Opini Pembaca

HTN 2016: Kaum Tani Indonesia Hadapi Perampas Tanah dan Perusak Lingkungan

buruh-taniLebih dari 53 tahun telah berlalu semenjak penetapan Hari Tani Nasional (HTN) namun kaum tani di Indonesia masih terus didera penindasan dan pemiskinan. Reforma agraria yang diusung Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) tidak benar-benar dilaksanakan semenjak rezim kediktatoran militer Orde Baru (Orba) pimpinan Harto berkuasa melalui pembantaian 65 dan dukungan Imperialisme Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Justru sebaliknya, tanah-tanah yang sudah dimiliki dan dikelola kaum Tani banyak yang direbut dan dikuasai oleh Militerisme.

Konsekuensinya hingga kini kebebasan dan kesejahteraan saat ini tidak dinikmati kaum Tani. Setidaknya 570 ribu petani berada di bawah garis kemiskinan[i]. Tingkat kemiskinan di pedesaan naik dari 14,09% di September 2015 jadi 14,11% di Maret 2016[ii]. Selain itu Nilai Tukar Petani (NTP), menurut BPS, pada Desember 2015 mengalami penurunan sebesar 0,11% akibat kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,98% sedangkan di sisi lain indeks harga yang diterima petani hanya naik sebesar 0,77%.[iii] Artinya pemasukan petani Indonesia jauh lebih rendah daripada pengeluarannya. Selain itu 14,25 juta petani berlahan sempit tergolong 40% penduduk berpendapatan paling sedikit[iv].

Sebagaimana diungkap Catatan Akhir Tahun 2015 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat setidaknya 252 konflik agraria dengan luasan 400.430 hektar yang melibatkan 108.714 keluarga di tahun 2015.[v] Bahkan kalau dilihat lebih luas, dari tahun 2004 hingga 2015 ada 1.772 konflik agraria yang berlangsung pada besaran wilayah 6.942.381 hektar dengan melibatkan 1.085.817 keluarga sebagai korbannya.[vi]

Secara khusus, masyarakat adat juga menderita penindasan akibat perampasan tanah demi proyek-proyek neoliberal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkap bahwa dari tahun 2003 – 2014 setidaknya terjadi kriminalisasi masyarakat adat, dari Sumatra Utara hingga Maluku Utara. Semuanya terkait proyek pembangunan neoliberal, bukan hanya di segi infrastruktur namun juga pertambangan dan perkebunan skala besar.[vii]

Meskipun monopoli tanah masih merupakan salah satu sumber utama penindasan dan pemiskinan tani namun terdapat pergeseran kontradiksi saat ini. Bila di tahun 1950an dan 1960an, kaum tani Indonesia sering berkontradiksi dengan tuan tanah-tuan tanah tradisional feodal maka hari ini kontradiksinya dengan kaum kapitalis agraria. Kapitalis agraria adalah para pemodal, baik dalam bentuk perorangan maupun perusahaan, baik perusahaan negara maupun perusahaan swasta, yang memonopoli sumber-sumber agraria dan memanfaatkannya untuk operasi bisnis serta terintegrasi dengan pasar bebas.

Ini ditunjukkan lewat data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengungkap bahwa 56% aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dimonopoli oleh 0,2% penduduk di Indonesia. Penguasaan segelintir orang terhadap properti, tanah, dan perkebunan yang sangat besar itu berbanding terbalik dengan sangat banyaknya kaum tani yang sangat sedikit memiliki tanah. 26,14 juta rumah tangga tani memiliki lahan rata-rata hanya 9,89 hektar per keluarga. Sedangkan kira-kira 14,25 juta rumah tangga tani lainnya malah memiliki lahan di bawah 0,5 hektar per keluarga. Sementara skala ekonomi untuk satu keluarga setidaknya harus dua hektar.[viii] Ini juga diperkuat dengan data KPA yang menyatakan bahwa biang tertinggi konflik agraria adalah sektor pembangunan infrastruktur di tahun 2014 dan sektor perkebunan di tahun 2015 di samping biang lainnya seperti sektor kehutanan, pertambangan, dan lainnya.[ix] Hampir semua proyek biang perampasan tanah demikian berdalih sebagai pembangunan untuk kepentingan umum.

