Internasional

Jangan Lagi Memilih “Lesser Evilism”

donald-trump-hillary-clintonStrategi memilih “lesser evilism/ terbaik di antara terburuk” tidak akan menyiapkan kaum kiri untuk perjuangan panjang kedepannya.

 
Pada pertengahan Agustus, Working Families Party (WFP) menjadi organisasi terbaru di Kiri AS yang menyatakan dukungan terhadap kandidat presiden Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Awalnya pendukung tantangan pemberontak Bernie Sanders, WFP membenarkan dukungan untuk saingan Sanders dengan menggunakan ketakutan terhadap terpilihnya Donald Trump sebagai presiden – yang menurut mereka “tidak hanya akan menempatkan orang brengsek yang tidak berkualitas, bodoh, narsistik, otoritarian di Gedung Putih, namun juga akan menguatkan kecenderungan yang paling ganas di masyarakat Amerika.”

WFP tidak sendirian ketakutan terhadap Trump – retorika rasisnya yang aneh dan misoginis telah mengalienasi lapisan besar pemilih. Memang seperti yang dicatat oleh beberapa pakar, Clinton sekarang terlihat menggunakan strategi “dikejar-kejar waktu”, mengabaikan daftar skandalnya yang terus berkembang atas asumsi bahwa ketidakpopuleran Trump akan menghasilkan kemenangan baginya.

Sementara pooling menunjukan bahwa kemenangan Trump tidak dimungkinkan, masih terlalu dini untuk menganggap bahwa Clinton akan memenangkan pemilihan umum. Trump telah menunjukan bahwa dirinya mahir memanfaatkan sentimen anti politik yang tersebar luas dan kemandiriannya dari raja-raja (Washington) DS dan klas donor memberinya fleksibilitas untuk bergerak dengan cepat jikad dibutuhkan.

Namun bahkan menerima bahwa kesempatan Trump pada bulan November potensinya lebih baik daripada yang diperkirakan saat ini, masih jauh dari kejelasan bahwa strategi “lesser evilism” akan menyiapkan kaum Kiri untuk perjuangan panjang kedepannya.

Premis lesser evilisme – strategi elektoral yang sering sekali diterapkan oleh kaum progresif yang berada di kiri Partai Demokrat – cukup sederhana: karena pilihan terbatas yang ada pada sistem dua partai, kaum Kiri harus berusaha untuk memilih salah satu di antara dua yang paling sedikit merusak. Strategi ini secara historis berkebalikan dengan seruan untuk keluar dari Partai Demokrat dan menggunakan pemilihan umum untuk membangun partai ketiga yang independen.

Kritik terhadap lesser evilisme cenderung untuk menekankan akibat jangka panjang dari mensubordinasikan gerakan kampanye buruh dan sosial pada siklus pemilihan umum dan memperingatkan bahwa menghaluskan kritik terhadap setan yang “lebih baik” (“lesser” evil) akan mengkompromikan tuntutan-tuntutan dan kejelasan politik kaum Kiri. Melemahnya gerakan anti perang menjelang kemenangan Obama pada tahun 2008 menjadi contoh yang sangat buruk dari kelemahan strategi lesser evilism.

Namun pemilihan umum tahun ini, keputusan untuk mendukung kandidat Partai Demokrat sangat mengkhawatirkan. Pada saat ketika figur anti-kemapanan menemukan dukungan tak terduga dan mengganggu status quo pemilihan umum, ide bahwa kaum Kiri harus memberikan dukungannya kepada kandidat yang mapan adalah cupet.

Hubungan dekat Clinton dengan kapital besar, industri pertahanan dan lembaga-lembaga neokonservatif di Washington DS begitu mengkhawatirkan sehingga membuat pembicaraan apapun yang mengatakan dia terbaik di antara yang terburuk adalah menyesatkan.

Adalah lebih baik untuk berpikir bahwa pilihan pada bulan November bukanlah antara yang paling buruk dan terbaik di antara yang terburuk, namun antara dua ancaman yang berbeda. Menyiapkan diri untuk pertempuran kedepan berarti melihat melampaui November dan menilai resiko-resiko yang berbeda yang muncul dari dua kemungkinan hasil pemilihan umum.

