Opini PembacaPerspektif

Perjuangan Kelas versus Kolaborasi Kelas (Bagian IV)

Working People AriseBukankah demikian, yang selama ini dilakukan oleh Kolaborator Kelas di Indonesia? Membingungkan kaum buruh, mengacaukan pemahamannya, memberantakkannya, memperkerdil taktik-taktik Marxisme, menundukkan kepentingan kelasnya ke bawah kepentingan kelas borjuasi, dan menggiringnya ke salah satu kubu kelas penindas.

Berbeda dengan itu, apa yang dimaksud Lenin sebagai manuver, kerjasama, dan kompromi yang dari waktu ke waktu, tergantung situasi dan kondisi, harus ditempuh oleh Partai Bolshevik, jelas sama sekali berbeda dengan manuver Bonnie Setiawan maupun Indoprogress yang menyerukan bahkan menggalang dukungan untuk Joko Widodo dan Jusuf Kalla sejak Pemilu dan Pilpres 2014 lalu serta menundukkan kepentingan kelas buruh dan rakyat pekerja di bawah kepentingan kubu borjuasi tersebut.

Maka disini, kalau boleh mengajak, mari simak kembali status Facebook yang saya poskan sembari membagikan tautan artikel Indoprogress bertajuk “Militerisme dan Histeria Anti Komunis” yang ditulis Bonnie Setiawan dengan gambar utama tangan-tangan yang mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah (simbol kampanye pilih nomor dua yaitu pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 lalu) di bawah sepatu boot tentara yang hendak menginjak mereka ditambah tulisan dalam huruf kapital berbunyi: “RAKYAT SEDANG TIDAK MEMILIH PRESIDEN TAPI MELAWAN MILITERISME.”

Dalam status tersebut saya menuliskan:

“Bonnie Setiawan (BS) dan Indoprogress (IP) masih terus menebar kolaborasi kelas. Masih terus menyebar ilusi kepada massa seolah-olah Borjuasi Nasional itu anti-militerisme, seolah-olah Jokowi dan Basuki Tjahaya Purnama itu anti Orde Baru. Padahal mereka bersekutu dengan Jusuf Kalla (antek Orde Baru dan pendukung Pemuda Pancasila), Hendropriyono (terduga otak pembunuhan Munir), Ryamizard Ryacudu (pelanggar HAM dalam kasus DOM Aceh dan Papua serta penggulingan Gus Dur), Sutiyoso (pelanggar HAM dalam kasus Trisakti dan Semanggi), dan sebagainya.

Lagipula Jokowi juga justru menambah jumlah komando ekstra-teritorial di Papua. Menhannya menerapkan kebijakan Bela Negara (borjuis) yang melatih para preman. Tentara (termasuk Babinsa) dikerahkan ke desa-desa serta diintegrasikan dalam program agraria berdasarkan monopoli tanah.

Begitupula Basuki, Gubernur DKI Jakarta yang memasifkan penggunaan segala jenis aparat untuk melancarkan perang kelas melawan kaum miskin kota, dengan kata lain: penggusuran-penggusuran dan perampasan ruang hidup demi kepentingan kapital. Bahkan baru-baru ini ia siap maju Pilgub dengan dukungan Partai Golkar.

Masihkah menganggap mereka anti militerisme dan anti Orde Baru?

Padahal sesungguhnya Militerisme adalah bagian tak terpisahkan dalam kapitalisme. Dalam kutub terendahnya ia merupakan penggunaan militer sebagai pendukung kekuasaan kelas penindas dan dalam kutub tertingginya ia adalah penguasaan pemerintah di tangan militer. Namun baik di tangan sipil maupun di tangan militer, pemerintah adalah komite eksekutif nasional yang mengelola urusan kelas penindas. Mendukung salah satu kubu penindas untuk melawan kubu penindas lainnya adalah kesalahan fatal yang justru terus-menerus disebarkan BS.

Bahkan BS menghilangkan perjuangan kelas dan analisis kelas sekaligus dalam wacana perjuangan melawan militerisme. Ini memang prasyarat kolaborasi kelas: merusak kemandirian kelas buruh dan rakyat pekerja agar menitipkan nasibnya serta menundukkan kepentingannya kepada salah satu kubu borjuasi.”