Kenyataannya dalih pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sebenarnya merupakan kedok untuk melayani kepentingan operasi kapitalisme global atau Imperialisme, khususnya neoliberalisme. Ini salah satunya tampak lewat survei Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi pada Maret 2015 yang memandatkan pembangunan sektor infrastruktur untuk meningkatkan produktivitas dan dinamisme dunia usaha di Indonesia untuk menekan biaya produksi dan distribusi serta mempermudah akses pasar.[x] Patut diperhatikan juga bahwa rezim borjuis Jokowi-JK juga meneruskan perjanjian-perjanjian neoliberal rezim SBY sebelumnya, termasuk di bidang pertanian, seperti Agreement on Agriculture (AoA) atau Perjanjian Pertanian yang diresmikan lewat Konferensi Tingkat Tinggi World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia pada Desember 2013 di Bali lalu. AoA ini memandatkan perluasan akses pasar melalui penurunan tarif dan non-tarif, pemotongan dukungan domestik atau pencabutan subsidi terhadap petani, dan pengaturan spesifik produk pertanian untuk kepentingan Imperialis.

Maka akibatnya di sisi lain, kesulitan rakyat kecil, khususnya kaum tani di pedesaan, seperti sulitnya akses terhadap pupuk, mahalnya satuan alat produksi pertanian (saprotan), kekurangan atau ketiadaan akses kaum tani terhadap listrik, justru lambat, kurang, atau malah tidak direspon. Sebagaimana disimpulkan Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA, “Pembangunan infrastruktur Jokowi mengkoneksikan jaringan produksi dan konsumsi global, bukan mempebesar kue rakyat. Ini mempercepat laju perampasan tanah dan ketimpangan sosial.”

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 tahun 2016 tentang Proyek Strategis Nasional, mengagendakan pembangunan sekitar 225 proyek skala besar seperti bandara, jalan tol, pembangkit tenaga listrik, dan bendungan dengan skema Kerja Sama Pemerintah-Swasta (KPS), dimana sebagaimana keterangan Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sarat dengan perluasan tanah secara represif.[xi] Praktik kekerasan demikian setidaknya terjadi pada pembangunan bandara internasional di Kulon Progo di Yogyakarta, Majalengka di Jawa Barat, pembangkit listrik di Batang Jawa Tengah, dan revitalisasi waduk Jatigede di Sumedang Jawa Barat. Sejak Jokowi-JK menjabat, minimal tercatat 70 pengaduan dugaan pelanggaran HAM terkait proyek infrastruktur demikian dan ini diperkirakan terus meningkat.

WALHI mencatat bahwa berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jawa Barat serta RPMN 2014-2019 terdapat minimal 84 proyek infrastruktur skala besar akan dibangun di provinsi Jawa Barat (Jabar). Proyek-proyek untuk kepentingan kapitalis ini berjalan dengan merampas tanah kaum tani. Bahkan menurut catatan WALHI dalam 10 tahun terakhir terdapat 424.910 hektar lahan pertanian yang diubah untuk sektor industri. Dadan Ramdan, Direktur WALHI Jabar mengonfirmasi ini, “Proyek infrastruktur dalam 5-10 tahun ke depan semakin rakus dan menambah konversi lahan…petani kehilangan lahan garapannya, potensi konflik sosial muncul.”

Operasi kapitalis agraria dalam berbagai bentuknya yang menindas kaum tani ini dilindungi oleh negara borjuis Indonesia baik secara militer maupun hukum. Dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustruab No. 466/M-IND/Kep/8/2014 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian No. 620/M-IND/Kep/12/2012 tentang Obyek Vital Nasional Sektor Industri membuat semua upaya perlawanan atas penindasan di Obyek Vital Nasional (OVN) dicap sebagai ancaman keamanan negara[xii]. Saat ini saja terdapat sembilan perusahaan kapitalis agraria yang tergabung dalam OVN antara lain PT Smart Tbk. Milik grup Sinar Mas. Artinya tindakan massa rakyat khususnya kaum Tani yang ada disana untuk membela diri bisa secara legal dibalas dengan mobilisasi aparat kepolisian dan militer. Demikianlah secara konkret hukum dan aparat negara borjuis Indonesia digunakan untuk menyokong penindasan dan melindungi kepentingan kapitalis agraria.

