Tugas-tugas Kelas Buruh Dalam Perjuangan Untuk Demokrasi Seutuh-utuhnya
Ditengah histeria anti komunisme ini, kita melihat keingintahuan yang besar, terutama oleh kaum muda, untuk mendapatkan kebenaran atas apa yang terjadi pada tahun 1965. “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” sekarang mulai terdengar dan tidak bisa lagi dibungkam. Walaupun ditengah ancaman kelompok-kelompok reaksioner bersama aparat keamanan namun segala daya upaya digunakan untuk belajar kebenaran. Pemutaran film-film alternatif ataupun diskusi-diskusi tertutup maupun terbuka terus diselenggarakan.
Saat ini sepertinya kekuatan gerakan yang terorganisir justru melemah selama beberapa tahun belakangan ini. Gerakan buruh sudah dicengkram oleh elit-elit birokrasi serikat buruhnya sendiri. Bahkan mobilisasi massa dalam sidang kriminalisasi aktivis buruh, mahasiswa dan pengacara terus menurun. Sementara itu peringatan 18 tahun reformasi belum mampu melibatkan mobilisasi massa yang besar. Di Yogyakarta, setelah mengalami perpecahan dari hampir tiga ratusan orang yang diharapkan hadir ternyata tidak sampai seperempatnya terlibat aksi. Sementara di Jakarta aliansi Gema Demokrasi yang terdiri dari lima puluhan organisasi hanya mampu memobilisasi massa sekitar 250an orang.
Juga, sungguh disayangkan, masih ada yang berilusi kepada rezim borjuis Jokowi-JK. Gema Demokrasi misalnya dalam pernyataan sikapnya terlihat sangat mengharapkan Jokowi untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan demokrasi. Tuntutannya berulang kali meminta Jokowi untuk menyelesaikan persoalan, dari persoalan supremasi hukum, kriminalisasi, membubarkan komando teritorial, dsb.
Masih banyak juga yang menganggap bahwa Jokowi tersandera oligarki, dan histeria anti-komunisme ini seolah-olah merupakan selubung konflik internal militer. Ilusi ini mempercayai bahwasanya dengan histeria anti komunisme para elit, jenderal dan mantan jenderal berkelahi seolah-olah ada yang peduli terhadap demokrasi.
Namun saat para jenderal dan elit politik berkelahi, apa kontribusinya bagi korban dan sejarah Malapetaka 1965? Bagi kelas buruh dan rakyat? Bagi Demokrasi? Tidak ada. Ketika mereka berkelahi, seolah-olah ada yang memperjuangkan demokrasi. Tapi iman demokrasi mereka lebih tipis dari kertas. Demi kekuasaan, bahkan sisa orde baru dan militerisme pun akan diajak bersatu.
Kelas borjuis yang kalah dalam pertarungan ide mengenai Indonesia kedepan dimasa Demokrasi Terpimpin semakin bersandar pada militer. Untuk kemudian bisa menyelesaikan pertarungan tersebut dengan kekuatan senjata. Selama masa Rezim Militer Orde Baru, para oposisi borjuis pun tidak dapat memberikan perlawanan berarti. Menjelang kejatuhan Soeharto, oposisi borjuis seperti Gus Dur dan Amin Rais sibuk mencari-cari kesepakatan dengan Soeharto. Kesepakatan yang memungkinkan mereka bisa mendapatkan kekuasaan dengan tetap mempertahankan bagian-bagian dari Rejim Militer Orde Baru. Pada saat yang bersamaan dapat meredam gelombang mobilisasi massa. Setelah 21 Mei 1998, disaat gelombang perlawanan rakyat masih besar para oposisi borjuis, seperti Megawati, Amin Rais, Gus Dur, Sri Sultan, dsb, justru memberikan konsensi kepada para jenderal dan sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru melalui Deklarasi Ciganjur mereka. Setelah itu Megawati beraliansi dengan sisa-sisa Orde Baru untuk merebut kursi Presiden. Jokowi juga bersekutu dengan banyak pelanggara HAM, dengan Hendropriyono, dengan Sutiyoso, dengan Wiranto, bahkan Wapresnya sendiri adalah Jusuf Kalla, antek Orde Baru sekaligus pendukung Pemuda Pancasila—ormas preman yang merupakan salah satu pelaku utama pembantaian 65.
