itu medan perang favorit dan keahlian dari kaum fundamentalis agama. Jangankan terhadap non-Muslim yang gampang mereka kafirkan. Sesama Muslim saja mereka bisa saling mengafirkan. Oleh karena itu kita tidak perlu pakai sentimen agama atau tafsir agama. Isu yang harus kita pakai adalah sekularisasi, pemisahan agama dari negara, kebebasan beragama dan beribadah, serta seseorang hanya boleh ditindak hukum bila melakukan perbuatan kriminal, bukan karena pandangannya atas suatu agama.
Memang aksi massa 4 November 2016 terlihat menggiurkan karena mendatangkan massa dalam jumlah sangat besar. Tapi sifatnya tidak progresif melainkan regresif. Tidak revolusioner melainkan reaksioner. Kita tidak bisa ambil bagian pada kelompok massa yang terilusi demagogi rasis dan sektarian begini.
Justru sebaliknya kita harus memblejeti keregresifan dan kereaksioneran Aksi 4 November ini. Bagaimana MUI yang menjadi motor aksi ini adalah organ bentukan kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto untuk memberikan cap halal kepada semua peraturan dan kebijakan rezimnya. Bagaimana FPI adalah milisi sipil reaksioner, hasil evolusi dari Pam Swakarsa bentukan Wiranto-antek Orde Baru-militeris-sekaligus pelanggar HAM-untuk menghantam demonstrasi mahasiswa penentang Sidang Istimewa (SI) yang dianggap melanggengkan Orba. Bagaimana aksi massa ini ditunggangi oleh elemen-elemen Fundamentalisme seperti ISIS. (yang sayangnya ini tidak ditulis atau mungkin belum ditulis oleh FPR).
Kita bisa dan malah harus memblejeti penindasan rezim Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama tanpa mengikut sentimen agama dan histeria penistaan agama yang digembar-gemborkan oleh Oposisi Kanan Borjuis. Apalagi ikut-ikutan menuntut Basuki Tjahaya Purnama mundur dari Pilkada yang jelas secara langsung malah menguntungkan faksi Oposisi Kanan Borjuis yang hari ini bertarung dalam Pilkada DKI.
Ted Sprague dari Militan Indonesia memberikan kritik yang tepat terkait ini. “Di sini kawan-kawan GSBI kita keliru dalam memandang situasi yang ada dan oleh karenanya mengajukan taktik yang tidak hanya keblinger tetapi juga reaksioner, dalam artian memundurkan kesadaran kelas buruh.”
“Yah, kita harus melawan rejim Ahok (dan semua rejim penguasa kapitalis yang ada), dan mengekspos kemunafikan kelas penguasa dalam menerapkan hukum. Hukum kapitalis hanya ditegakkan untuk membela penguasa, dan menindas buruh.”
“Tetapi ketika hari ini jelas yang berkoar-koar mengenai “penegakan hukum” adalah FPI, SBY, dan elemen-elemen kelas penguasa lainnya (yang juga telah diuntungkan oleh sistem peradilan kapitalis), ketika hari ini jelas bahwa elemen-elemen reaksioner ini menyerang Ahok untuk kepentingan sempit mereka, bahwa demagogi SARA yang disebarkan akan (dan telah) memundurkan kesadaran kelas buruh, maka kita tidak boleh mendukung aksi 4 Nov sama sekali (dalam bentuk apapun).”
“Kepemimpinan aksi demo 4 Nov ini ada di tangan kaum reaksioner, dan mendukung aksi ini dalam kapasitas apapun (bahkan kalau para pemimpin GSBI mengatakan bahwa mereka independen dan tidak mendukung FPI dan elemen reaksioner lainnya) berarti melempar kaum buruh ke rangkulan reaksi gelap.”
“Di sini kawan-kawan FPR dan GSBI tidak memberikan kepemimpinan revolusioner bagi buruh, tetapi justru jatuh ke dalam oportunisme, yakni mengekor pada kesadaran terbelakang buruh, dan tidak hanya mengekor tetapi bahkan mendorongnya. Apa yang diajukan oleh kawan-kawan FPR dan GSBI hari ini dengan statemen dukungan terhadap aksi 4 Nov ini (dengan terseret pada histeria penistaan agama) akan menjadi bumerang di hari depan.”
