Aksi Kamisan di Malang Raya menggelar demonstrasi memperingati 77 tahun International Students’ Day atau Hari Mahasiswa Internasional Kamis (17/11/2016). Lebih dari 23 pemuda mahasiswa menyuarakan “Tolak Kekerasan di Dunia Pendidikan”. Sebagaimana catatan sejarah, 77 tahun lalu mahasiswa Cekoslovakia melakukan aksi massa menentang invasi dan kediktatoran rezim fasis NAZI Jerman. Meskipun aksi massa mahasiswa bersama buruh Cekoslovakia tersebut dihancurkan tirani namun semangatnya tetap menginspirasi perlawanan terhadap kediktatoran. Mahasiswa Indonesia sebenarnya memiliki kesamaan sejarah perlawanan demikian. Sebab pemuda mahasiswa Indonesia juga pernah merasakan penindasan kediktatoran, dalam hal ini kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto.
Rilis pers massa aksi menyatakan, “…pada era orde baru, kebijakan pendidikan yang dibuat cukup elitis serta merugikan bangsa ini. Pendidikan seakan telah berubah menjadi perusahaan-perusahaan yang hanya mencetak produk untuk diterjunkan kedalam pasar. Pendidikan hanya mampu mencetak para pekerja yang hanya bisa dibayar dengan upah murah. Bahkan saat Orde Baru, kebebasan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan tinggi (Kampus) dipasung dengan sedemikian durjana sehingga bangsa ini tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tersungkur dalam di bawah keterpanggangan pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi.”
Perjuangan demokratis, dimana mahasiswa merupakan salah satu aktor kuncinya, memang berhasil memaksa Harto turun dan menghapuskan Orde Baru. Sehingga kebebasan berpendapat dan berserikat serta demokrasi yang relatif lebih luas kini bisa dinikmati massa rakyat. Namun selama kapitalisme masih berdiri selama itulah kebebasan tersebut masih kebebasan semu dan bukan demokrasi sejati. Terutama saat kapitalisme sedang mengalami krisis maka penghisapan dan penindasan, termasuk pemberangusan demokrasi dan kekerasan di dunia pendidikan, akan semakin dimasifkan demi menyelamatkan sistem. Seperti sekarang ini.
Hayyik Ali Muntaha, dari Malang Corruption Watch (MCW), menyatakan, “Saat ini semakin banyak pers mahasiswa dibreidel di kampusnya. Diskusi-diskusi dibubarkan karena dianggap menyebarkan ideologi komunis. Ruang-ruang kampus telah dikooptasi kekuasaan. Bahkan belakangan ini militerisme semakin menguat. Aparat-aparat militer masuk kampus bukan hanya mengintervensi namun juga ikut-ikut memberikan materi dan menciptakan pendidikan fasistis. Padahal seharusnya kampus membuat bagaimana masyarakat bawah bisa mengakses pendidikan dan intelektual berinteraksi dengan rakyat. Bukan malah menjadi menara gading di atas awan. Bahkan logika kampus sekarang sama dengan logika bisnis. Banyak intelektualnya malah berpihak pada pebisnis yang merusak alam dan menindas rakyat,” kecamnya.
Wahida dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dianns mengonfirmasi hal ini. LPM Dianns tidak hanya pernah mengalami pembreidelan namun juga pembubaran dan pelarangan diskusi dan bedah film seperti Alkinemokiye dan Samin vs Semen. “Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan hanya kekerasan fisik namun juga psikis dan verbal. Kekerasan dalam pendidikan itu akibat langsung dari logika pasar yang diterapkan di dunia pendidikan. Sehingga pendidikan yang seharusnya mencerdaskan dan membebaskan dalam kenyataannya malah tidak,” kritiknya.
Leon Kastayudha dari KPO PRP menambahkan, “Kaum penindas tidak punya kepentingan terhadap pencerdasan, pencerahan, dan pembebasan. Kepentingan kapitlisme utama di dunia pendidikan sesungguhnya adalah mencetak tenaga kerja-tenaga kerja terampil demi kebutuhan kapitalisme. Bila pelajar dan mahasiswa tercerdaskan, tercerahkan, dan terbebaskan sehingga menjadi sadar dan melawan penindasan, maka itu akan membahayakan tirani kapitalisme. Sehingga kapitalisme menanamkan hegemoninya untuk menciptakan budaya pembodohan, penundukan, dan penindasan.”
Menjelang penghujung demonstrasi, Massa Aksi Kamisan menyatakan tuntutan-tuntutannya: “Cabut pelarangan mempelajari secara aktif Marxisme. Lindungi hak sipil mahasiswa untuk membuat forum-forum diskusi. Lindungi ekspresi politik mahasiswa dalam gerakan-gerakan asasi. Larang partai politi berafiliasi dengan institusi pendidikan/kampus khususnya menjelang pemilihan umum (PEMILU). Hentikan intimidasi dan ancaman DO di lembaga pendidikan tinggi. Hapus militerisme termasuk yang ada di kampus. Bubarkan pendidikan militer di kampus dan organ-organ para militer. Usir premanisme dalam kampus. Cabut kekerasan fisik dalam pendidikan. Berikan kebebasan terhadap semua organisasi mahasiswa, baik ekstra maupun instra kampus, masuk kedalam kampus.” (lk)
Comment here