Gempa politik baru saja mengguncang Inggris Raya dan Eropa. Dengan jumlah pemilih mendekati tiga perempat pemilih, 52 persen, atau lebih dari 17 juta pemilih, menyatakan mendukung Inggris Raya untuk Keluar (Leave) dari keanggotaan Uni Eropa. Mereka melampaui dukungan kampanye untuk Bertahan (Remain) sebagai anggota Uni Eropa yang didukung oleh seluruh otoritas bisnis dan politik.
Sebagian besar pihak dari otoritas di dunia bisnis dan politik menyatakan bahwa hasil ini adalah musibah besar. Ini tidak seharusnya begini, ratap mereka. Tren polling memenangkan pilihan Bertahan di beberapa hari terakhir menjelang referendum membuat mereka merasa percaya diri bahwa ancaman Brexit (British Exit/ Inggris Raya Keluar) tidak akan terjadi. Namun hanya dalam beberapa jam, di malam tanggal 23 Juni itu, harapan mereka lenyap menjadi abu.
Bahkan sebelum hasil resmi dikonfirmasi, pasar finansial sudah bereaksi. Sterling, yang menjadi bahan taruhan referendum, kolaps dan meluncur ke level terendahnya terhadap dollar Amerika Serikat sejak tahun 1985. Nilai saham di Bursa Saham London menurun tajam, terutama pada Bank-Bank Inggris. Investor mengancam akan menarik uang mereka dari Inggris dan keraguan menyebar dengan cepat mengenai masa depan dunia bisnis dan keuangan Kota London. Lembaga kredit bahkan mengancam akan menurunkan peringat AAA Inggris Raya.
Dampak ini menular dengan cepat ke negara lain. Euro mengalami hari terburuknya menghadapi dollar Amerika Serikat. Harga emas mencapai titik tertingginya dalam dua tahun terakhir, sedangkan harga minyak turun sekitar 6 persen. Perusahaan manapun yang berinvestasi besar di Inggris mengalami kebakaran. Misalnya nilai saham kedua perusahaan India, Tata Steel dan Tata Motors, jatuh bebas.
“Sebuah pilihan yang mengubah segalanya”
Konsekuensi politis dari pilihan untuk Brexit tidak kalah besar. Penulis Financial Times, Philip Stephens, menggambarkan implikasi dari pilihan ini terhadap kelas penguasa Inggris Raya sebagai berikut: “Ini adalah pilihan yang mengubah segalanya. Kebijakan ekonomi dan luar negeri yang dibentuk hampir lebih dari separuh abad bisa terbalik hanya dengan semalam. Otoritas politik bisa hancur berkeping-keping oleh sebuah pemberontakan kepada elit penguasa. Bangsa-bangsa di Inggris Raya terpecah belah, dan Inggris terbagi dua antara kota metropolisnya dan provinsi pasca-industrinya. Sebuah pilihan yang melawan globalisasi. Sebuah keputusan yang melemahkan Eropa dan Barat sekaligus. Gempa politik sebenarnya adalah pernyataan yang meremehkan.”
Hasil referendum ini berdampak paling mematikan bagi Partai Konservatif yang berkuasa, mengingat bahwa partai ini selalu menjadi pilihan pertama dari kelas penguasa untuk mengawasi kapitalisme Inggris Raya sejak abad ke-19. Perdana Mentri David Cameron telah pergi, dan tampaknya tak lama lagi Kanselor-nya, George Osborne, juga akan mengikuti jejaknya. Pasangan ini akan tercatat dalam sejarah sebagai penanggung jawab dari kekalahan terbesar partai selama lebih dari seabad terakhir atau lebih.
Tapi kepergian mereka ini bukannya malah menurunkan ketegangan dalam partai, jauh lebih parah dari itu. Partai terpecah menjadi dua hingga jajaran menengahnya dalam persoalan terkait Uni Eropa. Andai saja Cameron diganti oleh pendukung pilihan Bertahan yang lain, maka pendukung Keluar di dalam partai Tory (sebutan untuk Partai Konservatif) akan berusaha menendang mereka; kalau Boris Johnson, pemimpin pendukung pilihan Keluar mengambil alih, ia akan disingkirkan sejak awal karena ia pun dibenci banyak orang dalam partai. Proses menarik diri dari Uni Eropa itu sendiri membutuhkan waktu dua tahun dan krisis dalam internal partai Tory akan berlarut-larut dan berdarah-darah.
