Dunia penuh dengan keindahan dan keajaiban. Dari pegunungan Himalaya dan Everest yang tinggi hingga Samudera Pasifik yang dalam. Dari hujan hutan tropis Borneo dan Amazonia hingga aurora di kutub utara. Namun dunia yang sama pula dipenuhi dengan ketidakadilan dan ketertindasan. Rakyat Irak dan Afghanistan berkali-kali dibombardir lebur dan luluh lantak oleh para penjajah. Warga Palestina terus dianiaya di tanah airnya. Ada buruh Bangladesh yang mati ditimpa bangunan setelah dipaksa terus bekerja di tengah gempa oleh kaum majikan. Ada buruh Filipina mati terbakar dalam pabrik karena disekap pengusaha. Ada buruh Panci di Indonesia diperbudak tanpa dibayar. Ada buruh migran dianiaya di Arabia dan Malaysia. Ada kaum kulit hitam dibunuhi di Amerika. Tanpa tahu apa salahnya. Ada muslimah dijambak jilbabnya di Australia. Ada imigran diusir di Eropa. Ada penindasan disini dan disana.
Indonesia sebagai bagian dari dunia tidak terkecuali dari masalah yang sama. Indah buminya, kaya tanahnya, namun miskin rakyatnya, dan merajalela tiraninya. Ada buruh yang dihisap tenaganya, direnggut hak-haknya berserikat dan bersuara, serta ditindas kebebasannya. Ada tani yang dirampas tanahnya, dirusak lingkungannya, dan diancam nyawanya. Ada pemuda mahasiswa yang dipermahal pendidikannya, dikekang daya kritisnya, dan dipersuram masa depannya. Ada kaum miskin kota yang digusur tempat tinggalnya, disingkirkan tempat mencari nafkahnya, dan dihina dinista penguasa serta para pendukungnya. Sedangkan di sisi lain konglomerat bertambah kaya dan para pejabat semakin berkuasa. Pelanggar HAM dapat kenaikan jabatan. Sedangkan rezim negara hanya mementingkan anggaran dan investasi. Apakah Indonesia yang seperti ini harus kita terima? Apakah dunia yang seperti ini tidak boleh diubah?
Dari masa ke masa dunia dipenuhi orang-orang yang menyuruh kita menerima nasib begitu saja. Mengatakan bahwa segalanya adalah takdir. Ada Epictetus dari Stoa yang mengatakan setiap orang punya perannya sendiri, ada yang jadi raja, ada yang jadi budak. Mengatakan salah bila kita mencoba mengubah peran. Mengatakan kacau bila nanti peran ditentang. Ada Augustinus dan Aquino di Eropa yang menyatakan raja adalah wakil tuhan di muka bumi. Menentang raja sama dengan menentang tuhan. Bahkan ada ulama MUI yang di tahun 98 menyatakan, “Para demonstran halal darahnya.”
Dusta demi dusta ditanamkan kepada rakyat jelata. Dari masa ke masa. Dari daerah ke daerah. Agar menerima ketidakadilan, tenang di hadapan penindasan, dan tak bangkit melawan. Namun dari masa ke masa, di antara berjuta selalu ada yang sadar, mempertanyakan, dan menggugat. Mereka tidak muncul begitu saja.
Ada Spartakus yang memimpin pemberontakan budak melawan kekaisaran Roma. Ada Emiliano Zapata yang memimpin perang tani melawan kesewenangan tuan tanah. Ada Semaun, anak tukang batu, memimpin pemogokan buruh kereta api menentang kezaliman tirani.
Namun mereka tidak muncul begitu saja. Mereka yang sadar dan memutuskan menggalang perjuangan melawan penindasan tidak lahir dari ketiadaan dan kehampaan. Sebelum menjadi Che, Ernesto adalah seorang dokter muda yang menyaksikan penderitaan dan kemiskinan akibat tirani penguasa saat bersama Roberto berkeliling Amerika Latin. Sebelum menjadi Lenin, Ulyanov adalah seorang anak pintar dan murid berbakat sampai ia menyaksikan kakaknya, Alexander, ditangkap dan digantung karena melawan penindasan rezim Tsar di Rusia. Demikianlah pejuang dilahirkan massa rakyat, disentuh oleh ketertindasan dan kemiskinan mereka, dibangkitan kesadarannya, dan kembali menggerakkan mereka untuk bersama-sama berjuang. Ada dialektika antara individu dan massa. Ada dialektika antara kenyataan dan cita-cita. Ada dialektika di antara mereka.
