Seorang mahasiswa yang hadir dalam diskusi kemudian melemparkan pertanyaan. “Kalau peristiwa 65 sangat kontroversial, makan banyak korban, kenapa kok stigma ateis sangat melekat? Kalau benar komunis itu ateis, apakah masyarakat Indonesia seateis itu, kok, anggota PKI bisa sampai tiga jutaan?”, ujarnya. John Roosa kemudian menjawab, “Sesudah G30S ada propaganda,” ungkapnya. Angkatan Darat melarang semua media untuk terbit dan sebagai gantinya hanya media Angkatan Darat seperti Berita Yudha dan koran Angkatan Bersenjata yang banyak memuat propaganda-propaganda dengan memalsukan fakta serta memprovokasi sentimen anti-komunisme. “Gatot Soebroto dan Ali Moertopo semacam otak di balik propaganda-propaganda itu,” ungkap John Roosa. “Orba pakai film banyak sekali yang mencap PKI ateis, anti agama, dan sebagainya,” terangnya. Padahal ini tidak benar menurut John Roosa namun siapapun yang berkeberatan dan mau koreksi itu menghadapi banyak bahaya. Kenyataannya PKI sendiri tidak anti agama dan sikap itu tepat karena untuk memenangkan rakyat saat itu PKI dituntut harus bicara dengan orang biasa dimana di Jawa juga banyak agama. Sehingga aneh kalau PKI mengambil sikap anti agama. “Kebijakan partai, prinsip agama urusan pribadi, PKI harus bisa mewakili semua anggota dari semua agama, PNI juga sama. Ini bukan berarti anggotanya ateis. Ini bukan ateisme. Tapi sekularisme,” terang John Roosa. Orba, lah, yang kemudian banyak bikin propaganda untuk mendiskreditkan PKI.
Setelah John Roosa menyampaikan paparannya, Aji Prasetyo memperkenalkan narasumber kedua: Hasan Abadi, rektor Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA), satu-satunya universitas di Kabupaten Malang. Aj kemudian memantik dengan pertanyaan, “Bagaimana pendapat anda sebagai orang yang ada di struktur NU sekaligus seorang akademisi mengenai Peristiwa 65?”
“Bung Aji ini komikus, seniman, aktivis, musisi, sembarang kalir, lah. (bahasa Jawa:segala hal serba bisa). Namun banyak yang dikatakannya tentang saya ini sebenarnya berlebihan. UNIRA saat ini mahasiswanya baru 1800an. Namun sudah ada mahasiswa dari tujuh negara yang belajar disana. Dari Tajikistan, Teheran, dan sebagainya. Kami ada S2 Peace Education, ini satu-satunya di dunia. Basisnya tetap Islam, namun mendidik bagaimana menciptakan juru damai-juru damai,” ujar Hasan Abadi memperkenalkan.
Menjawab pertanyaan 65 ia menyatakan, “Sejarah masa lalu harus kita ungkap”, tegasnya. “Seandainya Marx hidup zaman Umar Bin Qatb maka dia akan jadi sekretarisnya Umar,” kelakarnya. “Karena Marx punya teori yang benar bagaimana manusia harus jadi keran kesejahteraan bagi orang lain. Umar setiap malam keliling cari orang miskin,” kisahnya. Mencari tahu persoalan mereka dan menjawab permasalahannya. Berbeda dengan di masa kini, keluhnya. “Sekarang Kholifahnya banyak yang tidak bener,” kritiknya. “Padahal sudah tanggung jawab pemimpin untuk sejahterakan rakyatnya,” tegasnya.
“Soal 65 kita bicara benturan politik sebagai panglima vs kemanusiaan sebagai panglima,” kisahnya. “Politik menghamba pada kekuasaan. Ini yang ditekankan dalam Il Principe karya Machiaveli. Machiaveli bisa menulisnya tapi tidak berhasil menerapkannya. Penerapannya malah subur di Indonesia,” katanya.
