Kamis sore (22/09/206) sekitar 45 orang berdemonstrasi dalam Aksi Kamisan Ketiga di Malang Raya di depan Balai Kota Malang. Mereka mengecam militerisme, pemberangusan demokrasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari tahun 1965 hingga pasca 98. Seperti sebelumnya, massa aksi yang mayoritas terdiri dari pemuda mahasiswa dari berbagai kampus ini, mengecam pemberian jabatan dan kenaikan pangkat bagi para pelanggar HAM seperti Wiranto, Ryamizard Ryacudu, dan lainnya. Namun kali ini mereka membeberkan bahwa hampir semua pelanggaran HAM juga terkait dengan struktur ekonomi yang menindas, menghisap, dan menyingkirkan rakyat.
Faiz, salah satu orator aksi, menyatakan, “Pembangunan secara beringas hari ini masih terjadi. Perampasan tanah secara langsung maupun tidak langsung membuat semakin banyak petani kehilangan mata pencahariannya. Mereka yang kehilangan mata pencahariannya sebagai petani banyak yang terpaksa menyambung hidup dengan bekerja hanya sebagai tukang parkir, penjaga keamanan, dan pekerjaan sektor informal lainnya. Pembangunan industri wisata di kota Batu bukan hanya mengikis pertanian namun juga menyingkirkan manusia. Ini terjadi di mana-mana. Pembangunan global membabat habis lahan produktif yang seharusnya bermanfaat bagi hajat hidup rakyat. Berbagai proyek reklamasi di Indonesia, baik di Bali maupun di Jakarta, mewakili kepentingan korporasi serta membuat nelayan dibabat habis,” kecamnya. Padahal hak
Menambahi itu, Fatimah dari In-Trans Institute, mengingatkan bahwa saat ini sudah satu tahun lewat sejak pembunuhan Salim Kancil dalam kasus konflik agraria perusakan lingkungan akibat tambang pasir ilegal. Ia mengecam, “pembunuh Salim Kancil hanya divonis hukum penjara 20 tahun padahal kasus ini sebenarnya merupakan pembunuhan berencana.” Kasus pelanggaran HAM, penganiayaan, dan pembunuhan aktivis tani yang melawan perusakan lingkungan akibat tambang pasir ilegal dimana pelakunya banyak melibatkan pejabat pemerintahan dan aparat ini, menurut Fatimah, sangat berhubungan dengan pembantaian 65 sebab, “Pertambangan-pertambangan dan perampasan tanah banyak dilegitimasi pasca 65,” ungkapnya.
“Selain memunculkan kekerasan langsung yang dialami oleh pelajar, anggota organisasi perempuan, komunitas seni, hingga perempuan dengan afiliasi politik tertentu, peristiwa 30 September 1965 tersebut pun memunculkan kekerasan tidak langsung kepada perempuan yang keluarganya dituduh sebagai anggota organisasi yang dianggap terlibat dalam peristiwa malam 30 September 1965. Perempuan-perempuan dengan kekerasan langsung, mengalami serangkaian bentuk penyiksaan dalam penahanan tanpa jangka waktu pasti dan tanpa pengadilan, sedangkan perempuan yang mengalami kekerasan tidak langsung mengalami trauma dan beban psikologis,” ungkapnya. “Dalam serangkaian temuan terkait pelanggaran HAM di Indonesia, salah satunya yang diajukan dalam lembar fakta Pengadilan Rakyat Internasional 1965 atau International Peoples Tribunals 1965 (IPT65). Dalam temuan tersebut, negara mengirim beberapa kelompok orang yang ditahan menuju sebuah tempat pengasingan sebentuk kamp konsentrasi yakni Pulau buru. Kamp konsentrasi ini pada awalnya dihuni oleh tahanan pria. Di Pulau Buru tersebut para tahanan tanpa pengadilan tersebut terisolasi dan mengalami serangkaian kekerasan fisik maupun psikologis, hingga pada umumnya kekerasan-kekerasan tersebut berujung pada kematian. Selanjutnya, keluarga inti para tahanan pria-yakni istri dan anak-anak ikut serta menyusul menuju Pulau Buru. Menurut koordinator IPT 65, Nursyabani Katjasungkana, Pulau Buru merupakan sebuah kamp konsentrasi layaknya Gulag di era kepemimpinan Stalin di Uni Soviet. Sedangkan para tahanan wanita di Yogyakarta dan kamp-kamp tahanan perempuan di sepanjang pulau Jawa lainnya kehilangan masa depan di balik jeruji penjara tanpa proses pengadilan. Hal ini sempat dituturkan oleh salah seorang penyintas wanita yang bersaksi dalam IPT 65 di Den Haag, Belanda, pada November 2015 lalu bahwa ia mengalami kekerasan sepanjang tahun-tahun penahanannya. Pada umumnya penyiksaan yang dialami oleh tahanan perempuan adalah berupa kekerasan seksual,” bebernya. Fakta-fakta IPT demikian, lanjutnya, bukan hanya menuntut keharusan penegakan keadilan bagi para korban namun sekaligus mengharuskan keadilan, pemenuhan dan perlindungan HAM bagi perempuan di Indonesia di masa kini.
Sementara itu Rian, koordinator aksi, mengingatkan bahwa pembunuhan terhadap Munir menandai bukan hanya pelanggaran HAM melainkan juga langkah lebih lanjut dari militerisme untuk menghancurkan perjuangan demokrasi karena dianggap membahayakan kepentingan penindasannya. “Munir selalu hadir membela para korban pelanggaran HAM. Ia wujud advokasi melawan pelanggaran HAM. Mulai dari kasus penculikan mahasiswa, penangkapan aktivis-aktivis PRD, penghilangan para pejuang demokrasi yang menuntut Soeharto turun, penembakan Semanggi I dan II, hingga lain sebagainya,” ungkapnya. Oleh karena itu penuntasan dan penegakan keadilan atas kasus pembunuhan Munir adalah hal vital dalam perjuangan HAM dan demokrasi di Indonesia. Namun menurutnya proses ini dibenturkan dengan halangan besar dari pihak aparat dan pejabat pemerintahan. “Hasil gugatan Kontras, Imparsial, Suciwati, menunjukkan hasil TGPF dihilangkan negara padahal sudah diberikan ke Kemensesneg, besar kemungkinan ini kesengajaan,” katanya. “Ada indikasi orang-orang yang berkuasa saat ini tentu saja tidak mau mengusut dirinya sendiri yang terlibat pelanggaran HAM,” paparnya menyinggung para pelanggar HAM yang sekarang berkuasa di pemerintahan. Fatimah kemudian menambahkan, “Penegakan keadilan atas pelanggaran HAM di masa lalu harus dilakukan, kalau tidak maka pelanggaran HAM juga akan terjadi di masa depan. Sebab kalau para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu saja bisa bebas dari pengadilan dan hukuman, maka para penindas tidak akan takut atau ragu untuk melakukan pelanggaran HAM di masa kini,” ujarnya memperingatkan. “Oleh karena itu kita harus tetap konsisten mengangkat kasus-kasus pelanggaran HAM dan menuntut penegakan keadilan,” pungkas Rian. (lk)
Comment here