Tentu saja, sejarah sudah membuktikan, bahwa demokrasi apapun bentuknya; dari kebebasan berpendapat hingga kemerdekaan dari penjajahan bukan merupakan kebaikan dari kelas penindas yang berkuasa. Melainkan buah darah, keringat dan air mata perjuangan rakyat tertindas. Dari semua itu kita mengingat kembali semangat perjuangan dan rakyat Indonesia melawan belenggu penindasan rezim Militer Orde Baru. Termasuk pembebasan dari kejahatan kemanusiaan yang luar biasa kejinya. Kejahatan kemanusiaan di tahun 65, di Tanjung Priok, di Aceh, di Papua, di Timor Leste, di Jakarta saat 27 Juli 1996, Marsinah di Jawa Timur, penembakan misterius dan lain sebagainya. Begitu pula pembebasan dari kebohongan nasionalisme sempit, sementara kekuatan Imperialisme dengan perlindungan Rejim Militer Soeharto terus menguasai sumber daya alam dan menindas buruh dan kaum tani. Seperti Freeport di Papua serta Exxon di Aceh yang semuanya digardai oleh tentara. Ataupun penggusuran Petani di Gedung Ombo demi gelontoran modal dari Bank Dunia.
Dalam konteks ini kita bisa menggarisbawahi bahwasanya kaum borjuasi Indonesia tidak mampu mengemban tugas-tugas perjuangan revolusi demokratik nasional. Kaum borjuasi di Indonesia malah mencampakkannya dan justru berkhianat serta meraih kekuasannya dengan menghamba pada Imperialisme. Oleh karena itu tugas-tugas perjuangan revolusi demokratik nasional harus diambil alih kelas buruh. Kelas buruh sebagai kelas yang termaju harus memformulasikan tuntutan-tuntutan demokratisnya lebih lugas, mengekspresikannya lebih tajam dan utuh. Bahkan juga untuk menghancurkan kekuatan kontra revolusioner tanpa ampun. Lapisan termaju dari kelas buruh harus membentuk organisasi kepeloporan revolusioner untuk memimpin menuntaskan perjuangan demokratik nasional dan melanjutkannya ke perjuangan kelas untuk sosialisme.
Namun tendensi hiperaktivisme menghambat perjuangan demokrasi tersebut. Seperti ekonomisme, mereka menganggap bahwa perjuangan demokrasi adalah suatu hal yang terlalu tinggi untuk dipahami oleh kelas buruh. Sementara itu isu-isu politik termasuk demokrasi di dalamnya akan dititipkan pada elit-elit birokrasi serikat buruh ataupun kaum radikal bebas. Kalaupun sekarang mereka sekarang berbicara isu demokrasi itu tidak terlepas karena kondisi memunculkannya. Yaitu dengan kriminalisasi dan semakin meningkatnya represi terhadap gerakan rakyat.
Sehingga walau muncul berbagai inisiatif, terutama dari kaum muda, untuk membongkar kebenaran sejarah tidak mampu dipimpin dan diarahkan oleh kaum revolusioner. Isian perspektif kebenaran sejarah ataupun demokrasi dan perjuangan politik secara umum justru banyak diambil oleh kelompok radikal bebas dan kolaborator kelas. Yang mengarahkannya pada menitipkan nasib terhadap kelas borjuis atau perjuangan demokrasi yang setengah hati.
Disisi yang lain dengan argumentasi untuk menghimpun sebanyak mungkin kekuatan. Untuk kemudian bisa menciptakan atmosfir perlawanan maka berbagai macam kompromi harus dilakukan. Bahkan diperlukan kompromi yang membatasi partai revolusioner untuk bisa menyebarluaskan propaganda dan perspektif revolusionernya. Seolah-olah membawa prinsip-prinsip kiri revolusioner dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, akan merusak persatuan dan perkembangan gerakan.
Yang berbahaya dalam perjuangan demokrasi adalah tidak tuntasnya atau tidak dicapainya demokrasi seutuh-utuhnya. Itu bisa terjadi ketika (1) perjuangan demokrasi dititipkan pada borjuasi. Seperti yang masih banyak diyakini oleh gerakan pro demokrasi. Ataupun ketika (2) program-program tuntutan gerakan tidak mencerminkan penerimaan terhadap demokrasi yang seutuh-utuhnya. Seperti yang kita lihat dengan masih gerakan belum yang menerima seutuhnya program-program demokrasi hingga hak menentukan nasib sendiri, kebebasan orientasi dan identitas seksual, anti militerisme, dsb.
Lalu bagaimana menghimpun sebanyak-banyaknya massa dan mempersatukannya dalam perjuangan untuk menuntaskan perjuangan demokrasi?
