Sabtu, (27/8/2016) Komunitas Kalimetro dan Malang Corruption Watch bekerjasama dengan Pondok Mahasiswa, Politik Rakyat, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Agraria (FNKA), Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK), dan Serikat Gerakan Mahasiswa Indonesia (SGMI) selenggarakan diskusi Membangun Gerakan Mahasiswa Kerakyatan. Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari lima puluh mahasiswa dari berbagai kampus dan kota ini, Eko Prasetyo dari Social Movement Institute (SMI) mengangkat kondisi dan keresahan kalangan mahasiswa saat ini. “Sionil Jose, seorang penulis Filipina membuat novel di tahun 70an berjudul ‘Tokoh-tokoh Munafik’. Berkisah tentang anak-anak muda yang sukses membuat revolusi menumbangkan kediktatoran namun kemudian berkhianat,” ungkapnya. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Beberapa orang yang terlibat dalam gerakan perlawanan membelot ke pihak penindasan. Dari yang masuk partai-partai borjuasi, bekerja untuk para pelanggar HAM, atau mengabdi menjadi staf ahli.
Sementara itu, di kalangan mahasiswa sekarang ada keresahan yang menyebarluas. “Hari ini banyak mahasiswa yang kaya tapi horizonnya terbatas. Pertanyaannya model curhat semua: bagaimana cara membagi waktu kuliah dengan berorganisasi, bagaimana bisa konsisten ikut aksi massa tapi IPKnya di atas tiga. Heroismenya jadi sangat terbatas.”
“Kampus yang semakin mahal dan komersil juga semakin represif dan otoriter. Mahasiswa melawan sedikit langsung direpresi rektorat,” lanjutnya. Mereka yang menggugat mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) diburu dan diintimidasi para aparat dan pejabat kampus. Mereka yang memutar film Senyap dibubarkan dan bahkan diancam sanksi akademik. “Suasana di kampus semakin lama semakin otoriter,” ujarnya.
“Akhirnya daripada berjuang melakukan perlawanan, mahasiswa jadi lebih antusias menangani bencana. Berkembanglah apa yang disebut filantropisme. Tiap ada bencana, mulai dari gunung Sinabung sampai bencana Asap, mahasiswa tanggap menyikapi. Mulai dari bikin posko bantuan dalam kampus, penggalangan dana, pengumpulan makanan dan baju bekas, sampai bikin konser-konser amal. Gerakan mahasiswa menjelma menjadi gerakan amal yang hampir tidak bisa dibedakan dari filantropi borjuis. Kumpulin dana dan barang, datangi daerah terdampak, beri kardus bantuan, salaman dengan korban, difoto, jepret, lalu upload di media sosial,” ungkapnya.
Sementara itu di sisi lain, Eko menyatakan, “Sekarang kita melihat kesadaran warga untuk berjuang melawan hak-haknya sedang meningkat. Tapi perjuangan mereka tidak dan tidak bisa melibatkan kampus. Malah sebaliknya. Hubungan kampus dan perusahaan semakin erat. Penelitian-penelitian dan studi-studi di kampus diarahkan untuk bekerja melayani kepentingan lembaga donor. Jadi kampus terlibat itu merupakan keterlibatan di pihak korporasi. Entah itu pejabatnya menjadi staf ahli, penasihat,atau wakilnya. Apa yang banyak di kampus kemudian malah seminar-seminar pendukung korporasi. Seperti seminar Apa Pentingnya Bandara yang mendatangkan pejabat dari Angkasa Pura sebagai pembicaranya. Padahal kita tahu sendiri, banyak kaum tani sedang diancam dan diserang perampasan tanah berdalih pembangunan, termasuk pembangunan bandara, yang bagian dari Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Begitulah kampus jadi medan propaganda-propaganda kapitalis,” katanya.