Maka kita temukan budaya saling mengkritik bahkan berpolemik di antara para tokoh bangsa. Antara Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Ada budaya saling mengkritik dan mengoreksi antara pejuang Afro-Amerika seperti Malcom X, Martin Luther King, dan Bobby Seale. Bagi para pejuang kritik adalah hal biasa. Bukan untuk saling menjatuhkan namun saling mempengaruhi. Berbeda dengan rezim tirani seperti Harto, Pinochet, dan Pahlevi.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, sejarah bukanlah semata karya orang-orang besar dan tokoh-tokoh terkemuka. Sejarah adalah karya berjuta massa. Tanpa ada hamba sahaya, meskipun Syailendra berkehendak, candi-candi tak akan terbangun dengan sendirinya. Tanpa budak belian, piramida-piramida tak akan berdiri begitu saja. Bertolt Brecht, pernah menulis sajak pada suatu ketika:
Suatu Pertanyaan dari Buruh yang Membaca
Siapa yang membangun tujuh gerbang Thebes
Di buku-buku kalian akan menemukan nama raja-raja
Namun apakah raja-raja yang mengangkut batu berbongkah-bongkah
Dan Babilonia berapa kali dihancurkannya
Siapakah yang mendirikannya kembali? Di rumah mana
Yang bersimbah emas di Lima, tinggal dimanakah para pembangunnya?
Kemanakah, di malam setelah Tembok Besar Cina selesai berdiri,
Kemanakah para tukang batu pergi? Di Roma yang Agung
Yang penuh dengan kuil-kuil kemenangan, siapakah yang mendirikannya? Caesar menang atas siapa? Bukankah Byzantium yang dipuja-puji dalam lagu hanya istana bagi para penghuninya? Bahkan di Atlantis yang melegenda, di malam ia ditenggelamkan samudra, samudra menangisi budak-budak mereka
Iskandar muda menaklukkan India
Apakah ia hanya sendiri saja?
Caesar mengalahkan kaum Galia
Apakah tidak ada tukang masak yang bersamanya?
Philip dari Spanyol menangisi armadanya
Yang hancur dan tenggelam. Apakah dia satu-satunya yang menangis?
Frederick Kedua memenangkan Perang Tujuh Tahun. Siapa
lagi yang memenangkannya
Setiap halaman, setiap kemenangan
Siapa yang menyiapkan jamuan makan untuk sang pemenang?
Setiap dasawarsa satu orang tokoh besar
Siapa yang harus membayar tanggungan?
Begitu banyak laporan
Begitu banyak pertanyaan.
***
Memang kita perlu mengenal diri. Kita perlu mengenal diri sendiri. Tapi tidak bisa kemudian berhenti. Sekadar introspeksi. Sekadar mawas diri. Menyusukuri. Lantas haram mengkritik tirani. Seperti yang selama ini dianjurkan Aa’ Gym. Seperti yang selama ini disarankan Mario Teguh. Seperti semua motivasi. Khususnya menjelang harga BBM naik dan pencabutan subsidi. Rakyat dianjurkan tawaqal sementara motivator dapat honor jutaan rupah sekali manggungnya. Betapa miripnya dengan anjuran feodal Jawa “Jangan neko-neko”, “jangan macam-macam”, dan “jangan ikut-ikutan”. Lalu hidup kita hanya menanggung penindasan demi penindasan. Ditimpa kekalahan demi kekalahan. Sampai maut memisahkan.
Namun seorang kuli mebel pernah menulis puisi:
“Tentang Sebuah Gerakan
tadinya aku pingin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?”
