Opini PembacaPerspektif

Perjuangan Kelas versus Kolaborasi Kelas (Bagian III)

Bolshevik meetingBerikutnya Bung Surya Anta kemudian mengutip pernyataan Lenin dalam Komunisme Sayap Kiri – Penyakit Kekanak-kanakan. Berikut kutipan Bung Surya Anta yang mencantumkan Lenin:

Lenin dalam plamfletnya Komunisme Sayap Kiri Penyakit Kekanak-Kanakan (bab 8) menulis:

“…seluruh sejarah Bolsyewisme, baik sebelum maupun sesudah Revolusi Oktober, adalah penuh dengan kejadian-kejadian dilakukannya manuver, persetujuan dan kompromi dengan partai-partai lain, termasuk partai burjuis!”

Sekali lagi, sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Bung Surya anta mengenai manuver macam apa, persetujuan bagaimana, dan kompromi apa, syarat-syaratnya, batasan-batasannya, serta tujuan-tujuannya, yang dijabarkan dalam statusnya. Ini bisa kita pahami karena status Facebook memiliki keterbatasan karakter untuk membahas soal ini. Juga bisa kita pahami karena dalam paragraf susulannya, Bung Surya Anta menyatakan:

“Harus ada kejelasan pengertian yang mana Kolaborasi Kelas dan mana yang bukan. Sebab, Kolaborasi Kelas dalam pengertian yang sebenarnya adalah Kolaborasi diantara kelas Borjusi dan Proletar untuk Perjuangan (penghapusan) Kelas, dan itu tak mungkin sama sekali.”

Baiklah, mari kita bahas dahulu mengenai konteks penulisan “Komunisme Sayap Kiri – Penyakit Kekanak-kanakan” oleh Lenin. Lenin menulis karya ini pada tahun 1920 untuk merespon kelompok-kelompok yang mengkritik kaum Bolshevik dan mengaku berposisi di sayap kiri dari mereka. Sebagian besar dari para kritikus tersebut akan memformulasikan, menganut, dan mempromosikan ideologi yang kelak disebut sebagai komunisme kiri. Khususnya dalam bab kelima, keenam, dan ketujuh, Lenin membahas seksi Partai Komunis Jerman (KPD) yang pecah untuk mendirikan Partai Pekerja Komunis Jerman (KAPD). Lenin mengkritik sikap kelompok tersebut yang anti-serikat buruh, anti-parlementarisme, serta tawaran Karl Erler yang mengajukan kediktatoran massa yang diklaim Erler sebagai tandingan terhadap “kediktatoran partai” yang ditudingkannya dihasilkan oleh Revolusi Rusia. Lenin lantas juga mencermati  bahwa sikap kaum Bolshevik yang bersandar pada serikat buruh-serikat buruh rusia, serta munculnya lapisan birokrat serikat buruh maupun aristokrasi buruh adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, namun disini Lenin menegaskan, alih-alih memboikotnya, seharusnya Kaum Marxis justru (tetap) berada di dalam gerakan serikat buruh untuk melakukan perlawanan terhadap hal-hal itu. Lenin, di sisi lain, juga mengkritik kecenderungan anti-parlementerisme sebagai suatu prinsip yang dianut kaum Komunis Kiri ini. Ia menyatakan bahwa selama sebagian besar kaum proletariat masih punya ilusi terhadap parlemen-parlemen, maka kaum Komunis justru harus bekerja di dalam organisasi-organisasi reaksioner tersebut.

Tak kalah pentingnya, Lenin juga mengkritik slogan-slogan dan seruan-seruan anti-kompromi, tanpa-kompromi, tidak kenal kompromi yang digaungkan kaum Komunis Kiri tersebut. Lenin menegaskan bahwa kaum Komunis harus berpikir dan bertindak cerdas, oleh karenanya dalam berbagai situasi, kompromi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan harus dilakukan.

Dalam konteks inilah, Lenin terlebih dahulu mengutip:

……..Orang harus menolak dengan sekeras-kerasnya semua kompromi dengan partai-partai lain ….. semua politik bermanuver dan mengadakan persetujuan-persetujuan, —
demikian tulis kaum kiri Jerman dalam brosur Frankfurt.

Baru kemudian dalam paragraf berikutnya ia menulis:

“Sungguh mengherankan bahwa kaum Kiri ini, yang mempunyai pendirian-pendirian serupa itu, tidak mencela Bolsyewisme dengan keras! Karena bukankah tidak mungkin bahwa kaum Kiri Jerman tidak tahu bahwa seluruh sejarah Bolsyewisme, baik sebelum maupun sesudah Revolusi Oktober, adalah penuh dengan kejadian-kejadian dilakukannya manuver, persetujuan dan kompromi dengan partai-partai lain, termasuk partai burjuis.”

