Siang yang menyengat silih berganti dengan mendung kelam dan derasnya hujan. Waktu itu hari-hari pertama kekuasaan rezim Jokowi-JK. Kengototannya untuk menaikkan harga BBM ditentang keras banyak kalangan. Meskipun sisa-sisa ilusi Pemilu ke kubu Jokowi masih tersisa disana-sini. Selain buruh, kaum mahasiswa adalah pihak lain yang menentang penaikan harga BBM kali itu. Dimana-mana mahasiswa menggelar demonstrasi bahkan aksi pendudukan. Termasuk di Malang.
Pekan itu Leon Kastayudha ditunjuk sebagai koordinator humas massa aksi. Hujan bergeledek turun saat barisan menggedor pagar gedung DPRD Kota Malang. Selama beberapa saat massa berhasil menembus barikade dan merangsek masuk pintu depan gedung. Gedung yang diongkosi dengan pajak rakyat dan dibangun dengan tenaga dan keringat buruh. Aparat murka. Kepala-kepala mahasiswa ditempeleng. Betis-betis demonstran disepak, sebagian dengan sepatu berplat besi. Kawan-kawan jatuh bangun di hadapan mata kepala sendiri. Sebagian berdarah, sandalnya lepas berserakan, dan beberapa orang ditangkap. Waktu itu diwawancara dua orang wartawan Tempo yang entah siapa namanya. Kepada mereka dibeberkanlah perlakuan brutal aparat dan bagaimana mahasiswa tidak sedikitpun berusaha balas memukul. Dua wartawan itu tahu kebenarannya karena mereka menyaksikannya pula secara langsung dan kasat mata.
Esok harinya membaca liputan peristiwa itu dalam berita Tempo di internet, kesaksian soal brutalitas polisi tidak ditulis sama sekali. Mereka malah menulis demonstran bentrok dengan aparat. Ya, ditulis bentrok. Seolah pihak demonstran menyerang aparat. Fakta dikorosi jadi falsifikasi. Tidak tahu apakah wartawan yang melakukannya atau intervensi dari editor di Jakarta. Apa yang diketahui, Gunawan Muhammad dan Tempo sebagai pendukung Jokowi dalam Pemilu 2014 juga mendukung kebijakan Jokowi-JK menaikkan harga BBM. Saat itu Tempo masih relatif bersahabat terhadap Jokowi. Ini sebelum Jokowi memberi anugerah jurnalistik kepada Metro TV dan kemudian membuat Tempo tantrum serta selanjutnya menurunkan edisi histeria serbuan buruh Tiongkok dengan menggambarkan sosok sipit berbaju buruh menyerupai Jokowi di sampulnya digambar ala poster propaganda Republik Rakyat Tiongkok. Ini majalah yang sama yang membuat foto sampul Jokowi menang Pilpres dan dielu-elukan massa dan sampul Prabowo-Hatta naik wahana kuda-kudaan dengan memasukkan koin. Sejauh dan sedrastis itu media borjuasi bisa melakukan falsifikasi.
Sebagaimana keterangan koran Arah Juang edisi 8 dulu, Falsifikasi bisa dipahami sebagai tindakan memalsukan informasi atau teori. Perbuatan membuat atau mereka (sesuatu) yang salah: demi mengubah (sesuatu) agar orang-orang mempercayai sesuatu yang tidak benar. (Mirriam-Webster). Tindakan untuk memproduksi sesuatu yang minim otensitas, keaslian, atau keabsahan, dengan tujuan untuk melakukan pemalsuan atau penipuan. Selain itu juga bermakna memberikan penampilan atau penyematan terhadap sesuatu yang bukan sesuatu itu sendiri. Termasuk memberitahukan pernyataan yang salah (bukan sebenarnya) atau misrepresentasi yang disengaja (Wikitionary). Falsifikasi di ranah sejarah juga dikenal dengan istilah revisionisme historis (negasionisme) yaitu pemalsuan sejarah dan distorsi terhadap catatan-catatan sejarah.