Hasan Abadi menyatakan bahwasanya kita—kalangan NU juga harus jujur terkait sejarah, bahwasanya kalangan NU juga ambil bagian. “NU sendiri terbagi dalam sikap soal 65 ini. Pertama, mereka yang bilang tindakan 65 itu benar, perintah agama, dan yang melakukannya masuk surga. Kedua, mereka yang memandang harus segera rekonstruksi. Karena salah. Itu tidak di wilayah perang. Darussilami, daerah damai. Sedangkan perang itu tentara lawan tentara. Kalau damai tidak boleh pakai hukum perang. Yang salah ya salah kita akui agar tidak terulang kembali. Ketiga, lebih menarik lagi. Ini mereka yang tidak ikut apa-apa. Jadi tidak tahu apa-apa. Tiga posisi ini saling berhadap-hadapan. Kita yakin harus ada yang dilakukan.
Hasan Abadi kemudian menyampaikan “Patut diingat yang memerintahkan Banser (untuk terlibat dalam pembantaian 65.ed) bukan NU. Tidak ada instruksi langsung organisasional dari NU waktu itu,” terangnya. “Ada yang bilang Banser, Ansor, dimanfaatkan TNI, atau saling memanfaatkan,” ujarnya.
“Di Wajak ada oknum ikut cara tidak beradab waktu itu ketua Ansor. Saat saya tanya bagaimana pandangan anda tentang peristiwa 65, dia nangis. Katanya tolong jangan suruh saya menjawab,” kisahnya. Jadi tidak seperti yang ada di film Jagal atau The Act of Killing dimana para pelakunya dari Pemuda Pancasila menggembar-gemborkan diri merasa tidak bersalah, terangnya.
Ia lanjut mengisahkan bagaimana Banser dimanfaatkan militer. “Korban-korbannya didatangkan ABRI,” ungkapnya. Mereka dibawa dengan truk-truk tentara. Para korban kemudian di-drop di lokasi-lokasi yang diputuskan Angkatan Darat untuk dijadikan tempat-tempat pembantaian. “Banser ini dipaksa TNI,” tekannya. Mereka yang tidak mau ikut terlibat pembantaian malah biasanya juga dicap simpatisan komunis atau bahkan dituduh anggota PKI itu sendiri. “Yang stimulisir tentara”, terangnya. Setiap didatangkannya korban dalam jumlah massal untuk dibantai, militer selalu berpidato memprovokasi. Menyatakan bahwa mereka ini adalah pelaku penculikan dan penyiksaan para Jenderal bahkan memusuhi agama, jelasnya.
“Beberapa ada yang ditembak tidak langsung mati. Dikubur langsung hidup-hidup,” ungkapnya. Salah satu di antaranya terus-menerus bersikeras menyatakan dirinya tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S sama sekali.
“Kemudian ada kyai di Kepanjen bilang pernah kehilangan paklik-nya (bahasa Jawa: paman, adik laki-laki dari orang tua.pen) di Wajak. Ternyata yang dikubur hidup-hidup tadi itu pakliknya. Jadi korbannya bukan hanya PKI. Tapi termasuk lawan-lawan politik atau orang yang tidak disukai disana,” ungkapnya.
Beberapa kalangan NU, menurut Hasan Abadi, kemudian insyaf atas kesalahannya dan berusaha memperbaikinya. Para korban kemudian dimakamkan kembali secara layak, dibangunkan pusara, kuburannya dibersihkan, terang Hasan Abadi. “Ini tidak hanya di satu titik, ada titik-titik yang lain,” jelasnya. “Itu yang dilakukan NU bukan secara organisasional”, ujarnya. Ia menambahkan, “Di Malang banyak yang saya suruh bercerita, mereka merasa dikibuli, meskipun mereka marah dengan PKI tapi tidak punya keinginan membunuh. Marah atas pementasan Matine Gusti Allah, Jibril kawin dengan Maria, dan sebagainya,” terangnya. Barulah setelah diprovokasi oleh kebohongan propaganda anti-komunis banyak yang terhasut untuk melakukan pembantaian di tahun 1965, katanya. Hasan Abadi menambahkan, kalau selama ini ada anak-anak atau keturunan anggota PKI dan korban 65 yang masih dipersulit, terutama hak-haknya untuk mengenyam pendidikan, ia menyatakan, “Bilang saya. Bisa kuliah di tempat saya gratis. Tidak akan dipaksa masuk Islam,” tegasnya. Lanjutnya, Hasan Abadi menyatakan, “Malah ada banyak yang seperti Tan Malaka, mengaku saya Marxis tapi masih muslim,” terangnya sambil tertawa.