Kita bisa menyimpulkan sekali lagi bahwa isu penistaan agama ini tidak murni tentang agama melainkan juga sarat isu politik. Khususnya politik rasis oposisi kanan borjuis. Namun yang perlu kita simpulkan pula, dari yang sudah sebelumnya dijabarkan dan dijelaskan, isu dan gerakan anti penistaan agama ini juga menjadi kanalisasi bagi berbagai bentuk keresahan, ketidakpuasan, dan kemarahan terhadap tirani rezim pemerintah yang berkuasa.
Dalam Pendahuluan “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right”, Karl Marx menggaris bawahi “keresahan religius pada saat yang sama adalah ekspresi keresahan riil dan juga protes terhadap keresahan riil.”
Aksi “Bela Islam” untuk menuntut dihukumnya Basuki Tjahya Purnama karena penistaan agama mampu memobilisasi ratusan orang. Keresahan religius tersebut pasti memiliki landasan pada keresahan terhadap persoalan yang riil di masyarakat. Persoalan riil tersebut terdapat pada kebijakan-kebijakan kelas borjuis yang berkuasa yang terus melemparkan kelas buruh dan rakyat Indonesia ke jurang kemiskinan dan penderitaan. Termasuk didalamnya adalah kebijakan penggusuran dan upah murah yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama.
Maka di sini FPR salah menganalisis bahwa Perang Terhadap Teror yang dilancarkan Amerika Serikat yang kemudian membangkitkan luka lama umat Islam dapat digunakan sebagai pembenaran untuk mendukung Aksi 4 November kemarin. Di Indonesia rasisme terhadap Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan Imperialis memunculkan respon yang terbalik. Dia tidak memperkuat rasisme terhadap Islam di Indonesia, namun penindasan Imperialis tersebut digunakan digunakan oleh kelas borjuis Indonesia beserta kelompok-kelompok reaksioner untuk memperkuat politik rasis.
Kita harus berhati-hati dalam melihat konflik rasis dan menganggapnya berdasarkan atas persoalan agama atau ras. Pandangan seperti itu akan membuat kita justru jatuh pada rasisme yang berkembang atau pada liberalisme. Seperti pernyataan FPR yang mengatakan bahwa “umat Islam memiliki hak dapat dipimpin oleh gubernur yang berasal dari umat Islam sendiri.” Pernyataan ini rancu. Pemilih muslim boleh memilih calon muslim sama sekali berbeda dengan retorika anti kafir, anti-Cina, anti asing-aseng-asong, yang pada intinya melarang seorang non-Muslim dan Tionghoa untuk maju dalam kontestasi politik, melarangnya menduduki jabatan publik, serta
Dalam melihat berbagai macam individu, kelompok atau perjuangan kita tidak melihat dari apa agama yang mereka anut. Pada analisa terakhir penindasan rasis, homofobia, islamofobia dan penindasan terhadap kelompok agama minoritas tidak bisa dilihat tanpa melihat landasan ekonomi politik serta kepentingan kelas didalamnya. Mengabaikannya akan membuat kita jatuh pada politik identitas dan memperkuat upaya pecah belah dari kelas borjuis.
Kelas borjuis beserta kelompok-kelompok reaksioner dari waktu ke waktu akan senantiasi berupaya mengalihkan konflik vertikal menjadi konflik horizontal atau lebih tepatnya membelokkan pertentangan kelas menjadi konflik sektarian berdasarkan sentimen rasis termasuk dengan dalih konflik antar suku, agama, ras, dan antar golongan yang berbeda. Baik kubu borjuasi yang berkuasa maupun oposisi borjuasi sama-sama mempraktikkan hal ini.
Penguasaan kaum borjuasi terhadap alat-alat produksi, khususnya media massa, membuat mereka bisa leluasa dalam membingkai wacana dan memanipulasi opini publik. Salah satunya dengan membingkai semua penindasan karena kepentingan ekonomi politik Imperialis menjadi seolah-olah sekadar pertarungan antar agama dan aliran kepercayaan. Kekuasaan Erdogan di Turki dilihat sebagai kejayaan Islam. Mengabaikan kekuasaannya yang anti demokrasi demi menjalankan kepentingan kelas borjuis yang sedang berkembang di Turki. Melihat Islam VS Yahudi, sementara Arab Saudi bergandengan tangan dengan Israel. Atau konflik Suni VS Syiah di Irak padahal adu domba itu adalah kepentingan Imperialis AS serta rejim Arab Saudi untuk berkuasa di Timur Tengah. Termasuk terakhir adalah persoalan Rohingnya di Burma yang menjadi Islam VS Budha. Tanpa melihat kepentingan kelas borjuis untuk merebut minyak bumi yang berada di daerah yang didiami oleh suku Rohingnya.
