Malang, Kamis (20/11/2016) tepat dua tahun rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), 24 demonstran berunjuk rasa menuntut pembukaan hasil Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. Aksi Kamisan kedelapan di depan Balai Kota Malang ini mengecam pemerintah yang menyatakan hasil TPF hilang. Hayyi, dari Malang Corruption Watch, menyatakan “Tim Pencari Fakta sudah menyerahkan hasilnya kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005. Namun dua kali periode jabatan Presiden SBY hingga berganti sekarang Presiden Jokowi namun tidak kunjung dibuka ke publik. Padahal dokumen itu mengungkap rahasia terbunuhnya Munir. Malahan pemerintah sekarang menyatakan bahwa dokumen itu hilang. Omong kosong kalau dokumen itu hilang. Ini kementerian negara atau RT/RW?! Ini hilang atau sengaja dihilangkan?! Ini menunjukkan negara tidak serius dalam menangani kasus pembunuhan Munir. Padahal dalam salah satu Nawacita Jokowi menjanjikan penegakan HAM. Kenyataannya Nawacita hanyalah ilusi dan omongkosong untuk memanipulasi publik”, kecamnya.
Hayyi melanjutkan, “Kalau Munir, seorang pembela HAM dengan reputasi internasional, saja bisa dihabisi dan pelakunya tidak pernah diadili dan dihukum, apalagi masyarakat kecil seperti buruh dan petani,” ujarnya memperingatkan. “Pelaku pembunuhan dan pelanggar HAM, apapun jabatannya, tidak boleh kebal dari hukum, tidak boleh memiliki impunitas,” serunya.
Leon Kastayudha menambahkan, “Dua tahun rezim Jokowi-JK justru diiringi semakin meningkatnya intimidasi, represi, dan pelanggaran HAM. Pembubaran dan pemukulan aparat serta kriminalisasi terhadap aksi buruh seperti Oktober lalu semakin marak. Perampasan tanah dan penembakan terhadap petani seperti di Kendeng, Rembang, Karawang, Lampung, Blitar, dan lainnya semakin menjadi-jadi. Penggusuran terhadap ruang hidup dan tempat tinggal kaum miskin kota semakin masif di sana-sini. Bahkan semakin banyak aksi-aksi damai Papua yang direpresi. Beginilah watak kelas rezim borjuis. Bagi mereka investasi jauh lebih penting daripada hak asasi. Semua ini dilakukan demi menyelamatkan sistem penindasan yang sedang dilanda krisis,” kecamnya. “Oleh karena itu perjuangan kita hari ini penting karena tidak sekadar menuntut pembukaan hasil TPF, tidak sekadar penuntasan kasus Munir, namun juga bagian dari perjuangan demokrasi dan HAM. Sebab setiap pelanggaran HAM yang tidak diusut tuntas dan setiap pelanggar HAM yang tidak diadili dan dihukum akan menimbulkan pelanggaran-pelanggaran serupa di masa depan. Sekarang saja kita bisa melihat cara-cara biadab dalam peristiwa 65 dipakai untuk membunuh petani seperti Salim Kancil, cara-cara Penembakan Misterius dipakai dalam penyerbuan Lapas Cebongan, juga penggunaan racun-racun seperti arsenik dan sianida yang meniru pembunuhan terhadap Munir. Ini tidak bisa kita biarkan. Keadilan, demokrasi, dan penegakan HAM memang tidak akan pernah dihadiahkan penguasa tapi hanya bisa diperoleh dengan direbut dan diperjuangkan oleh massa,” serunya.
Senin sebelumnya, dalam diskusi di Omah Munir menuntut pembukaan hasil TPF, Andi Irfan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) menyatakan, “Kami di Kontras tidak melihat adanya perbedaan signifikan antara rezim SBY dan rezim Jokowi. Keduanya sama-sama memoles diri dan keduanya sama-sama mengelilingi diri dengan militer dan pelanggar HAM. Meskipun metode dan aktornya berbeda,” ungkapnya. Satu sisi di kubu SBY ada Sarwo Edhie, mertua sekaligus pelaku pelanggaran HAM sedangkan di kubu Jokowi ada Hendropriyono dan Wiranto. Keduanya sama-sama berjanji akan berkomitmen menegakkan HAM, “Namun komitmen mereka tidak lebih dari sekadar beri ruang bicara bagi orang-orang yang dikorbankan,” ungkapnya. Bukan memberikan keadilan bagi mereka. (lk)
Comment here