Aksi

Aksi Kamisan di Malang Tolak Militerisme dan Tuntut Reformasi TNI

aksi-kamisan-malang-7Kamis (13/10/2016), Aksi Kamisan kembali diadakan untuk ketujuh kalinya di Malang Raya, kali ini menolak militerisme dan menuntut reformasi TNI. Massa aksi yang terdiri setidaknya dari 47 pemuda mahasiswa ini menyatakan sudah lebih dari 18 tahun berlalu sejak bubarnya kediktatoran Orde Baru (Orba) namun demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) justru semakin dipukul mundur akibat naiknya militerisme. Riyan, orator aksi, menyatakan, “Bukannya pelanggaran HAM di masa lalu dituntaskan, malah saat ini semakin banyak intimidasi, represi, dan pelanggaran-pelanggaran HAM baru oleh aktor-aktor sama.” Orator aksi lainnya menyatakan ini akibat tidak tuntasnya perjuangan demokrasi pasca 98. “Militer yang seharusnya jadi alat pertahanan atas ancaman dari luar, kini malah menjadi alat penindasan buruh, penganiayaan petani, dan penggusuran kaum miskin kota.”

Sebagaimana keterangan rilis pers, massa aksi mengecam berbagai represi dan kriminalisasi aparat terhadap rakyat. Seperti aksi buruh di depan Istana pada 30 Oktober. Kemudian pengerahan militer untuk kepentingan pemodal dengan cara menindas kaum tani seperti di Kendeng, Rembang, Karawang, Kulon Progo, Wonogoro, Lampung, dan di desa-desa lain. Termasuk pengerahan militer dalam penggusuran seperti penggusuran di Kampung Pulo dan Bukit Duri dimana tiap tentara dibayar Rp 250.000,- ditambah uang makan Rp 38.000,- dari dana APBD DKI Jakarta serta ditambah kucuran dana dari perusahaan-perusahaan kapitalis seperti Podomoro, Sinarmas, dan lainnya. Massa aksi juga menuding bahwasanya militerisme, lah, yang menjadi biang keladi semakin masifnya pemberangusan kebebasan berpendapat, berserikat, dan menyatakan pendapat di muka umum.

Ini juga diperparah wacana pemberian hak politik bagi tentara yang berisiko membuka celah kembalinya Dwi Fungsi ABRI. Ryamizard, Menteri Pertahanan (Menhan) menyatakan menyetujui penempatan unsur TNI dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu ada rumusan-rumusan Peraturan Presiden (Perpres) yang memperbesar militerisme. Imparsial menyebutkan draf Perpres tentang susunan organisasi TNI hendak mengembalikan porsi TNI seperti di Orba seperti dengan penambahan peran TNI sebagai alat keamanan negara, pelaksanaan pemberdayaan wilayah melalui pembinaan teritorial, serta pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogubwilhan).

Inilah mengapa, massa aksi Kamisan Malang menuntut tolak hak politik bagi tentara, kembalikan TNI ke barak, dan hapus intervensi militer di ranah sipil. Selain itu mereka juga menuntut penghapusan keterlibatan aparat militer di ranah konflik perburuhan, sengketa agraria, dan penggusuran. Termasuk penindakan tegas terhadap oknum-oknum TNI yang menjadi centeng pengusaha/pemilik modal dengan berdalih mengamankan aset-aset namun menindas rakyat dengan cara intimidasi, represi, dan kekerasan.

Memang sejatinya, militerisme merupakan bagian hakiki dari rezim dan sistem penindasan kapitalisme. Secara hakikat militerisme adalah penggunaan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan tirani kapitalisme. Dari waktu ke waktu kapitalisme akan berdialektika, saat kapitalisme mengalami booming ekonomi, maka militerisme secara formal hanya difungsikan sebagai penjaga tata tertib operasi bisnis kapitalisme dari ancaman eksternal, namun saat kapitalisme mengalami krisis, bahkan bilamana terancam oleh revolusi, maka kapitalisme tidak akan segan-segan mengayunkan militerisme ke pendulum tertingginya, yaitu mengobarkan perang imperialis atau mendirikan pemerintah militer untuk menyelamatkan kapitalisme itu sendiri.

Selain itu massa aksi juga mengecam keras serta menentang wacana penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Sebagaimana ungkap rilis persnya, massa aksi menyatakan Suharto tidak pantas diangkat sebagai pahlawan, “Sebab Suharto adalah mewakili kepentingan Imperialis untuk menggulingkan rezim Sukarno, mengotaki pembantaian 65, mengabdi pada kapitalisme global dan menggadaikan kekayaan alam Indonesia, memberangus demokrasi, melanggar HAM, membiakkan praktik korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) secara mengakar, menyebarluas, dan masif sehingga sulit diberantas sampai sekarang, membebani rakyat Indonesia dengan hutang-hutang luar negeri yang tidak pernah dinikmati rakyat dan sebaliknya hanya dinikmati Suharto, keluarga Cendana, dan kroni-kroninya.” Leon Kastayudha, dalam orasinya menyatakan, “Penetapan Soeharto sebagai pahlawan tidak hanya akan menghina serta memukul perjuangan HAM dan demokrasi, bahkan juga akan kembali menyuburkan praktik-praktik otoriter-militeristis. Akan semakin banyak penindas yang menggunakan cara-cara otoriter, memberangus demokrasi, membentuk dan mendanai ormas-ormas sipil reaksioner untuk menekan gerakan rakyat, dan cara-cara Orba lainnya, sebab bukan hanya pelanggaran HAM Orba tidak pernah diadili dan dihukum, malahan para pelakunya diberi kenaikan pangkat dan jabatan, termasuk jabatan Menteri, seperti Ryamizard Ryacudu dan Wiranto.” Praktik mimikri otoriter ini bahkan sudah bisa dilihat semakin banyak sekarang. Praktik pembunuhan para preman lewat Penembakan Misterius (Petrus) ditiru dengan insiden penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan oleh para terduga anggota Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Praktik memecahbelah rakyat dengan mendanai, melatih, dan mempersenjatai milisi sipil reaksioner yang dulu dipraktikkan Orba dalam Peristiwa 65 dan invasi ke Timor Leste sekarang juga ditiru lewat pembentukan Barisan Merah Putih di Papua untuk merepresi perjuangan pembebasan Papua, Garda Bima Sakti di Bekasi untuk merepresi perjuangan buruh. Bahkan tindakan BIN meracuni Munir dengan racun arsenik sekarang juga sudah membuahkan dua kasus peniruan kriminalitas dengan pembunuhan lewat racun sianida.