Sayangnya bila kita mengingat kembali falsifikasi tidak hanya dimonopoli oleh borjuasi. Namun juga dipraktikkan mereka yang mengaku sebagai kiri atau bahkan Marxis.
Mungkin lebih tepat disebut Stalinis.
Tanggal 5 Mei 1920, Lenin berdiri di atas podium kayu. Ia memberikan orasi ke hadapan massa prajurit Soviet di alun-alun Sverdlov, Moskow. Lev Kamenev dan Leon Trotsky. Namun kemudian sosok Kamenev dan Trotsky dihapuskan dari foto tersebut. Baik lewat teknik crop atau pemotongan maupun airbrushing yang merekayasa seolah-olah keduanya tidak ada disana. Apa yang ada adalah latar kosong. Ini pula yang dilakukan pada foto lainnya seperti foto perayaan Revolusi Oktober tanggal 7 November 1919. Trotsky yang berdiri di sebelah Lenin dihapus. Lev Kamenev, yang berdiri memakai kacamata dua orang sebelah kanan Lenin juga dihapus. Selain itu sosok berjenggot hitam lebat setelah bocah kecil di depan Trotsky juga dihapus. Ia adalah Artemic Bagratovich Khalatov, orang yang dulunya menjadi Komisar Penerbitan.
Banyak sekali contoh lain dari falsifikasi seperti ini. Birokrasi Stalinis bisa berganti politik, sekutu, dan manuver secepat pergantian warna langit senja. Ada yang mengatakan di negara buruh yang terdegenerasi itu, musuh politik birokrasi tidak mati dibunuh hanya satu kali. Namun dua kali. Satu, secara harafiah. Dua, dihapuskan dari sejarah. Siapa sangka perjuangan melawan lupa, yang didengungkan Munir, ternyata bisa menemui relevansinya dalam perjuangan Bolshevisme-Leninisme melawan Stalinisme di panggung sejarah?
Ini sempat ditulis di koran Arah Juang pula: Kelas buruh, sebagai kelas yang secara mendasar ditindas dan dihisap kapitalisme, merupakan kelas yang berkepentingan langsung atas kebenaran. (Bukan kebetulan kalau salah satu koran Bolshevik memakai nama Pravda yang berarti “kebenaran”). Artinya demi membebaskan dirinya dari belenggu penindasan, buruh berkepentingan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, menyibak selubung ilusi ‘kebenaran’ kapitalisme, membongkar kebohongan kapitalisme dan memblejeti semua ideologi reaksioner turunannya, menghancurkan kedok masyarakat kelas, serta menyerukan apa yang sebenarnya terjadi (dalam penindasan dan penghisapan kapitalisme) dan menyerukan apa yang harus dilakukan (yaitu mengobarkan perjuangan kelas untuk sosialisme). Sehingga bila kepentingan kapitalis adalah budaya pembodohan, pemalsuan, dan penundukan, sebaliknya kepentingan buruh adalah budaya pencerahan, perlawanan, dan pembebasan.
Namun melihat falsifikasi yang sedemikian parah dilakukan kaum Birokrasi Stalinis, kita akan bertanya-tanya bila budaya pembodohan, pemalsuan, dan penundukan sedemikian keras dilakukan, kepentingan siapa yang mereka wakili lewat manipulasi foto, penghapusan sosok-sosok (termasuk para pejuang revolusioner yang disingkirkan Stalin) dari sejarah? Jelas bukan kepentingan kelas buruh.
Beberapa hari ini, falsifikasi itu muncul lagi. Meskipun skalanya jauh lebih mini. Kali ini dilakukan oleh Ken Ndaru lewat akun media sosial Facebook nya. Bukan satu kali tapi dua kali.