“Padahal sebenarnya yang melawan ada banyak. Banyak komunitas yang bergerak,” tekannya. Beberapa waktu lalu dalam penerimaan mahasiswa baru di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, mahasiswa membentuk barisan tulisan ‘Demi Allah, UKT Mahal’. Rektornya syok dan sampai sekarang para penggagasnya dicari-cari. Kemudian juga ada mahasiswa yang menuntut kampus menurunkan UKT sampai melemparkan sandalnya ke muka rektornya. Belum termasuk banyaknya mahasiswa yang tidak kapok menyelenggarakan bedah film dan diskusi walaupun berada di bawah ancaman pejabat dan aparat. “Jadi potensi kekuatan yang dimiliki sesungguhnya besar,” tekannya. “Seperti kata Antonio Gramsci, kita boleh sedih tapi jangan pesimis.”
Menanggapi itu, Leon, salah satu peserta diskusi menyatakan, “Saya kurang setuju kalau dibilang ada kebangkitan gerakan mahasiswa. Sebaliknya justru ada kemunduran. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang sebelumnya lantang menolak kenaikan harga BBM di masa rezim Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang malah surut perlawanannya di masa rezim Jokowi. Sebaliknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang keras menolak kenaikan harga BBM malah tersandung kasus kisruh Kongres dan penyerangan kantor KPK. Kemunduran ini juga terjadi di kalangan gerakan mahasiswa kerakyatan. Di Malang sendiri dalam lima tahun terakhir ada lima ormas mahasiswa yang buyar. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Forum Belajar Bebas (Forbas) yang merupakan pecahan dari LMND karena menolak pembentukan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), hingga ormas mahasiswa kiri lokal seperti Komunitas Mahasiswa Merdeka (KOMMA), Solidaritas Perjuangan Mahasiswa (SPM), dan Komunitas Mahasiswa Bebas (KMB). Semuanya mundur dan kemudian vakuum atau buyar. Tinggal Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat Tertindas (SMART) dan Front Mahasiswa Nasional (FMN). Dua tahun lalu Pusat Persatuan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) punya satu anggota di Malang dan mau bikin cabang disini tapi gagal dan kemudian buyar pula. LMND kembali lagi, namun sudah tidak ada di kampus-kampus besar seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas negeri Malang (UM), atau Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), melainkan di kampus-kampus pinggir kota seperti Universitas Kanjuruhan.”
“Kita harus mengakui bahwa selain faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran gerakan mahasiswa—seperti semakin tajamnya komersialisasi pendidikan mengakibatkan perubahan demografi ekonomi, sosial, bahkan kelas di kalangan mahasiswa, serta meningkatnya represi, intimidasi, dan pemberangusan demokrasi di kampus—juga ada faktor internal dari organisasi mahasiswa aktivis itu sendiri.”
“Faktor internal ini utamanya adalah permasalahan misorganisasi dan monokultur. Misorganisasi bisa kita lihat dari bagaimana kesalahan pengorganisiran malah menjadi suatu bentuk pengorganisiran itu sendiri. Banyak kasus kejadian, rapat seringkali dijadwalkan malam hari, katakanlah jam 19.00. Namun hampir tidak pernah dimulai tepat waktu. Jam 19.00 rapat, jam 20.00 baru muncul, jam 21.00 masih menunggu teman yang belum datang, jam 22.00 cari spidol atau beli gorengan, dan jam 23.00 baru dimulai, lalu baru selesai menjelang pagi. Aktivisnya tidur pagi, bangun siang, dan wajahnya tidak pernah segar. Memang tidak semuanya tapi sangat banyak seperti ini. Ini di sisi lain juga berkaitan dengan faktor eksternal tadi. Meningkatnya komersialisasi pendidikan diiringi dengan peningkatan beban kuliah, pembanyakan tugas, serta jadwal kuliah semakin padat dari pagi sampai sore. Akhirnya kalau mau berorganisasi waktu luangnya tinggal petang atau malam hari. Sayangnya banyak universitas kemudian memberlakukan jam malam di kampus. Jadi ini faktor yang saling berhubungan. Sebenarnya banyak mahasiswa yang ingin beraktivitas atau ikut organisasi pergerakan. Tapi indisiplinitas dan jam karet demikian yang sepertinya mendarah daging itu membuat mereka kecewa dan muak. Ini juga menjelaskan kenapa sangat sedikit sekali aktivis perempuan dan mengapa ormas mahasiswa sangat terlihat maskulin. Kita hidup di Indonesia yang budayanya masih sarat sisa feodal. Perempuan yang sering pulang malam berisiko dicap perempuan nakal, asusila, liberal, dan segala macam cap negatif lainnya. Tidak peduli kalau perempuan itu pulang malam karena harus bekerja atau berorganisasi.”