Pertama terdapat kebutuhan untuk membangun sebuah partai buruh revolusioner. Yang merupakan partai dari kaum revolusioner profesional. Dari mereka-mereka yang berkesadaran maju yang meyakini program-program revolusioner untuk mencapai sosialisme. Hanya dengan partai semacam itu maka kaum revolusioner dapat (kedua) mendidik, mengorganisir dan memobilisasi massa luas rakyat pekerja dengan kesadaran yang lebih rendah (didominasi oleh borjuis dan kaki tangannya) untuk perjuangan revolusioner.
Yang pertama membutuhkan penekanan pada kerja-kerja ideologi dan propaganda revolusioner. Meyakinkan buruh-buruh dan rakyat pekerja yang termaju dengan teori-teori Marxisme untuk kemudian merekruitnya pada partai buruh revolusioner. Sementara massa luas rakyat dengan kesadaran yang lebih rendah bisa dimenangkan dengan propaganda revolusioner serta agitasi yang terkait dengan pengalaman perjuangan aksi politik langsung dari massa itu sendiri.
Untuk memenangkan massa luas rakyat pekerja itulah muncul taktik front persatuan. Front persatuan bukanlah asal bersatu, jika pembangunan front persatuan itu ingin memberikan sumbangan bagi perjuangan kelas buruh. Ada tujuan-tujuan spesifik dari front persatuan itu sendiri, yaitu memobilisasi massa, memenangkan pengaruh dimereka dan merebutnya dari dominasi organisasi dan politik reformis serta merupakan taktik untuk pembangunan partai revolusioner.
Taktik front persatuan muncul karena disatu sisi ada dorongan bagi kelas buruh dan rakyat pekerja untuk bersama-sama mempertahankan kepentingannya yang diserang oleh kapitalisme. Disisi yang lain karena massa luas rakyat pekerja masih berada dibawah kepemimpinan kelompok reformis dan liberal.
Oleh karena itu dalam pembangunan front persatuan terdapat syarat pokok. Syarat itu adalah: partai buruh revolusioner mempertahankan kemandirian organisasinya sendiri. Serta kebebasan mereka untuk mengajukan pandangan mereka, termasuk kritik mereka terhadap organisasi-organisasi lain. Itu kenapa terdapat slogan: “Berbaris terpisah, menyerang bersama!” Dengan begitu maka bahkan ketika taktik kompromi terpaksa diterapkan maka tujuannya tetap untuk menaikan tingkat kesadaran kelas proletar, semangat revolusioner dan kemampuan untuk bertempur dan menang.
Ketika berbicara mengenai front persatuan maka terkait erat dengan mobilisasi massa yang besar. Persoalan front persatuan menjadi sangat penting ketika partai revolusioner memimpin secara organisasional sejumlah besar proletariat. Ataupun kelompok-kelompok reformis yang mampu memobilisasi puluhan ribu massa.
Tanpa kemampuan mobilisasi yang besar itu maka sulit menghasilkan sebuah atmosfir perlawanan. Namun atmosfir perlawanan itu sendiri bukanlah tujuan dari front persatuan. Itu hanyalah akibat dari mobilisasi massa yang besar dari front persatuan. Menganggap bahwa front persatuan itu bertujuan untuk membangun atmosfir disatu sisi menunjukan kondisi kecilnya kemampuan mobilisasi kaum revolusioner. Disisi yang lain dapat mengorbankan tujuan-tujuan sebenarnya dari front persatuan demi mendapatkan kesepakatan dengan kelompok reformis dan liberal dengan harapan mereka akan konsisten melakukan mobilisasi massa.
Front persatuan yang ada sekarang untuk mempertahankan ruang demokrasi lebih tepat disebut sebagai kelompok kampanye. Kelompok kampanye ini tidak memiliki kemampuan memobilisasi massa yang besar. Kelompok kampanye adalah kelompok yang mengorganisir aktivis dari berbagai latar belakang.
Dengan kondisi seperti ini mempertegas bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh kaum revolusioner akan lebih bersifat propaganda. Yaitu bekerja membangun satu kampanye tertentu, meyakinkan akan langkah-langkah maju yang harus diambil, propaganda seluas-luasnya ide-ide revolusioner dan meyakinkan mereka-mereka yang termaju terhadap perspektif revolusioner untuk kemudian merekruitnya.
Oleh karena itu disini sekali lagi kita perlu menekankan: Kelas Buruh harus pegang kepeloporan, Proletariat harus mengambil alih tugas-tugas menuntaskan demokratik nasional untuk kemudian segera melancarkan tugas-tugas perjuangan kelas untuk sosialisme. Kelas buruh harus merumuskan dan memperjuangkan program-program demokrasinya yang independen, tegas, menyeluruh dan jelas.