Eratnya kerjasama antara kaum kapitalis birokrat, baik sipil maupun militer, dengan kaum kapitalis agraria ini, juga mengakibatkan saratnya korupsi. Terdapat potensi kerugian Rp 1,3 triliun pada sektor Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) Sumber Daya Alam Kehutanan karena ketidaksesuaian pencatatan dan penghitungan data produksi SDA Kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hanya 2,5 triliun dari total Rp 3,6 triliun yang harusnya masuk dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Artinya ada 1,1 triliun yang tidak masuk dan tidak jelas dimana keberadaannya

Peningkatan perampasan tanah tidak hanya berakibat peningkatan penindasan terhadap kaum tani namun juga peningkatan penggerusan terhadap kedaulatan pangan. Salah satu contohnya adalah penurunan lahan dan produksi pertanian akibat pembangunan mega proyek bandar udara baru Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Produksi padi sawah di DIY turun dari 719.184 ton gabah kering giling di tahun 2014 menjadi 712.330 ton di tahun 2015. Turun 6.864 ton. Sedangkan produksi padi ladang turun dari 200.379 sebanyak 3.545 ton atau 1,77% dari 200.379 ton di tahun 2014. Ini sudah dikonfirmasi Bambang Kristianto, Kepala Badan Pusat Statistik DIY, dikarenakan karena penurunan luas panen. Luas panen sawah turun dari 115.667 hektar di tahun 2014 menjadi 111.426 hektar di tahun 2015. Turun 4.241 hektar atau 3,67%. Sedangkan luas panen ladang turun sebanyak 448 hektar atau 1,04%. Padahal kebutuhan beras DIY di tahun 2014 yang sebesar 51 ribu ton saja masih belum bisa terpenuhi oleh beras hasil panen petani Yogyakarta dengan jumlah 32 ribu ton. Sehingga 19 ribu kekurangannya harus didatangkan dari luar Yogyakarta.[xiii]

Akibat monopoli dan perampasan tanah demikian, keberadaan kaum tani di Indonesia semakin tergerus serta mengalami proletarisasi. Terdapat penurunan pekerja di pertanian dari 40,12 juta orang di Februari 2015 menjadi 38,29 juta orang di Februari 2016. Selain itu dari tahun ke tahun populasi rumah tangga pertanian semakin menurun secara serius. Dari 31,17 juta rumah tangga usaha tani pada tahun 2003 menjadi 26,13 juta di tahun 2013[xiv]. Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 juga mengonfirmasi bahwa penurunan petani tersebut diakibatkan alih profesi dan kecilnya lahan pertanian karena pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik, dan perumahan.[xv] Dimana menurut BPS sendiri, pergeserannya merupakan pergeseran pekerja dari sektor pertanian dan industri ke sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan.

Meskipun demikian, tidak semua orang yang tergerus dari posisi petani masuk menjadi kelas proletar. Sebab banyak juga mantan petani yang masuk ke sektor informal. Data BPS yang mencatat peningkatan 17,6% jumlah usaha non-pertanian dari tahun 2006 – 2016 atau kenaikan dari 22,7 juta usaha di tahun 2006 menjadi 26,7 juta usaha di tahun 2016 menunjukkan bahwa 70% di antaranya berbentuk pedagang keliling, usaha di tempat tinggal, usaha kaki lima, dan lainnya.[xvi] Apalagi bila dibandingkan dengan sektor industri yang juga mengalami penurunan angkatan kerja dari 16,38 juta di 2015 menjadi 15,97 juta orang akibat gelombang PHK lalu.[xvii]

Kaum kapitalis agraria juga merupakan biang keladi terhadap perusakan lingkungan. Penggundulan hutan, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang mengakibatkan bencana asap adalah salah satu contohnya. Kasus ini juga menunjukkan persekutuan antara kapitalis agraria dengan kapitalis birokrat dengan tidak tersentuhnya perusahaan-perusahaan pembakar lahan. Data dari Kementerian Hutan dan Lingkungan Hidup (KLHK) sendiri mengakui banyaknya perusahaan perkebunan tanpa izin sesuai yang menerapkan cara-cara ilegal untuk ajukan pelepasan hutan menjadi perkebunan. Modusnya adalah mengoperasikan pembalakan hutan atau Illegal Logging kemudian mengajukan pelepasan hutan untuk dialihfungsikan menjadi perkebunan.[xviii] Persekutuan antara kapitalis birokrat, sipil dan militer, dengan kapitalis agraria ini tidak selalu terjalin secara horizontal, unipolar, dan menyeluruh. Sebagian bersifat sporadis, multifaksional, dan diagonal serta memunculkan benturan internal dalam pemerintahan. Salah satu contohnya adalah penghadangan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terhadap Inspeksi Mendadak (Sidak) yang dilakukan rombongan Badan Restorasi Gambut (BRG) ke lahan PT Riau Andalan Pulpp and Paper (RAPP) untuk menindaklanjuti lapran bahwa PT RAPP telah membuka lahan dan kanal baru di lokasi bekas kebakaran hutan serta melanggar larangan yang diperintahkan pemerintah.[xix]