Pentingnya Kekuatan Sosial

Sebuah penilaian resiko dari terpilihnya Clinton atau Trump sebagai presiden tidak dapat dibatasi pada retorika atau kebijakan-kebijakan yang dikatakan oleh para kandidat pada proses kampanye. Sebagai contoh platform DNC (Konvensi Nasional Partai Demokrat) memiliki banyak pasal yang patut dipuji, terima kasih untuk usaha kampanye Sanders. Namun platform tersebut tidak mengikat, dan berjalan bertentangan dengan kepentingan pribadi yang telah mendanai kampanye Clinton. Platform tersebut akan sedikit sekali didengar dalam kepresidenannya.

Untuk memperkirakan bagaimana Clinton dan Trump akan bertindak saat menjabat, kita butuh menganalisa kekuatan sosial kuat yang mendorong dua kandidat tersebut.

Dengan “kekuatan sosial”, saya bermaksud lebih dari “basis elektoral/ pemilih”. Kekuatan sosial adalah asosiasi, institusi atau gerakan di masyarakat yang bertindak untuk memenangkan serangkaian tujuan dalam jangka panjang. Mereka beroperasi di belakang siklus pemilihan umum dan sebagai akibatnya adalah terdapat ukuran-ukuran yang bisa diprediksi dari kemungkinan trajektori kandidat ketika sudah berada di dalam kekuasaan.

Salah satu aspek yang paling mengejutkan dari pencalonan Trump adalah kurangnya kekuatan sosial luas yang mampu dia tarik.

Sementara beberapa sekutu partai Republik utama telah mendukungnya – mantan walikota New York City Rudy Ciuliani, National Rifle Association dan dengan dukungan yang lebih kecil dari halaman editorial Wall Street Journal – Trump telah mengalienasi banyak kelompok yang biasanya diandalkan oleh kandidat partai Republik dalam pendanaan dan mobilisasi pemilih.

Dia telah dijauhi oelh dinasti Bush, Mitt Romney dan Michael Bloomberg dan digambarkan sebagai “resiko keamanan nasional” oleh lima puluh pejabat GOP (Grand Old Party – istilah untuk partai Republik). Jaringan pejabat dan think tanks neokonservatif yang memainkan peran utama dalam pemerintahan George W. Bush menolak Trump. Koch bersaudara dan Tea Party – sekutu dari Club for Growth telah menolak Trump. Bahkan bekas penyandang dana kampanye utama Ted Cruz telah melompat, lebih menginginkan mendanai Clinton ketimbang calon dari GOP.

Kamar Dagang – institusi utama modal AS dan pendukung historis dari GOP – kemungkinan akan mendukung Clinton. Demikian juga aliran uang dari pengelola investasi global/ hedge funds dan kemarahan baru-baru dari pemimpin keuangan terhadap dukungan Trump terhadap Glass-Steagall Act (serangkaian undang-undang perbankan tahun 1933, dicabut tahun 1999, yang membatasi sekuritas, aktivitas dan afiliasi perbankan komersial dan perusahaan efek. Sekarang merupakan bagian dari platform resmi Partai Republik) menunjukan dengan kuat bahwa Wall Street mendukung Clinton.

Pendeknya, sangat sedikit entitas yang besar secara sosial berdiri di belakang kampanye Trump. Serangannya terhadap keuangan besar dan perdagangan bebas, komentar penghinaannya terkait Perang Irak, adopsi tidak meyakinkan atau penolakan langsung terhadap nilai-nilai sosial konservatif telah mengalienasi sebagian besar sayap kanan dari kekuatan politik dan ekonomi AS.

Meskipun Trump mengumpulkan dukungan vokal dari kelompok-kelompok lobi anti imigran dan dukungan dari partai-partai sayap ultra kanan, termasuk KKK dan Partai Nazi Amerika, kekuatan marjinal ini memainkan peran kecil atau tidak ada peran dalam naiknya Trump ke kekuasaan.

Naiknya Trump sangat berakar pada sentimen anti-politik tak berbentuk dalam masyarakat AS. Ketimbang sebuah artikulasi jelas dan koheren dari kekuatan sosial reaksioner, kampanyenya menggunakan nativisme sayap kanan dan retorika anti elit untuk menarik dukungan dari rasa muak terhadap institusi politik dan ekonomi negeri ini.

Walaupun pendekatan Trump telah menghasilkan dukungan di basis elektoral spesifik (kulit putih, laki-laki, pendapatan menengah), itu bukanlah ekspresi politik dari kekuatan sosial yang tahan lama di masyarakat AS. Dan sepertinya itu tidak akan berubah: dia tidak menunjukan tanda apapun untuk berupaya mengorganisir kumpulan pemilih tanpa bentuk tersebut menjadi gerakan terorganisir yang koheren.