Kelas Buruh harus berada di barisan terdepan serta menggalang rakyat pekerja bersama semua kaun tertindas untuk menentang pelarangan terhadap buku-buku kiri, dalam melawan pembubaran forum-forum diskusi dan bedah film, dalam menentang kriminalisasi aktivis dan pemberangusan serikat. Alih-alih mundur dan bersembunyi di bawah terpaan badai anti-demokrasi, Kelas Buruh justru harus semakin gencar mengorganisir diri, memperbanyak edukasi, memperhebat propaganda dan agitasi, serta memperluas solidaritas massa aksi.
Kelas buruh justru harus merumuskan dan memperjuangkan program-program demokrasinya sendiri. Demokrasi yang seutuh-utuhnya dengan tegas, menyeluruh dan jelas. Kemandirian kelas buruh tersebut yang tercermin dalam barisan pelopornya, partai revolusioner, sangat dibutuhkan. Sama dibutuhkannya dalam perjuangan demokrasi atau revolusi demokratik-nasional.
Seperti namanya saja (revolusi demokratik-nasional) menunjukan bahwa perjuangan demokrasi ini dalam isian ekonomi dan politiknya bersifat demokratik-nasional. Namun ini tidak berarti bahwa perjuangan penuntasan tugas-tugas demokratik-nasional bukan merupakan kepentingan bagi kelas buruh. Justru semakin tuntas pemenuhan tugas-tugas demokratik-nasional, maka semakin lapang pula jalan untuk revolusi sosialis. Sekali lagi ini tidak bisa tidak, harus dipimpin oleh kelas buruh.
Jadi konkretnya revolusi demokratik nasional di bawah pimpinan kelas buruh yang menggandeng kaum tani dan semua rakyat tertindas seperti apa? Penghapusan penghambaan dan reforma agraria untuk kaum tani. Penghapusan seluruh monarki dan kekuasannya tanpa terkecuali—termasuk Kesultanan Yogyakarta dan semua sisa-sisa kebangsawanan di Indonesia. Pembebasan nasional, nasionalisasi dipimpin kelas buruh terhadap seluruh aset Imperialis di Indonesia, penghapusan hutang-hutang jeratan Imperialis, dan pembatalan semua perjanjian neoliberal. Modernisasi masyarakat dan industrialisasi nasional yang manusiawi dan ramah lingkungan. Demokrasi, dalam pengertian kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan informasi, kebebasan pers, kebebasan beragama dan beribadah, kebebasan berekspresi, serta jaminan sekaligus pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana perwujudan demokrasi demikian hanya bisa dicapai dengan menghancurkan semua kekuatan reaksioner anti demokrasi. Sehingga tidak ketinggalan turut menyertakan: penghapusan semua komando ekstra-teritorial, penegakan pengadilan HAM—khususnya bagi semua kejahatan Orba di masa lalu, serta retribusi dan rehabilitasi seadil-adilnya. Tentu saja kelas buruh, di bawah kepemimpinan partai pelopor revolusioner, tidak akan berhenti pada Revolusi Demokratik-Nasional namun terus melanjutkannya ke Revolusi Sosialis.
Pemahaman mengenai kebenaran diatas menjadi sangat penting dalam hal teoritis dan juga praktek politik. Karena darinya muncul kesimpulan bahwa independensi kelas dari partai buruh revolusioner dalam gerakan demokrasi umum saat ini adalah sebuah kewajiban. Tanpa itu maka partai buruh revolusioner akan terombang-ambing dalam pengaruh radikal bebas dan kolaborasi kelas. Hanya dengan independensi partai buruh revolusioner tersebut maka kelas buruh dapat menarik rakyat pekerja lainnya kedalam barisannya. Menghilangkan pengaruh kaum radikal bebas dan kolaborasi kelas dari mereka. Dan dengan demikian menghilangkan pengaruh borjuasi dalam gerakan kelas buruh.
Semua ini tentu saja menuntut pengorganisiran seksi-seksi proletariat yang paling maju secara politik dan paling sadar kelas untuk membentuk organisasi-organisasi demi menarik lapisan-lapisan lebih luas dari kelas buruh dan memenangkan mereka ke politik revolusioner serta menjadi perwujudan angkatan sekaligus kekuatan politik proletar melawan musuh-musuh kelasnya. Dengan kata lain, kita perlu membangun Partai Buruh Revolusioner.
oleh Leon Kastayudha, Co-editor Bumi Rakyat, Kader KPO PRP dan Mahendra K, Kader KPO PRP
Sebelumnya Bagian II
[…] Sebelumnya Bagian I bersambung ke Bagian III […]