Padahal karhutla, yang pada Juni sampai Oktober 2015, telah membakar 2,61 juta hektar hutan dan lahan di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah. Kerugian yang diakibatkannya mencapai lebih dari Rp 221 triliun serta mengakibatkan efek domino berupa bencana asap pekat. Akibat kebakaran tersebut 24 orang tewas dan lebih dari 600 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).[xx]

Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan, menyatakan, “Penegakan hukum karhutla hanya menyasar perusahaan kecil atau masyarakat secara personal. Perusahaan-perusahaan besarnya tidak ada yang masuk” sambil menunjukkan data kajian WALHI yang mengungkap dari sekitar 262 laporan kasus Karhutla ke POLRI di tahun 2015 hanya ada 104 kasus yang sampai tahap penyidikan. Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan, dan Pengembangan Hukum Lingkungan WALHI, menyatakan dari 247 tersangka Karhutla yang ditetapkan per Oktober 2015 hanya 17 tersangka dari pihak korporasi. “Sebanyak 230 tersangka lainnya itu perorangan (masyarakat),” ungkap Zenzi. Menurutnya ini ganjil karena kenyataannya titik api terbanyak ada pada lahan konsesi korporasi. Menurut catatan WALHI, terdapat 439 lahan konsesi milik perusahaan di Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang alami kebakaran.[xxi]

Sebaliknya ada upaya aparat untuk mengalihkan perhatian dari korporasi sebagai biang keladi Karhutla untuk kemudian  masyarakat. Anton P Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat, menyatakan aparat kepolisian jauh lebih cepat memproses hukum sampai ke persidangan saat sasaran jeratnya masyarakat perorangan dan jauh lebih lambat saat sasaran jeratnya perusahaan. Salah satu contohnya dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan pembakar hutan di Riau Januari lalu dengan dalih tidak ada bukti kuat karena kebakaran lahan terjadi di banyak lahan sengketa.

Pengambinghitaman ini juga diiringi dengan patroli aparat kepolisian dan militer di Kalimantan Barat yang menyasar desa-desa untuk menangkap masyarakat yang hendak membakar ladangnya. Padahal kenyataannya pembakaran yang berpengaruh besar dan meluas bukan dilakukan masyarakat melainkan korporasi. Sehingga korporasi tampak bersekutu dengan aparat untuk cuci tangan dari kejahatannya membakar hutan dan lahan. Ini diperkuat dengan beredar luasnya foto para aparat kepolisian seperti Kepala Polresta Pekanbaru Komisaris Besar Toni Hermawan, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Komisaris Besar Rifai Sinambela, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau Komisaris Besar Surawan, dan para polisi lainnya di jajaran Polda Riau dengan para bos perusahaan sawit PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) dengan sejumlah minuman keras berjejer di mejanya[xxii].

Operasi kapitalis agraria perusak lingkungan yang dilindungi aparat dan kapitalis birokrat ini juga disokong oleh kaum Imperialis. Wujudnya berupa institusi-institusi finansial global, khususnya bank-bank kapitalis baik Indonesia maupun internasional, yang mengucurkan hutang untuk mendanai perusahaan-perusahaan perusak hutan tropis di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Bank-bank itu antara lain adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) dari dalam negeri sedangkan dari luar negeri yaitu DBS, OCBC, Mizuho Financial, Sumitomo Mitsui Financial, Mitsubishi UFJ, HSBC, Malayan Banking, Standard Chartered, JP Morgan, dan China Development Bank. Sebagaimana diungkap investigasi Rainforest Action Network (RAN) atau Jaringan Aksi Hutan Tropis, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, dan Profundo, yang menghimpun aktivis dari Jakarta, Amesterdam, dan San Fransisco ini, bank-bank itu menggelontorkan hutang dan jaminan senilai US$ 38 miliar dan tunjangan dalam bentuk surat utang dan kepemilikan saham senilai US$ 14 miliar kepada 50 perusahaan kehutanan di Asia Tenggara yang bergerak di sektor kehutanan khususnya operasi produksi dan pengolahan utama minyak sawit, kertas, karet, dan kayu. Padahal perusahaan-perusahaan kapitalis agraria yang disokong bank-bank itu mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam bentuk rusaknya keanekaragaman hayati, perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global, polusi, banjir, perubahan pola hujan, serta kebakaran hutan dan lahan.[xxiii]