Status saya diatas, bila dicek dengan pernyataan-pernyataan Engels dan Lenin yang dicantumkan dan ditelaah makna serta konteks-konteksnya, sama sekali tidak mengandung pertentangan. Sebaliknya justru sesuai dengan perlawanan Lenin dan Engels terhadap kolaborasi kelas serta kewajiban untuk terus memblejeti musuh-musuh kelas buruh. Apakah dari fakta-fakta yang saya kemukakan di atas tentang watak kelas Jokowi-JK dan Basuki mengandung kesalahan atau kekeliruan, saya pikir tidak, karena status Bung Surya sendiri juga tidak menyatakan adanya kesalahan atau kekeliruan sama sekali. Apa yang menjadi titik perhatian Bung Surya Anta adalah persoalan istilah Kolaborasi Kelas itu sendiri.

Akhirnya kita sekali lagi kembali ke dua paragraf terakhir dari status Kamerad Surya Anta:

“Harus ada kejelasan pengertian yang mana Kolaborasi Kelas dan mana yang bukan. Sebab, Kolaborasi Kelas dalam pengertian yang sebenarnya adalah Kolaborasi diantara kelas Borjusi dan Proletar untuk Perjuangan (penghapusan) Kelas, dan itu tak mungkin sama sekali.

Sedangkan, kerjasama (kolaborasi) antara Kaum Kiri dengan 1 kelompok borjuis apakah itu borjuis kecil, borjuis kecil radikal, atau borjuis nasional demokratik, sejauh menguntungkan kebebasan politik bagi kaum buruh, adalah dimungkinkan”

Pertama-tama, saya terpaksa memohon maaf kalau bersikap repetitif dan terlalu seling mengulang namun demi mencapai kejelasan dan kesepemahaman bersama serta menghindari salah paham, saya akan mengulangi pemaparan saya dalam halaman kedua mengenai Kolaborasi Kelas, yang berbunyi:

“Kolaborasi Kelas menanamkan dan menumbuhkan kolaborasi atau kerjasama antara kelas tertindas dengan kelas penindas, antara kelas terhisap dengan kelas penghisap. Oleh karena itu kolaborasi kelas tidak bisa benar-benar dibilang kolaborasi atau betul-betul merupakan kerjasama. Sebaliknya justru kolaborasi kelas lebih menyerupai hubungan simbiosis parasitisme atau hubungan antara yang diperkuda dengan yang memperkuda, hubungan antara yang ditunggangi dengan yang menunggangi. Masyarakat kelas bisa berdiri selain dominasi kelas penindas yang berkuasa dan memonopoli alat produksi juga bisa bertahan karena menghegemonikan pandangan-pandangan Kolaborasi Kelas itu. Bahwasanya ditanamkanlah pandangan yang menganggap kelas-kelas di masyarakat adalah hal yang bersifat alamiah serta hakiki serta tidak bisa diubah atau diganggu-gugat.”

Dari penjelasan di atas dan dari pernyataan Bung Surya Anta dalam status Facebooknya, kalau boleh saya menafsirkan, kita sepakat bahwasanya Kolaborasi Kelas bertentangan dengan Perjuangan Kelas dan karenanya kita sama-sama sepakat untuk menolak Kolaborasi Kelas.

Paragraf terakhir dalam pernyataan Bung Surya Anta, kebenarannya hanya bersifat parsial karena tidak menyertakan pembahasan yang lebih terperinci. Oleh karena itu, setelah menelaah tulisan-tulisan Engels dan Lenin sebagaimana dicantumkan di atas, saya  (sekali lagi) menyimpulkan poin-poin berikut:

Kesimpulan pandangan Bolshevis-Leninis tentang Kolaborasi Kelas dan Syarat-syarat Kerjasama dengan Kubu Non-proletar antara lain:

  1. Engels dan Lenin menentang kolaborasi kelas karena bermakna kerjasama antara kelas penindas dengan kelas tertindas, dalam hubungan antara pihak yang menunggangi dengan yang ditunggangi atau pihak yang memperkuda dengan yang diperkuda.

  2. Kerjasama kaum Marxis dengan pihak-pihak non-proletar diprioritaskan berupa kerjasama antar kelas dan kaum tertindas, khususnya aliansi kelas buruh dengan kaum tani, dimana kelas buruh harus memegang kepemimpinan atau kepeloporan revolusioner.

  3. Harus membentuk partai proletariat secara mandiri dan terpisah dari kelas lainnya untuk perjuangan merebut kekuasaan politik.