Pertama, ia mengomentari pos status Mohammad Zaki Hussein tertanggal 17 November 2016 Jam 13.11. Status Mohammad Zaki Hussein tersebut berbunyi:
“Jika para pembela pluralisme ingin mendapat dukungan rakyat miskin, kaum buruh, dan kelas-kelas tertindas lainnya, mereka yang masih mendukung rezim penggusur dan upah murah harus menghentikan dukungan mereka. Selama mereka bergandengan tangan dengan rezim penggusur dan upah murah, mereka akan dilihat sebagai “bagian dari barisan rezim penggusur dan upah murah.” Artinya, mereka ikut memperbesar peluang kaum fundamentalis dan nasionalis-chauvinis untuk memanipulasi kesadaran kelas-kelas yang tertindas. Jika ingin pluralisme diterima oleh kaum buruh, rakyat miskin, dan kelas-kelas tertindas lainnya, para pembela pluralisme harus beraliansi dengan kelas-kelas tertindas itu dan bukannya beraliansi dengan rezim penggusur dan upah murah.”
Ini ditanggapi Ken Ndaru dengan komentar Pertama, “Terbalik….. ZAKI….. terbalik pikiran loooo. Kelas pekerja harus berdiri paling depan membela demokrasi tanpa syarat! Karena hanya kelas pekerja yang punya kepentingan sejati terhadap demokrasi.” Kedua, dengan komentar “Gua Screenshot, siapa tahu status ini dihapus…. Pantesan KPO sama PRP mau gabung lagi… lha wong sudah sama2 ekonomisme.” Dari mana datangnya penyimpulan KPO PRP hendak bergabung kembali dengan PRP serta apa landasan cap “Ekonomisme” disematkan kepada KPO PRP. Raymondo Rivalino Ivancho Tompudung kemudian membalasnya dengan berkomentar: “Beneran nih? Leon Kastayudha Ignatius Mahendra Kusumawardhana.” Ken Ndaru kemudian membalas, “Tell me it isn’t true… please… please…. never in a million years!” Lalu Bung Ignatius Mahendra Kusumawardhana berkomentar: “Baiknya membaca arahjuang versi cetak maupun online untuk mengerti arah KPO PRP kemana.” Hanya berselang satu menit, tanpa mengecek situs arahjuang maupun koran Arah Juang, Ken Ndaru langsung berkomentar, “Gua selalu baca arahjuang. Know thine enemy.” Ignatius Mahendra Kusumawardhana kemudian merespon: “Jadi darimana asalnya ‘Pantesan KPO sama PRP mau gabung lagi…’?” Tanpa menjawab pertanyaan demikian, tanpa menjelaskan asal-usul kesimpulannya, Ken Ndaru berkomentar: “Gosip. Alahmdulilah gak benar. Puji Zeus!!!”
Jika Ken Ndaru benar sebagai pembaca arahjuang, seperti yang diklaimnya, maka tidak perlu melandaskan analisa mengenai arah persatuan bagi KPO PRP berdasarkan atas “gosip”. Dalam Arah Juang edisi 7 terdapat kolom “Persatuan” yang berisikan rangkuman diskusi mengenai pembangunan persatuan partai revolusioner antara KPO PRP dengan PPR pada bulan Februari 2016. Demikian juga kolom Tema Utama pada edisi tersebut mengangkat judul “May Day 2016: Bangkitkan Internasionalisme dan Persatuan Sosialis Revolusioner”.
Kedua, lewat catatan Facebook tulisan Ken Ndaru berjudul, “Lenyapnya Tugas Demokratik Kelas Pekerja dari Analisis Kelas.” Dengan ganjilnya tulisan kawan Dipo bertajuk “Lawan Politik Rasis dengan Politik Sosialis” turut dijejer di dalamnya, disamakan dengan tulisan-tulisan lain yang dia cap mengidap ekonomisme dan menelantarkan tugas-tugas demokratis. Dengan mengutip kata-katanya sendiri, “Tugas Demokratik ini absen dalam analis kelas, berangkat dari tulisan-tulisan yang akan aku bedah di sini.”
