KebudayaanOpini Pembaca

Suicide Squad, Penuaan Konsumerisme, dan Distorsi Realitas

SS MovieDC punya ambisi cukup besar: menyalip Marvel yang berada di bawah sayap raksasa Disney dan mengalahkannya dalam perlombaan waralaba sinema manusia super[1]. Caranya dengan membangun DC Extended Universe (DEU) untuk menandingi Marvel Cinematic Universe (MCU). Masuk akal. Dalam pasar produk serupa, inovasi tidak akan bertahan lama tanpa tertandingi. (Para) kompetitor lainnya cenderung akan meniru dan mengadopsi inovasi yang sama untuk berebut pasar yang sama.

Namun itu bukan satu-satunya alasan. Alasan lainnya adalah selain trilogi Batman Nolan: Batman Begins, The Dark Knight, dan The Dark Knight, banyak film DC gagal di pasaran. Superman Returns yang dibintangi Brandon Routh gagal membangkitkan karisma Christopher Reeve. Bahkan Green Lantern tidak hanya tidak laku namun pemeran utamanya malah ‘membelot’ ke pihak saingan, yaitu Marvel, untuk berperan sebagai Dead Pool (yang filmnya malah laku keras). Oleh karenanya dibutuhkan reboot atau pemulaian kembali dari awal terhadap waralaba DC dengan konsep semesta lintas sinema.

Bagaimanapun juga sebagai kompetitor dengan pasar yang sama, DC harus membangun semesta lintas sinema dengan ciri khas yang berbeda dengan Marvel. Disini Zack Snyder memulainya dengan membawa konsep sinema manusia super yang lebih gelap dan lebih serius dibandingkan sinema-sinema Marvel. Pengandaian sederhananya: kalau film-film Marvel sering bercanda kadang-kadang serius maka film-film DC sering serius kadang-kadang bercanda. Ini yang sudah ditunjukkan dengan Man of Steel (MS) dan Batman v Superman Dawn of Justice (BS:DJ).

Bagaimanapun juga resep ini tidak sukses seperti Trilogi Batman Nolan. Sebaliknya MS dan BS:DJ dihajar habis-habisan oleh kritikus dari berbagai media. Oleh karenanya David Ayer yang menyutradarai film Suicide Squad (SS) terpaksa melakukan syuting ulang dan membuat Suicide Squad, film ketiga dalam rangkaian sinema DEU, yang gelap menjadi lebih berwarna. Sayangnya meskipun tetap dicinta para penggemar fanatik DC, SS berakhir sama-sama bersimbah darah di pisau para kritikus film. Baik karena naskah dialog yang lemah, inkonsistensi plot, maupun akting buruk.

SS diluncurkan DC dan Warner Bros (WB) dengan konsep Bad Guy vs Evil atau Penjahat melawan Setan. Premisnya: sekumpulan penjahat berkekuatan super yang dikumpulkan Amanda Waller dari pemerintah AS bisa digunakan untuk tujuan baik di bawah pengawasan sekaligus pimpinan tentara terbaik AS: Rick Flag. Nama timnya: Task Force X. Tapi premis ini cacat. Dari delapan anggotanya hanya ada dua yang punya kekuatan super, yaitu El Diablo dan Enchantress. Sisanya? Deadshot adalah pembunuh bayaran yang pintar menembak tapi tidak jelas mengapa posisinya tidak bisa digantikan oleh pasukan elit komando. Captain Boomerang adalah pencuri kawakan yang ahli dalam melempar bumerang tapi apa artinya keahlian melempar bumerang dalam pertempuran riil modern yang sudah melibatkan senapan mesin, bom pintar, dan drone? Sedangkan Slipknot adalah penjahat yang pintar tali-temali dan tidak bisa dibedakan apa yang membuatnya lebih istimewa daripada seorang pandu atau Pramuka. Kemudian Killer Croc sekadar manusia buaya dengan keahlian berenang di selokan. Tidak ketinggalan, Harley Quinn, yang tidak punya kekuatan super dan seolah menyiratkan ia dipakai karena kegilaannya.

