“Dorian Bon menempatkan Donald Trump dan kelompok reaksioner yang tertarik pada kampanyenya dalam konteks kemunculan dukungan bagi partai dan formasi sayap kanan secara international.”
1 November 2016
———————————
Seminggu sebelum pemilu, popularitas Donald Trump tercatat lebih rendah dalam setiap survey opini publik. Bahkan setelah muncul kontroversi mengenai email Hillary Clinton pun, tampaknya Donald Trump yg merupakan calon dari partai republik ini terus terekspose sebagai predator seksual, pengemplang pajak, dan orang yang tidak jujur yang berusaha mengejar ketertinggalannya dari Hillary Clinton.
Meskipun demikian, jutaan orang akan tetap memilih Donald Trump dalam pemilu. Dan sebagian orang mungkin melakukan hal yang lebih dari sekedar memilihnya. Antara komentar keras Trump yang mendorong basis massanya untuk “pergi ke luar rumah dan mengamati TPS” dan juga pernyataannya bahwa dia akan menerima hasil pemilu “hanya jika dia menang”, elemen kanan-garis keras dapat tertarik pada kampanyenya untuk mengorganisir diri dan mengganggu pemilih pada hari pemilihan.
Bahkan terlepas kemungkinan dari pengamat jajak pendapat sayap kanan, pertanyaan lain yang akan muncul bagi pembaca website ini adalah: Mengapa kefanatikan dan chauvinisme agresif yang dimiliki oleh Donald Trump mendapatkan pendukung yang begitu besar? Bagaimana bisa begitu banyak jutaan orang yang tidak memiliki jutaan dolar di rekening Bank mereka, masih mau memilih dia setelah segala sesuatu yang dia lakukan?
Secara lebih umum: Dari mana momentum kemunculan sayap kanan ini datang? Ke mana sayap kanan ini akan melangkah? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas.
Mengapa bisa muncul banyak pendukung? Meskipun Trump banyak dicemooh karena statementnya di muka publik, dia konsisten untuk menunjukkan posisinya sebagai pendukung sayap kanan sejati, mulai dari persekusi imigran dan kriminalisasi terhadap warga Afrika-Amerika Muslim, lalu penaklukan atas perempuan, dan obsesi terhadap kekuasaan dan superioritas USA.
Dan ketika Trump sendiri adalah seorang tycoon milyarder real estate, kampanyenya adalah upaya untuk penyaluran ketidakpuasan terhadap krisis sosial di era Clinton-Bush-Obama menuju ke arah kekerasan dan bigotri.
Meskipun banyak dari pimpinan Partai Republik menilainya sebagai bencana total, kesuksesan Trump tidak terlepas dari trajektori politik dari Partai Republik selama beberapa dekade terakhit. Pimpinan GOP (Partai Republik) memanfaatkan tema yang sama dari apa yang dikampanyekan Trump akhir-akhir ini. Sebagai mana ditulis oleh Lance Selfa dalan SocialistWorkers.org:
“Jika kita bicara mengenai hal yang tak terelakkan dari Trump, kita harus benar-benar mengamati apa yang tak terhindarkan dari Republikan –berdasarkan dari arah politik mereka dalam beberapa dekade terakhir– dalam menominasikan seseorang seperti Trump: seorang “outsider” dari berangkat partai, mencalonkan diri dalam sebuah platform “populist” atau “anti-establishment”, yang secara terbuka mendukung sentimen nasionalis, xenofobik, dan anti imigran.
Trump menyatakan perlawanan terhadap elit politik dan sosial yang selama ini telah mengorbankan kesejahteraan bangsa hanya untuk meningkatkan kekuasaan mereka sendiri. Dia berjanji untuk “Make America Great Again/ Membuat Amerika Hebat Lagi” dengan cara mengganti penguasa yang korup dan menyatakan perang terhadap imigran, pengungsi, dan kambing hitam lainnya.
Cara pandangan Trump diatas tentu saja salah — lihat saja statistik ekonomi mengenai standar hidup populasi rentan yang dijadikan kambing hitam oleh Trump.
Akan tetapi Trump mampu mendapatkan simpati dari pendukung utamnya yang berasal dari kelas menengah dan sebagian kecil kelas buruh karena retorikanya mengenai kemerosotan ekonomi dan sistem politik yang tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat, sesuai dengan pengalaman yang mereka alami. Dikombinasikan dengan prasangka lama yang rasis dan nasionalis yang sudah berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun, maka akan sempurna resep sayap-kanan yang beracun itu.