Sebelum referendum dilaksanakan, para jurnalis telah menyatakan keprihatinan mereka bahwa tidak hanya satu, tetapi kemungkinan akan terjadi dua perpecahan. Tidak hanya pecah kongsi dengan Eropa, namun juga akan memecah Inggris Raya itu sendiri, merujuk pada Pakta Persatuan tahun 1707 yang menyatukan Inggris dengan Skotlandia. Nicola Sturgeon, pemimpin Partai Nasional Skotlandia, menuntut dilaksanakannya segera referendum kedua untuk memutuskan kemerdekaan Skotlandia dari Inggris Raya, daripada terpaksa keluar dari Uni Eropa. Di Skotlandia sendiri, 62 persen memilih untuk tetap Bertahan. Dalam situasi saat ini, hampir tidak mungkin pilihan untuk merdeka akan gagal untuk kedua kalinya. Kemerdekaan Skotlandia akan menjadi hantaman serius bagi para kelas penguasa di Inggris Raya, karena tentu saja akan menghilangkan basis kekuatan utama bagi ekonomi dan politik imperialisme Inggris Raya kepada dunia. Richard Haas, diplomat dan presiden dari tim ahli kebijakan luar negeri AS, Dewan Hubungan Luar Negeri, menggambarkan hasil referendum ini sebagai “awal mula kehancuran Inggris”.
Tidak hanya Skotlandia, tetapi Irlandia Utara. Irlandia Utara yang merupakan hasil partisi sektarian oleh Inggris Raya pada 1921, juga memilih Bertahan di Uni Eropa. Perubahan sejak 1990-an kearah ekonomi Irlandia Utara dan Selatan yang terintegrasi penuh di bawah naungan “proses perdamaian” Tony Blair dan dilumasi oleh dana Uni Eropa, sekarang berada dalam bahaya ketika perbedaan muncul lagi kepada keduanya. Sinn Fein bahkan mengatakan bahwa dengan hasil referendum ini “pemerintah Inggris Raya telah kehilangan mandatnya untuk mewakili kepentingan ekonomi dan politik rakyat Irlandia Utara” dan menuntut “border poll” atau polling membuka perbatasan dengan Selatan. Akibat itu akan dengan mudah menyebabkan reintegrasi antara negara-negara selain Inggris dalam Perserikatan Inggris Raya ke dalam Uni Eropa. Entah dalam tindakan atau undang-undang karena orang, uang, dan barang akan bebas melintas dari Selatan ke Utara, dan dengan begitu juga ke Inggris dan Wales, atau runtuhnya otoritas Inggris Raya di Utara.
Partai Tory, yang sejak awal berdirinya bertujuan mempertakankan kekuatan mesin negara Inggris Raya, dapat berakhir dengan melihat perpecahan dan kelumpuhannya sendiri.
Pukulan Terhadap Kapitalisme Dunia
Ini bukan hanya kekalahan bagi otoritas Inggris Raya, namun juga bagi semua kelas penguasa di Paris, Berlin, Roma, dan juga di Washington, Canberra, serta Tokyo. Uni Eropa sejak lama telah menjadi alat para elit untuk mengatur struktur relasi ekonomi di dalam Eropa, dan antara Eropa dengan dunia. Ia adalah mesin penggerak tatanan ekonomi neoliberal dunia dan juga imperialisme Barat. Untuk alasan inilah ia sejak awal selalu didukung oleh Amerika Serikat. Uni Eropa, dengan Bank Sentral dan Komisi Eropanya yang tidak pernah dipilih secara demokratis, telah menjadi institusi terpenting dalam menindas kelas pekerja Eropa sejak krisis keuangan global pada 2008.
Pilihan Inggris Raya untuk Keluar mengancam untuk mengakhiri semua ini, dan bisa menjadi awal mula keruntuhan Uni Eropa. Ketakutan akan akibat itu menjadi alasan mengapa politisi senior Jerman dari partai CDU-nya Angela Merkel, Norbert Rottgen, sampai menggambarkan hasil referendum itu sebagai “bencana terbesar bagi sejarah integrasi Eropa”, saat Ketua Asosiasi Perbankan Jerman menyebutnya sebagai “hari yang gelap bagi Inggris dan Eropa”. Surat kabar Jerman, Bild, menurunkan headline berjudul “Hari Gelap Eropa”, sedangkan surat kabar Prancis, Le Figaro, mengatakan bahwa “Ini adalah awal dari kiamat yang sebenarnya”. Kelas penguasa Eropa memang sudah sepantasnya khawatir. Keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa akan menambah daftar ketakutan mereka pada terulangnya resesi masif di seluruh benua Eropa.
Sebuah Pilihan Melawan Kebijakan Pengetatan
Pilihan untuk Keluar dari Uni Eropa harus dimaknai dan dipahami terlebih dulu seperti apa yang dikatakan Diane Abbott, anggota parlemen senior dari Partai Buruh, sebagai “raungan tantangan melawan elit Westminster”. Itu adalah indikator terkini dari kebencian massal para buruh di daerah-daerah paling menyedihkan di Inggris dan Wales terhadap otoritas politik yang menindas mereka tanpa ampun selama empat dekade terakhir.