Orientalisme dan stereotip juga kental sekali dalam SS. Demi menunjukkan bahwa Katana ini adalah orang Jepang, maka karakternya harus memakai topeng dengan bendera Jepang Hinomaru di jidatnya. Selain itu ia terus berbahasa Jepang meskipun berada di antara para penutur bahasa Inggris (yang entah bagaimana caranya bisa mengerti semua perkataannya). Kemudian karakter Captain Boomerang sendiri juga penuh stereotip. Karena dia dari Australia maka dia harus bicara dengan akses bogan[2] yang kental dan memakai senjata tradisional Aborigin: Bumerang. Begitu pula untuk menggambarkan seorang gangster yang berkuasa di Los Angeles (LA), AS, karakter yang dipakai haruslah dari latar belakang kaum Latin-Amerika, yaitu Chato Santana alias El Diablo. Tidak ketinggalan, stereotip pengidap penyakit mental sebagai penjahat gila juga lagi-lagi dipakai dalam film melalui sosok Joker dan Harley Quinn yang juga jadi sasaran objektifikasi tubuh perempuan. Alih-alih membangun kesadaran dan empati terhadap penderita penyakit mental. Selain itu lagi-lagi Iran juga jadi sasaran penggambaran musuh AS dimana dalam film SS, Waller memerintahkan The Enchantress untuk berteleportasi dan mencuri arsip dari brankas Kementerian Persenjataan Iran. Tentu saja tidak ada yang namanya Kementerian Persenjataan di Iran. Adanya Kementerian Pertahanan dan Logistik Angkatan Bersenjata. Tapi industri sinema AS memang sudah lumrah membuat film yang menyinggung dan menampilkan negara-negara lain tanpa benar-benar dipahaminya.

Penuaan Konsumerisme dan Infantilisasi Konsumen

Sejak trilogi Batman Nolan, film-film manusia super DC dan WB mengalami penggelapan, bahkan secara signifikan sejak DEU diperkenalkan. Memang sebagaimana disinggung sebelumnya, ini salah satu strategi pemasaran DC&WB. Namun tentu ada sisi lainnya. Saat sinema manusia super dan waralabanya pada umumnya, lebih berwarna dan jenaka, seperti masa-masa serial TV Batman&Robin, targetnya jelas: anak-anak atau remaja. Mereka adalah konsumen utama komoditas komik, kartun, film manusia super, ataupun berbagai jenis mainan dengan tema serupa. Identifikasi anak dengan suatu sosok (kartun) bisa muncul sejak dini dimana awalnya mereka berpikir “saya suka tokoh ini” kemudian sering waktu menjadi “saya (ingin) seperti tokoh ini”. Ketika suatu tokoh (kartun) memenangkan perasaan dan pikiran banyak anak serta meraih popularitas tinggi maka dimulailah produksi (atau reproduksi) produk-produk tambahan bertema tokoh atau film kartun tersebut. Kaos, kostum, mainan, mainan video (video game), kotak makanan, botol minuman, seprei, dan sebagainya, yang akan dijual lagi ke anak-anak ini. Namun ada keterbatasannya: pihak yang mengeluarkan uang untuk konsumerisme kanak-kanak bukanlah anak-anak itu sendiri melainkan keluarga pada umumnya dan orang tua pada khususnya.

Seiring dengan perkembangan kapitalisme pada umumnya dan konsumerisme pada khususnya, ditemukanlah fakta bahwasanya sebagian lapisan dari anak-anak yang tumbuh (semakin) besar dan dewasa tetap menggemari komoditas kanak-kanaknya dan rela mengeluarkan uang atau pendapatan dari pekerjaannya untuk meneruskan konsumsinya. Orang-orang ini dicap Geek atau Dork yang konotasinya negatif dan setara dengan kutu buku kurang pergaulan. Namun bagi dunia industri, mereka ini adalah pasar potensial yang perlu digarap dan tentu saja dieksploitasi. Sebab kalau orang-orang dewasa bisa ‘dididik’ untuk bersikap seperti anak-anak, maka mereka bisa menjadi para pembeli dan konsumen yang lebih baik[5]. Oleh karena itu sub-bagian dari industri budaya pop, yaitu industri komik, video game, kartun, film, mainan pada umumnya (bukan hanya yang bertemakan manusia super) mulai dikembangkan untuk menyasar konsumen dewasa. Caranya dengan menerapkan penuaan konsumerisme di satu sisi dan infantilisasi konsumen. Dua sisi dari mata uang koin yang sama.