Dus, kerugian akibat operasi kapitalis agraria yang bersekutu dengan Imperialis dan kapitalis birokrat ini, tidak hanya diderita kaum tani dan masyarakat adat pada khususnya namun juga rakyat pekerja pada umumnya. Komnas HAM bahkan menyimpulkan kajiannya bersama Indonesia Center for Enviromenal Law (ICEL) atau Pusat Indonesia untuk Hukum Lingkungan tahun 2015-2016 di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah yang mengungkap peraturan multi tafsir, penegakan hukum diskriminatif, pemadaman api yang tidak memadai, serta perampasan hak atas kesehatan[xxiv].

Oleh karena itu penting bagi rakyat pekerja, baik itu kaum tani, masyarakat adat, maupun kelas buruh, dan kaum miskin serta kaum tertindas pada umumnya untuk membangun persatuan perjuangan melawan penindasan. Kita menghadapi musuh-musuh sama: kapitalisme, kapitalisme birokrasi, militerisme, dan imperialisme.

Perjuangan kelas buruh dalam jangka pendek untuk menuntut kenaikan upah tidak akan ada artinya bila mencapai kemenangan sementara selama produksi, distribusi, serta komoditas pertanian dan pangan masih dikuasai kapitalisme dan Imperialisme sebab mereka akan membalasnya dengan menaikkan harga barang kebutuhan konsumsi—termasuk pangan, sehingga membuat kenaikan upah tidak berarti banyak dibandingkan kenaikan barang-barang yang lebih tinggi. Perjuangan kaum tani di pedesaan juga sulit untuk menang bila belum tersatukan dan didukung dengan perjuangan kelas buruh di perkotaan, baik terkait upah pada khususnya maupun dalam soal menolak kenaikan harga BBM, TDL, air,dan sebagainya.

Dalam jangka panjangnya, perjuangan kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan kediktatoran borjuasi serta mendirikan sosialisme, juga tidak bisa tanpa melibatkan perjuangan kaum tani. Persatuan serta aksi-aksi bersama antara kelas buruh dan kaum tani akan menjadi kekuatan utama untuk revolusi demokratik. Yang akan mewujudkan demokrasi seutuh-utuhnya, reforma agraria yang sejati dan menghancurkan sisa-sisa kekuatan lama: feodalisme, militerisme dan orde baru. Perjuangan kelas buruh merebut alat-alat produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang saat ini utamanya dikuasai oleh borjuasi dan Imperialis, harus diimbangi dengan perjuangan kaum tani untuk merebut tanah dari para pemonopoli tanah dan perusak lingkungan. Ini tidak hanya akan berjalan dalam bentuk simbiosis perlawanan semasa perang kelas namun juga simbiosis perjuangan dimana kelas buruh bisa memasok Saprotan (sarana produksi pertanian) dan pupuk serta mesin-mesin bagi kaum tani serta kaum tani memasok kebutuhan pangan bagi kelas buruh. Penuntasan revolusi demokratik tersebut akan mempermudah kelas buruh untuk mengorganisir kekuatannya untuk memimpin rakyat pekerja secara keseluruhan dan segera melancarkan perjuangan akhirnya untuk Sosialisme.

Dengan demikian, rakyat pekerja perlu membangun persatuan perjuangan antara kelas buruh dan kaum tani bersama seluruh kaum tertindas untuk menghapuskan tirani dan penghisapan. Sehingga dalam peringatan HTN 2016 ini mari bersama-sama kita pekikkan:

Buruh dan Tani, Bersatulah!

Lawan Perampas Tanah dan Perusak Lingkungan!

Sosialisme Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!