Terlepas dari apakah mereka buruh, pensiunan, dan pengangguran di lembah-lembah South Wales atau kota-kota tambang di Yorkshire seperti Barnsley atau Doncaster, di mana industri batu bara telah ditutup dan puluhan ribu pekerjaan dirampas, atau mereka yang tinggal di daerah tertinggal di Timur Laut Inggris – seperti Sunderland, Redcar, Middlesbrough – di mana industri berat telah hancur dan seluruh komunitas berubah menjadi tumpukan sampah, referendum menjadi kesempatan untuk membalas dendam pada para politisi yang telah menindas mereka. Hal yang sama terjadi juga di Midlands, kota-kota seperti Birmingham dan Conventry, yang dalam sejarahnya pernah menjadi pusat industri Inggris, kini terhantam keras oleh kebijakan penutupan pabrik massal dan rasionalisasi.
Bahkan di kota-kota yang memenangkan pilihan Bertahan dengan Uni Eropa, dimensi kelas sangat jelas terlihat. Di Oxford, Glasgow, dan Lancaster, menunjukkan bahwa di area yang lebih makmur dan didominasi universitas itu lebih memilih untuk tetap Bertahan, sedangkan di area buruh dan pekerja, pilihan untuk Keluar dari Uni Eropa mendominasi. Di London, pola yang terlihat lebih beragam, area miskin seperti Tower Hamlets, Lambeth, dan Haringey memilih untuk tetap Bertahan, sejalan dengan hasil yang terlihat di area yang lebih makmur seperti Hammersmith, Fulham, dan Kota London, tetapi area-area yang lebih miskin seperti Barking dan Dagenham di timur kota London lebih memilih untuk Keluar dari Uni Eropa.
Pentingnya akibat pemiskinan ekonomi terhadap kelas buruh dalam menjelaskan dukungan terhadap pilihan Keluar dari keanggotaan Uni Eropajuga terlihat dalam jajak pendapat. Walau ini sebenarnya cara yang tidak begitu tepat untuk memahami sentimen antar kelas. YouGov mencatat, 60 persen pendukung pilihan agar Inggris tetap Bertahan menjadi bagian dari Uni Eropa adalah kelompok yang disebut ABC1 oleh para peneliti sosial (yaitu kapitalis, kelas menengah, dan beberapa bagian dari kelas buruh) dan 60 persen dari pendukung pilihan agar Inggris Keluar dari Uni Eropa adalah kelompok C2DE, secara luas adalah kelas buruh yang terdiri dari pekerja kerah biru dan kerah putih.
Fakta bahwa referendum digunakan oleh buruh sebagai cara mengekspresikan kemarahan mereka atas pengabaian yang telah terjadi beberapa dekade ini juga diakui oleh para pendukung pilihan Bertahan. Julie Elliot, salah satu anggota parlemen dari Partai Buruh Sunderland, mengatakan bahwa “Orang-orang merasa tidak berdaya saat ini, terutama di wilayah North East yang mengalami pukulan hebat karena banyaknya pemangkasan di sana-sini, pemangkasan yang masif dari otoritas lokal, misalnya dalam layanan kesehatan dan lain-lain. Orang-orang merasa sangat, sangat tidak berdaya”. Di Wales, Leanne Wood, pemimpin partai nasionalis Welsh Plaid Cymru, yang juga mendukung pilihan Bertahan dalam keanggotaan Uni Eropa menyatakan, “Menurut saya, adalah kebijakan pengetatan yang menjadi akar permasalahan di sini. Orang-orang menginginkan perubahan, dan mereka melihat ini adalah kesempatan untuk mendapatkan perubahan yang mereka inginkan.”
Bagaimanapun ini tidak hanya krisis bagi pendukung Tory, tapi juga bagi seluruh otoritas politik Inggris, tentu saja kecuali bagi pendukung Brexit di dalam partai Tory. Semua pihak terdiskreditkan oleh hasil referendum ini.
Menghadapi Rasisme
Para pemilih yang mendukung Inggris tetap Bertahan dengan Uni Eropa beralasan bahwa referendum ini sebenarnya tentang kebijakan imigrasi, dan satu-satunya hal yang pantas dilakukan oleh mereka yang anti rasis adalah untuk memilih Bertahan di Uni Eropa. Bahkan penyanyi Billy Bragg menulis di akun twitternya; “Tidak semua yang memilih Keluar adalah rasis, tapi pasti setiap rasis akan memilih untuk Keluar”.
