Sabtu (24/09/2016), pemuda mahasiswa di Malang turun ke jalan memperingati 56 tahun disahkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sekaligus Hari Tani Nasional (HTN). 37 orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa untuk Petani ini mengingatkan: lahirnya UU PA tidak terlepas dari perjuangan kaum tani dalam merebut kembali tanah yang dikuasai dan penghapusan penghisapan yang dilakukan oleh tuan tanah maupun dari sisa-sisa penjajah. Mereka menekankan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Gagasan dasar ini tercantum dalam UUPA 1960 dan mempunyai makna ideologis dalam sejarah pembangunan Bangsa Indonesia. Namun ini dikhianati sejak berdirinya rezim kediktatoran militer Orde Baru (Orba) pimpinan Harto berkuasa dan oleh berbagai rezim borjuis berikutnya hingga saat ini. Sebagaimana keterangan rilis pers massa aksi, “Aspirasi atas Reforma Agraria sejati kaum tani kemudian dibelokkan oleh pemerintah Soeharto dengan program Reforma Agraria palsu dalam wujud Revolusi Hijau. Perampasan tanah untuk kepentingan perkebunan kayu, pertambangan, dan infrastruktur dilakukan dengan masif dan digantikan dengan sarana produksi pertanian oleh perusahaan kapitalis global hingga sekarang.”
Dofir, petugas hubungan masyarakat (humas) massa aksi menyatakan, “Fungsi sosial tanah saat ini telah hilang diganti menjadi fungsi penumpukan kekayaan dan investasi modal asing dimana perusahaan-perusahaan besar pertanian, perkebunan, dan tanaman industri menjamur di Indonesia.” Anggota Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat Tertindas (SMART) ini melanjutkan, “Perampasan hak-hak kaum petani sampai hari ini masih dilakukan bahkan semakin masif dilakukan oleh rezim Jokowi-JK hanya untuk kepentingan pemodal dan tuan tanah. Ini dapat dilihat dari 70% atau 136,94 juta ha merupakan kawasan hutan negara dan hanya diperuntukkan untuk pemodal lalu sementara kepemilikan tanah bagi kaum petani di Jawa hanya menguasai 0,3 ha. Tak hanya di situ, konflik agraria dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan signifikan mulai dari perampasan tanah, represi terhadap rakyat, penangkapan semena-mena, dan lainnya. Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah hari ini yang anti rakyat seperti program percepatan pelaksanaan program strategis nasional reforma agraria beserta isinya merupakan program yang intinya untuk kepentingan pemodal saja,” kecamnya.
Massa aksi juga mengecam meningkatnya militerisme rezim Jokowi-JK, khususnya di sektor agraria. Mulai dari proyek-proyek perkebunan lewat perusahaan-perusahaan militer, pengerahan Badan Pembina Desa (Babinsa)—struktur komando ekstra teritorial militer di tingkat desa—untuk proyek pertanian, hingga dimasukkannya perusahaan-perusahaan perkebunan kapitalis agraria dalam Objek Vital Nasional (OVN) untuk menindas kaum tani dan buruh tani dalam konflik agraria. Mereka menyatakan bahwa pembunuhan terhadap kaum tani seperti Salim Kacil dan berbagai kriminalisasi terhadap aktivis tani dijalankan untuk melindungi kepentingan penindasan.
Uchank, koordinator lapangan (Korlap) aksi, menyatakan, “Sesungguhnya petani adalah salah satu pekerjaan paling penting. Karena mereka menyediakan pangan yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Namun ironisnya nasib tani justru semakin memprihatinkan. Mereka sampai sekarang menderita akibat para perampas tanah dan juga tengkukak-tengkulak.” Najib, salah satu orator aksi, menambahkan, “Petani dibodoh-bodohi oleh sistem ini. Mereka ditindas tirani dan direpresi. Bukan hanya di Jawa tapi juga di Lampung, di Kalimantan, di Papua, petani dirampas tanahnya dan lahannya dikuasai perusahaan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Tidak hanya berhenti di situ saja, pangan produksi petani di Indonesia pun semakin disingkirkan oleh kebijakan rezim yang membuka banjir komoditas kapitalis agraria dari luar negeri seperti impor beras, buah-buahan, dan sayuran,” kecamnya.
