Internasional

Narasi Palsu Israel Sebagai Pembenaran Pencurian Air dan Uni Eropa yang Ikut-ikutan

Pencurian Air PalestinaPencurian air rakyat Palestina oleh Israel belakangan menjadi sumber kemarahan banyak orang, karena berkaitan dengan kemanusiaan dan hukuman kolektif. Laporan ini diungkapkan bertepatan dengan dimulainya bulan Ramadhan, atau lebih parah lagi; Aljazeera bahkan melaporkan bahwa beberapa daerah telah kekeringan air selama lebih dari 40 hari.

Sementara itu, Komisaris Uni Eropa untuk European Neighbourhood Policy and Enlargement Negotiations, Johannes Hahn, telah menghadiri peresmian pabrik desalinasi air baru di Jalur Gaza. Konstruksi dimulai pada tahun 2014 beberapa bulan sebelum serangan militer Israel. Saat itu, Hahn malah memberikan pidato yang menyalahkan kondisi konflik di Gaza yang tidak kunjung selesai, daripada menyinggung penjajahan dan agresi kolonial Israel sebagai penyebabnya. “Air dan sumber daya di Gaza sudah sangat rusak setelah konflik terus-menerus,” jelasnya. “Akibatnya, 95 persen air di Gaza tidak layak untuk digunakan manusia.” Hahn juga menegaskan “komitmen” Uni Eropa untuk meningkatkan kualitas air Gaza, tanpa mengakui dukungan abadi mereka terhadap Israel, negara yang sejak awal bertanggung jawab atas segala perusakan dan pencurian. Ini tidak hanya penghinaan pada Palestina, tetapi juga membuat semua bantuan konstruksi dan kemanusiaan Uni Eropa pada Palestina menjadi sia-sia. Mengingat bahwa Israel sudah membatasi jumlah air ke Palestina sejak berdekade-dekade lalu, Uni Eropa masih saja menyangkal bahwa pelanggaran hak asasi karena pencurian sumber air oleh negara yang didukungnya ini lebih besar daripada bantuan yang bisa diberikannya pada Palestina.

Menyalahkan “konflik” sebagai penyebab kekurangan air adalah separuh-benar, hanya melayani kepentingan tertentu terutama Uni Eropa, yang tujuan utamanya memastikan langgengnya kolonialisme Israel di Palestina.

Terlebih lagi, perampasan kebutuhan dasar ini dalam jangka panjang dimaksudkan untuk memusnahkan Palestina secara perlahan-lahan. Proses ini telah berjalan tanpa halangan karena kelalaian yang disengaja oleh organisasi-organisasi internasional. Statistik dan iklan membosankan, serta naskah yang hanya memuaskan para pelaku kolonialisme ini terus diulang-ulang tanpa ada upaya menghentikan Israel, selama narasi palsu ‘konflik’ ini digunakan.

Tingkat keterlibatan orang-orang dalam pembenaran narasi palsu Israel atas pencurian tanah dan air ini juga harus dipertimbangkan. Pada tahun 2014, Presiden Ekuador Rafael Correa memuji Israel sebagai negara yang harus ditiru Amerika Selatan, karena mampu “membuat gurun bersemi”; padahal itu hanya mitos mereka saja sambil memungkiri fakta bahwa Palestina adalah eksportir buah jeruk nomor satu di dunia jauh sebelum Israel didirikan. Namun demikian, awal bulan ini, sebuah artikel diterbitkan di United Press International yang membahas krisis air di California dan juga menjadikan Israel sebagai contoh untuk diikuti. Seperti komentar Correa, artikel itu benar-benar menghapuskan kehadiran Palestina, apalagi membahas tentang pencurian airnya. Kalimat pembukanya yang sangat bias pro-Israel dengan tegas mengatakan: “Pengungsi perang eksodus ke Palestina lalu menjadi Israel pada 1948. Kemudian, Israel membuat air.”

Dengan kekeliruan yang dipromosikan dan dianggap sebagai kebenaran, sangatlah penting menantang narasi itu dalam menyikapi permasalahan kemanusiaan yang dialami penduduk Palestina karena keberadaan Israel. Sangatlah mudah untuk melupakan penjajahan Israel, untuk kemudian menyalahkan konflik. Masyarakat internasional sekarang sangat akomodatif, mau saja menyerap dan menyebarkan narasi palsu buatan itu.

Dengan pembangunan pabrik desalinasi air, retorika Uni Eropa – tanpa adanya konteks mengenai Ramadhan dan air sebagai prioritas – tidak hanya berkontribusi pada dehumanisasi Palestina, tetapi juga merupakan pelanggaran abadi yang tidak manusiawi dari sang monster Israel yang seharusnya bertanggung jawab.

 

Ditulis oleh Ramona Wadi dan dikutip dari website Middle East Monitor. Diterjemahkan oleh Nadia Aghnia Fadhillah, Peneliti muda di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada.

Loading

Comment here