  4. Tidak boleh menggandeng kelompok yang pengecut, impoten, dan tidak konsisten.

  5. Persekutuan di luar elemen kelas buruh, rakyat pekerja dan kaum tertindas harus bersifat sementara dan harus berdasarkan tujuan-tujuan yang bisa dilihat.

  6. Tidak boleh ada likuidasionisme.

  7. Persekutuan tersebut harus berdasarkan kondisi bila perkembangan historis dari negeri yang bersangkutan menuju revolusi ekonomi/politik sudah tak terhindarkan lagi.

  8. Kompromi maupun kerjasama dilakukan tanpa meninggalkan pemblejetan sekaligus perjuangan ideologi dan politik untuk melawan musuh-musuh proletar, baik musuh yang berupa liberalisme borjuis, oportunisme borjuis kecil, sosial-imperialis, dan lainnya.

  9. Manuver, kerjasama, maupun kompromi tidak menundukkan kepentingan kelas buruh ke bawah kaum atau kelas lainnya.

Demikianlah yang bisa saya simpulkan. Saya tidak akan berpura-pura punya otoritas maupun kapasitas untuk menilai taktik dan keputusan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang bersekutu dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nahdlatul Ulama (NU)untuk sebagaimana dikatakan Kawan Surya Anta, “menghadang kekuatan Tentara, Sisa Orde Baru (Golkar dan lainnya) dan Penghianat Reformasi (Mega, Amien Rais, dan lainnya) guna menyelamatkan Reformasi dan Demokrasi dalam stage (tahap) yang akan menguntungkan bagi Perjuangan Kelas.”

Namun saya bisa menyatakan bahwa kolaborasi kelas yang termaktub dalam Popular Front yang menggandeng kelas proletar, kaum tani, dan rakyat pekerja, dengan kaum borjuasi (yang mengaku demokratis dan anti-fasis) bukan hanya menundukkan kepentingan kelas buruh di bawah kepentingan borjuasi (bahkan borjuasi Imperialis) namun juga membuahkan pengkhianatan terhadap perjuangan kelas buruh. Tak ada contoh yang lebih nyata tentang ini daripada Revolusi Spanyol yang Dikhianati. Revolusi sosial yang meletus pada tahun 1936 untuk melawan kudeta Jenderal Franco yang dibekingi fasis Italia dan NAZI Jerman, bukan hanya membuat kolektif-kolektif industrial dan komune-komune agraria diserang dan dikembalikan ke tangan kaum penindas justru oleh Partai Komunis Spanyol, namun juga menggagalkan prospek pembebasan nasional Basque, Galia, Catalonia, bahkan paling tragisnya adalah Moroko yang akhirnya malah dijadikan basis awal pemberontakan Franco, sekaligus menandai menjadi gerbang pembuka meletusnya perang Imperialis yaitu Perang Dunia II (PD II).

Sejarah rakyat, sejarah perjuangan kelas, telah menunjukkan pada kita bagaimana berbahayanya kolaborasi kelas bagi proletariat dan rakyat pekerja. Oleh karenanya kita wajib menarik ilmu dan hikmah sebanyak-banyaknya dari pelajaran keras ini serta menentang semua oportunisme yang menyesatkan rakyat pekerja dari jalan perjuangan kelas ke kolaborasi kelas. Mereka yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk mengulanginya.

 

sebelumnya bagian III

 

ditulis oleh Leon Kastayudha, Co-editor Bumi Rakyat, Kader KPO PRP


Catatan:

