Meningkatnya penindasan terhadap petani mendorong 55 pemuda di Malang Raya suarakan solidaritas dalam Aksi Kamisan (27/10/2016). Mereka menuntut penghentian kriminalisasi serta segala bentuk pelanggaran HAM terhadap kaum tani yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Dalam rilis persnya massa aksi mengungkap kondisi agraria Indonesia saat ini. “Tanah subur tapi petani tak berhak atas kesejahteraan, Air melimpah tapi masyarakat dipaksa beli ke korporasi, Hutan kaya tapi rakyat melarat. Korporasi menjadi penguasa, Negara dan politisi menjadi abdinya, tentara, polisi menjadi tukang pukulnya dan rakyat menjadi sasaran eksploitasinya. Petani Blitar, Kediri, Jember, Banyuwangi, Bondowoso menjadi saksi bagaimana 166 HGU menjadi penghalang kesejahteraan mereka dan hukum menjadi alat pengamputasi gerakan mereka. Petani Majalengka berlumuran darah menjadi saksi dan korban bagaimana serdadu itu tanpa ampun memukuli saudara sebangsa. Petani Kalimantan dan Sulawesi menjadi saksi dan korban bagaimana mereka diusir oleh jahatnya korporasi yang menguasai 8,9 juta Ha lahan sawit (40% PMA), Petani Kendeng menjadi saksi bagaimana penguasa sesunguhnya adalah pengusaha, alam hanyalah materi yang harus dieksploitasi, dan Negara hanyalah abdi untuk memuluskan agendanya,” tulis Mahrus dari Komunitas Kalimetro.
“Negara hadir bukan untuk melindungi yang lemah tapi melindungi para pemodal yang merampas hak-hak rakyat,” kecam Hayyi dari Malang Corruption Watch (MCW) dalam orasinya. “Perusahaan engan mudah diberi Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan berhetar-hektar. Akibatnya sekarang konglomerat menguasai berjuta hektar sedangkan petani dipersulit hanya untuk mendapatkan dua hektar lahan garapan,” eksposnya.
Sementara itu Leon Kastayudha dari KPO PRP menambahkan, “Penindasan terhadap kaum tani juga merupakan penindasan terhadap rakyat. Sebab saat kaum tani semakin ditindas dan disingkirkan oleh perampasan-perampasan tanah dan perusakan-perusakan lingkungan, maka kemampuan petani untuk memproduksi pangan bagi rakyat semakin tergerus. Semakin tergerusnya kemampuan petani memproduksi pangan bagi rakyat berarti semakin tergerusnya kedaulatan pangan. Rakyat semakin dibuat tergantung kepada banjir produk-produk pangan dari negara-negara industri maju dan kapitalis-kapitalis agraria. Perusakan-perusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis agraria seperti tambang pasir besi, pabrik semen, dan industri perhotelan jelas tidak hanya mengancam hajat hidup petani namun juga seluruh rakyat. Erosi dan abrasi yang membuat wilayah pesisir rawan saat ancaman tsunami, pencemaran limbah, penghancuran terhadap sumber-sumber mata air, hingga pemanasan global adalah ancaman nyata yang dihadapi dan dilawan kaum tani. Oleh karena itu penting bagi buruh, pemuda, mahasiswa, dan rakyat untuk mendukung perjuangan petani ini,” serunya.
Massa Aksi Kamisan ke-9 di Malang Raya ini menuntut hentikan segala bentuk Intimidasi, Represi aparat dan kriminalisasi gerakan tani dalam rangka memperjuangkan hak Ekonomi Sosial dan Budayanya (Pasal 33 ayat 3 UUD 45: Hak atas akses sumberdaya alam untuk kesejahteraan), Laksanakan 9 juta Hektar redistribusi tanah untuk Petani sebagaimana janji kampanye Presiden Joko Widodo, Tanah untuk Petani Penggarap, bukan untuk Korporasi, Moratorium segera izin-izin penguasaan tanah oleh korporasi (HGU, HPH, IUP, KK, HTI) yang banyak menciptakan konflik dan Proletarisasi. Jauhkan TNI dari wilayah sengketa agraria dan kembalikan TNI ke Barak. Tinjau ulang keberlakuan UU No.39/2014 tentang Perkebunan yang Pro Privatisasi dan bermuatan kriminalisasi (Pasal 107)dan UU No.19/2013 (UUP3) karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD45 dan UUPA. Hentikan stigmatisasi gerakan petani sebagai gerakan komunis. Segera bentuk sistem Peradilan Agraria sebagai mekanisme penyelesaian sengketa agraria. Serta laksanakan secara paripurna reforma agraria dalam UUPA dan TAP MPR No.IX/MPR/2001, Kepres No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Nasional. (lk)
Comment here