Sungguh ganjil bilamana Ken Ndaru menempatkan tulisan “Lawan Politik Rasis dengan Politik Sosialis” dalam satu pengelompokan dengan tulisan-tulisan lain yang dianggap mencampakkan tugas-tugas demokratis. Arah Juang dalam edisi-edisi dan lembaran-lembaran korannya maupun kilobyte, megabyte, gigabyte situsnya menjunjung tinggi tugas-tugas perjuangan revolusi demokratis nasional dengan menghubungkannya secara tak terpisahkan kepada tugas-tugas perjuangan revolusi sosialis.
Salah satu contohnya kita dapat membaca tulisan “Perjuangan Demokratik Nasional dan Perjuangan Kelas Buruh Melawan Histeria Anti Komunis” yang ditulis oleh kawan Leon dan Mahendra. “Hanya kelas buruh lah yang memiliki kekuatan dan kepentingan untuk menuntaskan perjuangan demokrasi. Dengan kondisi modernisasi yang tidak terbangun, ekonomi yang masih terbelakang tanpa industrialisasi, sisa-sisa orde baru serta tingkat kesadaran kelas dan organisasi massa proletariat yang ada sekarang maka emansipasi segera sepenuh-penuhnya dari kelas buruh menjadi tidak mungkin. Penuntasan perjuangan demokrasi secara revolusioner akan mempermudah kelas buruh untuk mengorganisir kekuatannya. Akan memberikannya kekuatan untuk memimpin rakyat pekerja secara keseluruhan. Melemahkan cengkraman kelas borjuis yang setengah hati dalam perjuangan demokrasi. Dan itu artinya kelas buruh akan memiliki kekuatan untuk segera melancarkan perjuangan akhirnya demi Sosialisme.” Benarkah Ken Ndaru “…selalu baca arahjuang…”?
Tulisan Ken Ndaru ini juga Trotskyophobis. Mengapa taktik Front Persatuan Lenin sah ditiru tapi taktik Trotsky melawan fasisme dicaci dan disamakan dengan plagiasi? Jangan lupa Trotsky merupakan arsitek Tentara Merah, sosok yang bukan hanya berjasa mengorganisir kelas buruh bersenjata untuk merebut kekuasaan menumbangkan rezim kapitalis Alexander Kerensky lewat Revolusi Oktober namun juga seorang Bolshevik yang berhasil memimpin kelas buruh di Rusia mencapai kemenangan dalam perang melawan kontra-revolusi Tentara Putih bekingan pasukan-pasukan belasan negara Imperialis. Selain itu Trotsky sejak awal menyerukan Front Persatuan untuk melawan NAZI, ia dan Oposisi Kiri internasional adalah satu-satunya kaum komunis yang mengkritik kesalahan fatal Komintern yang dikendalikan Stalin, teori Periode Ketiga, serta cap Social Fascist atau Fasis Sosial kepada SPD. Mengambil kritiknya sembari menentang kritikusnya. Itulah yang dilakukan Ken Ndaru.
Selain itu Ken Ndaru menyamakan perjuangan Bolshevik melawan Kornilov dengan kolaborasi kelas Mao Tse Tung. Keduanya berbeda bahkan bertentangan. Lenin mengusung independensi kelas sedangkan Mao mempraktikkan subtitusionisme. Tapi ini wajar, karena Ken Ndaru seorang stalinis. Meskipun stalinis varian penggemar film Marvel yang ngelantur “I am groot”.
Lagipula seruan lawan politik rasis dengan politik sosialis itu seruan ke rakyat. Bukan sekadar buruh apalagi serikat tertentu. Tapi ini dengan ngawur coba dikontradiksikan dengan praktik kolaborasi kelas Elit Birokrasi Serikat Buruh terutama salah satu wujudnya dengan pimpinan organisasi premanisme. Justru sebaliknya dengan demikian relevansi tulisan Kawan Dipo semakin terkuatkan.