Kelemahan dukungan Trump di antara kekuatan sosial yang lebih luas sangatlah penting; tanpa berakar di dalam masyarakat, kemenangan Trump sebagai presiden akan dilemahkan sejak awal, dirusak baik oleh partai Demokrat maupun Republik, dan terus menerus berada dalam tekanan untuk membuat konsensi pada kepentingan-kepentingan dari kekuatan yang oleh Trump sendiri diadu dengannya.

Trump Di Gedung Putih

Tentu saja, anti politik yang diwakili oleh Trump bukannya tanpa bahaya ketika berkuasa. Terdapat tiga ancaman utama yang bisa dimunculkan oleh kemenangannya dan kaum Kiri harus siap untuk menghadapinya.

Pertama, kemenangan Trump akan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar pada para ekstrimis yang marjinal untuk lebih aktif dan lebih terbuka mengejar kepentingan mereka.

Adalah penting untuk tidak menyamakan keberhasilan Trump dengan dukungan sosial yang luas bagi elemen-elemen ekstrimis seperti itu. Kendati retorika yang bertujuan untuk melemahkannya. Seruan anti politik Trump berarti bahwa kampanyenya jauh melampaui lingkaran-lingkaran nasionalis kulit putih dan anti imigran (meskipun mereka juga termasuk di dalamnya).

Namun seperti juga banyak kaum Kiri melihat Trump sebagai konfirmasi atas ketakutan mereka terhadap kebangkitan sayap kanan, demikian juga ultra kanan memproyeksikan kepada Trump harapan dan aspirasi untuk relevansi sosial yang lebih luas. Jika Trump menang pada November, keyakinan palsu mereka dapat mendorong mereka untuk melakukan tindakan kekerasan yang lebih berani.

Meskipun begitu, disini kita bisa mengambil pelajaran setelah referendum Brexit di Inggris Raya. Sementara suara yang mendukung keluar dari Uni Eropa memberikan kepercayaan diri kepada kelompok-kelompok jalanan ultra kanan dan fasis seperti Britain First dan English Defence League untuk melancarkan hura-hura serangan rasis terhadap komunitas-komunitas imigran, tidak terdapat bukti bahwa kelompok tersebut benar-benar berkembang dalam keanggotaan ataupun pengaruh. Meskipun lonjakan dalam kehadiran secara online, demonstrasi publik ultra kanan sejak referendum berjumlah kecil dan jauh dikalahkan dalam jumlah oleh kekuatan anti rasis. Sementara itu partai-partai politik sayap kanan yang diduga mendapatkan keuntungan dari Brexit (pertama dan terutama UKIP, namun juga faksi kanan di dalam Partai Konservatif) telah tertelan oleh krisis internal.

Dengan kata lain bahaya kemenangan Trump bukan berada pada kebangkitan sosial dari ultra kanan yang meluas, namun dalam kelompok-kelompok marjinal yang bisa merasa semakin berani untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan karena melebih-lebihkan tingkat dukungan publik yang mereka dapatkan.

Kedua, presiden Trump yang terkepung dapat mendorong langkah-langkah kejam yang bisa mengarahkan dukungan bipartisan (kemungkinan besar langkah-langkah di sekitar imigrasi) untuk mengalihkan perhatian dari otoritasnya yang lemah.

Di Australia misalnya, partai-partai kiri tengah dan kanan tangah merespon terkikisnya sistem dua partai dengan berusaha saling mengalahkan dalam hal “keamanan perbatasan”. Bahwa isu imigrasi kurang diminati oleh pemilih Australia menegaskan keterputusan kontemporer antara klas politik dan masyarakat.

Ketiga, terdapat kemungkinan ketika berada dalam kekuasaan, Trump akan mundur dari pendekatan anti politiknya dan berusaha memperbaiki hubungan di GOP dengan menggunakan isu spesifik yang dapat “menyatukan”. Tema “penegakan hukum dan ketertiban” – yang mendominasi konvensi partai Republik dan terus menerus digunakan sebagai isu utama kampanye – dapat menyediakan basis untuk pemulihan hubungan. Jika begitu kita mungkin akan melihat pemerintahan yang lebih proaktif lagi dalam mendukung polisi dan represinya terhadap kelompok-kelompok seperti Black Lives Matter.