Maka dibuatlah tema-tema yang lebih gelap dan lebih ‘dewasa’ serta mendobrak berbagai batasan standar sebelumnya. Eksperimen ini pertama kali dicoba Tim Burton lewat film Batman dan Batman Returns sebelum dibangkitkan dan diekskalasikan oleh Christopher Nolan lewat trilogi Batman Begins, The Dark Knight, dan The Dark Knight Returns. Kemudian lebih awal lagi Zack Snyder juga pernah mengadopsi Watchmen ke layar lebar. Tentu ini bukan ranah yang dimonopoli DC saja. Sebelumnya ada juga film Spawn yang diangkat dari komik Image. Serta tentu tidak ketinggalan The Punisher dan Deadpool karya Marvel. Dalam penuaan konsumerisme, khususnya di subgenre sinema manusia super demikian, elemen yang sering dipakai sebagai tambahan adalah seks dan kekerasan (selain ‘kedewasaan’ cerita yang seringkali gagal terwujud).

Sedangkan di sisi lain, Infantilisasi Konsumen sebagai fenomena rekayasa sosial yang diciptakan secara paralel dengan Penuaan Konsumerisme, sesungguhnya adalah fenomena baru dalam kapitalisme. Bahkan baru muncul di dekade terakhir abad ke-20. Sebelum tahun 90an, setiap anak yang menginjak usia dewasa atau akil baligh, dituntut untuk putus hubungan dengan semua ikatan kanak-kanaknya. Entah itu dengan boneka, robot-robotan, kegemaran atas kartun dan komik, permainan kanak-kanak serta lain sebagainya, harus dilepaskan agar tidak dianggap anak-anak (dan kekanak-kanakan). Namun sejak tahun 90an, orang-orang dewasa didorong untuk mengekspresikan dan menyalurkan inner child atau rasa anak-anak di dalam diri mereka. Ide ini dipromosikan salah satunya lewat film Big yang dibintangi Tom Hanks sebagai Josh dimana dalam suatu pasar malam ia mencoba mesin angan-angan, memasukkan koin, dan mengungkapkan harapannya untuk jadi dewasa. Ia bangun sebagai orang dewasa yang bekerja di toko mainan. Namun tetap memiliki jiwa anak-anak yang lugu dan selalu antusias bermain.

Secara umum, generasi yang tumbuh besar di tahun 90an (di negara-negara kapitalis maju) dan 2.000an (di negara-negara berkembang pada umumnya) dijadikan objek pengondisian atas infantilisasi konsumen. Berkembanglah dinamika dan dialektika hubungan simbiosis (semi-parasitisme) antara produsen dan konsumen di atas basis konsumerisme. Muncul festival-festival seperti Comicon dan E3 dimana anak-anak dan orang-orang dewasa bisa berbaur bercengkerama dan bertemu pihak produsen. Merebaklah fenomena Costume Play (Cosplay) dimana para penggemar (sedikit anak kecil, banyak remaja dan dewasa) dari suatu produk tampil atau bahkan berlomba-lomba menyerupai karakter-karakter tertentu dari suatu komik, kartun, video game, film, serta lain sebagainya. Batasan yang memisahkan antara anak kecil, remaja, dan dewasa semakin lama semakin kabur. Misalnya banyak remaja dan orang dewasa yang sekarang bermain berburu monster lewat Pokemon Go, menembaki babi dalam Angry Birds, merakit Gundam, merangkai Lego, dan tentu saja mengoleksi berbagai suvenir serta pernak-pernik.