Apa contoh-contoh dari manuver, persetujuan, dan kompromi yang dilakukan Kaum Bolshevik dengan partai-partai lain ini? Lenin memaparkannya sebagai berikut:

“Sebelum jatuhnya tsar kaum Sosial-Demokrat Rusia yang revolusioner berulang-ulang menggunakan jasa-jasa kaum liberal burjuis, yaitu mengadakan banyak sekali kompromi yang praktis dengan mereka; dan dalam tahun 1901-1902, masih belum lahirnya Bolsyewisme, Dewan redaksi Iskra yang lama (yang terdiri dari Plechanov, Akselrod, Zasulitj, Martov, Potresov dan saya sendiri) mengadakan persekutuan pilitik yang formil (betul, tidak lama) dengan Struwe, pemimpin politik dari liberalisme burjuis, dan dalam pada itu juga menjadi pandai melakukan dengan tak henti-hentinya perjuangan ideologi dan politik  yang paling tak kenal ampun menentang liberalisme burjuis dan menentang manifestasi yang sekecil-kecilnya dari pengaruh di dalam gerakan buruh. Kaum Bolsyewik selalu memegang teguh politik ini. Sejak tahun 1905, mereka secara sistimatis telah mempertahankan persekutuan antara klas buruh dan kaum tani menentang burjuasi liberal dan tsarisme (misalnya, di waktu pemilihan babak kedua, atau di waktu pemungutan suara sekali lagi) dan tidak pernah menghentikan perjuangan ideologi dan politik yang paling tak kenal damai menentang partai tani burjuis-revolusioner, yaitu kaum “Sosialis-Revolusioner”, dengan menelanjangi mereka sebagai kaum demokrat burjuis-kecil yang dengan palsu menamakan dirinya kaum Sosialis. Di waktu pemilihan untuk Duma dalam tahun 1907, kaum Bolsyewik untuk masa yang pendek mengadakan blok politik yang formil dengan kaum “Sosialis-Revolusioner”. Di antara tahun 1903 dan 1912 terdapat masa-masa yang terdiri beberapa tahun di mana kami secara formil bersatu dengan kaum mensyewik dalam satu partai Sosial-Demokratis; tetapi kami tidak pernah menghentikan perjuangan  ideologi dan politik kami terhadap mereka sebagai kaum oportunis dan saluran pengaruh burjuis di kalangan proletariat. Di masa perang kami mengadakan kompromi tertentu dengan kaum “Kautskyis”, Kaum Mensyewik Kiri (Martov), dan dengan segolongan dari kaum “Sosialis-Revolusioner” (Cernov dan Natanson); kami bersidang bersama-sama dengan mereka di Zimmerwald dan Kienthal dan mengeluarkan manifes-manifes bersama; tetapi kami tidak pernah menghentikan dan mengendorkan perjuangan ideologi dan politik kami terhadap kaum “Kautskyis”, Martov dan Cernov (Natanson meninggal dalam tahun 1919, seorang Narodnik-“Komunis Revolusioner” , dia rapat sekali dengan kami dan hampir sependirian dengan kami). Persis pada saat itu juga dari Revolusi Oktober, kami mengadakan blok politik yang tak formil tetapi yang penting sekali (dan sangat berhasil) dengan kaum tani burjuis-kecil dengan menerima program agraria kaum Sosialis-Revolusioner dalam keseluruhannya, tanpa satu perubahanpun – yaitu kami betul-betul mengadakan kompromi supaya membuktikan kepada kaum tani bahwa kami hendak bukan “menggilas” mereka, melainkan mencapai persetujuan dengan mereka. Dalam pada itu kami mengusulkan (dan tidak lama kemudian mengadakan) satu blok politik yang formil, termasuk ikut serta dalam pemerintah, kepada kaum “eser-Kiri”, yang membubarkan blok ini sesudah diadakannya Perjanjian Perdamaian Brest dan kemudian, dalam bulan Juli 1918, bertindak sampai mengadakan pemberontakan bersenjata, dan sesudah itu perjuangan bersenjata melawan kami.”

Perhatikan contoh pertama yang dikemukakan Lenin, yaitu persekutuan dengan kaum liberal borjuis, atau lebih konkretnya dengan Struwe atau Struve dari tahun 1901 ke 1902. Siapa Struve ini? Struve atau nama lengkapnya adalah Peter Berngardovich Struve adalah seorang ekonom politik dan editor Rusia yang awalnya merupakan seorang Marxis namun kemudian beralih menjadi seorang liberal. Ia menjadi Marxis saat mengambil kuliah hukum di Universitas St. Petersburg di tahun 1890 dimana disana ia menghadiri pertemuan-pertemuan Marxis dan partemuan-pertemuan Narodnik yang kemudian kelak membuatnya bertemu dengan Lenin.

