Gelombang demi gelombang pemuda mahasiswa datang dan berunjuk rasa dalam Aksi Kamisan Keenam di Malang Raya pada Kamis (6/9/2016). Hingga akhir, 47 demonstran bertahan di tengah hujan deras, mengecam represi dan pemberangusan demokrasi. Sebagaimana dinyatakan dalam rilis mereka, “…represifitas terhadap kegiatan berserikat, berpendapat, dan berkumpul kembalii terjadi di berbagai daerah. Diskusi-diskusi ilmiah dibubarkan dengan berbagai alasan yang dibuat-dibuat…kita bisa melihat bagaimana pejuang lingkungan seperti Salim Kancil dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi. Ada juga para petani Urut Sewu yang dipukuli oleh militer gara-gara mempertahankan tanah mereka. Kawan-kawan buruh di Jakarta ketika melakukan aksi mogok nasional juga diperlakukan dengan cara-cara kekerasan. Baru sepekan kemarin salah seorang jurnalis di Madiun terpaksa menahan sakit akibat pemukulan yang dilakukan oleh anggota TNI saat dirinya sedang meliput konvoi salah satu perguruan silat,” kritiknya.
Salah satu orator aksi mengecam bahwasanya aparat baik kepolisian maupun militer sama sekali tidak melayani dan mengayomi kepentingan masyarakat seperti mereka klaim selama ini. Sebaliknya aparat malah melayani kepentingan pemodal dan penguasa. Buruh, tani, dan rakyat yang hanya mempertahankan hak-haknya tidak pantas diperlakukan dengan penindasan, kecamnya. Aparat berdalih menjaga keamanan dan ketertiban namun perusahaan-perusahaan Imperialis selama ini terus dibiarkan.
Selanjutnya Sarinah, dari Gema Demokrasi, yang datang dari Bekasi menyatakan represi dan pemberangusan demokrasi demikian terjadi dimana-mana. Ia memperingatkan bahwa latar belakang sipil Presiden Jokowi tidak berarti penegakan HAM dan demokrasi sema sekali. Fakta malah menunjukkan ia malah bersekutu dengan banyak pelanggar HAM bahkan mengangkat mereka menjadi menteri serta juga memperbanyak komando ekstra-teritorial.
Mujiyo, dari gerakan buruh kontrak, juga berorasi memperingatkan meningkatnya militerisme di berbagai sektor, termasuk perburuhan dan pertanian. Ia memblejeti bagaimana berbagai pabrik dan perkebunan dijadikan objek vital negara sehingga aparat kepolisian dan militer bisa semakin masif mengintimidasi dan merepresi rakyat yang menuntut hak-haknya. Dus, menurut Mujiyo, penting bagi kita untuk menggalang semua kekuatan demokratis untuk melawan militerisme.
Fatimah Suganda, salah satu demonstran, menyampaikan, “Lingkar-lingkar pelanggaran hak asasi manusia di bidang ekonomi tidak pernah berhenti bahkan terus bermetamorfosis, hal ini semakin diikukuhkan dengan landasan-landasan legitimasi dan peran negara di dalam nya. Dahulu akibat perampasan tanah, petani, masyarakat pedesaan, masyarakat adat, dan segala unsur-unsur terkait dengannya mengalami krisis ekonomi hingga harus menjadi buruh di atas tanah atau bekas tanahnya sendiri yang dipaksa diambil alih negara untuk Hak Guna Usaha perusahaan atau pihak swasta. Contoh nyata dari hal tersebut adalah beroperasinya pertambangan emas di Timika, Papua, di bawah kendali PT Freeport McMoran dan sejumlah perusahaan pangan yang beroperasi di Kabupaten Blitar, Jawa Timur.”
Sebagaimana tertuang dalam tulisannya bertajuk “Global Land Grabbing&Reproduksi Pelanggaran Hak Asasi Manusia” yang dibagikan saat aksi, ia mengungkap, “Kini, pola perampasan tanah secara global melanda hampir di seluruh provinsi di Indonesia, baik tanah masyarakat diambil alih negara secara langsung dengan memfungsikan aparatus negara represif kepada masyarakat atau negara memberi Hak Guna Usaha terlebih dahulu kepada swasta hingga selanjutnya pihak swasta membujuk masyarakat melepaskan tanah sebagaimana yang terjadi dalam program-program di bawah MP3EI diantaranya yang terjadi pada masyarakat adat Malind Anim akibat MIFEE di Papua.”
