AksiPernyataan SikapPerspektif

Tentang Persatuan

Tolak MiliterismePenjelasan Keluarnya KPO PRP Yogyakarta Dari Komite Bersama Reformasi 1998

 

Setidaknya dalam dua tahun terakhir terdapat upaya giat untuk mempertahankan ruang demokrasi di Yogyakarta. KPO PRP Yogyakarta telah mendorong dipertahankannya ruang demokrasi dari serangan-serangan kelompok reaksioner setidaknya sejak Desember 2014.

Diawali dengan pertemuan terbatas dengan beberapa individu dan organisasi merespon penyerangan aksi TDOR. KPO PRP melihat bahwa yang dibutuhkan adalah kekuatan kolektif yang terorganisir untuk mempertahankan ruang-ruang demokrasi, entah itu di jalanan, di kampus, ruang-ruang publik lainnya bahkan hingga serangan-serangan yang bisa dikatakan bersifat personal. Hal ini berbeda dengan beberapa individu dan kelompok yang menjadikan persoalan ruang demokrasi ini hanya sebagai persoalan personal. Sehingga yang dibutuhkan adalah pelatihan-pelatihan bela diri personal untuk berhadapan dengan berbagai kemungkinan kekerasan personal.

Setelah itu kita melihat meningkatnya gelombang serangan terhadap ruang demokrasi, secara khusus terhadap pemutaran film Senyap. Aliansi besar pertama adalah Barisan Penyelamat Demokrasi (BPD) yang berhasil mengumpulkan berbagai kelompok dari berbagai spektrum. BPD sendiri kemudian layu sebelum berkembang.

Kemudian muncul Front Perjuangan Demokrasi (FPD) yang merupakan aliansi dari berbagai organisasi yang terlibat dalam menyelenggarakan pemutaran film Senyap di UIN pada Maret 2015. FPD menandai kebangkitan dari gerakan radikal dalam mempertahankan ruang demokrasi. Dan merupakan kemajuan dari gerakan pro demokrasi secara umum. Alih-alih percaya pada aparat negara untuk mempertahankan demokrasi, FPD percaya pada kekuatannya sendiri. FPD adalah yang pertama kali berhasil menyelenggarakan sebuah acara dibawah upaya pembubaran yang dilakukan oleh aparat negara bekerjasama dengan kelompok reaksioner, FUI.

Paska pemutaran Senyap di UIN, FPD terlibat dalam berbagai solidaritas mempertahankan ruang demokrasi. Antara lain solidaritas untuk aksi Aliansi Mahasiswa Papua bulan Desember 2015 yang mendapatkan ancaman dari kelompok reaksioner, FJAS yang digawangi oleh Paksi Katon. Melakukan intervensi anti rasisme terhadap diskusi yang menghadirkan FJAS sebagai salah satu pembicara di UIN. Termasuk juga menyelenggarakan diskusi IPT, yang sebelumnya dibatalkan oleh beberapa kelompok yang menjadi panitia.

Naiknya gelombang homofobia mendorong berbagai kelompok pro demokrasi unutk mengkonsolidasikan dirinya. Konsolidasi ini kemudian melahirkan Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD). SPD adalah yang pertama kali, setidaknya di Yogyakarta, secara sadar merancang sebuah aksi untuk menandingi aksi dari kelompok reaksioner, FUI. Ini kembali menandai kemajuan bagi gerakan radikal dan secara umum gerakan pro demokrasi. Profil SPD pun tegas menyatakan tujuannya adalah “untuk melawan kelompok reaksioner dan aliansi ultra kanan mereka dalam membangun gerakan fasis, rasis dan seksis di Indonesia.” SPD sendiri hanya percaya “dengan kekuatan solidaritas, persatuan dan mobilisasi kekuatan rakyat” untuk bisa melawan kelompok reaksioner.[1] Setidaknya hingga awal Mei, SPD juga terus mendorong pembangunan solidaritas melawan serangan kelompok reaksioner terhadap ruang demokrasi. Antara lain seruan solidaritas untuk AJI, MAP Corner UGM dan FH UGM.

Penyerangan berturut-turut terhadap Survive dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” yang diselenggarakan oleh AJI juga mendorong munculnya konsolidasi baru. Yang kemudian disebut sebagai Gerakan Warga #SelamatkanJogja/ FSYD. Kelompok ini mewakili terkonsolidasikannya kelompok yang moderat dibandingkan SPD. Awalnya mereka berencana melancarkan aksi di Polda DIY dengan tuntutan pencopotan Sigit Haryanto, Kabagops Polresta Yogyakarta; Wahyu Dwi Nugroho, Kasat Intel Polresta Yogyakarta dan Tri Adi, Kapolsek Umbulharjo. Namun rencana tersebut berubah karena kelompok reaksioner (Pemuda Pancasila, FKPPI, GPK, dsb) melancarkan aksi tandingan di Polda DIY. Selain itu FSYD masih meminta Kapolda DIY menginstruksikan jajarannya untuk menindak tegas perilaku kelompok intoleran. Juga masih menggunakan metode seperti menyerahkan bukti pembubaran ke Mabes Polri dan Kapolda DIY.[2]