Rizal, lulusan Universitas Muhammadiyah Malang, mengajukan pertanyaan, “Saya ingin tanya dua hal. Apa benar dulu PKI bunuh santri dan kyai?” Hasan Abadi kemudian menjawab, “Pertanyaan apa benar santri dibunuh? Iya. Ada peristiwa Kanigoro. Namun faktanya PKI yang dibunuh jauh lebih banyak. Ada yang bilang impas, dong. Tidak. Kemanusiaan bukan persoalan matematika, yang mati harus dimuliakan dengan diungkap sejarahnya,” pesannya.
Hasan Abadi memperingatkan ada bahaya bilamana terdapat syahwat politik luar biasa. Akhirnya menurutnya timbul sentimen yang menganggap “…siapapun yang bukan kita bukan manusia.” Itu tidak benar, ujarnya. “Bolehlah benci tapi tidak boleh membunuh,” pesannya. “PKI yang membunuh salah. Orang NU dan Banser yang membunuh juga salah. Pemerintah Amerika juga ikut berperan,” tegasnya. Saat pelanggaran HAM seperti itu tidak pernah dituntaskan dan keadilan tidak ditegaskan itulah maka bisa berulang kembali. “Sekarang kita juga melihat Salim Kancil yang berjuang menentang tambang pasir dibunuh dengan biadab,” kecamnya.
Patut diklarifikasi, kontroversi PKI dan Lekra memusuhi serta mendiskreditkan agama maupun agamawan sebenarnya sudah berjalan lama. Namun tidak benar bahwa itu merupakan konflik antara komunis-ateis melawan agama. Kalau memang benar bahwa PKI itu ateis militan yang memusuhi agama secara sengit lantas mengapa dalam Pemberontakan PKI di tahun 1926-1927 tidak ada serangan apalagi pembunuhan terhadap kaum agamawan? Mengapa dalam Pemberontakan 1926-1927 justru banyak kaum agamawan yang melibatkan diri dalam perlawanan bersenjata menentang Imperialisme Belanda?
Tuduhan bahwa Lekra menggelar pementasan-pementasan agama seperti “Matine Gusti Allah” sebenarnya lepas dari konteks. “Matine Gusti Allah” sebenarnya pementasan memperingati Hari Raya Paskah yang melambangkan kematian dan kembangkitan kembali Kristus. Begitu pula lakon-lakon lain yang sebenarnya tidak menyinggung persoalan agama. Lakon-lakon berjudul “Malaikat Kimpoi”, “Kawine Malaikat Jibril”, “Gusti Allah Ngunduh Mantu”, justru dimaksudkan sebagai sindiran bagi para tuan tanah-tuan tanah yang kebetulan mayoritasnya merupakan para kyai dan penyalahgunaan terhadap agama sebagai kedok pembenaran penindasan berbasiskan monopoli agraria.
Dalam wawancara dengan Wartawan Solichin Salam yang dimuat majalah Pembina pada 12 Agustus 1964 dan diterbitkan kembali oleh Majalah Historia Nomor 26 tahun III 2015, Aidit sudah mengonfirmasi bahwa PKI tidak anti agama dan PKI tidak melarang anggotanya memeluk agama. “PKI adalah partai politik. Benar apa yang saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi hubungan anggota PKI yang beragama dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan feodalisme dan bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par l’homme.”
Moralitas, HAM, dan Rekonsiliasi
“Saya dengar dari banyak orang katanya Nabi Muhammad itu komunis?” tanya Rizal yang langsung disusul gelak tawa dari para hadirin dan narasumber. “Jadi Nabi Muhammad hidup sebelum adanya aliran komunis. Sepuluh abad jauhnya, jadi label seperti itu kalau disematkan tidak tepat. Namun kalau esensinya kesejahteraan, kemanusiaan, iya. Tapi kan tidak sama teorinya, platformnya, politiknya,” jawab Hasan Abadi.
“Saya yakin manifesto dan praktiknya berbeda. Antara ajaran dan perilaku beda. Antara Islam dan orang Muslim. Antara Komunisme dan komunis tidak sama. Artinya begini. Yang lebih penting bukanlah label komunisme, sosialisme, tapi praktik sesungguhnya kemanusiaan,” pesannya.
