Baru–baru ini dunia terhebohkan pemberitaan pelarangan pemakaian Burkini (busana renang perempuan Muslim), di Prancis, Sisco Walikota Ange-Pierre Vivoni mengeluarkan dekrit melarang pengenaan burkini di pantai kotanya pasca insiden perkelahian antara turis dan keluarga muslim di pantai tersebut. Keputusan itu juga didasarkan pada dua larangan serupa di beberapa kota di Prancis, di kota Riviera Prancis Cannes dan kota Villeneuve-Loubet.[1]
Pemerintah kota (Pemkot) melarang pengunaan Burkini dengan dalih “terang-terangan memanifestasikan kepatuhan terhadap agama pada saat Prancis dan tempat ibadah menjadi target serangan teroris”. Pelarangan pengunaan Burkini ini diklaim sebagai upaya melindungi penduduk terutama perempuan dari kekerasan teroris dan ancaman terhadap ketertiban umum, seperti perkelahian antara turis dengan keluarga muslim sebelumnya. Namun pada kenyataannya pelarangan Burkini, ialah upaya Rezim untuk menyerang hak-hak demokratis dan mendorong rasisme, jauh lebih ke dalam. Tuduhan pengunaan hak demokratis perempuan Muslim, dalam mengenakan pakaian ialah merupakan upaya dari pembangkitan kelompok terorisme di Perancis, terkait ketegangan milisi Irak dan Suriah saat ini.
Pelarangan pengunaan burkini, bukan hanya melanggar hak seseorang, tapi, mendiskriminasi perempuan, yang secara fundamental menentang prinsip-prinsip kemanusian dan melanggar hak-hak dasar demokrasi. Larangan pengunaan Burkini bukanlah hal yang baru dilakukan pemerintah Prancis dalam upaya penyerangan terhadap hak–hak demokrasi umat muslim di Perancis. Pada tahun 2004, pemerintah konservatif Presiden Jacques Chirac memberlakukan larangan ber-jilbab di sekolah umum, diikuti oleh larangan pengunaan Burqa yang ditetapkan oleh Presiden Nicolas Sarkozy. Sayangnya terdapat kelompok kiri yang terjerumus ikut-ikutan mendukung pembatasan atau pelarangan busana tertentu bagi umat Muslimat. Seperti Parti de Gauche dan Partai Komunis Prancis. Bahkan Partai Anti-Kapitalis (NPA) yang sebelumnya membuat terobosan dengan mengajukan Ilhem Moussaid, seorang muslimat berjilbab yang menjadi aktivis anti kapitalis, malah kemudian tidak mengampanyekan perlawanan terhadap Peraturan Pelarangan Niqab atau Cadar. Dalam konferensi nasionalnya tahun 2011 bahkan sebanyak 1297 orang memvoting larangan para pemakai jilbab untuk maju dalam Pemilu lewat jalur NPA, menang terhadap para penentang larangan tersebut yang ‘hanya’ sebanyak 1044 suara. Ini mengakibatkan Moussaid dan kawan-kawannya akhirnya memutuskan keluar dari NPA[2]. Meskipun kali ini NPA mengubah sikapnya dengan memobilisasi massa untuk melawan Pelarangan Burkini[3][4], namun ambivalensi atau sikap menduanya bisa jadi akibat sifatnya organisasinya sebagai Partai Kiri Luas yang memuat banyak Kiri dari berbagai macam tendensi, termasuk tendensi yang mengidap Islamophobia[5][6].
Saat ini Muslim dijadikan musuh, yang sangat ditakuti oleh sistem Kapitalisme, selain Komunisme. Sentimen anti-Muslim, menjadi senjata dalam upaya memecah belah rakyat pekerja, mengintimidasi, mendiskriminasikan rakyat pekerja dan memungkinan penguasaan kekayaan atas individu meningkat dan rakyat miskin secara keseluruhan semakin dirampas haknya. Sebab salah satu cara yang ampuh untuk memecah belah rakyat saat ini ialah Agama, Suku, dan kebangsaan. Terorisme dan Islamofobia dimainkan, dan (akan terus dipropagandakan) dalam rangka menebar kekhawatiran, menyalurkan kecemasan kepada rakyat, menebar kebencian terhadap umat Islam, serta menciptakan konflik sosial antar rakyat. Dan menciptakan musuh palsu (yaitu terorisme).
Kelas pekerja, harus bersatu secara sadar, untuk menentang upaya kaum borjuis untuk membecah belah kelas pekerja melalui sentimen agama dan ras dengan kebijakan reaksioner seperti larangan pengunaan Burkini. Karena sesungguhnya musuh rakyat bukanlah agama Islam, Kristen, Yahudi, ataupun agama lainnya, melainkan kelas penindas yang berkuasa terlepas apapun agama mereka. Kelas buruh, yang berbeda-beda agama maupun tidak beragama, lebih punya banyak kesamaan daripada para penindas yang seagama dengan mereka. Karena kelas buruh punya kepentingan menghapuskan kapitalisme dan seluruh penindasannya sementara kelas borjuis ingin mempertahankannya. Kelas buruh sedunia, apapun agamamu, bersatulah!
ditulis oleh Kuggi Kayla, kader KPO PRP
Catatan:
[1] Quinn, Benn. 2016. French Police Make Woman Remove Burkini on Nice Beach. The Guardian. (Online), (https://www.theguardian.com/world/2016/aug/24/french-police-make-woman-remove-burkini-on-nice-beach, diakses pada 25 Agustus 2016). https://www.theguardian.com/world/2016/aug/24/french-police-make-woman-remove-burkini-on-nice-beach
[2] Mullen, John. 2011. NPA Divided over The Veil. Collective Resistance (Online). (htps://collectiveresistance.wordpress.com/2011/02/15/npa-divided-over-the-veil, diakses pada 1 September 2016).
[3] Leucate. 2016. Leucate: NPA Acivists Protest Against The Burkini Bans. International Viewpoint (Online), (www.internationalviewpoint.org/spip.php?article4672, diakses pada 1 September 2016).
[4] L’independent. 2016. Port Leucate: Les Militants du NPA Manifestent Pour Denoncer L’arrete Interdisant le Burkini. L’independent. (Online), (http://www.lindependant.fr/2016/08/25/port-leucate-les-militants-du-npa-manifestent-pour-
denoncer-l-arrete-interdisant-le-burkini,2248052.php, diakses pada 1 September 2016).
[5] Armstrong, Mick. 2011. Islamophobia, Secularism, and The Left. Marxist Left Review (Online),
(http://marxistleftreview.org/index.php/autumn-2011-78/61-islamophobia-secularism-and-the-left, diakses pada 1 September 2016).
[6] Riemer, Nick. 2016. The Roots of Islamophobia in France. Jacobin Magazine (Online), (https://www.jacobinmag.com/2016/08/burkini-ban-islamophobia-valls-france-secularism-islam/, diakses pada 1 September 2016).
Comment here