Pernyataan Sikap PRPPB Terkait Perkembangan Situasi Paska Represi Aparat Keamanan Bekerjasama Dengan Kelompok Reaksioner
Pengepungan serta penyerangan terhadap aksi Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) serta asrama mahasiswa Papua Kamasan I oleh aparat keamanan bekerjasama dengan kelompok reaksioner telah membongkar topeng demokrasi Rejim Jokowi-JK. Dihadapan rakyat Indonesia maupun Papua, kita melihat nilai-nilai demokrasi dan bahkan hukum yang selalu dijunjung tinggi oleh kelas yang berkuasa, dibuang begitu saja.
Salah satu hak yang dijamin dalam konstitusi Indonesia adalah hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum seperti yang tertulis pada pasal 28 UUD 1945 serta UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Apa yang dilakukan oleh PRPPB dengan melakukan aksi mengkampanyekan “hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua” serta “mendukung ULMWP sebagai anggota tetap MSG” adalah hak yang dijamin dalam konstitusi Indonesia. Bahkan tercantum pada pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Namun rakyat Papua secara khusus tidak pernah mendapatkan ruang demokrasi tersebut. Bahkan paska Reformasi 1998, Papua adalah terus menjadi tempat dan sasaran dari cengkraman kekuatan Imperialisme yang digardai oleh kelas berkuasa dan militerisme Indonesia. Pembantaian rakyat Papua dan aktivis-aktivisnya tidak pernah mendapatkan keadilan. Sementara kejahatan kemanusiaan baru terus terjadi. Hanya di Papua terjadi penangkapan sistematis terhadap ribuan rakyat karena menyampaikan pendapatnya. Hanya di Papua anda bisa ditangkap karena membagikan selebaran dan mencetak spanduk aksi. Hanya di Papua, aktivis bisa dibunuh begitu saja oleh orang tidak dikenal dengan senjata api atau ditabrak di tengah jalan.
Ruang demokrasi itu juga tidak tersedia bagi rakyat Papua diluar Papua. Terhadap aksi yang terkait dengan Papua, polisi mempersulit mekanisme pemberitahuan aksi, kemudian polisi melakukan mobilisasi pasukan besar-besaran bersenjata lengkap dengan water cannon dan pasukan anti huru hara bahkan hingga melakukan blokade dan pengepungan.
Sultan kemudian memberikan pernyataan bahwa mereka yang melakukan aksi kemarin tidak boleh berada di Yogyakarta. Separatisme tidak boleh berada di Yogyakarta, republik sudah final serta demokrasi jangan menerjang nasionalisme kita.[1] Ini dikatakan oleh mereka yang beberapa tahun lalu menginginkan keluar dari Indonesia.[2] Hanya karena tidak disahkannya sebuah undang-undang yang memberikan keistimewaan kepada mereka. Sementara itu Prabukusumo dengan merendahkan juga melarang rakyat Papua untuk bersuara. Dengan dalih bahwa Papua adalah propinsi termuda, orang Papua sudah diberikan kesempatan belajar di Yogyakarta dan penghormatan terhadap budaya setempat.[3]
Sultan menunjukan bahwa dirinya adalah pemilik dari Yogyakarta. Padahal kedudukannya sebagai Gubernur saja tidak pernah dipilih secara demokratis. Memang dengan UU Keistimewaan dan turunan-turunannya praktis semua yang ada di Yogyakarta merupakan milik dari Sultan dan keluarganya. Tanah-tanah rakyat dapat dengan mudah dirampas dengan klaim sebagai Sultan Ground atau Pakualaman Ground. Seperti yang sudah dan masih dialami oleh kawan-kawan kami rakyat di Kulon Progo, Watu Kodok, Parangkusumo, dsb.