Fatima, pegiat Aksi Kamisan, kemudian menanyakan, “Di Eropa, sekutu mampu dorong penegakan HAM, di negara-negara korban NAZI, apa karena AS adalah pemenang perang? Melahirkan hukum humanitarian. Bagaimana mampu membentuk keadilan transisi? Bagaimana proses rekonsiliasinya?”
“Itu pertanyaan bagus sekali,” John Roosa menjawab. “Saya kira untuk capai rekonsiliasi harus ada pengungkapan sejarah. Karena kita harus tahu apa yang dikonflikkan. Tapi kalau satu pihak merasa tidak salah, itu susah,” menurutnya. Menurutnya masih ada perdebatan siapa yang bertanggungjawab, “Banser atau TNI. Kadang ada yang bilang saya (Banser.ed), kadang TNI…” kisahnya. “April ada live screening Simposium 65 di Jakarta. Itu langkah awal positif. Ada Muhammadiyah, NU, TNI, bahkan mantan anggota PKI. Ada yang cerita bohong tapi biarlah. Semua bisa kumpul dulu, bicara. Itu sudah bagus. Walaupun banyak yang masih kabur,” paparnya berusaha optimis. “Satu hal lagi. Apa yang terjadi bukan sekadar pembunuhan tapi penghilangan paksa. Keluarga tidak tahu. Tidak ada jejak. Hilang begitu saja. Itu jauh lebih jahat daripada pembunuhan,” tegasnya.
(17 Paragraf Berikut Diambil dari tulisan Bumi Rakyat berjudul: ”64 Tahun Hari HAM – Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Perjuangan Kelas”).
Bagaimanapun juga HAM lahir dan berkembang dari dialektika sejarah. Konteks pendorongan Sekutu atas penegakan HAM di negara-negara korban NAZI juga bukanlah hal yang bebas dari kontradiksi. Universal Declaration of Human Rights (UDHDR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) diadopsi dan diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat, 10 Desember 1948. Dua tahun berikutnya 10 Desember, melalui Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum PBB, hari Hak Asasi Manusia (HAM) resmi disahkan untuk diperingati tiap tahunnya oleh seluruh negara anggota.
HAM, sebagaimana termuat di DUHAM, terdiri dari hak atas kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan. Kebebasan dalam hal ini juga termasuk bebas dari diskriminasi ras, warna kulit jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selain itu juga bebas dari perbudakan, penyiksaan, dan kesewenang-wenangan.
Turut diatur dalam DUHAM ini, hak untuk mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain. Artinya seorang pengungsi yang melarikan diri dari negara asalnya, entah karena alasan perang, bencana alam, pemberangusan terhadap kebebasan berserikat dan berpendapat, maupun kediktatoran, dan alasan lain diluar kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, berhak mendapatkan tempat mengungsi dan perlindungan di negara tujuan. Melengkapi hak untuk mendapatkan suaka ini, DUHAM juga mengatur bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan dan kewarganegaraan itu tidak bisa dicabut atau ditolak penggantiannya secara sewenang-sewenang.
DUHAM juga mengatur hak atas pernikahan bersasarkan konsensus, kepemilkan harta, kebebasan berpikir, berpendapat, berserikat, beragama, serta berpartisipasi dalam pemerintahan. Selain itu DUHAM juga menjamin bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial, pekerjaan yang layak, kesehatan, pendidikan, dan berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan.
Pencetusan, perumusan, pembahasan, serta pengesahan DUHAM dan Hari HAM ini hanya terjadi selang beberapa tahun setelah usainya Perang Dunia II (PD II). Perang Dunia II, suatu perang Imperialis kedua yang terjadi di skala dunia, merupakan monster yang lebih mengerikan daripada PD I. Bangkitnya fasisme, Holocaust yang membantai jutaan orang Yahudi dan mangsa-mangsa lainnya dari fasisme, serta kejahatan-kejahatan perang merupakan torehan luka mendalam bagi umat manusia di abad 20.