Dalam perjalanan perjuangan demokrasi tersebut kita bisa melihat beberapa perspektif yang berbeda. Perbedaan paling tajam adalah antara mereka yang masih mempercayai pemerintah dan aparatus negara untuk menjaga dan mempertahankan demokrasi. Dengan mereka yang percaya hanya pada kekuatan solidaritas, mobilisasi rakyat untuk mempertahankan demokrasi. Perbedaan tersebut juga sampai pada perbedaan metode perlawanan yang diambil.[3]

Sebelum momentum Penggulingan Soeharto, KPO PRP sendiri sudah melihat pentingnya membangun persatuan seluas-luasnya. Dengan juga mempertimbangkan persoalan perbedaan perspektif yang ada dikalangan pro demokrasi.

Oleh karena itu segera setelah mendapat kabar adanya konsolidasi untuk merespon 21 Mei maka KPO PRP mengusulkan agar organisasi yang mengundang adalah organisasi yang relatif diterima oleh berbagai kelompok yang ada. Setelah pendiskusian akhirnya disepakati bahwa undangan konsolidasi mencantumkan nama berbagai kelompok yang setuju menjadi pengundang. Ini diharapkan akan memudahkan konsolidasi semua kekuatan.

Dalam proses perjalanan yang menghasilkan Komite Bersama Reformasi 1998, muncul juga perdebatan mengenai: kebebasan propaganda. Kebebasan propaganda dimaknai sebagai: kebebasan bagi setiap organisasi untuk membuat dan menyebarluaskan poster hingga terbitan ataupun selebarannya sendiri. Selama itu tidak bertentangan dengan isu yang dibawa.

Dalam perdebatan tersebut satu kelompok menolak adanya kebebasan propaganda seutuhnya. Mereka memperbolehkan setiap organisasi untuk berorasi dan membuat poster sendiri. Namun menolak jika masing-masing organisasi membuat selebarannya sendiri.

Untuk menyelesaikan perdebatan itu maka forum H-1 yang sebelumnya direncanakan untuk mempersiapkan perlengkapan juga akan digunakan untuk membahas mengenai kebebasan propaganda. Setelah hampir 6 jam namun perdebatan belum juga menemui titik temu. Dengan begitu tidak ada solusi yang bisa didapatkan.

Oleh karena itu KPO PRP mengusulkan agar ada voting. Ini adalah pilihan terbaik dari kondisi tidak ada kesepakatan bersama. Serta mengharapkan organisasi-organisasi yang tidak hadir dalam forum tersebut dapat memberikan suaranya dan mendukung pilihan nomer 2.

Pilihan dalam voting tersebut yaitu: 1) selebaran hanya ada 1 selebaran aliansi. Organisasi anggota aliansi tidak boleh buat selebaran sendiri. Sementara organisasi anggota aliansi bisa berorasi dan membuat poster sendiri. 2) selebaran aliansi ada dan tiap organisasi dibebaskan membuat selebarannya sendiri. Termasuk bisa berorasi dan membuat poster sendiri. Selebaran masing-masing organisasi juga menyebutkan 3 isu utama. Media diarahkan semua ke Juru Bicara aliansi.

Hasil voting diantara mereka yang hadir di forum tersebut adalah: Pilihan 1) PPR, Pembebasan, LPM Rhetor, PSB, PRD, FMPR dan SMI (mahasiswa). Pilihan 2) KPO PRP, LBH, AMP, Kaukus Perda Gepeng, LSS dan PLUSH.

Sementara itu dalam koordinasi di media online: Forum LSM, AJI Yogyakarta dan Satunama mendukung pilihan 1. Dan Komite Perjuangan Perempuan mendukung pilihan 2. Sebenarnya masih terdapat belasan organisasi yang belum memberikan suaranya. Namun karena waktu terbatas maka voting melalui media online diberikan deadline.

Setelah berkoordinasi maka KPO PRP memutuskan mengundurkan diri dari Komite Bersama Reformasi 1998. Dan melakukan aksi bersama organisasi dan individu-individu lain di Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dalam momentum Penggulingan Soeharto.

Kebebasan Propaganda dan Front Persatuan

Dalam proses perdebatan hampir tidak ada organisasi yang merubah posisinya dari awal hingga akhir. Kecuali PEMBEBASAN yang menurut pengakuan perwakilan yang datang awalnya berposisi mendukung kebebasan propaganda seutuh-utuhnya namun berubah posisi karena voting bisa diikuti dengan keluarnya organisasi dari aliansi. Serta karena aksi tanggal 21 Mei hanya aksi momentuman.

Apa argumentasi mereka yang menolak kebebasan propaganda seutuhnya?

  1. Akan menutupi isu utama, melemahkan persatuan, melemahkan targetan dan melemahkan capaian dari tuntutan utama.

Dalam argumentasi ini juga menggunakan persoalan teknis seperti selebaran aliansi akan kalah jumlah dari selebaran organisasi ataupun selebaran aliansi tidak dibagikan. Termasuk menganggap bahwa tuntutan kebebasan propaganda adalah hanya permintaan penambahan data di dalam selebaran aliansi. Ini diungkapkan antara lain oleh PPR, PRD dan Koordinator KBR 1998.