Padahal pada kenyataannya kita bisa melihat meskipun antar kubu borjuasi bisa saling berkompetisi ataupun saling menjegal, meskipun suku dan agama mereka berbeda, namun mereka bisa dengan cepat merapatkan barisan bila terdapat kepentingan modal yang sama. AS bisa saja menggembar-gemborkan demokrasi dan mencela negara-negara lawan politiknya seperti Iran, Libya, bahkan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), sebagai contoh kediktatoran fundamentalisme Islam yang sarat terorisme dan anti-demokrasi, namun secara terang-benderang Arab Saudi (yang pendirian negaranya dibantu Imperialis Britania untuk memberontak dari Kekhilafahan Utsmaniyah Turki) yang anti demokrasi dan sangat reaksioner bahkan menerapkan banyak praktik yang dilakukan ISIS secara legal formal justru tidak pernah dipermasalahkan oleh AS.
Bahkan di sisi lain, kaum penindas yang berbeda suku dan agama ini bisa dengan mudah mengkhianati rakyat tertindas yang sesuku dan seagama dengan mereka. Rezim Zionis Israel misalnya yang selalu mengklaim sebagai pembela umat Yahudi, terutama dari kekejaman fasisme (khususnya akibat NAZI Jerman), justru pernah berkolaborasi dengan pelanggar HAM dan penjahat perang bekas NAZI. Sebagaimana dijabarkan John Roose, seorang Yahudi anggota Socialist Workers Party (SWP) atau Partai Pekerja Sosialis yang juga merupakan aktivis anti Zionis: “Tahun 1976, John Vorster, perdana menteri Afrika Selatan, melakukan kunjungan selama sepekan di Israel. Vorster sebenarnya pernah diinternir sebagai seorang NAZI selama PD II. Dekade sebelumnya Israel baru saja mengeksekusi Adolf Eichmann, penjahat perang NAZI yang terkenal dan dinas rahasia Israel menggembar-gemborkan kemampuan mereka untuk menangkap bekas NAZI. Sekarang pemerintah Israel secara terbuka menyambut bekas NAZI sebagai seorang tamu penting. Vorster datang untuk memperdalam hubungan-hubungan industri pertahanan kedua negara. Selama di Israel dia memesan sejumlah pesawat tempur dan pesawat bomber. Dua tahun sebelumnya Afrika Selatan juga membayar Israel untuk pengiriman misil Gabriel. Misil-misil ini serupa dengan misil Exocet Prancis yang digunakan oleh Argentina selama Perang Falkland. Tahun 1978 PBB menerapkan embargo wajib terhadap penjualan persenjataan pada Afrika Selatan yang berulangkali dilanggar Israel. Tahun 1980 tidak kurang dari 35 persen ekspor persenjataan Israel adalah ekspor ke Afrika Selatan. Sebagaimana yang dikatakan kepala industri militer Afrika Selatan tahun 1982, “bantuan teknologis (Israel) memungkinkan Afrika Selatan menghindari embargo persenjataan yang diterapkan karena kebijakan-kebijakan rasisnya”
Lalu bagaimana politik sosialis revolusioner melihat agama? Mengutip kata-kata Lenin dalam “Sosialisme dan Agama” maka sikap kita adalah “agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan.” Kita menuntut pemisahan antara agama dan Negara, dimana agama akan menjadi urusan internal masing-masing pemeluk agama bersangkutan. Kita mendukung kebebasan bagi setiap orang untuk “menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun…” termasuk juga mendukung kebebasan berkeyakinan bagi setiap orang. Kebebasan beragama dan menjalankan agamanya bagi setiap orang, entah itu Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Baha’i, Sikh, Syiah, Sunni, Ahmadiyah, serta agama-agama lainnya termasuk kepercayaan dan agama-agama tradisional yang ada. “Diskriminasi diantara para warga negara sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir.” Semua hubungan antara negara dengan institusi keagamaan harus diputus, termasuk menghentikan pendanaan ke MUI atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Demikian juga semua produk hukum yang berdasarkan atas agama, yang menghukum orang karena keyakinan ataupun ketidakyakinannya, termasuk pasal penistaan agama harus dihapuskan.
ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP
tulisan ini merupakan versi panjang dan diperlengkap dari tulisan yang berjudul sama dan dimuat di Arah Juang versi cetak Edisi 12, I-II Desember 2016.
bersambung ke Menolak Persatuan Gerakan Buruh Dengan Kaum Reaksioner (Bagian II)
[…] sambungan dari Menolak Persatuan Gerakan Buruh Dengan Kaum Reaksioner […]