Wacana ini sebenarnya hanya omong kosong. Fortress Europe (kebijakan untuk menghalangi pengungsi untuk masuk ke Eropa) bertanggungjjawab atas tenggelamnya ribuan para pengungsi pencari suaka di laut Mediterania dalam 12 bulan terakhir. Lagipula area terkuat sebagai basis yang memillih untuk Bertahan adalah Gibraltar, yang tidak pernah terkenal sebagai lokasi yang anti-rasis.
Menyamakan pilihan untuk keluar dari Uni Eropa sebagai tindakan rasis bisa dibantah dengan melihat hasil voting yang sangat tinggi untuk Keluar dari Uni Eropa pada pemilih di area seperti Newham di timur London, salah satu area yang paling beragam budayanya, di mana kelompok rasis berulang kali dilawan dalam upayanya untuk menanamkan pengaruh mereka. Hal yang sama juga bisa dilihat di Leicester, kota dengan populasi yang beragam dan pernah menjadi pusat industri tekstil dan pakaian, yang juga memiliki hasil angka yang tinggi untuk pilihan Keluar.
Dengan mengesampingkan kemunafikan dari kampanye yang mendukung agar Inggris tetap Bertahan di Uni Eropa, memang benar bahwa banyak pemilih Keluar dimotivasi setidaknya sebagian oleh penentangan terhadap isu imigran. Polling yang dilakukan persis sebelum refrendum menunjukkan bahwa ‘imigrasi’ adalah isu pertama yang menjadi perhatian bagi mereka yang memilih Keluar. Karena kebanyakan dari para pemilih ini salah paham dalam melihat permasalahan seperti kurangnya lapangan pekerjaan, antrian yang panjang untuk mendapatkan bantuan perumahan, dan terlalu sesaknya transportasi publik disebabkan oleh datangnya imigran.
Tentu saja hasil seperti ini menyenangkan para rasis seperti Nigel Farage dari UKIP dan para pendukung Keluar di dalam partai Tory yang terlalu senang sampai membuat hubungan palsu antara kesulitan hidup yang dialami buruh Inggris dengan kedatangan imigran. Agitator rasis seperti Farage akan merasa jumawa akan hasil referendum, sama seperti Marine Le Pen dan Geert Wilders, para politisi rasis Eurosceptic, yang bersorak akan hasil kemenangan pilihan Keluar dan menuntut dilaksanakannya juga referendum serupa di Prancis dan Belanda.
Fakta bahwa para rasis itu berhasil memancing di air keruh dari penderitaan kelas buruh dan mengarahkan kemarahan para buruh terhadap kondisi penindasan yang mereka alami kepada para imigran adalah sesuatu yang harus dilawan sehebat-hebatnya.
Maka pertanyaan krusial saat ini adalah apa yang akan terjadi pada jutaan pemilih buruh tradisional yang ada di South Wales, East Midlands, dan North East atau di manapun yang membantah para pemimpin partai dan serikat buruh mereka dengan memilih agar Inggris keluar dari Uni Eropa?
Apakah mereka akan bergabung dengan para rasis di UKIP – satu-satunya partai politik yang setuju dengan isu ini? Atau akankah mereka bertahan di gerakan kiri, dengan institusi organisasi pergerakan buruhnya?
Semua ini akan tergantung dari apa yang akan dilakukan Partai Buruh, dan gerakan kiri di luar Partai Buruh dan Serikat Buruh, setelah pemilihan ini berlangsung. Kalau mereka meratapi hasil ini dan malah melupakan penyebab awal mula kemarahan mereka, kemudian sekedar menganggap ini sebagai perilaku rasis, maka mereka membiarkan kelompok kanan menampilkan diri sebagai pemimpin politik dari kelas pekerja Inggris begitu saja.
Kalau mereka berupaya mengikuti UKIP dan lebih jauh meniru sikap anti-migran para rasis itu, maka mereka tidak melakukan apa-apa kecuali membenarkan para pesaing mereka dan justru akan membuat eksistensi mereka tidak relevan.
Namun kalau mereka melawan rasisme, dan di saat yang sama memegang teguh kemarahan yang memungkinkan pilihan ini sampai terjadi, maka mereka bisa mentransformasikan perjuangan politik di Inggris. Apa yang awalnya merupakan krisis bagi kelas berkuasa dapat menjadi kesempatan besar untuk membalas tekanan pada kelas buruh yang telah terjadi sepanjang empat dekade ini. Para buruh di Inggris Raya dapat bergabung bersama sesama mereka di Prancis yang sedang dalam perjuangan penting melawan pemerintah dan bos-bos mereka untuk melawan penindasan layaknya agenda Thacherite yang sudah terlalu lama dialami para buruh Inggris.
Ditulis oleh Tom Brambel dan dikutip dari website REDFLAG | A Voice of Resistance, 24 Juni 2016. Diterjemahkan oleh Aghe Bagasatriya, Mahasiswa Paskasarjana UGM.
Comment here