Demikianlah Wiji Thukul mengalami kebangkitan kesadaran. Dari sekadar memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri, menjadi memikirkan rakyat banyak, memikirkan semua orang. Memikirkan perubahan. Memikirkan gerakan. Gerakan untuk menghapuskan penindasan. Agar bisa mendatangkan perubahan. Agar bisa menghapus kemiskinan. Agar bisa mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang. Betapa mulianya. Betapa bahagianya.
Orang-orang seperti ini tidak berambisi ingin terkenal. Mereka mengenal dan dikenal oleh massa. Sebagai suatu konsekuensi alami. Bukan sebagai obsesi. Jelas mereka tidak bisa disamakan dengan American Idols ataupun Awkarin.
Tentang kebahagiaan, suatu ketika, ada anak bertanya kepada bapaknya. Apa itu kebahagiaan? K.H. Marx menjawab kepada putrinya, “Kebahagiaan adalah perjuangan melawan penindasan.” Penindasan yang tidak akan hancur oleh kata-kata pertapa. Tirani yang tidak akan tumbang hanya dengan dinasehati. Apalagi lewat pantun jenaka.
Apakah kekaisaran Prancis kekurangan gereja dan katedral serta khotbah moral sampai tidak bisa menghentikan Louis XVI berkata, “L’etat c’est moi”? Apakah rezim Orde Baru kekurangan masjid dan ulama serta ceramah beretika dan berbijaksana sampai Soeharto terus berkuasa 32 tahun lamanya di atas genangan darah dan air mata?
Sejarah kita penuh para pejuang yang bermimpi untuk mengubah dunia. Soekarno bermimpi untuk menghapuskan penjajahan, Tan Malaka bercita-cita mewujudkan kemerdekaan seratus persen, Munir Said Thalib mendambakan penghapusan kediktatoran, pendirian demokrasi, dan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), serta Wiji Thukul menginginkan masyarakat tanpa kelas dan tanpa tirani. Semuanya para pejuang. Semuanya para pemimpi. Yang ingin mengubah keadaan, mengubah Indonesia, dan mengubah dunia. Salahkah mereka?
Tidak sama sekali.
Apakah mereka tidak punya kepintaran? Punya.
Apakah mereka tidak punya kebijaksanaan? Punya.
Apakah mereka tidak punya cinta? Justru punya.
Cinta mereka lebih banyak daripada semua rezim tirani yang pernah ada di dunia.
“Revolusioner sejati digerakkan oleh rasa cinta,” kata Che.
Namun sebagaimana kata kawan-kawan kita di kiri jalan yang bangkit berjuang melawan kediktatoran militer Orde Baru, “Kami cinta kedamaian. Namun kami lebih cinta kemerdekaan.”
Badai topan perjuangan untuk kemerdekaan lebih baik daripada semilir sejuk perdamaian semua yang menyelimuti penindasan dan ketidakadilan.
Jadi apa yang bisa kita pelajari disini? Bahwasanya penting untuk memiliki kepintaran. Penting juga untuk memiliki kebijaksanaan. Maka kepintaran dan kebijaksanaan tidak perlu dipertentangkan. Keduanya justru perlu digabungkan. Namun kepintaran dan kebijaksanaan tak ada gunanya tanpa keberanian. Kepintaran tanpa kebijaksanaan hanya berbuah kesewenangan. Sedangkan kebijaksanaan tanpa kepintaran hanya berbuah kenaifan. Tanpa keberanian, kebijaksanaan hanya akan berbuah ketertundukan. Tanpa keberanian, kepintaran hanya berbuah kepengecutan.
Seperti kata Wiji Thukul
“Apa guna baca banyak buku?
Kalau mulut kau bungkam melulu.
Apa guna punya ilmu tinggi?
Kalau hanya untuk mengibuli.
Di desa-desa tani dipaksa menjual tanah.
Tapi dengan harga murah.
Di kota-kota buruh dipaksa bekerja keras
Tapi dengan upah rendah.
Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah
Kong kalikong dengan kaum cukong.”
***
(Leon Kastayudha, 6 November 2016).
Comment here