Seruan pengusiran tersebut bukanlah hal yang baru di Yogyakarta. Ini adalah bagian dari rasisme yang dikobarkan oleh kelas yang berkuasa, setidaknya semakin masif sejak kasus Cebongan. Dimana 11 orang Kopassus ke LP Cebongan dan pembunuhan terhadap 4 tahanan. Pada waktu itu kata “preman” ataupun “rusuh” diasosiasikan dengan “pendatang” dan pantas untuk diusir dari Yogyakarta.[4]
Aparat kepolisian mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk pengamanan dan menghindari keributan di tempat umum. Karena adanya “warga DIY” yang melakukan aksi tandingan.
Pernyataan pihak kepolisian menutupi tiga hal penting: pertama rasisme yang disebarluaskan dengan topeng pengamanan. Polisi secara spesifik menargetkan orang-orang yang bisa diidentifikasi dari warna kulit ataupun bentuk rambut sebagai orang Papua.
Kedua adalah bukan warga DIY yang melakukan aksi mengepung asrama mahasiswa Papua. Melainkan kelompok-kelompok reaksioner yang dibina dan dipersenjatai oleh kelas yang berkuasa di Indonesia. Paksi Katon berada dibawah Gubernur DIY yang juga Raja Kraton, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Mereka dibentuk untuk menjadi ”penjaga kebudayaan dimana kebudayaan sebagai salah satu pilar keistimewaan”. Paksi Katon juga mendapatkan pelatihan dari tentara. Sementara itu Ketua Paksi Katon sendiri, Suhud adalah mantan Ketua Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Sekarang FAKI dikomandoi oleh Burhan “Kampak” yang beraliansi dengan FUI dalam upaya menyerang pemutaran Senyap di UIN. FAKI sendiri memiliki kedekatan dengan Partai Golkar. FAKI bersama dengan Paksi Katon termasuk yang dimobilisasi untuk mendukung Kopassus dalam kasus Cebongan.[5]
Secara nasional adalah jenderal-jenderal seperti Wiranto yang melahirkan kelompok-kelompok reaksioner tersebut. Pada tahun 1998 Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI membentuk RATIH (Rakyat Terlatih) dan KAMRA untuk menyerang aksi-aksi pro demokrasi. Demikian pula adalah kebiasaan jenderal-jenderal polisi untuk mendanai FPI.
Ketiga, kelompok-kelompok reaksioner tersebut berfungsi untuk melakukan “pekerjaan kotor” menyebarluaskan rasisme, menyerang demokrasi dan melanggar HAM. Dan yang penting juga adalah kelompok-kelompok reaksioner tersebut bekerjasama dan dilindungi oleh Rejim borjuis Indonesia dalam melancarkan penyerangan terhadap demokrasi. Ini adalah sejarah yang panjang dan mari kita coba melihat kembali kejadian setidaknya beberapa tahun belakangan ini.
Ini bisa kita amati paska penyerangan Kopassus ke LP Cebongan. Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai awal rasisme mulai secara masif digunakan oleh kelas yang berkuasa. Sebagai bagian dari pembenaran terhadap penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Kopassus di LP Cebongan maka rasialisme dikembangkan. Secara umum terhadap pendatang dan secara khusus terhadap orang-orang yang diidentikan berasal dari bagian Indonesia Timur. Berbagai kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner dimobilisasi. Paska itu berkembang stigma bahwa orang Indonesia Timur (secara umum juga orang luar Yogyakarta) membuat kekacauan dari maraknya premanisme hingga macetnya jalan-jalan di Yogyakarta.[6]