Dengan kata lain, Trumpisme berakar pada kondisi dan pengalaman jutaan orang. Trump mungkin akan kalah dalam pemilu. Tetapi “Trumpisme” akan tetap ada sampai status quo yang memproduksinya ditentang dan diubah.[1]
– – – – – – – – – – – – – – – –
Kampanye Trump tentang populisme sayap-kanan bukan satu-satunya. Dimanapun ada kondisi sosial yang sama — kemerosotan ekonomi, kepercayaan publik terhadap negara berkurang, dan tradisi bigotri dan diskriminasi — Trumpisme atau sesuatu yang serupa, mungkin akan muncul.
Di Eropa, sebagian besar negara-negara di sana mengalami kesulitan ekonomi yang dari ukurannya lebih buruk dari yang terjadi di U.S — dan kelompok nasionalis mengalami kebangkitan, baik melalui partai politik maupun arus kanan-jauh dalam partai mainstream yang ada.
Di Britania, kekecewaan atas elit yang berkuasa dan kemarahan terhadap imigran merupakan faktor utama dalam referendum bagi UK untuk keluar dari Uni Eropa.
Sejak “Brexit,” Partai Konservatif telah mencoba untuk melakukan kapitalisasi atas sentimen ini. Dalam Konferensi partai tahunan, Perdana Menteri Theresa May berjanji untuk memeriksa kekuasaan orang-orang kaya, ‘menjinakkan’ serikat-serikat buruh yang ‘nakal’, dan membatasi imigran, segalanya dilakukan atas nama demi kepentingan “rakyat biasa.”
May dan Tories berharap dapat menghadang UK Independence Party, yang telah mencapai sejumlah kesuksesan elektoral –termasuk menjadi salah satu kekuatan utama yang mendukung posisi pilihan “tidak”; dalam pemungutan suara Brexit — dengan agenda nasionalis dan anti imigrannya.
Di Perancis, National Front yang merupakan kelompok kanan-jauh telah menjadi partai dominan, yang berlawanan dengan pemerintahan Socialist Party yang telah menghianati basis kelas buruhnya dengan merangkul neoliberalisme dan menerapkan represi secara drastis. Pimpinan National Front, Marine Le Pen bisa saja memenangi pemilihan presiden tahun depan dalam satu putaran.
Di Jerman, partai Alternative for Germany yang menbenci imigran, memenangkan 10 kursi dari 16 kursi parlemen, dan menjadi oposisi dominan di 2 negara bagian, Saxony-Anhalt dan Meecklenburg-Vorpommern.
Dan di Austria, the Freedom Party, yang memiliki hubungan terbuka dengan rasisme, berhasil meruntuhkan kekuasaan politik duopoli yang telah berlangsung selama satu dekade terakhir, dengan memenangkan 31.000 suara dalam pemilihan presiden awal tahun ini. Kandidatnya, Norbert Hofer akan mendapatkan kesempatan bulan Desember, pada saat pemilu yang baru. Setelah pembatalan dalam runoff bulan Mei dimana, Hofer hampir saja kalah.
Di Eropa Timur, dimana beberapa pemerintahan sayap kanan nasionalis sedang berkuasa, organisasi yang lebih ekstrim, fasis bermunculan bersama dengan mereka. Di Hungaria, dimana partai Fidesz yang xenofobik berkuasa, kelompok Jobbik yang fasis mendapatkan momentumnya; di Polandia yang berada di bawah kekuasaan sayap kanan Law and Justice Party, kelompok elektoral ekstrim kanan dan yang mengorganisir di jalanan muncul dari kelompok tersebut seperti All Polish Youth.
Salah satu kemenangan terkini yang paling mencengangkan terjadi di luar Eropa. Di Filipina, mantan walikota Davao City, Rodrigo Duterte memenangkan pemilihan presiden dengan cara memanfaatkan kemarahan publik atas klientelisme elit, imperialisme Barat, meningkatnya kemiskinan, dan kriminalitas serta epidemik narkoba.
Sejak saat itu, Duterte mengkonsolidasikan kekuatan negara dan militer, dan meluncurkan aksi pembunuhan yang dilakukan oleh polisi untuk melawan pengguna narkoba –atau siapapun yang dianggap sebagai pengguna narkoba. Ribuan orang telah terbunuh dan masih banyak lagi orang yang dipenjara.
Dalam masing-masing kasus di atas –dan masih banyak lagi contoh dari “kesuksesan” kelompok kanan, terbentang dari Latin Amerika sampai ke Asia– pertikularitas secara nasional dan regional dan level perkembangan pengorganisasian kelompok kanan berpengaruh terhadap kondisi spesifiknya.