Namun dinamika konsumerisme tidak hanya membawa pengaburan dan penghapusan batasan yang bersifat usia, melainkan juga bersifat gender dan rasial. Dulu film tentang penari striptis atau penari telanjang adalah film yang diorientasikan ke gender laki-laki. Sekarang dengan Magic Mike, konsumen perempuan bisa turut menikmatinya. Sebaliknya dulu film tentang boneka adalah film berorientasi perempuan, namun sekarang dengan Ted dan Ted 2, laki-laki juga bisa menikmatinya. Ghostbuster yang dulunya merupakan tim penangkap hantu dengan anggota laki-laki sekarang direproduksi ulang dengan beranggotakan perempuan. Wonder Women bisa menjadi simbol feminisme dan perjuangan perempuan. Dalam film Cinderella dan Thor sekarang ada peran ksatria kulit hitam. Begitu pula Dead Shot, sosok pemimpin kriminal Task Force X dalam Suicide Squad juga diganti dari berkulit putih jadi berkulit hitam. Beberapa orang menganggapnya progresif atau kemajuan namun di sisi lain ini menunjukkan kapitalisme bisa memberikan kompromi dan kooptasi. Demi mengadopsi semakin beranekaragamnya pasar dan para konsumennya, kapitalisme bisa memperluas batasan-batasannya, baik batasan usia, gender, rasial, atau lainnya. Akhirnya segala sesuatu yang mengkritik kapitalisme namun tidak bertujuan untuk menghancurkannya akan berakhir dikooptasinya. Kapitalisme itu fleksibel, penghisapan itu konsisten.

Dari Eskapisme dan Refleksi Realitas secara Terdistorsi

Film-film (pahlawan) manusia super awalnya sangat naif. Premis utamanya hanyalah good vs evil atau kebaikan melawan kejahatan, orang-orang berkekuatan super menyelamatkan orang-orang tak berdaya, dan memberantas kriminalitas dengan kekerasan. Ini semua adalah eskapisme murni, suatu hal yang merupakan pelarian dari dunia nyata. Di dunia nyata mayoritas konflik (sosial) bukan berdasarkan moralitas dan selalu bersifat kompleks bukan hitam putih baik lawan jahat. Tidak ada manusia super, dan tentu saja kriminalitas atau kejahatan tidak pernah hilang dengan kekerasan. Sebab kriminalitas itu sendiri adalah buah pahit dari masyarakat kelas. Sebaliknya keberadaan penegak keadilan atau penegak hukum, yaitu aparat adalah untuk menjaga kekuasaan kelas penindas. Polisi misalnya, secara institusi merupakan evolusi dari para penangkap budak yang melarikan diri. Bahkan sekarang institusi lembaga pemasyarakatan (Lapas) di AS memiliki kebutuhan atas suplai tenaga kerja narapidana untuk menjalankan produksi-produksi berbasis penjara.

Penerapan penuaan konsumerisme dan infantilisasi konsumen tidak bisa terus-menerus menjadi eskapisme bagi para pelanggan dan penggemarnya. Sehingga dalam beberapa kadar dan tingkatan, produk-produk demikian harus mengandung refleksi terhadap dunia nyata. Meskipun dalam bentuk yang terdistorsi. Seperti bayangan gelap dalam genangan air. Hal demikianlah yang juga terjadi dengan SS.

Ayer berusaha membuat SS sebagai tim anti-(super)hero dengan penokohan yang kompleks dan tidak hitam putih. Para kriminal digambarkan lebih manusiawi. Sementara pihak pemerintah digambarkan lebih keji. Deadshot meskipun seorang pembunuh bayaran tanpa belas kasihan ditunjukkan sebagai bapak yang sayang anak. El Diablo sebagai gangster/preman tobat. Killer Croc meskipun seorang kanibal namun digambarkan diakibatkan oleh diskriminasi dan misantropi masyarakat awam terhadap orang berpenampilan ‘mengerikan’. Katana adalah seorang istri yang ingin membalas dendam atas pembunuhan terhadap suaminya. Sedangkan di sisi lain, Waller digambarkan sebagai pejabat pemerintah yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya: keamanan nasional Amerika. Niatan Ayer demikian gagal. Tidak ada kedalaman karakter, kurangnya kualitas dialog, rendahnya kualitas akting, dan tentu saja ambisi memasukkan sekian banyak karakter, latar belakang, dan sub-plot dalam keterbatasan durasi film, adalah sekian banyak penyebabnya.