Pengajar Filsafat Feminisme dan Paradigma Kritis di Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi ini melanjutkan “…menjabatnya aktor-aktor yang bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu pada struktur pemerintahan saat ini yang justru semakin melanggengkan rantai-rantai impunitas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu terjadi di Indonesia, dalam bidang ekonomi-poltik, reformasi pun gagal karena pasca reformasi kasus-kasus pelanggaran hak ekonomi masih terjadi bahkan difasilitasi oleh negara dengan hukum dan intervensi politik misalnya dalam hal pengusaan dan perampasan tanah yang diperuntukkan bagi Hak Guna Usaha swasta yang berujung pada perampasan tanah.”
“Dalam kasus perampasan tanah yang terjadi di awal kepemimpinan Orde Baru, pasca runtuhnya Orde Baru masyarakat yang tanahnya dirampas oleh negara untuk Hak Guna Usaha perusahaan swasta hingga saat ini masih berjuang mencari keadilan di samping praktik-praktik perampasan tanah sendiri masih terjadi bahkan dengan skala lebih luas dan masih difasilitasi oleh negara salah satunya dengan program MP3EI 2011-2025.” Oleh karena itu, menurut Fatimah, penting bagi organisasi rakyat serta masyarakat sipil untuk memperjuangkan Reforma Agraria sesuai kerangka hukum Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Selain itu massa aksi juga memblejeti meningkatnya pemberangusan atas kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan menyatakan pendapat di muka umum. Mereka menyatakan, “Kampus yang sejatinya mengimani kebebasan mimbar akademik juga turut terseret dalam represifitas ini. Represifitas dalam bentuk pelarangan dan pembubaran diskusi juga baru saja terjadi di Malang pada 29 September 2016. Diskus “Marxisme dan Kekerasan Pasca 65” yang sejatinya menjadi forum ilmiah tukar ide dan gagasan dibubarkan begitu saja. Panitia diintimidasi dan dipaksa untuk tidak melanjutkan diskusi. Dalih pembubaran mereka sebenarnya tidak jelas. Mereka menciptakan musuh-musuh imajiner dan bahaya-bahaya yang ilusif untuk membenarkan tindakan represif mereka. Saat itu sekitar delapan orang warga mempercepat diskusi dan dihentikan sebelum waktu usai, ditambah dengan beberapa aparat berpakaian sipil yang hadir di lokasi kejadian yang elakukan intervebsi jepada panitia. Hal serupa juga telah terjadi sebelum-sebelumnya. Dimana diskusi, nonton flm, dan bedah buku di Malang dibubarkan sepihak. Tanpa menerima proses dialog maupun musyawarah. Pembubaran dan kekerasan juga terjadi di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan beberapa daerah lain. Salah satu kasus yang mencuat satu bulan belakangan adalah pembubaran perpustakaan jalanan di Kota Bandung yang dilakukan oleh oknum aparat militer.”
Leon Kastayudha menyatakan kelas penindas memberangus demokrasi dan mengekang pengetahuan sebab mereka tidak punya kepentingan atas budaya pencerahan. “Sebab penindasan yang mereka jalankan hanya bisa langgeng dengan budaya pembodohan.” Ia melanjutkan, “Kita tidak bisa mengharapkan penegakan HAM dan demokrasi pada elit borjuasi. Kita juga tidak bisa mempercayai janji-janji Jokowi, yang tidak pernah punya rekam jejak terlibat di perjuangan HAM dan demokrasi. Kepentingan mereka bukan HAM dan demokrasi melainkan laba, modal, dan investasi. Bahkan demi mengamankan operasi bisnis mereka bersedia memberangus demokrasi dan melanggar HAM.”
“Belajar dari keberhasilan pemutaran Senyap di UIN Yogyakarta, kita harus menyadari bahwa perjuangan untuk demokrasi dan HAM, tidak bisa dititipkan ke elit-elit politisi ataupun lewat cara-cara lobi. Sebaliknya kita harus menggalang kekuatan, mengorganisir diri, dan memobilisasi massa, untuk menuntut sekaligus mempertahankan hak-hak demokratis kita,” tegasnya.
Massa Aksi Kamisan di Malang menutup aksi dengan menyatakan sikap: “Mengecam tindakan pemukulan oknum TNI kepada Jurnalis saat melakukan peliputan, menolak represifitas yang dilakukan oleh Aparatur Negara terhadap ruang-ruang diskusi di tempat umum dan lingkungan akademis, mengutuk segala bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat, mengecam tindakan pelarangan diskusi yang telah dijamin oleh Undang-undang Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat”, serta menyatakan “Sudah saatnya cara-cara fasistis tidak dilakukan untuk meminggirkan daya kritis partisipatif dari rakyat bagi negaranya.” (lk)
Comment here