Akan tetapi ancaman umumnya menghubungkan mereka dengan kesuksesan kampanye Trump di Amerika — upaya untuk menyalurkan kemarahan publik atas kemerosotan sosial yang diarahkan baik kepada kekuasaan politik yang ada maupun bahaya akan imigran maupun “yang lainnya”, pada saat yang bersamaan menjanjikan kebanggaan dan kontrol nasional.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Dalam memahami ancaman utama ini, sangat penting untuk memobilisasi kekuatan oposisi, baik melawan yang jelas-jelas fasis di negara-negara seperti Yunani atau Austria, ataupun kelompok partikular populisme sayap-kanan yang direpresentasikan oleh Trump.
Trump memang bukan fasis, dan kampanyenya bukan merupakan embrio dari Partai Nazi, meskipun banyak elemen kanan jauh mendukungnya. Tetapi faktor dari kesuksesannya dibangun di atas landasan yang sama dengan pertumbuhan kelompok yang secara eksplisit merupakan organisasi kanan-jauh di Eropa.
Apa yang bisa dilihat dari faktor di atas untuk melakukan perlawanan terhadap kemunculan sayap kanan?
Pelajaran pertama adalah bahwa sayap kanan tidak bisa lagi dianggap sebagai kelompok yang tidak sigfikan. Dan memprotesnya jangan dianggap sebagai memberikan sayap kanan perhatian yang dibutuhkannya. Gagasan keji yang menyelubungi dari figur seperti Trump, seperti kotoran reaksioner yang lebih berkembang dari partai-partai yang secara terbuka fasis, harus jelas disebutkan dan ditunjuk hidungnya serta dikonfrontasi. Kambing hitam yang dimunculkan oleh kelompok kanan (seperti imigran), tidak bertanggungjawab atas kondisi memprihatinkan yang dialami oleh rakyat pekerja — yang bertanggungjawab adalah sistemnya.
Oleh karena itu, salah satu langkah penting dalam menghadapi Trumpisme, telah dilakukan oleh ratusan orang yang melakukan protes di kegiatan kampanye Trump di Chicago yang berujung pada pembatalan kegiatan kampanye ini. Setelah itu tidak ada yang bisa membodohi dirinya sendiri bahwa reli Trump tidak lebih dari karnaval kotoran reaksioner.
Hal yang tidak kalah penting ialah, politik sayap kanan yang mengandalkan keputusasaan dan selalu mencari kambing hitam; juga harus dilawan dengan alternatif yang positif –yakni yang memperjuangkan keadilan dan demokrasi, bertentangan dengan prasangka kelompok kanan.
Oleh karena itu, membangun gerakan sosial melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang dihadapi oleh rakyat secara umum menjadi penting –bukan hanya memenangkan perubahan pada isu partikular, tetapi juga dalam menantang kesuksesan kelompok kanan yang mencoba mengeksploitasi kondisi tersebut.
Sayangnya, bagi banyak orang, reaksi instingtif yang muncul atas figur seperti Trump bukanlah dengan menbangun gerakan sosial, tetapi malah berharap bahwa akan ada figur liberal lain yang muncul dari kelompok politik yang sudah mapan, akan dapat menghentikan kelompok sayap kanan. Akan tetapi harapan ini justru memperkuat kondisi yang memunculkan pendukung bagi Trumpisme.
Di AS, bisakah kita berharap pada Partai Demokrat untuk menghadapi sistem politik korup dan tidak responsif yang hanya memenuhi keinginan dari 1 persen (penguasa modal)? Tentu saja tidak bisa — Demokrat telah berkuasa selama ini dan sangat berpihak pada agenda korporasi.
Bisakah kita berharap bahwa Demokrat akan melakukan perlawanan atas serangan neoliberal yang berujung pada penurunan standar hidup kelas pekerja? Memerangi rasisme dan diskriminasi? Berdiri tegak untuk membela hak-hak perempuan dan LGBT tanpa apologi? Tidak, tidak, dan tidak.
Menitipkan kepercayaan pada Demokrat sebagai jalan pintas untuk mengalahkan bigotri dan nasionalisme hanya berkontribusi menambah masalah. Jika kebangkitan kelompok kanan secara internasional dapat mengajarkan sesuatu pada kita, adalah bahwa kelompok kanan harus dikonfrontasi melalui protes– dan bahwa kelompok kiri harus berjuang tanpa ada konsesi dengan bigotri.
Diterjemahkan dari artikel berjudul “The Rise of Trumpism and How to Fight It”. Dapat diakses melalui https://socialistworker.org/2016/11/01/the-rise-of-trumpism-and-how-to-fight-it
Diterjemahkan oleh Surtikanti, kader KPO PRP.
[1] Hasil pemilihan presiden tanggal 9 November (Waktu Indonesia Barat) memastikan bahwa Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS ke-45
Comment here