Bagaimanapun juga proklamasi DUHAM ini mengandung banyak kontradiksi karena melibatkan pula banyak negara Imperialis dan pelanggar HAM. Britania Raya merupakan negara Imperialis yang pernah menginvasi seluruh benua yang ada di muka bumi, Amerika Serikat (AS) bukan saja suatu negara yang didirikan di atas pembantaian dan penjajahan terhadap kaum Indian atau pribumi Amerika serta perbudakan terhadap kaum kulit hitam, namun juga menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki serta menewaskan jutaan perempuan dan anak-anak yang tidak berdosa. Hal serupa juga berlaku bagi Prancis, Belanda, dan negara-negara Imperialis lainnya. Bagaimana bisa negara-negara Imperialis, yang merupakan biangnya pelanggar HAM, bicara mengenai HAM? Kita perlu memakai perspektif perjuangan kelas untuk memahami persoalan dan menjawab pertanyaan ini.
Secara historis, konsep HAM secara universal merupakan hal baru yang tidak dikenal di masyarakat perbudakan dan masyarakat feodal. Hak seseorang, baik hak atas harta benda, hak berpendapat, hak berorganisasi, dan hak berpolitik, terkait erat dengan posisi kelasnya dalam tatanan masyarakat tersebut. Seorang tuan budak sekaligus seorang raja seperti Alexander di Macedonia, tidak saja punya hak atas harta benda dan hak mengenyam pendidikan namun juga punyak hak untuk memerintah negara dan menguasai budak-budak, yang mana di sisi lain tidak punyak hak sama sekali. Begitu pula Louis XVI sang kaisar Prancis yang tidak hanya memiliki hak atas kekayaan, alat produksi, dan hak menentukan upeti dari tani hamba namun juga hak untuk menentukan titah negara, hingga ia kemudian bisa mengatakan “L’etat c’est moi” atau “negara adalah saya”. Karena kaisar juga punya apa yang dinamakan sebagai “divine rights” atau hak suci dengan kata lain menguasai tahta Prancis secara turun temurun sebagai wakil tuhan di muka bumi, maka siapapun yang menentang kaisar disamakan dengan menentang tuhan.
Munculnya peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia, terkait langsung dengan perjuangan rakyat tertindas melawan kelas penguasa penindas. Dalam alur perjuangan demikianlah, baik itu berakhir dengan kemenangan, kompromi, atau bahkan kekalahan sekalipun, muncul dan diresmikanlah peraturan-peraturan yang menjamin hak manusia. Misalnya Declaration of The Rights of Men atau Deklarasi Hak-Hak Manusia yang dilahirkan dari Revolusi Prancis.
Bangkitnya kelas borjuasi dan masyarakat kapitalisme melalui berbagai babakan revolusi, seperti Revolusi Industri, Revolusi Amerika, dan puncaknya Revolusi Prancis, membangkitkan pula gagasan-gagasan mengenai hak manusia yang sebelumnya ditindas mutlak oleh kelas feodal dan rezim monarki absolut. Kebebasan berkumpul dan berpendapat serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dijunjung tinggi bersama panji-panji demokrasi dan republik dengan slogan liberte, egalite, fraternite atau kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Namun bagaimanapun juga ini juga tidak terlepas dari kepentingan kelas borjuasi, kelas penguasa baru di tatanan masyarakat baru: kapitalisme.
Karl Marx memandang bahwa seluruh institusi, praktek, dan artefak sejarah manusia, termasuk HAM merupakan konstruksi sosial yang terus berubah. HAM, bagi Marx, juga merupakan fenomena hubungan-hubungan sosial yang merupakan konvensi-konvensi yang terikat pada suatu era sejarah manusia yang penentuannya tak lepas dari mekanisme penyediaan kebutuhan-kebutuhan material dan keinginan-keinginan manusia. HAM, yang bangkit seiring dengan bangkitnya borjuasi dan kapitalisme, baik berbentuk peraturan, undang-undang, konstitusi, maupun hanya sekedar slogan, merupakan alat bagi kelas penguasa dan ideologinya ini.
Zoltan Zigedy menulis bahwasanya Marx melalui karyanya “Bruno Bauer, Die Judenfrage”, memahami gagasan hak-hak manusia yang diusung borjuasi merupakan pemikiran individualisme yang diagung-agungkan dan menentukan ikatan-ikatan kehidupan sosial: “Tak ada satupun hal dari apa yang disebut-sebut sebagai hak manusia, bersifat melampaui manusia egoistis…dengan kata lain, seorang individu yang tercerabut dari lingkungannya, menarik diri, dan sepenuhnya dikuasai kepentingan pribadinya dan bertindak sesuai kebimbangan pribadinya…satu-satunya ikatan antar manusia adalah keperluan alaminya, kebutuhan dan kepentingan pribadi, serta perlindungannya terhadap hak milik pribadi dan orang-orang egoistisnya.”