Sayangnya dalam sekian banyak tulisan yang dikritiknya terkait sikap berbagai orang atau kelompok kiri seputar isu dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama serta retorika rasis para pendukung Aksi 4 November ia melupakan satu kelompok (kiri) penting lainnya. Yaitu Front Perjuangan Rakyat (FPR), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGA), yang dalam rilis persnya atau pernyataan sikapnya terang-terangan menumpuh buntutisme sekaligus oportunisme kanan dengan mendukung Aksi 4 November. Ken Ndaru yang lantang mengkritik KPO PRP yang menyikapi, memblejeti, mengkritik dan menyerukan perlawanan terhadap politik kelompok 4 November dengan menurunkan artikel “Lawan Politik Rasis dengan Politik Sosialis” dan mempermasalahkan mengapa KPO PRP tidak menurunkan rilis pers atau pernyataan sikap ternyata berat sebelah dengan bungkamnya Ken Ndaru terhadap kelompok kiri (FPR) yang terang-terangan menurunkan rilis pers mendukung Aksi 4 November yang dipimpin FPI.
Ken Ndaru melupakan satu fakta penting lainnya: naiknya penularan rasisme di antara massa juga akibat kolaborasi kelas yang disemburkannya bersama PRP dan Indoprogress yang merusak independensi kelas dengan menyerukan mendukung Jokowi-JK. Saat massa yang kesadarannya rendah menyadari rezim Jokowi-JK tetap rezim tirani kapitalisme dengan semua intimidasi dan represinya sedangkan di sisi lain para petualang kolaborator kelas tadi banyak yang menikmati pemberian jabatan maka massa yang terbelakang ini akhirnya turut terseret ke kutub reaksioner rasis Oposisi Kanan Borjuis. Singkat kata: kuman di ujung lautan kelihatan tapi gajah di pelupuk mata tak tampak.
Hal tersebut yang menjadi kecenderungan kedua, selain hiperaktivisme, yang melemahkan gerakan kiri secara umum. Termasuk juga melemahkan perlawanan terhadap kelompok-kelompok reaksioner. Kecenderungan yang kami sebut sebagai Radikal Bebas. Lagi-lagi jika Ken Ndaru benar seorang pembaca Arah Juang, seperti klaimnya, maka tidak sulit untuk menemukan penjelasan dari kami. Dan kolaborasi kelas tersebut terus menerus memperbesar bahaya bagi demokrasi. Saat ini, demi melawan kelompok reaksioner maka dukungan diberikan kepada Jokowi yang mengkonsolidasikan berbagai kekuatan represi, seperti Kopasus, Brimob, Kostrad, dsb.
Dukungan mereka-mereka itu sekarang diselubungi dengan bahasa “Bhineka Tunggal Ika”, “keberagaman” dan bahkan “NKRI Harga Mati” yang dahulu digunakan oleh kelompok-kelompok reaksioner itu sendiri. Mereka-mereka inilah yang bergembira menganggap bahwa “perjuangan demokrasi” berhasil karena mendapatkan akses khusus, misal ke Dirjen Kebudayaan atau lingkaran dalam Jokowi. Inilah buah dari Kolaborasi Kelas yang didukung oleh Ken Ndaru, PRP dan Indoprogress. Inilah metode perlawanan hasil dari Kolaborasi Kelas.
Yang dengan tepat digambarkan anggota PRP sendiri, Zaki: “The so-called diaspora, yg bentuknya aktivis menyebar ke partai-partai oligarki dan berbagai institusi negara oligarki ini bikin rusak gerakan, memundurkan kesadaran gerakan, bikin oportunisme semakin marak, dan bikin gerakan pecah2.”