Namun apa yang lebih menarik untuk disoroti disini adalah tentu saja kompleksitas dan ambiguitas moralitas serta pengaburan batasan antara penokohan protagonis dan antagonis. Ini tentu saja merefleksikan dunia nyata. Sepanjang sejarah Imperialisme AS, berbagai rezim yang memerintah dari Washington sering berkomplot dengan apa yang mereka sebut lesser evil dan necessary evil untuk menjatuhkan musuh-musuhnya dan mengamankan kepentingan serta mencapai tujuannya. Dukungan terhadap kaum fundamentalis Mujahidin di Afghanistan, pendanaan terhadap gerilyawan pemberontak Contras di Nikaragua, sokongan terhadap Pinochet untuk menjatuhkan Allende di Chile, pensponsoran terhadap Syah Reza Pahlevi untuk mengudeta Mosaddegh di Iran,  bantuan untuk kaum sayap kanan di Ukraina, bekingan terhadap kaum Zionis di Israel, dukungan terhadap berbagai rezim diktator di Timur Tengah, dan tentu saja sokongan penuh untuk kudeta dan pembantaian 65 untuk mendirikan kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto di Indonesia, adalah sedikit dari sekian banyak dari perkomplotan Imperialis AS dengan para penjahat kemanusiaan.

Patut disoroti juga saat para penjahat dijadikan protagonis, maka antagonis macam apa yang dipakai dalam SS? Jawabannya: Setan, penyihir, dan monster-monster tak berwajah sebagai pasukannya. Apa tujuan antagonis itu? Membunuh semua manusia sebagai bentuk balas dendam karena tidak lagi disembah. Hal ini yang sepertinya absurd, karena sebagai tema, “musuh yang ingin menghancurkan dunia dan memusnahkan manusia”, merupakan tema yang terlalu sering dipakai, sebenarnya memainkan fungsi krusial dalam membangun histeria dalam masyarakat. Masyarakat AS sekarang berada dalam histeria terorisme dan Islamophobia di satu sisi sedangkan di sisi lain juga mengalami pergolakan sosial seperti pembunuhan ekstra-yudisial terhadap kaum kulit hitam dan penembakan massal serta juga berbagai isu maupun kontroversi yang mewarnai perseteruan antara Clinton dan Trump terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2016. Disinilah narasi lesser evil dan necessary evil yang direfleksikan SS meskipun secara terdistorsi. Dengan demikian secara alam bawah sadar, para penonton didorong untuk memilih lesser evil atau necessary evil atau pilihan yang paling sedikit mudharatnya di bawah pengaruh ilusi kebebasan dan pilihan dalam kapitalisme. Jadi seberapapun dangkal karakter antagonisnya musuhnya, seberapapun absurd niatannya, mereka memainkan peran yang sama: objek histeria yang lebih besar dari sekadar public enemy. Tidak perlu dipahami, tapi cukup dibenci untuk dimusuhi, dikalahkan, dan (kalau perlu) dimusnahkan.

Film bioskop, dalam hal ini khususnya film manusia super, tidak bisa dilepaskan dari berbagai produk kultural dan industri hiburan yang turut membentuk kesadaran atau lebih tepatnya ketidaksadaran atau kesadaran palsu massa. Disinilah, kaum sosialis perlu terus melancarkan kritik sebagai kacamata yang membantu massa rakyat pekerja melihat di balik selubung hegemoni kapitalisme. Sebab kelas buruh berkepentingan untuk melihat bagaimana dunia itu sebenarnya agar bisa mengubahnya.

 

ditulis oleh Leon Kastayudha, Co-editor Bumi Rakyat, Kader KPO PRP

Catatan Akhir:

[1] Istilah manusia super digunakan untuk mencakup bukan hanya pahlawan super atau superhero namun juga penjahat super atau super villain. DC secara khusus memakai istilah “Meta-Human”.

[2] Bogan: Istilah untuk menyebut orang kasar di Australia dan Selandia Baru dengan konotasi negatif yang umumnya disematkan kepada orang dari latar belakang kelas pekerja dimana ucapannya, pakaiannya, sikap, dan perilakunya menunjukkan ciri-ciri yang dianggap tidak santun dan tidak terdidik. Setara dengan kaum red neck di AS dan Chav di Inggris.

[3] Geek: kata dari bahasa slang untuk mengacu orang(-orang) eksentrik atau tidak awam yang dikonotasikan dengan seorang penggemar atau pakar yang terobsesi dengan suatu hobi dengan makna tersirat peyoratif sebagai orang yang canggung secara sosial namun over-intelektual dalam suatu hal.

[4] Dork: orang yang dianggap aneh dan konyol karena memiliki minat dan bakat terhadap hal-hal tidak umum.

[5] Barber, Benjamin. Politik Penjualan. Komentar dalam The Men Who Made Us Spend. BBC. London: 2013.

Loading

Comment here