Dalam formulasi awal inilah Marx mengembangkan pemikiran bahwasanya hak-hak manusia yang muncul seiring dengan kebangkitan borjuasi terkait erat dengan manusia sebagai “homo economicus” atau manusia dengan kepentingan pribadi, individual, dan asosial.
Karena itu kebebasan dalam tatanan masyarakat kapitalis adalah kebebasan bagi borjuasi untuk menanamkan kapitalnya, mengeksploitasi tenaga kerja, menjual dan mendistribusikan komoditasnya, mengakumulasi keuntungan, dan mengekspansi pasar-pasar baru dan kesetaraan yang dimaksudnya adalah kesetaraan jual beli di pasar. Kebebasan pers berlaku agar media massa bisa memberitakan kondisi pasar dan potensi-potensi ekonomi yang menguntungkan borjuasi. Bahkan kebebasan memilih dan dipilih dalam pemerintahan awalnya tidak hanya tidak berlaku bagi buruh dan rakyat jelata namun juga kaum perempuan dikecualikan haknya.
Ini tidak menjadikan kaum pejuang kelas mengutuk apalagi mencampakkan HAM, namun meletakkan kebangkitan dan perkembangannya dalam konteks kebangkitan dan perkembangan kapitalisme. Sepanjang kapitalisme menjadi tenaga pendorong pembebasan melawan feodalisme, HAM juga berfungsi sebagai landasan pembebasan masyarakat dan pembentukan masyarakat yang lebih adil. Emansipasi borjuasi merupakan langkah raksasa bagi emansipasi massa dan kemajuan rakyat pekerja. Ini tidak boleh diartikan sebagai buah kebaikan kelas borjuasi semata melainkan buah dari perjuangan berjuta massa yang mendesakkan hak-hak demokratis mereka untuk kesetaraan dan kebebasan berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik di republik-republik borjuis. Seruan-seruan HAM inilah yang turut mendorong perjuangan melawan perbudakan, perjuangan hak pilih universal, dan berbagai reforma penting lainnya. Bagaimanapun juga, kaum Marxis menyadari, bahwa reforma-reforma berdasarkan HAM tersebut bisa diperjuangkan dan dimenangkan namun sepanjang berlaku dalam batasan kapitalisme, reforma-reforma tersebut hanya untuk “menyempurnakan” dan “melengkapi” kekuasaan borjuasi, bukan menantang apalagi mengalahkannya.
Dalam sejarah, kaum Marxis bersama kelas buruh secara terus-menerus memperjuangkan pemenuhan HAM dalam perspektif perjuangan kelas. Perjuangan menuntut delapan jam kerja sehari misalnya, merupakan perjuangan kelas dimana buruh berhadap-hadapan dengan kepentingan laba borjuasi, yang di masa awal kebangkitan kapitalisme buruh dipaksa bekerja hingga lebih dari 18 jam sehari, dengan kondisi kerja buruk, bahkan banyak buruh anak yang dipaksa bekerja di cerobong-cerobong asap pabrik. Reforma-reforma lain, seperti upah minimum, jaminan sosial, kesetaraan dalam perkawinan, bahkan isu-isu yang lebih radikal seperti pembebasan perempuan, dekolonisasi, merupakan isu yang terkait hak-hak manusia yang sudah lama diperjuangkan kaum Marxis. Bahkan beberapa capaian sudah terlebih dahulu dimenangkan kaum Marxis. Misalkan dengan revolusi Oktober, kaum perempuan di Rusia memenangkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemerintahan pada 1918, sementara AS yang mengaku sebagai negara paling demokratis baru memberikan hak pilih pada perempuan di tahun 1920. Kemudian dukungan terhadap kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang ditindas Imperialisme seperti Irlandia, Polandia, bahkan Tiongkok, secara aktif diberikan oleh Kaum Marxis.
