Kamis Sore (29/9/2016), 17 demonstran sekali lagi menggelar Aksi Kamisan di depan Balai Kota Malang. Para peserta aksi yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan aksi-aksi kamisan sebelumnya, kali ini mengusung peringatan atas Peristiwa 65 pada khususnya dan tuntutan penghentian sekaligus penuntasan pelanggaran HAM pada umumnya. “September adalah bulan gelap penuh darah, penuh nanah, dan air mata. Maka seharusnya September adalah bulan ratapan kesedihan atas tragedi besar kemanusiaan bagi kita semua. September haruslah menjadi penginga bahwa kekuasaan bisa berubah menjadi ‘banalitas kekuasaan’ sebagaimana dipraktikkan fasisme NAZI Jerman”, tulis rilis pers massa aksi.
Fatimah, salah satu aktivis Aksi Kamisan, menyatakan, “Setelah malam 30 September, Partai Komunis Indonesia (PKI) tiba-tiba diidentifikasi sebagai musuh bersama oleh rezim yang berganti secara halus lewat ketetapan MPR pada 27 Maret 1968 dengan Jenderal Suharto resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun setelah sebelumnya pada 12 Maret 1967 Suharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Tahun-tahun awal kepemimpinan sang Jenderal, isu nasional diarahkan pada isu pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang sarat dengan implementasi ideologi militeristik. Jika dahulu pada era kepemimpinan Sukarno, Indonesia diarahkan pada jargon-jargon revolusi, maka di era kepemimpinan Jenderal Suharto, wacana pembangunan (yang sesungguhnya sangat liberal) menjadi sebuah dalih dalam menjalankan ideologi Pancasila.”
Dalam tulisan yang dibagikan ke massa aksi hari itu ia melanjutkan, “Komunis khususnya dalam hal ini PKI, menjadi sasaran objek musuh bersama. Karena militer yang kala itu memimpin rezim pemerintahan, atas dalih peristiwa malam 30 September 1965 yang menewaskan para Jenderal Angkatan Darat, PKI dan kelompok yang dianggap berafiliasi dengan ideologi sosialis-komunis baik di bidang politik, seni, gerakan perempuan, dan pendidikan secara sepihak diidentifikasi sebagai objek musuh bersama.” Ia kemudian mengkritik bahwa identifikasi kelompok-kelompok tersebut sebagai musuh negara hanya berupa tudingan dan tidak dilanjutkan pengadilan untuk mengadili yang tertuduh “…sehingga yang terjadi hanya penangkapan-penangkapan yang berujung pada pengasingan, pembunuhan, hingga penghilangan paksa subjek tertuduh…” Lebih terperinci Fatima memaparkan, “Operasi represif yang terjadi sepanjang dekade 60-an hingga 90an meliputi penangkapan, penghilangan, penyiksaan, pembuangan paksa, pembunuhan massal tanpa pengadilan dan menciptakan produksi-produksi pola dan sima sosial yang lekat pada subjek-subjek yang menjadi sasaran operasi represif negara kala itu.” Dalam tulisan bertajuk “30 September: Sebuah Peristiwa Penentu”, Fatimah, menyimpulkan bahwa negara secara represif dan persuasif memaksa masyarakat tunduk pada suprastrukturnya demi melanggengkan reproduksi kapital yang diawali dengan pelanggaran HAM demi melanggengkan bisnis dan kapital trans-nasional di Indonesia yang hanya bisa terwujud dengan penggulingan rezim Soekarno di era perang dingin.
Fatimah menyorot bahwa Soeharto yang memimpin persekusi terhadap gerakan kerakyatan, penggulingan rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno, tidak hanya berhenti pada pembantaian dan kekerasan sistematis kepada para musuhnya. Namun juga memberangus bahkan mendiskreditkan semua wacana kiri dan khususnya komunisme. “Komunisme diklaim anti-tuhan, palu arit adalah simbol kaum komunis yang haus darah, ideologi sarat kekerasan, yang ditunjang dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XXV tahun 1966 yang menyatakan pelarangan Marxisme.”
Padahal menurut Fatimah, “Marxisme sendiri merupakan paradigma berpikir yang dibutuhkan untuk analisis yang menggerakkan nalar kritis dan keberpihakan sosial dalam mengakomodasi gerakan rakyat…yang berpihak kepada masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi, misalnya kekerasan struktural di perkotaan, penguasaan dan pengeolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi rakyat, yang pada praktiknya masif dilakukan Orde Baru atas dalih pembangunan yang hingga saat ini meninggalan konflik-konflik ekonomi terstruktur di antaranya adalah ketimpangan pembangunan desa dan kota, urbanisasi, konflik agraria, dan sumber daya alam serta tata industri dan ketenagakerjaan.”
Selain mengecam Peristiwa 65 dan pelarangan Marxisme, Aksi Kamisan Kelima di Malang Raya juga menuntut pembentukan Tim Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yaitu tim yang dibentuk berdasarkan Undang-undang untuk menyelesaikan seluruh kasus pelanggaran HAM. Kedua, penghentian penggunaan aparat kekerasan negara atau pasukan bersenjata dalam semua urusan sipil. Ketiga, penghentian stigmatisasi terhadap gerakan rakyat yang menuntut keadilan serta penghentian pelabelan diskursus gerakan kiri sebagai gerakan subversif. Keempat, penghentian penggusuran rakyat dari lingkungan hidup sosialnya dengan dalih pembangunan, mulai dari Reklamasi Teluk Jakarta, Penggusuran Bukit Duri Jakarta, Reklamasi Teluk Benoa Bali, dan sebagainya. (lk)
Comment here