Struve kemudian menulis artikel-artikel untuk majalah yang dipublikasikan secara legal (dan oleh karena itu masuk kategori kaum Marxis Legal), dimana berikutnya ia turut menjadi salah satu tokohnya. Setelah lulus kuliah, Struve kuliah di luar negeri dimana dalam kesempatan itu ia menghadiri Kongres Sosialis Internasional 1896 di London serta kemudian berteman dengan Vera Zasulich. Saat ia kembali ke Rusia, Struve kemudian menjabat posisi editor bagi majalah-majalah penerus tradisi Marxis Legal seperti Novoye Slovo (Kata Baru, 1897), Nachalo (Permulaan, 1899), dan Zhizn (Kehidupan, 1901). Struve menjadi salah satu pembicara yang paling populer dalam debat-debat Marxis Leal di Perhimpunan Ekonomi Bebas di akhir 1890an dan awal 1900an. Patut dicatat pula bahwa pada tahun 1989 Struve kemudian menulis Manifesto dari Partai Buruh Sosial Demokratis Rusia.

Tahun 1900, Struve kemudian sudah berubah menjadi seorang revisonis dan mewakili pandangan-pandangan kompromis dalam sayap gerakan Marxis Rusia. Bulan Maret 1900  di Pskov, berlangsunglah negosiasi-negosiasi antara sayap radikal revolusioner yang diwakili saat itu oleh para pimpinannya yaitu Julius Martov, Alexander Potresov, dan Lenin dengan sayap moderat yang diwaili oleh Mikhail Tugan-Baranovsky serta Struve itu sendiri. Ini dilanjutkan di Munich antara Desember dan Februari 1901 yang mana dihasilkanlah kompromi bahwa Struve dimasukan sebagai editor Sovremennoe Obozrenie (Review Kontemporer)—suplemen majalah radikal Zaria (Fajar) dengan syarat imbalan Struve harus mendapatkan dukungan finansial dari kaum liberal Rusia. Jadi kesimpulannya kompromi dengan Struve dilakukan di satu sisi untuk memanfaatkan kecakapannya sebagai editor dan intelektual di satu sisi serta untuk menggalang pendanaan di sisi lain. Jangan dilupakan pula bahwa ini dilakukan, sebagaimana kata Lenin, “melakukan dengan tak henti-hentinya perjuangan ideologi dan politik  yang paling tak kenal ampun menentang liberalisme burjuis dan menentang manifestasi yang sekecil-kecilnya dari pengaruh di dalam gerakan buruh.” Oleh karena itu bisa dikatakan Lenin dan kaum Bolshevik tidak hanya tidak menundukkan sama sekali kepentingan kelas buruh ke bawah kepentingan kaum liberal borjuis Rusia namun justru pada saat yang bersamaan memblejeti dan melawan liberalisme borjuis itu sendiri.

Kemudian kolaborasi atau kerjasama yang ditempuh Bolshevik pada tahun 1905 jelas bukan kolaborasi kelas karena lebih merupakan persekutuan antara kelas buruh (yang diwakili oleh Partai Bolshevik) dan kaum tani (yang diwakili oleh Partai Sosialis Revolusioner (SR)), dimana dalam konteks Rusia 1905 saat itu, untuk menentang borjuasi liberal sekaligus melawan Tsarisme. Itu pun tanpa sama sekali meninggalkan pemblejetan dan kritik terhadap SR itu sendiri. Hal serupa juga berlaku saat kaum Bolshevik bersekutu dengan kaum Menshevik maupun kaum Kautskyis (dan sekali lagi tanpa meninggalkan pemblejetan dan kritik terhadap mereka).

Pandangan Lenin secara tegas dan jelas juga bisa kita temukan dalam karyanya berjudul “Two Tactics of Social Democracies in The Democratic Revolution” atau dalam bahasa Indonesianya: “Dua Taktik Sosial Demokrasi dalam Revolusi Demokratis” khususnya Bab 6 berjudul: “Whence is The Proletariat Threatened with The Danger of Finding Itself with It’s Hands Tied in The Struggle Against The Inconsistent Bourgeoisie?” atau dalam bahasa Indonesianya “Dari Manakah Proletariat Terancam dengan Bahaya Mendapati Dirinya Sendiri Terikat Tangannya dalam Perjuangan Melawan Borjuasi yang Tidak Konsisten?”Lenin menyatakan:

“In a word, to avoid finding itself with its hands tied in the struggle against the inconsistent bourgeois democracy the proletariat must be class conscious and strong enough to rouse the peasantry to revolutionary consciousness, guide its assault, and thereby independently pursue the line of consistent proletarian democratism…The bourgoisie will always be inconsistent. There is nothing more naive and futile than attempts to set forth conditions and points which, if satisfied, would enable us to consider that the bourgeois democrat is a sincere friend of the people. Only the proletariat can be a consistent fighter for democracy. It can become a victorious fighter for democracy only if the peasant masses join its revolutionary struggle. If the proletariat is not strong enough for this the bourgeoisie will be at the head of the democratic revolution and will impart an inconsistent and self-seeking nature to it. Nothing but a revolutionary-democratic dictatorship of the proletariat and the peasantry can prevent this”(Lenin, 1905).