Sementara itu di sisi lain, kelas borjuasi hanya bersifat revolusioner dan mengusung penegakan HAM hanya ketika melawan feodalisme dan saat kelas borjuasi menjadi kelas penguasa baru maka kelas borjuasi menjadi reaksioner dan kehilangan seluruh sifat revolusionernya. Komitmennya terhadap HAM yang meskipun memang hanya diusung demi kepentingan kapitalnya selalu dicampakkannya untuk mengamankan dan memperkokoh kekuasaan kelasnya, khususnya di masa-masa krisis.
Karena itu meskipun DUHAM mengatur mengenai kebebasan dari diskriminasi, puluhan tahun semenjak proklamasinya kita masih menyaksikan diskriminasi dan penindasan terhadap bangsa Palestina yang dijadikan sumber buruh murah bagi kelas penguasa Israel. Diskriminasi, ketidakadilan hukum, bahkan pembunuhan oleh aparat terhadap kaum kulit hitam di AS sebagaimana terjadi dengan kasus Treyvor Martin, Michael Brown di Ferguson, akhir-akhir ini. Diskriminasi dan intimidasi terhadap para pengguna bahasa Navajo di Kanada dan Kurdi di Turki serta Suriah. Larangan terhadap politik Sosialis di Republik Korea atau Korea Selatan dan larangan terhadap Falun Gong di Republik Rakyat Tiongkok. Rasisme dan perlakuan keji terhadap para pencari suaka oleh negara Australia, AS, dan Inggris. Begitupula kebebasan berpikir, berpendapat, berserikat, beragama yang masih terus dirongrong di berbagai negara, khususnya negara-negara Imperialis, seperti AS, Britania Raya, Prancis, Jerman, Australia, dan negara-negara reaksioner lainnya. Pemenuhan HAM tidak bisa diserahkan pada kebaikan hati kelas borjuasi yang kini berkuasa. Pemenuhan HAM harus diperjuangkan sendiri oleh rakyat pekerja baik yang ada di negara-negara Imperialis maupun negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia, khususnya pelanggaran HAM dalam Peristiwa 65.
Terkait itu patut diketahui bahwasanya turut hadir dalam diskusi tersebut, Niken salah satu anak dari korban Peristiwa 65. “Saya Niken, umur saya 37 tahun dari Blitar. Orang tua saya itu ternyata eks PKI. Saya baru mengetahui hal ini di tahun 94 mau masuk SMA. Saya syok saat ayah dinyatakan ET (Eks Tapol (Tahanan Politik).ed). Jadi pindah domisili tapi ditulis ET,” kisahnya. Perasaan Niken campur aduk. Terutama di tengah propaganda dan indoktrinisasi anti-komunis yang ditanamkan Orba secara sistematis, Niken merasa kaget. “Ternyata ayah saya jahat,” saat itu ia berpikir. Apalagi, katanya, dulu ada ungkapan, “Lebih baik bangsat daripada PKI,” keluhnya getir. Ia mengungkapkan dulu di rezim Orba, kata PKI dan komunis mengalami peyorasi dan penyimpangan makna secara drastis dan sangat negatif. Ada orang yang dibenci bisa dicap PKI, ada anak yang tidak disukai di sekolah bisa dicap Komunis, cerita Niken. “Stigma PKI ateis jahat itu kuat sekali. Padahal pembantaian jenderal itu tidak benar,” sanggahnya. “Untuk mahasiswa tolong baca sejarah, pesannya. “Saya jadi terharu dengan pernyataan Hasan Abadi. Seandainya waktu itu UNIRA sudah buka, saya pasti datang,” katanya. “Secara konstitusi PKI masih dilarang, TAP MPRS secara legal masih berlaku, rekonsiliasi sulit. Saat ini yang diblow up terus PKI, Papua, dan lain-lain,” sorot Niken. Ini yang menurutnya terus menjadi tugas para aktivis HAM dan demokrasi untuk terus diperjuangkan.
Aji Prasetyo dalam penutupan acara menyampaikan, “Mendukung apa yang disampaikan. Masyarakat yang harus selesaikan masalahnya. Jangan tunggu penguasa. Kaitannya bukan tertuduh PKI. Tapi korbannya kita sebagai bangsa. Karena disetting untuk saling bunuh. Tragedi 65, korbannya sebagai bangsa. Maka itu harus diobati dalam kebangsaan. Kita biasa mahasiswa yang ditunggu. Saat kesadaran itu ada maka rekonsiliasi akar rumput tidak perlu tunggu penguasa,” pungkasnya.