“Sedangkan di sisi lain, otokritik yang juga harus diberikan terhadap organisasi mahasiswa aktivis adalah monokultur di dalamnya. Kita bisa melihat gaya pakaian mahasiswa-mahasiswa pergerakan. Rambut gondrong, kaos oblong, dan celana jeans belel sobek atau bolong-bolong. Gayanya jauh lebih mirip lumpen proletariat daripada mahasiswa. Kalau ada yang gaya pakaiannya beda dengan mereka, entah itu rapi, pakai kemeja, klimis, selalu mereka pertanyakan dan kadang dijadikan bahan banyolan: “kok rapi amat?”, “kaya borjuis kamu”, dan lainnya. Seolah-olah itulah norma pakaian pemuda mahasiswa pemberontak atau pelawan. Bukan teori dan praktek revolusioner atau pikiran, perkataan, dan perbuatan yang kritis. Belum lagi persoalan rokok, hampir setiap rapat atau diskusi ormas mahasiswa penuh dengan rokok. Apalagi kalau ruangannya kecil atau agak tertutup, rapat dan diskusinya jadi seperti berkabut dan harus pakai lampu halogen untuk lihat tulisannya. Bagi mahasiswa-mahasiswa yang tidak merokok ini sangat menyiksa. Mau berorganisasi kok malah seperti yahudi dalam kamar gas di kamp konsentrasi NAZI. Lagi-lagi ini semakin menghomogenkan kultur organisasi dan juga memaskulinkan keanggotaan atau partisipasinya. Ya, harus diakui para mayoritas perokok adalah laki-laki. Sebab perempuan yang merokok berisiko dicap perempuan nakal, asusila, liberal, dan segala macam cap negatif lainnya. Sayangnya sangat jarang ada evaluasi apalagi revisi atau koreksi terhadap monokultur ini.”
“Kita harus belajar pada gerakan mahasiswa kerakyatan di Filipina dan Australia. Organisasinya rapi dan multikultur. Rapat dan diskusi teratur secara disiplin. Propaganda jalan masif. Dari latar belakang kultur, Anakbayan dan Socialist Alternative punya beranekaragam latar belakang mahasiswa. Ada yang gondrong, ada yang rapi, ada yang hipster, ada yang rock and roll, ada yang jazz, dan sebagainya. Komposisi laki-laki dan perempuan imbang. “
“Sedangkan disini njomplang dan propaganda kurang. Dari semua organisasi mahasiswa, kecuali pers mahasiswa, hampir tidak ada yang punya terbitan rutin atau koran organisasi. Ini juga salah satu penyebab masalah regenerasi. Perekrutan secara personal atau orang ke orang punya keterbatasan. Para perekrut harus selalu lebih pintar daripada yang direkrut. Sedangkan koran propaganda akan merekrut kontak siapapun yang sepakat dengan isi propaganda terlepas dari tingkat kepintaran atau wawasannya.”
“Nah, sebagai upaya memulihkan tradisi itu, saya dari Lingkar Studi Sosialis (LSS) menjual koran Boemi Merah dan Arah Juang. Boemi Merah untuk isu-isu pendidikan dan pemuda mahasiswa. Sedangkan Arah Juang untuk isu sosialisme dan kelas buruh serta rakyat pekerja. Saya bagikan disini, kalau ada yang tertarik, bisa beli dan bayar ke saya. Terima kasih.”
Menjawab itu, Eko menekankan, “Kita tidak boleh terjebak keadaan. Kalau kata Gramsci, kita harus mampu menciptakan yang politis dari apapun yang apolitis. Ini istilahnya Perang Posisi. Misalnya kita lihat di kampus itu banyak acara mentoring dan motivasi. Itu bisa kita ambil alih. Masukkan isu politik ke dalamnya dan ubah wataknya menjadi kritis,” ungkapnya.