Namun mengingat jumlah hubungan baik yang telah dibakar oleh Trump selama kampanye utamanya, dan rasa bermusuhannya terhadap beberapa kebijakan-kebijakan ortodoks partai Republik, kesempatan masa kepresidenan Trump untuk mendapatkan persatuan semacam itu akan cukup kecil. Kemungkinan besar, partai Republik akan berusaha menjaga hubungannya dengan kekuatan politik dan finansial dengan menjaga jarah dari Trump dan agendanya.

Clinton di Gedung Putih

Keseimbangan kekuatan cukup berbeda di Partai Demokrat. Setelah mengambil jalan memutar singkat untuk mengalahkan saingannya, Clinton telah bergerak ke kanan sejak DNC, bersemangat untuk memenangkan pemilih dan donor partai Republik yang dialienasikan oleh Trump. Banyak yang ikut serta. Kampanyenya sekarang didukung oleh rangkaian kekuatan sosial yang sangat heterogen, dari sektor finansial, industri farmasi dan Google hingga serikat-serikat buruh dan Working Families Party.

Dengan dukungan dari kekuatan politik dan keuangan yang paling kuat dalam lembaga-lembaga AS, kepresidenan Clinton akan beroperasi dengan koherensi dan otoritas yang lebih besar ketimbang apapun yang dapat dikumpulkan oleh Trump. Administrasi Clinton akan memiliki posisi yang lebih baik untuk memproyeksikan kekuasaannya kedalam masyarakat, menjaga konsensus politik disekeliling kebijakan-kebijakan yang dia sukai dan mengecilkan ruang politik bagi tuntutan-tuntutan alternatif.

Dan sedikit keraguan mengenai bagaimana Clinton akan menggunakan otoritas semacam itu – pengelola investasi global dan perusahaan farmasi besar tidak menggelontorkan jutaan dollar dalam kampanye tanpa mengharapkan sesuatu.

Saat menjabat sebagai menteri menteri luar negeri memberikan beberapa indikasi apa yang bisa diharapkan dari masa kepresidenan Clinton. Dengan sebuah kata: keagresifan. Clinton berhasil melobi serangan udara NATO terhadap Libya dan dengan aktif mendorong respon yang sama di Syria dan Irak. Dia juga menyerukan AS untuk “mengintensifkan dan meluaskan” upaya militernya di Syria, mengusulkan serangan udara yang lebih luas dan lebih banyak pasukan di darat dalam perang melawan ISIS.

Kita seharusnya tidak mengharapkan pendekatan agresif tersebut akan melemah di Gedung Putih. Seperti Daniel Larison amati:

Tekanan dan kekuasaan yang datang dengan jabatan presiden mendorong dan memungkinkan seorang kandidat menjadi lebih agresif ketika berkuasa, dan Clinton tidak kebal terhadap akibat tersebut. Lebih tepatnya, dia tidak ingin kebal terhadapnya… ada alasan bagus untuk menduga bahwa ketika berada dalam kekuasaan dan menjadi sasaran dari tuntutan tanpa akhir untuk “melakukan sesuatu” terhadap setiap konflik baru yang muncul akan memperburuk kecenderungannya yang menyukai langkah-langkah agresif.

Dalam satu kali jabatan Clinton, kita besar kemungkinan akan melihat keterlibatan AS yang lebih dalam di Syria dan Irak, sikap yang lebih keras kepala dan agresif terhadap Rusia, dan kemerosotan cepat dalam hubungan AS-Iran.

Bahwa beberapa kaum Kiri bersedia memberikan label sebagai “lesser evil” terlihat cupet; Clinton sebagai presiden kemungkinan besar akan membuat dunia sebagai tempat yang lebih berbahaya, semakin mengguncang Timur Tengah, menciptakan lahan subur untuk perkembangan ISIS dan sejenisnya, dan meningkatkan gelombang pengungsi dari Syria dan Irak.

Ancaman kedua yang muncul dari Gedung Putih Clintoh terkait dengan Israel dan Palestina. Mengingat dukungan lama Clinton terhadap kebijakan pendudukan Israel dan juga ikatannya yang kuat dengan lobiis pro-Israel seperti Haim Saban, kita harus mengharapkan bahwa dia akan dengan kuat mendukung negeri tersebut dari kritik yang berkembang.

Pertama dan terutama ini akan berarti serangan terhadap sayap paling efektif dari gerakan solidaritas Palestina: kampanye Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS). Clinton sudah membuat penentangan terhadap BDS sebagai posisi penting dalam kampanyenya. Pada bulan Mei, menanggapi permintaan dari kelompok advokasi Israel, dia secara publik meminta United Methodists untuk menolak boikot lebih jauh terhadap perusahan-perusahaan Israel. Dan dalam pidatonya di AIPAC awal tahun ini, dia bersumpah akan mengambil tindakan terhadap gerakan BDS, menghubungkannya dengan apa yang dia gambarkan sebagai peningkatan secara global sentimen anti semitisme.