Bagaimanapun juga patut disadari bahwa kebutuhan akan rekonsiliasi timbul dari akar masalah yaitu Peristiwa 65, yang pada dasarnya adalah suatu kontra-revolusi. Sebagai pihak yang tidak bersalah, para korban dan penyintas Peristiwa 65 bukan hanya berhak atas keadilan, pemulihan nama baik, namun juga ganti rugi, pengembalian semua harta benda serta hak-hak yang dirampas, termasuk hak-hak politik mereka. Dengan kata lain pencabutan atas TAP MPRS yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme serta PKI. Gelombang perjuangan demokratis yang berhasil memaksa turun Harto, memungkinkan kebebasan berpendapat dan demokrasi yang lebih luas sehingga mempengaruhi Abdurrahman Wahid (yang saat itu menjabat sebagai Presiden) untuk mengambil keputusan merencanakan pencabutan larangan terhadap ideologi komunis (selain ditambah rencana pembubaran Golkar dan komando ekstra-teritorial). Ini tentu tidak dikehendaki kedua sayap kelas penguasa di Indonesia (yang turut menjadi salah satu alasan penggulingannya oleh persekutuan Megawati-PDIP-Poros Tengah-Bekas Orba-Militerisme). Terkait Simposium 65, saat ini satu sisi pihak seperti Ryamizard Ryacudu dan Kivlan Zein menolak sama sekali gagasan rekonsiliasi sambil menggembar-gemborkan bahaya laten komunisme, sedangkan di sisi lain pihak seperti Luhut Pandjaitan hanya mau mewacanakan dan menerima gagasan rekonsiliasi tanpa kompensasi dan rehabilitasi sejati, termasuk tentu saja tetap memberlakukan larangan terhadap komunisme dan PKI.
Saat ini garis kelas semakin tajam membelah masyarakat Indonesia. Bilamana di dekade 50an dan 60an konflik agraria sering terjadi antara kaum tani khususnya yang ada di Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan para tuan tanah yang sebagiannya adalah para kyai NU, saat ini kita justru menyaksikan semakin banyak petani yang juga warga NU justru turut menjadi korban monopoli dan perampasan tanah serta perusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis agraria dan militerisme. Kaum Tani di Wonogoro yang berhadapan dengan marinir, Salim Kancil dan penolak tambang pasir perusak lingkungan, kaum tani penentang Rayja Hotel yang merusak mata air Umbul Gemulo, semuanya adalah warga NU. Kita juga bisa menyaksikan perkembangan gagasan Kiri dan Marxisme, meskipun dengan berbagai perbedaan dan keunikannya yang tidak lazim, di antara beberapa anggota NU, seperti Roy Murtadho dan Muhammad Al Fayyadi dengan media Islam Bergerak. Meskipun tentu saja harus kita akui bahwa banyak di antara tokoh NU juga merupakan kelas penindas, seperti Jusuf Kalla, Muhaimin Iskandar, dan sebagainya. Terhadap sesama kaum tertindas kita bisa dan harus berekonsiliasi. Namun terhadap kaum penindas, kita tetap harus berlawan.
Kita harus memahami: selama masih berdiri tirani borjuasi selama itu tidak akan ada rekonsiliasi dan rehabilitasi yang sejati. Sebab rekonsiliasi dan rehabilitasi yang sejati berarti akan membuka peluang melanjutkan perjuangan melawan Imperialisme, Kapitalisme, dan Militerisme, serta segala bentuk penindasan turunannya. Itu tentu saja membahayakan kepentingan kelas penindas yang berkuasa. Oleh karena itu rekonsiliasi dan rehabilitasi sejati, termasuk perjuangan untuk HAM dan demokrasi, tidak bisa dilepaskan dari perjuangan demokratis nasional, yang tentu saja harus diemban kelas buruh dengan menggandeng kaum tani, rakyat pekerja, dan seluruh kaum tertindas, serta menghubungkannya ke perjuangan kelas untuk sosialisme. Dus, slogan kita dalam penuntasan 65 sepatutnya: Rekonsiliasi-Rehabilitasi-Revolusi.
ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader KPO PRP
Comment here