Mussolini: Seorang pemimpin Partai Fasis Nasional di Italia sekaligus Perdana Menteri di Italia dari tahun 1922, kemudian pada tahun 1925 mendeklarasikan kediktatoran serta menyandang gelar Il Duce (Sang Pemimpin) dan berkuasa sampai digulingkan di tahun 1943. Mussolini dulunya bekas komunis yang sempat menjadi anggota Partai Sosialis Italia (PSI) dan mendukung Internasionale Kedua namun dipecat karena ia mendukung perang Imperialis-Perang Dunia I serta menganjurkan partisipasi Italia dalam perang tersebut. Ia kemudian mencampakkan politik kiri dan mendirikan gerakan fasis. Mussolini serta gerakan fasis di Italia menunggang basis kelas borjuis kecil dan lumpen proletar. Mereka mengerahkan dengan milisi-milisi sipil reaksioner untuk meneror dan menghancurkan lawan-lawan politiknya, khususnya terhadap gerakan buruh dan organisasi Komunis. Selama berkuasa sebagai Il Duce, rezim fasisnya menghancurkan gerakan buruh sampai luluh lantak. Negara fasis Italia membangun persekutuan dengan NAZI Jerman serta berpartisipasi dalam invasi terhadap Uni Soviet. Namun seiring dengan kemunduran dan kekalahan Italia dalam berbagai front PD II, khususnya setelah dimulainya Invasi Sekutu ke Italia, Mussolini kemudian dipecat justru oleh Dewan Agung Fasisme pada 24 Juli 1943 serta ditangkap atas perintah Raja di hari berikutnya. Mussolini hanya bisa bertahan setelah diselamatkan oleh Pasukan Khusus Jerman pada 12 September 1943. Namun dengan kekalahan perang semakin membayangi Italia, Mussolini mencoba kabur ke utara. Ia kemudian ditangkap dan dieksekusi di dekat Danau Como oleh gerilyawan komunis Italia. Mayatnya kemudian dibawa ke Milan dan digantung terbalik dipertontonkan ke hadapan massa rakyat.

Narodnik: Aslinya merupakan nama bagi suatu kelompok revolusioner Rusia di tahun 1860an dan 1870an. Narodniki sendari bermakna “pergi ke rakyat”. Kaum Narodnik terbentuk sebagai respon atas semakin tumbuhnya konflik antara tani hamba dan petani kaya (Kulak). Kaum terpelajar di Rusia di pusat-pusat perkotaan kemudian bergerak ke desa-desa, turun ke rakya, oleh karena itulah namanya Narodnik (“pergi ke rakyat”) dan mencoba mengajari kaum tani, dorongan-dorongan moral untuk beronta. Namun mereka hampir tidak mendapatkan dukungan sama sekali. Okhrana, atau Polisi Tsar merespon upaya mereka dengan tangan besi. Para anggota Narodnik dan simpatisan tani direpresi, dibui, dan dibuang. Barulah pada tahun 1877 Narodnik mencapai puncak kejayaannya dimana ribuan revolusioner dan petani mendukung mereka. Meskipun demikian sekali lagi mereka digilas dengan cepat dan secara brutal.

Kelompok ini sebenarnya tidak punya organisasi sendiri yang konkret namun berbagai tujuan umum bersama untuk menggulingkan monarki dan kulak serta membagi-bagikan tanah kepada kaum tani hamba. Narodnik pada umumnya meyakini bahwa kapitalisme bukan merupakan keniscayaan akibat perkembangan industri sehingga meyakini bahwa fase kapitalisme bisa dilewati langsung untuk menuju ke suatu macam sosialisme. Selain itu Narodnik juga percaya bahwa kaum tani hamba adalah kelas revolusioner yang akan menggulingkan monarki serta memandang bahwa komune di desa sebagai embryo Sosialisme. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya bahwa kaum tani akan memimpin revolusi. Sebaliknya mereka meyakini bahwa hanya para pahlawan dan individu-individu istimewa saja memimpin kaum tani yang pasif ke dalam revolusi.

Menshevik: Menshevik (dari bahasa Rusia yang berarti: minoritas) merupakan faksi dari Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (PBSDR) yang muncul di tahun 1904 setelah perdebatan antara Julius Martov dan Lenin mengakibatkan pembelahan PBSDR ke dalam dua faksi: Menshevik dan Bolshevik (dari bahasa Rusia yang artinya: Mayoritas). Perdebatan ini berasal pada Kongres Kedua PBSDR terkait pengorganisasian partai. Para pendukung Martov yang merupakan minoritas dalam suara/voting terkait persoalan keanggotaan partai, menyatakan bahwa partai selayaknya menerima keanggotaan secara luas dan longgar, sementara para pendukung Lenin menyatakan bahwa keanggotaan partai harus bersifat ketat dan dibatasi hanya pada para aktivis revolusioner profesional yang bukan hanya memahami program partai namun mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkannya. Oleh karena itu menurut Lenin dan para pendukungnya, sebaiknya para simpatisan atau orang-orang yang pasif tidak dimasukkan jadi anggota. Meskipun demikian, ternyata perbedaan ini hanyalah awal dari perbedaan yang lebih besar di antara keduanya. Kaum Menshevik menganut teori dua tahap dimana versi mereka menyatakan bahwa karena tahap revolusi di Rusia awalnya adalah Revolusi Borjuis-Demokratik maka mereka memandang bukan hanya kaum proletar harus beraliansi dengan kaum liberal, namun juga menerima kepemimpinan kaum borjuis serta membatasi tuntutannya hanya pada pendirian republik borjuis. Bahkan di kemudian hari bersama pemerintahan sementara, kaum Menshevik mendukung Rusia untuk meneruskan berperang di perang Imperialis. Saat revolusi Oktober 1917 meletus, kaum Menshevik menentang pemerintahan Soviet dan sebagian di antara mereka bahkan bergabung dengan Tentara Putih untuk menghancurkannya.