Betul sekali Zaki, Kolaborasi Kelas, sudah memundurkan gerakan dan perjuangan. Begitu mundurnya hingga Ken Ndaru pembaca arahjuang ini tidak melihat berbagai tulisan di Arah Juang serta perkembangan gerakan demokrasi yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kami terlibat dalam perjuangan melawan FUI yang ingin membubarkan pemutaran film senyap di UIN. Kami merencanakan, memajukan, dorong-dorongan dan pukul-pukulan dengan polisi untuk melancarkan aksi tandingan terhadap aksi FUI yang menyerukan pembunuhan terhadap LGBT. Kami mendorong solidaritas, mobilisasi massa dan perlawanan terhadap upaya pembubaran berbagai ruang-ruang demokrasi. Kami mengangkat topi tanda hormat dan salut serta meloncat kegirangan untuk keberanian kawan-kawan ISBI melawan upaya pembubaran “Sekolah Marx” oleh FPI.
Kawan Yuri mengatakan bahwa”…bisa jadi mungkin Ndaru atau banyak orang lainnya tidak melihat secara utuh posisi dan praktek mempertahankan demokrasi dengan kekuatan rakyat sendiri seperti pengalaman di Yogya, pemutaran Senyap, dan lain-lain. Selain di banyak daerah lain (yang terdapat organ kiri terutama yang ada KPO-PRP yang mendorong kepeloporan) dalam mempraktikkan hal ini.”
Arahan bagaimana melawan politik dan gerakan rasis sudah jelas terdapat di tulisan “Lawan Politik Rasis dengan Politik Sosialis”. Dibutuhkan partai revolusioner sebagai kekuatan politik kelas buruh yang mampu memperjuangkan kepentingan kelas buruh secara independen. Ini berbeda dengan kelompok radikal bebas, setidaknya dalam dua hal. Pertama adalah kecenderungan dari kelompok radikal bebas itu yang anti terhadap partai revolusioner. Atau bahkan liberal dan tidak mau terikat dalam disiplin organisasi apapun. Kawan tersebut kembali berkomentar “beberapa tahun terakhir sepertinya kelompok PRP lebih banyak diskusi Partai Kiri Luas (PKL), misal pengalaman AKBAYAN, atau PKL lainya. Beberapa statement politik PRP misal kebutuhan partai elektoral dan kolaborasi kelas. Makin menguatkan kalau soal memandang negara dan membangun sosialisme masih bisa dengan jalan damai dan gradual.”
Kedua adalah walau kelompok radikal bebas, seperti PRP dan Indoprogress, berbicara indah mengenai perjuangan kelas buruh, anti rasisme dan bahkan tentang politik alternatif namun mereka mendorong kolaborasi kelas buruh dengan borjuis. Mereka menitipkan nasib kelas buruh, rakyat, demokrasi dan bahkan menitipkan upaya untuk menghancurkan rasisme pada kelas borjuis. Lewat lobi-lobi, meminta pada presiden, serta bersandar pada satu kubu penindas untuk menekan kubu penindas lainnya.
Sementara tugas-tugas Partai Revolusioner dalam perjuangan melawan kelompok reaksioner adalah: propaganda solusi sosialis terhadap semua kemiskinan, penindasan dan penderitaan yang terjadi saat ini. Kepemimpinan dalam perjuangan-perjuangan kelas buruh dan rakyat. Serta aksi-aksi militan untuk menandingi dan melawan aksi-aksi dari kelompok reaksioner.
Entahlah, Ken Ndaru mungkin tidak melihat. Mungkin tidak mau melihat. Mungkin melihat tapi tidak mau mengakui. Kecuali Ken Ndaru berpikir bahwa dengan menunjuk ‘dosa-dosa’ semua kiri ia pikir bisa membuat orang lupa atas dosa kolaborasi kelasnya.
Ya, Ken Ndaru adalah seorang kolaborator kelas. Ia tidak bisa memungkirinya. Ken Ndaru, baik sebagai anggota PRP dan sebagai penulis Indoprogress maupun sebagai individu, mendukung sekaligus menyerukan massa untuk mendukung Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu dengan dalih menghadang bahaya fasisme dari kubu Prabowo-Hatta.