 

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

 

[i] Hanifiyani, Mawardah Nur. 31 Desember 2015, 04:09 WIB. Ini Penyebab Defisit Nilai Tukar Petani Sektor Perkebunan. Tempo. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[ii] Perkasa, Anugerah. Rabu, 31 Agustus 2016, 09:28 WIB. Noktah Hitam Proyek Mega Jokowi. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[iii] W, Arkhelaus. Rabu, 6 Januari 2016, 19:01 WIB. BPSL Klaim Nilai Tukar Petani Turun, Menteri Amran Bilang Naik. Tempo. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[iv] Perkasa, Anugerah. Rabu, 31 Agustus 2016, 09:28 WIB. Noktah Hitam Proyek Mega Jokowi. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[v] Susanto, Ichwan. 5 Januari 2016, 17:06 WIB. Belum Ada Hasil Terkait Penyelesaian Konflik Agraria. Kompas. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[vi] Susanto, Ichwan. 5 Januari 2016, 17:06 WIB. Belum Ada Hasil Terkait Penyelesaian Konflik Agraria. Kompas. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[vii] Perkasa, Anugerah. Rabu 31 Agustus 2016, 13:03 WIB. Kegelisahan Orang Seko dan Ancaman Kampung yang Tenggelam. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[viii] Las dan Bay. Kamis 28 Januari 2016, 15.00 WIB. Pemodal Kuasai Lahan Desa. Djumena, Erlangga (Ed.) Kompas.com. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[ix] Susanto, Ichwan. 5 Januari 2016, 17:06 WIB. Belum Ada Hasil Terkait Penyelesaian Konflik Agraria. Kompas. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[x] Perkasa, Anugerah. Rabu, 31 Agustus 2016, 09:28 WIB. Noktah Hitam Proyek Mega Jokowi. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xi] Perkasa, Anugerah. Rabu, 31 Agustus 2016, 15:21 WIB. Komnas HAM: Proyek Infrastruktur Penuh Kekerasan. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xii] AGRA. 22 April 2015.Hentikan Perampasan Tanah untuk Perkebunan Besar Kelapa Sawit. AGRA Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xiii] Maharani, Shinta. Jumat, 9 September 2016, 20:04 WIB. Bandara Kulon Progo Dibangun, Produksi Pertanian Turun. Tempo. Online. (, diakses pada 7 September 2016).

[xiv] JPNN. Senin 9 Maret 2015, 6:46 WIB. Jumlah Petani Turun Terus Merosot, Ini Penyebabnya. Jawa Pos News Network. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xv] Gera, Iris. 2 Juni 2014. BPS: Jumlah Petani di Indonesia Terus Berkurang. VOA Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xvi] Florentin, Vindy. Jumat, 19 Agustus 2016, 15:35 WIB. BPS: Jumlah Usaha Non-Pertanian Meningkat. Tempo. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xvii] Sawitri, Angelina Anjar. Rabu, 4 Mei 2016, 18:49 WIB. BPS: Pengangguran Terbuka di Indonesia Capai 7,02 Juta Orang. Tempo. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xviii] Suastha, Riva Dessthania. Rabu, 7 September 2016, 09:44 WIB. KLHK Duga Korporaasi Sengaja Libatkan Warga untuk Bakar Hutan. CNN Indonesia. Online, (, diakses pada 9 September 2016).

[xix] Pratama, Aulia Bintang. Kamis, 8 September 2016, 18:35 WIB. KLHK Panggil BRG dan Riau Andalan Soal Insiden Pengusiran. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xx] Taylor, Gloria Safira. Kamis, 8 September 2016, 17:08 WIB. Negara Gagal Jamin Hak Korban Kebakaran Hutan Selama 18 Tahun. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xxi] Suastha, Riva Dessthania. Rabu 24 Agustus 2016, 17:50 WIB. Aparat Dinilai Tak Berani Jerat Korporasi Pembakar Hutan. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 7 September 2016).

[xxii] Sohuturon, Martahan. Kamis, 8 September 2016, 18:24 WIB. Lima Polisi yang Bertemu Bos Sawit Riau Sudah Diperiksa. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xxiii] Taylor, Gloria Safira. Jumat, 9 September 2016, 07:40 WIB. Bank Global Dituding Turut Rusak Hutan Asia Tenggara. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

[xxiv] Taylor, Gloria Safira. Kamis, 8 September 2016, 17:08 WIB. Negara Gagal Jamin Hak Korban Kebakaran Hutan Selama 18 Tahun. CNN Indonesia. Online. (, diakses pada 9 September 2016).

Loading

Comment here