Anam, seorang mahasiswa yang membiayai kuliahnya dengan bertani bawang, mengonfirmasi hal tersebut, “Memang barang produksi kaum tani sekarang semakin tidak dihargai. Tidak hanya itu saja, kaum tani juga semakin dipersulit akibat harga pupuk dan obat-obatan pertanian yang semakin tinggi. Ini akibat semua alat dan produk kebutuhan pertanian dikuasai oleh industri kapitalis. Tidak ada satupun regulasi pemerintah yang mengatur harga kebutuhan pertanian yang menguntungkan kaum tani Indonesia. Kaum tani Indonesia sama sekali tidak didukung negara,” kritiknya. Sebaliknya negara Indonesia, sesuai dengan watak kelas borjuisnya, justru berpihak para kapitalis agraria.
“Monopoli agraria, perampasan tanah, penindasan, intimidasi, represi, dan kriminalisasi terhadap kaum tani di Indonesia tidak hanya merugikan petani namun juga rakyat pekerja secara keseluruhan,” ungkap Leon. “Akibat dari penindasan serta penyingkiran terhadap kaum tani demikian bisa kita lihat wujudnya dari semakin hancurnya kedaulatan pangan di Indonesia. Masyarakat Indonesia dibuat semakin tergantung pada komoditas pangan hasil industri kapitalis global. Bahkan penindasan demikian juga berakibat pada perusakan dan penghancuran lingkungan. Dari semakin panasnya suhu dan temperatur di berbagai kota dan desa, semakin berkurangnya sumber mata air, banjir akibat penggundulan lahan, hingga bencana asap nasional yang mengakibatkan tewasnya 24 orang dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada lebih dari 600 ribu orang. Semua ini biang keladinya adalah monopoli tanah di tangan kaum kapitalis agraria. Oleh karena itu perjuangan melawan monopoli tanah kaum kapitalis agraria tidak hanya menjadi perjuangan kaum tani saja namun juga harus didukung oleh kelas buruh dan semua rakyat pekerja,” imbaunya. Ini dipertegas dalam rilis pers yang mengutarakan, ”Sehingga dalam memperingati Hari Tani Nasional penting bagi kita meneguhkan kembali pemahaman bahwa tanpa menghajar monopoli tanah yang telah diselenggarakan selama ini, tidak akan ada perubahan struktur kepemilikan tanah di Indonesia. Tanpa perubahan struktur tanah tidak ada yang namanya Reforma Agraria sejati. Artinya nasib jutaan kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia tidak akan mengalami perubahan mendasar.”
Tidak berhenti di isu-isu pertanian, massa aksi juga mengusung tuntutan multi-sektoral seperti tolak upah murah. Tuntutan yang turut dipasang di plakat-plakat aksi ini sempat mengundang perhatian dan ketertarikan para buruh pertokoan di depan lokasi aksi. Mereka menggunjungkan kenaikan barang-barang kebutuhan hidup yang tidak sebanding dengan upah mereka saat ini. Tidak ketinggalan, massa aksi juga menuntut diwujudkannya program perekonomian nasional berencana (industrialisasi nasional) yang menempatkan kaum buruh sebagai subjek pembangunan bukan investasi asing dan pengusahaan perampasan hak rakyat. Tentu saja perlu diperhatikan bahwa tuntutan-tuntutan ini hanya bisa diwujudkan sepenuhnya dengan penggulingan kediktatoran borjuasi dan pendirian kekuasaan rakyat pekerja. Artinya perjuangan kaum tani untuk reforma agraria sejati tidak bisa dilepaskan dari perjuangan kelas buruh untuk menghapuskan penindasan. (lk)
Comment here