Dalam kasus penyerangan pertemuan eks Tapol di Sleman, FAKI Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin Burhanudin, didampingi polisi dan Muspika Godean[7] Sementara itu polisi bersama dengan Paksi Katon kompak membuat barikade menghalangi dan kemudian menyerang aksi Aliansi Mahasiswa Papua pada tahun 2014.[8]Tahun lalu rombongan Kapolsek Umbulharjo AKP Nanang dan Kasat Intelkam Polresta Yogyakarta Kompol Sigit Hariyadi datang ke kantor AJI Yogyakarta. Alih-alih melindungi demokrasi mereka mendesak pemutaran film Senyap dibatalkan karena beredarnya ancaman pembubaran dari kelompok reaksioner.[9]Kejadian yang sama terulang kembali pada saat AJI merayakan Hari Kebebasan Pers bulan Mei lalu dengan memutar film “Pulau Buru”. Polisi bekerjasama dengan FKPPI melakukan penyerangan terhadap acara tersebut.[10]
Sementara itu Senyap di Sintesa Fisipol UGM “Pihak kepolisian dan Dekanat memberi instruksi untuk menyudahi acara ini karena mendapat kabar ada gerakan massa yang coba masuk kesini.”[11]Polisi juga hadir mendiamkan saat Café Memoar tempat pemutaran Senyap diobrak-abrik.[12] Dalam pemutaran Senyap di UIN polisi menawarkan “tukar guling” untuk menyelamatkan muka mereka dan FUI. Dengan alasan menenangkan ratusan massa FUI yang berkumpul di Amplaz (Ambarukmo Plaza, sebuah mall yang berjarak sekitar 1 km dari UIN), polisi meminta panitia bersedia menyerahkan beberapa mahasiswa untuk dibawa dan dimintai keterangan. Polisi kemudian masuk ke dalam kampus, ke Gedung Student Center dan melakukan penyisiran mencari panitia.
Kita hanya cukup membuka mata kita dan menganalisanya secara jujur bahwa kesimpulan yang sama akan diulang diberbagai peristiwa dan tempat lainnya bukan hanya di Yogyakarta. Di Bekasi, Bupati, polisi dan tentara bergandeng tangan bersama para preman dan milisi sipil reaksioner, rapat di hotel untuk membahas bagaimana menghadang Mogok Nasional buruh.[13] Di Batam, APINDO Batam membentuk milisi sipil reaksioner, bernama Garda Bima Sakti, untuk menghancurkan gerakan buruh. Milisi sipil tersebut dilatih oleh TNI, tepatnya Batalion Infantri 134/ TS.[14]
Rasisme terus menerus disebarluaskan oleh elit-elit politik nasional maupun daerah. Rasisme akan berfungsi untuk membenarkan tindakan represi mereka. Mengalihkan isu, memecah belah, mengadu domba serta menggalang simpati rakyat atas pemberangusan ruang demokrasi yang mereka lakukan terhadap rakyat Papua.
Paska pengepungan dan penyerangan asrama kamasan I 15 Juli 2016 dan setelah beredar pernyataan Sultan Jogja tentang “separatsime Papua” , terjadi insiden-insiden rasis sebagai hasil dari provokasi kelas yang berkuasa. Ada dua orang perempuan Papua yang diusir dari kosnya tanpa ada alasan yang jelas. Satu perempuan Papua diikuti dan dikejar oleh 6 motor berboncengan di daerah ring road utara tidak jauh dari lampu merah UPN, lalu perempuan Papua tersebut diteriaki dengan kata “Monyet” dan ada 2 orang laki laki Papua yang mengalami kasus tabrak lari di daerah Maguwo yang menimbulkan korban 1 orang patah kaki dan 1 orang lainnya mengalami luka-luka dibagian wajah, setelah mereka ditabrak juga ada teriakan kata “Monyet”.
Dengan represi dan rasisme yang semakin berkembang maka wajar saja jika ada kawan-kawan Papua yang menyerukan untuk kembali ke tanah air Papua.[15]Seruan itu merupakan respon terhadap rasisme dan penindasan yang sudah terlalu sering dialami oleh rakyat Papua. Keinginan untuk kembali ke tanah air Papua adalah impianrakyat Papua yang membutuhkan tanah air yang bebas dari rasisme. Tanah air dimana mereka bebas dari penindasan serta eksploitasi. Tanah air dimana mereka bisa menentukan masa depan mereka sendiri.
