Wacana pemberian gelar pahlawan oleh rezim pemerintah kepada Soeharto ditolak keras oleh Massa Aksi Kamisan 10 Malang. Puluhan pemuda mahasiswa yang berdemonstrasi Kamis (3/111/2016) depan Balai Kota itu menyatakan gelar pahlawan nasional sama sekali tidak pantas diberikan kepada seorang pelanggar HAM, diktator, dan tiran, seperti Soeharto. “Memahlawankan Soeharto sama saja dengan memuja penindasan,“ kecam Haris Syamsudin, pegiat In-Trans Institute, dalam orasinya. Abdurrahman Sofjan dari Komunitas Kalimetro juga menambahkan, “Kebenaran harus ditegakkan. Penjahat, penghilang massa, pelanggar HAM tidak pantas diberi gelar pahlawan,” kecamnya. Lebih dari itu, ia melanjutkan,“Watak kapitalistis, foedalistis, mewujud dalam diri Soeharto,” kecamnya.
Hampir seluruh penindasan hari ini juga diakibatkan oleh warisan otoriter Orde Baru. Al-Machi Ahmad menyebutnya “Soeharto Effect. Perampasan dan monopoli tanah oleh tuan-tuan tanah hari ini meniru praktik-praktik Orde Baru. Petani-petani distigmatisasi dan disingkirkan dari tanahnya lalu tanahnya diklaim oleh para penindas ini. Oleh sebab itu kaum tani menolak tegas pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto,” ungkap pengacara yang mendampingi kasus kriminalisasi petani di Blitar ini.
Ketidakpantasan Soeharto menyandang gelar pahlawan nasional juga tidak hanya akibat rekam jejak pelanggaran HAM dan pemberangusan demokrasinya. Melainkan karena juga berbanding terbalik dengan kepahlawanan nasional, Soeharto justru menghancurkan kedaulatan nasional dengan mengembalikan dominasi Imperialisme ke Indonesia. Hal ini diutarakan Rudi Hartono, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, yang menyatakan, “Berdirinya Orde Baru merupakan pintu masuk penindasan dan penjajahan. Sebagai rezim otoriter, Soeharto dan kediktatoran militer Orde Barunya melanggengkan ketimpangan dan kesenjangan sosial serta melampangkan jalan bagi neoliberalisme di Indonesia,” sorotnya.
Pernyataan ini didukung Leon Kastayudha. “Soeharto tidak pantas dijadikan pahlawan nasional. Karena Soeharto telah mewariskan tiga hal yang sampai sekarang menjadi biang penindasan terhadap rakyat di Indonesia, yaitu Imperialisme, Kapitalisme, dan Militerisme. Begitu Soeharto berkuasa dan menggulingkan Soekarno lewat manuver pembantaian 65, seluruh kekayaan alam di Indonesia digadaikan ke perusahaan-perusahaan Imperialis. Maka akibatnya sampai sekarang kita melihat Indonesia dikuasai oleh Freeport, Exxon-Mobile, Chevron, Caltex, Shell, British Petroleum, dan sebagainya. Lewat Soeharto pula, rakyat di Papua ditindas demi kepentingan Imperialisme. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menentukan apakah Papua bergabung dengan Indonesia belum dilaksanakan namun Imperialis sudah diberi hak dan konsesi untuk menjarah kekayaan alam di sana. Akibatnya rakyat di Papua diintimidasi dan direpresi, suku-sukunya diancam dan ditindas, dipaksa tunduk ke bawah kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Soeharto. Soeharto juga biang kapitalisme. Gerakan buruh dan kebebasan berserikat ditindas, upah buruh ditekan serendah-rendahnya, demi para pemodal internasional. Kaum tani dirampas tanahnya dengan dalih pembangunan nasional padahal sebenarnya demi kepentingan pejabat dan konglomerat. Kaum miskin kota juga digusur disana-sini, pedagang kaki lima, pedagang pasar tradisional disingkirkan demi pembangunan mall, plaza, mini market, pasar-pasar modern. Kini meskipun sudah 18 tahun berlalu semenjak Soeharto dipaksa turun namun pola-pola penindasan kapitalistis ini masih terus terjadi. Militerisme juga semakin masif hari ini. Militer dikerahkan untuk merepresi demo-demo buruh, memasuki pabrik-pabrik, mengawal perampasan tanah petani maupun perusakan lingkungan yang ditentang kaum tani, hingga melempangkan penggusuran-penggusuran pemukiman rakyat miskin,” kecam anggota Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO PRP) ini.
Ia melanjutkan, “Jangan salah kita tidak anti-asing. Kita anti Imperialisme. Kita anti penindasan tidak peduli penindas itu dari luar negeri maupun Jawa pribumi seperti Soeharto. Kita juga tidak anti-militer, kita tidak anti-tentara, kita tidak anti-prajurit. Karena banyak juga prajurit yang miskin, uang lauk pauknya dipotong, terpaksa tidur berdesakan di barak atau asrama, sementara atasan-atasannya para petinggi militer hidup mewah bergelimang harta bahkan banyak yang tersangkut skandal politik atau kasus korupsi. Apa yang kita tentang adalah militerisme, yaitu penggunaan militer sebagai pendukung sistem dan rezim penindasan kapitalisme terhadap kelas buruh dan rakyat pekerja. Oleh karenanya kita menuntut penghapusan militerisme serta menuntut penegakan HAM dan demokrasi,” serunya. Semua ini harus diiringi dengan perjuangan menghancurkan warisan-warisan Soeharto: Imperialisme, kapitalisme, dan militerisme.
Muthia Rizqiqa, seorang pegiat Pers Mahasiswa dari UIN Malang, kemudian menutup aksi dengan membacakan dosa-dosa Soeharto yang membuatnya tidak pantas dijadikan pahlawan nasional:
- Soeharto menggunakan alat perlengkapan negara (ABRI dan Birokrasi) untuk melakukan kejahatan
- Soeharto membawa ABRI ke dalam arus militerisme akut
- Soeharto bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran Hak Sipil dan Politik
- Soeharto bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
- Soeharto adalah pemimpin terkorup di dunia menurut laporan FORBES 2015 dan Transparansi Internasional (2004) dengan total korupsi US$ 35 Miliar atau Rp 457 triliun.
- Soeharto melakukan korupsi atas penggunaan uang negara melalui tujuh yayasan yang diketuai Soeharto: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora untuk kepentingan bisnis kroni Soeharto (Putusan MA No. 2896 K/pdt/2009)
- Hingga akhir kekuasaannya rakyat Indonesia mendapat warisan hutang luar negeri Rp 1.500 triliun.
Selanjutnya atas nama massa aksi Kamisan Malang, Muthia menyatakan tuntutan kepada pemerintah:
- Tolak pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional
- Usut tuntas semua pelanggaran HAM dan kejahatan otoriter rezim Orba dan adili semua pelaku seadil-adilnya
- Rehabilitas hak-hak Sipol dan Ekosob seluruh korban yang dirampas Orba serta berikan kompensasi kepada korban
- Hapus segala bentuk militerisme, tegakkan supremasi sipil, dan kedaulatan rakyat, serta laksanakan paripurna negara hukum demokrasi yang melindungi HAM
- Cabut semua instrumen hukum represif produk Orba yang memasung demokrasi dan HAM. (lk)
Comment here