Malang, Minggu, (7/8/2016), puluhan buruh bersama mahasiswa dan masyarakat sipil beramai-ramai mendatangi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukun dan LP Lowokwaru. Mereka menjemput pembebasan Saiful dan Liayati, dua aktivis serikat mantan buruh PT Indonesian Tobacco yang dikriminalisasi dan diputus ditahan selama enam bulan penjara.
Massa aksi menyuarakan bahwa kriminalisasi terhadap dua aktivis serikat ini dilakukan untuk melindungi perusahaan yang merampas hak-hak buruh. Aris Budi Cahyono, salah satu koordinator aksi, menyuarakan, “Laporan perusahaan kepada kepolisian kota Malang terhadap Liayati dan Saiful terjadi setelah para buruh melakukan aksi solidaritas terkait dengan kejelasan lembur dan tindakan arogansi perusahaan terhadap buruh.”
Kasus ini bermula pada Minggu 22 Maret 2014 dimana perusahaan PT Indonesian Tobacco memerintahkan buruh untuk bekerja lembur dengan dasar kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) namun saat diklarifikasi para pengurus serikat kepada manajemen ternyata upah lembur buruh hanya akan dibayarkan 150% atau lebih rendah daripada ketentuan PKB. Minggu berikutnya, Liayati, salah satu pengurus serikat dipanggil pihak pengusaha dan diinterogasi serta diintimidasi untuk menyebutkan nama-nama buruh yang menolak pembayaran upah lembur lebih rendah di bawah PKB tersebut.
Lantas pekan berikutnya Dinas Tenaga Kerja (Disnakaer) memanggil para pengurus serikat dan menagih laporan keuangan serikat. Kemudian Disnaker bersama pengusaha mempertanyakan “uang jamu” atau dana sosial yang diberikan perusahaan ke Pengurus Unit Kerja (PUK) sebesar Rp 660.000,-. Dana yang awalnya diberikan pengusaha untuk serikat yang sebenarnya tanpa diminta buruh itu kemudian dijadikan landasan kriminalisasi buruh dengan dalih penggelapan dana perusahaan.
Pandangan bahwa kriminalisasi aktivis serikat ini untuk melindungi kepentingan modal dan laba perusahaan semakin kuat dilihat dari kasus-kasus intimidasi perusahaan terhadap buruh. Liayati dan Giarti, misalnya, pada 19 Mei 2014, dipanggil pemilik perusahaan oleh Syerli alias istri kedua Johnny dan distrap atau dihukum berdiri dari pukul 12.30 sampai 16.30 tanpa alasan jelas. Ini diiringi dengan gelombang pemecatan terhadap 22 buruh, termasuk diantaranya pengurus serikat, yang dianggap perusahaan sebagai provokator karena menuntut pemberian upah lembur secara adil.
Tindakan reaksioner pengusaha ini kemudian memicu solidaritas para buruh yang pada 20 Mei 2014 memutuskan mogok kerja secara spontan. Dalam mediasi, pihak perusahaan menerima tuntutan buruh dan menjanjikan evaluasi lantas kemudian memulangkan buruh. Namun pada 16 Juni 2014, sebanyak 77 buruh dipanggil pihak manajeman dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri atau diancam akan digugat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya. Buruh menolak arogansi pengusaha demikian dan menampik semua opsi tersebut.
Pengusaha kemudian melaporkan buruh ke PHI. Melalui itu pihak pengusaha meminta kepada majelis hakim untuk memutus hubungan kerja dengan 77 karyawan PT. Indonesian Tobacco dan mengurangi jumlah total pesangon untuk menutupi kerugian perusahaan akibat aksi mogok para karyawan PT. Indonesian Tobacco. Perusahaan kemudian merumahkan 77 buruh tersebut sampai keputusan PHI mengesahkan PHK. Pada tanggal 10 Desember 2014 majelis hakim PHI Surabaya mengabulkan gugatan sebagian, yakni PHK 77 buruh PT. Indonesian Tobacco Malang namun dengan syarat pesangon dan tunjangan berhak diperoleh buruh seluruhnya tanpa dipotong kerugian. Namun alih-alih membayarkan pesangon ini, pengusaha kemudian melaporkan buruh kembali dengan dalih perbuatan melawan hukum.
Pihak pengadilan kemudian memutus Saiful dan Liayati ditahan selama enam bulan padahal proses persidangan banyak menunjukkan keganjilan. Pertama, saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan penggelapan terhadap dana sosial. Kedua, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Malang maupun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur tidak menyebutkan atau menjelaskan pihak yang dirugikan dalam kasus ini dan tidak menyebutkan berapa kerugian akibat kasus ini. Padahal salah satu unsur Pasal 174 KUHP sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum, mengharuskan adanya subjek hukum yang dirugikan. Namun dalam perkara ini tidak ada kejelasan siapa pihak yang dirugikan demikian.
Dalam orasinya di hadapan LP Lowokwaru, Malang, Aris, menyatakan bahwa ketidakadilan yang ditimpakan pada buruh ini merupakan bagian dari ketidakadilan di Indonesia terhadap rakyat dan keberpihakan pemerintah terhadap penindasan. “Buruh di berbagai kota yang menuntut hak-haknya, hak-hak yang seharusnya dijamin sesuai hukum, malah dikriminalisasi dan dipenjarakan. Sementara para koruptor dan pengemplang pajak malah dilindungi dan diampuni,” ungkapnya. Memang demikianlah, dalam kapitalisme, hukum digunakan untuk melanggengkan kepentingan modal dan melancarkan proses eksploitasi. Bukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. (LK)
Comment here