Pun begitu kami, PRPPB harus mengatakan bahwa eksodus tidak akan menyelesaikan persoalan rasisme dan penindasan yang terjadi. Kita justru harus memperkuat persatuan dan solidaritas sesama rakyat tertindas di Indonesia maupun Papua untuk menghancurkan rasisme dan sauvinisme serta membebaskan diri dari penindasan imperialisme, kapitalisme dan militerisme.
Salah satu karakteristik dari rasisme adalah generalisasi yang dilakukan terhadap satu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran serangan kelas yang berkuasa. Saat ini perjuangan rakyat Papua untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri terus berkembang. Berulang kali puluhan ribu rakyat Papua turun ke jalan menuntut hak tersebut.
Ketika ada individu Papua yang melakukan tindak kekerasan,rasisme menggeneralisasinya sebagai karakter dari seluruh orang Papua. Dengan begitu maka perjuangan hak menentukan nasib sendiri dapat dialihkan dengan isu menjaga keamanan dari “kekerasan”, “amukan”, “kerusuhan”, dsb. Sehingga represi yang sebenarnya ditunjukan untuk membungkam ruang demokrasi dan tuntutan untuk hak menentukan nasib sendiri dapat dibenarkan. Bahkan dengan rasisme, represi dan pembungkaman tersebut bisa mendapatkan dukungan dari massa.
Baik kelas buruh dan rakyat Indonesia serta Papua pada dasarnya memiliki kepentingan yang sama terhadap demokrasi. Kelas buruh dan rakyat Indonesia sekarang terus menerus mengalami pemberangusan demokrasi.
Beberapa contoh kecil adalah puluhan aktivis buruh, mahasiswa serta pengacara dikriminalisasi karena perjuangan yang mereka lakukan. Sementara menurut data KPA sejak tahun 2015 hampir 40an orang ditembak, ratusan dianiaya dan hampir 300 orang dijebloskan ke penjara terkait konflik agraria. Di Kulonprogo ribuan aparat dikerahkan, mereka memukuli dan menendangi warga yang menolak tanahnya dipatok untuk kepentingan bandara.
Akar permasalahan bagi kelas buruh dan rakyat Indonesia serta Papua adalah sama: Imperialisme, Kapitalisme dan Militerisme. Merekalah yang mendapatkan keuntungan dari penjajahan Papua dan diberangusnya ruang demokrasi. Merekalah yang berupaya untuk memecah belah dan mengadu domba dengan rasisme.
Oleh karena itu Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) terus berkomitmen untuk mendorong persatuan kelas buruh dan rakyat Indonesia dengan Papua. Dalam kurun waktu beberapa minggu ini, kita telah melihat bagaimana persatuan dan solidaritas tersebut semakin meluas dan menguat. Rakyat Indonesia biasa berinisiatif mengumpulkan logistik, menyiasati blokade aparat keamanan dan mengirimkan logistik tersebut kepada kawan-kawan yang dikepung didalam asrama. Berbagai organisasi pro-demokrasi turut hadir dan melancarkan aksi solidaritas saat asrama dikepung. Berbagai organisasi rakyat memberikan pernyataan solidaritas untuk perjuangan kita semua. Di beberapa kota muncul persatuan untuk bersolidaritas melawan rasisme dan pembungkaman terhadap ruang demokrasi.
Persatuan dan solidaritas tersebut akan menjadi kekuatan untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri, sebagai solusi demokratis dan bermartabat bagi rakyat Papua. Ketika gerakan prodemokrasi Indonesia mendukung hak menentukan nasib sendiri maka cengkraman ideologi sauvinisme dan rasisme akan semakin melemah dan hancur. Kelas buruh dan Indonesia akan semakin meyakini demokrasi seutuh-utuhnya sebagai solusi melawan Imperialisme, Rejim Borjuis dan Militerisme.