Dalam bahasa Indonesia:

“Singkat kata, agar menghindari dirinya terikat tangannya dalam perjuangan melawan demokrasi borjuis yang inkonsisten proletariat harus menjadi sadar kelas dan cukup kuat untuk membangkitkan kesadaran revolusioner tani, memandu serangannya, dan oleh karena itu secara independen memperjuangkan garis demokratisme proletarian yang konsisten…Borjuasi akan selalu inkonsisten. Tak ada yang lebih naif dan sia-sia selain upaya merumuskan syarat-syarat dan poin-poin, yang bila dipenuhi, akan memungkinkan kita menganggap bahwa demokrat borjuis adalah teman baik rakyat. Hanya proletariat yang bisa menjadi pejuang demokrasi secara konsisten. Ia bisa menjadi seorang pejuang yang berjaya untuk demokrasi hanya bila massa tani terlibat dalam perjuangan revolusionernya. Bila proletariat tidak cukup kuat untuk ini maka borjuasi akan ada di pucuk revolusi demokratis serta akan menorehkan sifatnya yang inkonsisten dan mementingkan diri sendiri kepadanya. Tak ada selain kediktatoran demokratis revolusioner proletariat dan tani yang bisa mencegah hal ini.”

Mengapa demikian? Ini dijelaskan dengan baik oleh Leon Trotsky. Menurut Trotsky, borjuasi di negara-negara yang terlambat sampai ke kapitalisme alias di negara-negara industri terbelakang, tidak mampu mengembangkan tenaga produktif. Alat produksi yang dikuasainya relatif sedikit untuk ukuran borjuasi, modalnya kecil, selain itu mereka tidak terpisahkan dengan tuan tanah feodal di satu sisi dan kekuatan model Imperialis di sisi lain, sehingga sebagai konsekuensinya mereka sama sekali bukan hanya tidak mampu melaksanakan tugas-tugas historis mereka. Namun juga tidak bisa sepenuhnya dipercaya untuk mampu memperjuangkan tuntutan-tuntutan bersifat demokratik-nasional. Oleh karena itu, satu pandangan dan pemahaman dengan Lenin, Trotsky menyatakan oleh karena itu kelas buruh yang harus mengambil alih tugas-tugas revolusi demokratik nasional lewat aliansi dengan kaum tani.

Lebih lanjut Lenin menegaskan:

“…playing into the hands of the bourgeois democrats. The preaching of organisational diffuseness which goes to the length of plebiscites, the principle of compromise, and the divorcement of Party literature from the Party; belittling of the aims of insurrection; confusing of the popular political slogans of the revolutionary proletariat with those of the monarchist bourgeoisie; distortion of the requisites or ‘revolution’s decisive victory over tsarism’—all these taken together produce that very policy of tail-ism in a revolutionary period, which bewilders the proletariat, disorganises it, confuses its understanding, and belittles the tactics of Social-Democracy instead of pointing out the only way to victory and getting all the revolutionary and republican elements of the people to adhere to proletariat’s slogan”(Lenin, 1905).

Dalam bahasa Indonesia:

masuk ke perangkap kaum borjuis demokrat. Seruan difusi organisasional sampai sejauh plebisit, prinsip kompromi, dan pemisahan wacana Partai dari Partai, memperkedil tujuan-tujuan insureksi, membingungkan slogan-slogan politik kerakyatan dari proletariat revolusioner dengan borjuasi monarkis; pendistorsian syarat-syarat ‘kemenangan mutlak atas tsarisme’—semua ini menghasilkan kebijakan buntutisme dalam suatu periode revolusioner yang membingungkan proletariat, memberantakkannya, mengacaukan pemahamannya, serta memperkerdil taktik-taktik Sosial-Demokrasi alih-alih menunjukkannya sebagai satu-satunya jalan ke kemenangan dan membuat semua elemen revolusioner dan republiken dari rakyat untuk menganut slogannya proletariat.”

 

sebelumnya bagian II                                   bersambung ke bagian IV

Ditulis oleh Leon Kastayudha, Co-editor Bumi Rakyat, Kader KPO PRP.

Loading

Comments (1)

  1. […] sebelumnya bagian III […]

Comment here