“Kita juga harus mendorong cara-cara kreatif dalam berpraktik. Tempo hari saya pernah diskusi WA (WhatsApp). Tidak harus datang, tidak harus ketemu langsung. Puluhan orang ikut dalam grup chat. Aktif dalam pembicaraan di dalamnya,” contohnya.
Ia melanjutkan, “saat ini banyak alumni gerakan mahasiswa resah. Begitu lulus dan bekerja mereka terlepas dari organisasi dan tidak tahu harus berbuat apa. Padahal sebenarnya kita juga butuh jejaring banyak orang seperti itu. Ada contoh, anak alumni LMND sekarang kerja di BAPEDA. Dengan diam-diam ia memberikan semua data yang dibutuhkan kawan-kawan gerakan. Jadi alumni gerakan perlu dipetakan posisinya seperti itu dan bisa dimintai dokumen,” tekannya.
“Beberapa waktu lalu SWA terbitkan majalah berisi daftar orang kaya di Indonesia. Baru terbit tiga hari langsung lenyap. Di dalamnya terlihat bagaimana susunan orang-orang terkaya di Indonesia tidak berubah. Kalau dulu yang kaya adalah Om Liem, sekarang anaknya dan cucunya Om Liem. Begitu juga yang miskin tidak berubah. Yang sekarang miskin juga anak dan cucunya orang miskin. Ini kan salah satu bukti ada kesenjangan sosial sangat besar di Indonesia sampai kini,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Sebenarnya isu kesenjangan sosial paling gampang diekspos dan diagitasi. Tidak seperti agama yang susah atau tidak bisa dilihat dari pakaiannya. Kamu Kristen atau Muslim kalau sama-sama pakai baju berkerah atau kaos oblong apa terlihat bedanya? Kalau kaya pasti terlihat. Pakai jam tangan Rolex, tas jinjing Gucci, dan bawa mobil mewah ke kampus. Mengapa mereka bisa bayar UKT mahal, mengapa kita tidak? Mengapa mereka gampang diterima, kalian tidak? Oh, ini tidak adil. Kita harus lawan. Seperti itu,” tekannya. “Bagaimana caranya kita membuat agar kontradiksi keluar nyata.”
“Bagaimana caranya buat gerakan lebih kreatif. Jangan sampai gerakan jadi ritual rutin yang monoton. Diskusi aksi, diskusi aksi, itu saja. Akhirnya gerakan tidak tambah pengetahuan, pengalaman, ataupun pertemanan. Kita harus punya perspektif baru dalam melihat. Kaderisasi harus lebih kreatif dan bikin manuver-manuver alternatif. Persoalan propaganda gerakan itu pokoknya bagaimana mengkonkretkan problem besar menjadi persoalan sederhana,” simpulnya.
Imam Agus, mahasiswa dari Malang turut menyatakan, “Apa yang terjadi sebagaimana dijelaskan tadi sebenarnya juga saya alami. Birokrasi diambil alih. Merasa tersendiri. Mahasiswa hanya dijadikan robot. Namun bagaimana solusinya? Apakah saya harus mundur, mengikuti, atau apa?”, tanyanya. Keresahan senada juga dilontarkan mahasiswa lainnya, “Bagaimanapun juga pada kenyataannya dalam organisasi mahasiswa tingkat senioritas sangat mempengaruhi. Kalau kakak kelas, senior, atau bahkan alumni organisasi bilang A, kita tidak berani berbeda. Jadi bagaimana menghadapinya? Kemudian juga kalau setelah lulus kuliah ingin tetap berjuang, wadah apa pasca-kuliah yang bisa mewadahi aktivisme saya?”