Oleh karena itu, massa aksi juga menuntut pencopotan para pelanggar HAM dari jabatan menteri dan jabatan negara lainnya dan pengadilan terhadap semua pihak yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan HAM pada umumnya dan kejahatan-kejahatan kediktatoran militer Orba pada umumnya. Selain itu sebagai bagian dari reformasi TNI, Fatimah yang berorasi mewakili massa aksi juga menuntut “…penghapusan seluruh institusi komando ekstra-teritorial, mulai dari KODAM, KODIM, KOREM, KORAMIL, hingga BABINSA.” Sebab terbukti selama ini keberadaan komando ekstra-teritorial lebih digunakan untuk menindas perjuangan kelas dan gerakan rakyat.

Kemudian karena perjuangan melawan militerisme juga tidak terpisahkan dari perjuangan demokrasi, massa aksi juga menuntut pencabutan atas seluruh peraturan anti demokrasi seperti UU Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), UU Keamanan Nasional (Kamnas), UU Penanggulangan Konflik Sosial (PKS), UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), UU Komponen Cadangan (tentang Wajib Militer), Peraturan Gubernur (Pergub) 228 tentang Pembatasan Aksi Unjuk Rasa yang melarang demonstrasi di Istana Negara dan titik-titik keramaian lainnya, Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian atau Hate Speech, dan semua peraturan, program, dan tindakan anti-demokrasi lainnya termasuk melegitimasi intervensi militer ke berbagai bidang.

Tentu saja, tuntutan-tuntutan tersebut pada khususnya dan perjuangan HAM dan demokrasi demikian tidak bisa dipenuhi dengan menitipkannya pada lobi-lobi politisi, termasuk kepada rezim Jokowi-JK. Sebab Jokowi-JK, yang kini bukan hanya semakin menunjukkan kolaborasinya dengan para pelanggar HAM, militeris, dan sisa Orba, kepentingannya bukan pada demokrasi dan HAM melainkan pada modal, investasi, pajak, dan laba. Memang demikianlah watak kelas kapitalis sesungguhnya. Janji-janjinya atas penegakan HAM dan demokrasi hanya menjadi komoditas politik untuk memenangkan Pemilu dan Pilpres.

Sehingga hanya rakyat sendiri yang harus memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak atas demokrasi dan HAM. Kaum miskin kota yang selama ini digusur tempat tinggalnya, digusur lapak kaki limanya, dan digusur pasar tradisionalnya, punya kepentingan atas HAM khususnya Hak untuk Hidup dan mendapatkan lapangan pekerjaan layak. Pemuda mahasiswa yang selama ini dibubarkan diskusinya, diancam sanksi DO karena bersikap kritis, atau ditindas komersialisasi pendidikan, berkepentingan atas HAM khususnya Hak untuk mendapatkan pendidikan dan kebebasan berpendapat. Termasuk juga kaum tani yang selama ini menderita perampasan tanah, penganiayaan, dan perusakan lingkungan, juga berkepentingan atas HAM, khususnya hak untuk tidak boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang dengan sewenang-wenang, serta hak atas tanah garapan. Tidak ketinggalan, dan malah terpenting, kelas buruh yang selama ini diberangus serikatnya, diintimidasi, dan direpresi, dan dihisap politik upah murah, paling berkepentingan atas demokrasi dan HAM, khususnya hak perburuhan yang adil dan menguntungkan, hak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan sama, pengupahan yang adil dan menguntungkan, serta kebebasan berserikat. Sehingga kelas buruh harus memimpin semua elemen rakyat dan kaum tertindas untuk perjuangan demokratis.

Tentu saja, demokrasi dan HAM selama masih dalam batasan kapitalisme, masihlah bersifat semu. Sebab hanya akan diberikan selama tidak terlalu mengganggu penindasan dan penghisapan. Namun bila sistem dan rezim kapitalisme mengalami krisis, maka semua capaian demokrasi dan HAM akan dirampas kembali, seperti saat ini. Sehingga dengan demikian perjuangan demokratis nasional tidak bisa tidak harus dihubungkan dengan perjuangan menggulingkan rezim dan sistem penindasan itu sendiri serta membangun sistem pembebasan. Dengan kata lain menghubungkan perjuangan revolusi demokratis nasional untuk menghapuskan militerisme dan imperialisme dengan perjuangan untuk menghapuskan kapitalisme, alias perjuangan revolusi sosialis.

Oleh karena itu tuntutan “Wujudkan tentara yang mengabdi pada rakyat bukan pada penjajah, pejabat, dan konglomerat!” yang turut diserukan oleh massa aksi Kamisan kali ini juga harus disadari hanya akan berhasil dipenuhi sebagai hasil dari dinamika pembelahan garis kelas, perjuangan kelas buruh, dan gerakan rakyat dalam melawan penindasan. (lk)

Loading

Comment here