Menanggapi itu semua, kawan Leon Kastayudha mengatakan, “Benar Itu juga akibat oportunisme kanannya dan kolaborasi kelas mendukung Jokowi-JK dimana banyak anggotanya dapat kerjaan disana. Parlementarisme nya juga akhirnya merupakan reformisme. Padahal dalam kondisi kapitalisme krisis seperti sekarang kalaupun PKL menang pemilu mereka harus memilih menyerukan perebutan alat produksi atau justru menjadi manajer krisis kapitalisme seperti rezim SYRIZA Tsipras di Yunani sekarang.” Dengan kata lain menjadi sell out.
Tahun ini Bob Dylan mendapat hadiah Nobel. Tak usah dipuja-puji berlebihan. Dylan is a sellout. Ia menerima penghargaan dari Obama sang Imperialis. Meskipun demikian, karya-karyanya yang dilahirkan di zaman pergerakan hak-hak sipil, tetap merupakan warisan yang relevan. Termasuk untuk para kolaborator kelas yang melakukan falsifikasi seperti Ken Ndaru ini. Simak dan dengarkan The Times They Are A Changi.
Come gather ‘round people Berkumpullah semua orang
Wherever you roam Dimanapun kalian mengembara
And admit that the waters Dan akuilah bahwa air
Around you have grown Di sekelilingmu telah pasang
And accept it that soon Dan akuilah bahwa segera
You’ll be drenched to the bone Kalian akan basah kuyup sampai ke dalam tulang
If your time to you Jika masa hidupmu
Is worth savin’ layak untuk kau selamatkan
Then you better start swimmin’ Maka sebaiknya kau segera mulai berenang
Or you’ll sink like a stone atau kau akan karam seperti karang
For the times they are a-changin’ karena ini zamannya mereka sang perubahan
Come writers and critics Berkumpullah para penulis dan pengkritik
Who prophesize with your pen Kalian yang meramal dengan pena kalian
And keep your eyes wide Buka matamu lebar-lebar
The chance won’t come again Kesempatan tidak akan datang lagi
And don’t speak too soon Dan jangan terlalu terburu menyela
For the wheel’s still in spin Karena roda masih berputar
And there’s no telling who Dan masih tidak ada siapapun
That it’s namin’ yang tahu apa-apa
For the loser now Karena yang dikalahkan sekarang
Will be later to win Kelak akan menjadi pemenang
For the times they are a-changin’ Karena ini zamannya mereka sang perubahan
Come senators, congressmen Berkumpullah para senator dan anggota kongres
Please heed the call Perhatikanlah seruan itu
Don’t stand in the doorway Jangan berdiri di ambang pintu
Don’t block up the hall Jangan menghalangi jalan
For he that gets hurt Karena ia yang terluka
Will be he who has stalled Akan menjadi ia yang terjebak
There’s a battle outsie ragin’ Di luar sana ada pertempuran yang berkecamuk
It’ll soon shake your windows Dalam sekejap ia akan mengguncang jendelamu
And rattle your walls Dan menggedor tembokmu
For the times they are a-changin’ Karena ini zamannya mereka sang perubahan
Come mothers and fathers Berkumpullah ibu-ibu dan bapak-bapak
Throughout the land Dari seluruh penjuru negeri
And don’t critize Dan janganlah mengkritik
What you can’t understand Apa yang tidak kalian pahami
Your sons and your daughters Putra-putrimu
Are beyond your command Tak bisa kau perintah lagi
Your old road is rapidly agin’ Jalanmu yang lapuk semakin lekang
Please get out of the new one Menyingkirlah dari jalan baru
If you can’t lend your hand Bila kalian tidak bisa membantu
For the times they are a-changin’ Karena ini zamannya mereka sang perubahan
Leon dan Dipo
Comment here