Merespon itu Eko menjawab, “Pada pokoknya gerakan mahasiswa harus mampu menyatukan massanya. Mereka haus mampu mengungkap permasalahan pokok, yaitu komersialisasi pendidikan itu sendiri, dan menggerakkan mahasiswa untuk melawannya. Kalau tidak maka akses rakyat miskin ke kampus semakin lama akan semakin ditutup,” katanya memperingatkan. “Sedangkan untuk persoalan patron-klien, berharap dalam organisasi-organisasi begini tidak gampang. Karena organisasi-organisasi seperti ini memang dibangun berdasarkan hubungan dengan patronnya. Kita bisa melihat tidak peduli betapapun neoliberalnya Jusuf Kalla, ia tetap disegani oleh para mahasiswa di HMI Makassar. Jadi jangan harap ada kritik apalagi perlawanan terhadapnya. Oleh karena itu sebenarnya perlawanan tidak hanya membutuhkan organisasi tapi juga propaganda. Gerakan mahasiswa harus pandai melakukan manuver-manuver perlawanan atau kalau dalam istilahnya Gramsci, melakukan perang posisi,” pungkasnya.
Terkait bagaimana perjuangan setelah lulus, sebenarnya hal yang perlu ditambahkan ke pernyataan Eko mengenai pemetaan persebaran lulusan gerakan mahasiswa, adalah keterlibatan dalam organisasi politik. Tentu disini kita bukan bicara mengenai alumni masuk partai borjuasi seperti Anas Urbaningrum dulunya HMI masuk Partai Demokrat, Muhaimin Iskandar dulunya PMII masuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), atau Bambang DH dulunya GMNI masuk PDIP. Karena kalau begitu tentu saja yang dilayani adalah kepentingan kapital. Ketika kita bicara perjuangan pasca-universitas maka tentu saja perjuangan yang memperjuangkan kepentingan kelas buruh dan rakyat pekerja membutuhkan wadah atau instrumen berupa organisasi politik kerakyatan. Tentu saja organisasi politik kerakyatan tidak cukup sekadar melakukan tambal sulam atas permasalahan dan ketertindasan rakyat. Sebaliknya harus bertujuan mencabut apa yang menjadi akar ketertindasan, keterhisapan, dan kesengsaraan rakyat pekerja itu sendiri, yaitu kapitalisme. Karena antitesis kapitalisme adalah sosialisme maka sudah sewajarnya organisasi politik yang ingin menumbangkan kapitalisme otomatis harus merupakan organisasi sosialis.
Mereka yang masuk ke dalamnya, selain akan diedukasi dengan teori-teori dan wacana-wacana yang mengupas tentang penindasan, gerakan rakyat, perjuangan kelas, dan sosialisme, juga akan didorong menempuh praktik yang terintegrasi. Dari segi ekonomi, lulusan-lulusan pendidikan tinggi yang masuk ke sektor kelas buruh—umumnya buruh kerah putih atau kantoran, seperti lulusan Ilmu Komunikasi yang menjadi Jurnalis, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang menjadi guru atau pengajar, Ilmu Manajemen yang menjadi teller bank, dan seterusnya—akan didorong untuk bergabung dengan serikat pekerja profesinya, atau kalau belum ada, akan didorong untuk membentuk serikat pekerja, entah itu serikat jurnalis, serikat guru, serikat pegawai bank, dan sebagainya, yang memiliki fungsi selain membangun kesadaran atas hak-hak buruh atau pekerja, juga berfungsi sebagai alat memperjuangkan hak-hak mereka di tempat kerja. Kemudian, dari segi politik, ini bisa dijadikan medan sasaran untuk menggalang lapisan termaju di antaranya lewat agitasi dan propaganda kritis untuk dimenangkan ke wacana dan gagasan-gagasan Sosialisme serta direkrut ke dalam organisasi. Jadi jelas pembangunan gerakan rakyat pekerja tidak bisa dipisahkan dari pembangunan organisasi politik sosialis atau partai buruh revolusioner itu sendiri.
Acara diskusi kemudian ditutup dengan moderator yang menyimpulkan, “Gerakan mahasiswa perlu mengatasi sekat-sekat organisasi dan bahwasanya gerakan massa adalah embrio perubahan. Karena tidak ada perubahan tanpa gerakan massa,” pungkasnya. (LK)
Comment here