Bolshevik: Bolshevik (dari bahasa rusia yang berarti: mayoritas), adalah suatu faksi dari PBSDR yang muncul pada Kongres Kedua PBSDR tahun 1903. Dalam kongres yang digelar di London tersebut, kaum Bolshevik memenangkan mayoritas isu-isu penting, oleh karenanya mereka mendapatkan nama tersebut. Didirikan awalnya oleh Lenin dan Alexander Bogdanov, perbedaan antara Bolshevik dan Menshevik berkisar pada perbedaan tentang peraturan keanggotaan partai. Lenin menyatakan bahwa para anggota seharusnya berdasarkan syarat yaitu “Mereka yang menyetujui Program Partai dan mendukungnya dengan cara-cara material serta partisipasi dalam salah satu organisasi partai”. Sedangkan Julius Martov menyarankan “yang mendapatkan pendampingan personal secara regular di bawah arahan salah satu organisasi partai.” Lenin menganjurkan pembatasan keanggotaan partai hanya pada inti yang lebih kecil berupa para anggota yang aktif dan tidak memberi tempat pada para “pemegang kartu”, istilah bagi orang-orang yang hanya aktif di cabang dari waktu ke waktu atau bahkan para anggota yang pasif.

Buntut-isme: Berasal dari khovstism—istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Lenin untuk menjelaskan kaum Ekonomis yang mencampakkan peran kepeloporan revolusioner dan kepemimpinan Partai serta pentingnya teori dalam gerakan kelas buruh. Pandangan kaum Ekonomis menyiratkan bahwa Partai harus membuntut kepada spontanitas gerakan dan rangkaian peristiwa buruh.


Referensi:

Marx, Karl dan Engels, Friedrich. (1848). Manifesto Komunis. Edisi 1 dari Terjemahan Bahasa Indonesia. Bandung: Ultimus.

Lenin, Vladimir. (1917). Negara dan Revolusi. diakses pada 1 Juli 2016 dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1917/negara/state2.htm

Mussolini, Benito. (1932). The Doctrine of Fascism. Enciclopedia Italiana. Italia: Istituto Giovanni Treccani.

Engels, Friedrich. (1889).Surat Engels untuk Gerson Trier di Copenhagen (Draft). Diakses pada 1 Juli 2016 dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/index.htm

Engels, Friedrich. (1889). Engels To Gerson Trier In Copenhagen. Diakses pada 1 Juli 2016 dari http://marxists.anu.edu.au/archive/marx/works/1889/letters/index.htm

Lenin, Vladimir. (1920). Tidak Diperbolehkan Kompromi Apapun? Bab 8 dari Komunisme “Sayap Kiri” Suatu Penyakit Kanak-Kanak. Diakses pada 2 Juli 2016 dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1920/KomunismeSayapKiri/Bab8.htm

Lenin, Vladimir. (1905). Two Tactics of Social Democracy in The Democratic Revolution. Progress Publishers: Moscow.

Trotsky, Leon. (1930). The Permanent Revolutionand Results and Prospects. Progress Publisher: Berlin.

Kastayudha, Leon. Status Facebook 27 Juni 2016, jam 07.34 WIB. Diakses pada 1 Juli 2016.

Anta, Surya. (2016). Soal Kolaborasi Kelas. Status Facebook 1 Juli 2016. Diakses pada 2 Juli 2016.

Setiawan, Bonnie. (2016). Militerisme dan Histeria Anti Komunis. Diakses pada 2 Juli 2016 dari http://indoprogress.com/2016/06/militerisme-dan-histeria-anti-komunis/

Loading

Comment here