Selama beberapa tahun terakhir gerakan solidaritas Palestina mengalami gelombang represi – dari pembatasan terhadap kelompok-kelompok mahasiswa di kampus, hingga kampanye untuk menuntut profesor, hingga usaha untuk membungkam atau menghukum pendukung BDS oleh administrasi universitas dan bahkan oleh pemerintahan negara bagian dalam kasus New York, New Jersey dan California.

Dibawah pemerintahan Clinton, tindakan-tindakan untuk merepresi dan membungkam gerakan solidaritas Palestina kemungkinan besar akan menjadi lebih luas dalam cakupan dan intensitas.

Ketiga, kita harus mengharapkan keamanan-nasional negara – yang dibangun di bawah George W. Bush dan secara signifikan diluaskan di bawah Obama – untuk lebih diperkuat lagi dengan Clinton menjadi panglima tertinggi.

Tidak hanya Clinton dengan setia melayani pemerintahan yang telah “menuntut lebih banyak orang dengan Undang-undang Spionase tahun 1947… ketimbang seluruh pemerintahan sebelumnya digabungkan,” dia dengan vikal mengutuk whistle-blowers Chelsea Manning dan Edward Snowden.

Bahkan saat primary (pemilihan tingkat negara bagian di mana anggota partai memilih seorang calon dari partai itu) dengan Sanders menekan dia dari kiri, Clinton menunjukan sedikit dorongan untuk menjaga jarak dari catatan pelanggaran kebebasan sipilnya. Faktanya, setelah serangan San Bernardino, dia menyerukan “gelombang intelijen”, terutama pengawasan pemerintah terhadap media sosial. Ikatan mendalam antara Clinton, Departemen Luar Negeri dan Google menunjukan bahwa dia berada di posisi yang baik untuk meluaskan cakupan keamanan nasional negara.

Setelah November

Dalam gerakan politik saat ini, tidak ada lesser evil, yang ada adalah ancaman yang berbeda.

Pemerintahan Trump akan lemah dan tidak terorganisir, namun juga rentan terhadap serangan serampangan terhadap komunitas-komunitas yang rentan. Pemerintahan Clinton akan percaya diri, ditopang oleh barisan kuat dari kekuatan institusi dan mampu memproyeksikan otoritasnya untuk menopang status quo.

Kaum Kiri butuh untuk mempersiapkan diri terhadap kedua skenario tersebut. Dan ini harus melampaui jauh dari slogan abstrak “membangun gerakan”. Kita harus berpikir secara strategis mengenai apa yang butuh diprioritaskan dan di mana kita harus menyatukan sumber daya kita.

Jika Trump menjadi presiden maka kita harus meletakan usaha kita untuk membangun perjuangan anti rasis di sekeliling imigran, Islamphobia dan kekerasan polisi. Namun kita juga harus menghindari terganggu oleh retorika kemarahan Trump: fokus harus dibuat pada tindakan-tindakan kongkrit dari negara dan pengikut Trump yang lebih ekstrim, bukan pada postingan Twitternya.

Jika Clinton menang, kita akan sangat membutuhkan perjuangan anti perang yang riil – yang mendapatkan pelajaran dari, namun juga bisa melampaui, gerakan menentang Perang Irak.

Mengingat tidak adanya gerakan anti perang yang efektif, kemungkinan bahwa dalam masa kepresidenan Clinton dan hampir pasti bahwa pemerintahan dia akan mendorong lebih jauh perang di luar negeri dan meluaskan keamanan nasional negara di dalam negeri harus menjadi perhatian mendalam.

Mencoba meyakinkan diri kita sendiri bahwa Clinton adalah “lesser evil” membuat kita tidak siap untuk mengorganisir sebuah oposisi yang efektif terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Kita harus mulai menyiapkan diri terhadap bahaya yang muncul di cakrawala.

 

ditulis oleh James Robertson, asisten profesor politik dan sejarah di Universitas Woodbury dan anggota dewan editorial LeftEast. Sumber: https://www.jacobinmag.com/2016/09/clinton-trump-president-lesser-evil/

Diterjemahkan oleh Dipo Negoro, editor Bintang Nusantara dan kader KPO PRP.

 

Loading

Comment here