Persatuan dan solidaritas tersebut akan menjadi kekuatan besar untuk melawan rasisme serta memperjuangkan demokrasi seutuh-utuhnya bagi kelas buruh dan rakyat Indonesia serta Papua.
Yogyakarta, 27 Juli 2016
Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB)
CP: Steven Walela (0813 8217 5307)
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), PEMBEBASAN, KPO PRP, PPR, LBH Yogyakarta, Lingkar Studi Sosialis (LSS), Komite Perjuangan Perempuan (KPP), Libertas, PMD, Kaukus Perda Gepeng, PLUSH, serta organisasi & individu lainnya.
[1]http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/07/19/oak314377-sri-sultan-separatis-tak-punya-tempat-di-yogya
[2] https://m.tempo.co/read/news/2012/03/25/177392383/keraton-yogya-siap-berpisah-dengan-indonesia
[3]http://geotimes.co.id/pelajar-papua-setelah-yogyakarta/, http://papuanews.id/2016/07/15/inilah-sikap-gbph-prabukusumo-terhadap-aksi-demo-mahasiswa-papua/
[4] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/400889-pendemo-di-yogya-anda-preman-kami-sikat
[5]http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/11/12/mw41kf-bergodo-prajurit-paksi-katon-siap-diresmikan-di-yogya, http://news.okezone.com/read/2008/04/15/1/100739/bela-eks-pki-faki-demo-kantor-komnas-ham, http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/2995475_4262.html, http://www.tempo.co/read/news/2013/10/28/058525133/Pertemuan-Korban-1965-Bubar-FAKI-Tanggung-Jawab, http://www.portalkbr.com/opini/opinianda/3272669_4308.html, http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/islamic-hard-liners-fail-halt-senyap-screening-yogya/, http://www.tni.mil.id/view-68614-paksi-katon-yogyakarta-mendapat-pembekalan-bela-negara.htmlhttp://www.portalkbr.com/opini/opinianda/3272669_4308.html, http://www.dprd-diy.go.id/pemaksimalan-peran-paksi-katon-di-masyarakat-2/
[6] http://etnohistori.org/bagaimana-rasanya-takut.html
[7] http://www.tempo.co/read/news/2013/10/27/058525068/Pertemuan-Keluarga-Eks-Tapol-Dibubarkan-Massa
[8]http://ampjogja.blogspot.com/2014/08/pernyataan-kabid-humas-polda-diy-harus.html
[9] https://www.facebook.com/aji.yogyakarta/posts/762208827149121
[10] http://regional.kompas.com/read/2016/05/04/05153321/Kronologi.Pembubaran.Paksa.Pemutaran.Film.Pulau.Buru.Tanah.Air.Beta.di.Yogyakarta
[11] http://www.warningmagz.com/2014/12/18/kronologi-pembubaran-diksusi-dan-pemutaran-film-senyap-di-ugm/
[12] https://www.facebook.com/notes/muhammad-iman-ramadhan/kronologis-pembubaran-paksa-pemutaran-dan-diskusi-film-senyap-di-memoar/856906031018645
[13]http://solidaritas.net/2013/12/sekjen-aspelindo-dapat-penghargaan.html, http://solidaritas.net/2013/12/bukan-hanya-di-bekasi-buruh-jakarta-juga-dihadang-preman.html, http://solidaritas.net/2013/12/kasus-kekerasan-terhadap-buruh-sudah-pemberkasan-aktor-intelektual-belum-ditangkap.html, http://fspmi.or.id/kekerasan-terhadap-buruh-1-kejahatan-yang-terencana.html- http://fspmi.or.id/kekerasan-terhadap-buruh-4-kejahatan-yang-direncanakan.html
[14] http://solidaritas.net/2014/10/buruh-tuntut-upah-naik-30-persen-apindo-bentuk-garda-bima-sakti.html
[15] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160723163556-20-146557/aliansi-mahasiswa-papua-putuskan-tinggalkan-yogya/
Comment here