  1. Bahwa yang disepakati hanya 3 tuntutan utama. Tuntutan-tuntutan lain seharusnya menjadi tanggung jawab perjuangan masing-masing organisasi atau “kembali ke rel masing-masing.” Ini diungkapkan oleh PRD.
  2. Kebebasan propaganda seutuhnya adalah fenomena yang baru muncul sekarang. Ini diungkapkan oleh PPR.

Kebebasan propaganda sendiri bukanlah sebuah fenomena baru. Tradisi ini sudah dibangun setidaknya sejak May Day 2013, dimana ada kebebasan bagi masing-masing organisasi untuk membuat alat propaganda (termasuk juga selebarannya) sendiri.[4] Ini terus berlanjut pada May Day 2014, May Day 2015 dan May Day 2016.

Di May Day 2015: “Beberapa organisasi-organisasi yang terlibat dalam aliansi ini adalah juga yang tahun 2014 merayakan Hari Buruh Sedunia bersama. Hal yang maju sejak dua tahun belakangan ini dalam perayaan May Day adalah demokrasi didalam persatuan yang dibangun. Terdapat kesepakatan bahwa setiap organisasi atau individu yang terlibat bebas untuk mengeluarkan pendapatnya, bebas berpropaganda, membuat selebaran, spanduk dan poster sendiri. Selama tidak bertentangan dengan demokrasi dan kepentingan klas buruh dan rakyat.

Jurnalis dari AJI Yogyakarta membawa poster inisial huruf “M”, “E”, “D”, “I”, “A”. Sementara terdapat juga kelompok LGBT yang membawa spanduk “LGBT Mendukung Perjuangan Buruh”. Front Mahasiswa Nasional membawa poster bertuliskan penolakan hukuman mati untuk Mary Jane. Terdapat juga poster menuntut pembebasan penyidik KPK, Novel Baswedan. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Cabang Yogyakarta menyebarkan selebaran yang berisi: 1. Mendukung pemberian ASI eksklusif (0-6 bulan) yang merupakan hak asasi bayi, 2. Berikan hak cuti melahirkan selama 6 bulan, 3. Penuhi hak menyusui bagi perempuan pekerja, 4. Sediakan ruang laktASI di tempat kerja, dan 5. Berikan edukASI bagi pekerja menyusui. Sementara itu KPO PRP membagikan selebaran dan menjual koran “Arah Juang”. Selebaran KPO PRP Yogyakarta mengkritisi seruan pembangunan partai alternatif yang digaungkan oleh Gerakan Buruh Indonesia (GBI).”[5]

Dalam May Day 2016: “Dengan adanya kebebasan propaganda di ARPY, elemen yang tergabung di dalamnya juga mengeluarkan propaganda khususnya. Lingkar Studi Sosialis (LSS) menyerukan persatuan antara kaum muda, buruh dan rakyat tertindas lainnya. Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) mempropagandakan perlunya melawan gerakan fasis, rasis, seksis oleh kelompok reaksioner/ultra kanan, melalui solidaritas, persatuan, dan mobilisasi rakyat. KPO PRP selain membagi-bagikan selebaran “Lawan Kriminalsasi, Rebut Demokrasi” juga mendistribusikan koran Arah Juang dan Bumi Rakyat. Sementara itu FPBI cabang Yogyakarta menyebarkan selebaran yang menyerukan Konsolidasi Politik Gerakan Buruh, Cabut PP no. 78, tolak pasar bebas, dan seruan buruh memimpin gerakan rakyat. Militan Indonesia dengan korannya, dan LBH Yogyakarta menyebarkan buletin SAKSI-nya.”[6]

Kebebasan propaganda juga semakin diterima oleh beberapa kelompok. Dalam peringatan 21 Mei setahun yang lalu, poster ajakan memampang jelas tulisan bebas propaganda. Sementara itu Gerakan Nasional Pendidikan yang pada Hari Pendidikan Nasional 2015 masih menolak kebebasan propaganda. Menurut informasi dari PEMBEBASAN (Pusat Perjuangan Pembebasan Nasional), GNP pada hari pendidikan nasional 2016 berhasil diyakinkan harus memberikan kebebasan propaganda di dalam aliansinya.

Hampir semua organisasi yang menolak kebebasan propaganda seutuhnya adalah justru organisasi yang pernah berada di satu aliansi dengan kebebasan propaganda dijalankan. Yaitu: PPR, Pembebasan, LPM Rhetor, PSB, PRD, FMPR, SMI (mahasiswa) dan AJI. Bahkan seperti PPR termasuk yang pertama berbicara mengenai kebebasan propaganda terkait berhadap-hadapan dengan elit-elit birokrasi serikat buruh.

Esensi Front

Kapitalisme dan penindasan yang dibawanya tidak bisa terhindarkan memunculkan berbagai metode perlawanan, individual maupun organisasi; memunculkan berbagai bentuk organisasi; mengembangkan berbagai tingkat kesadaran. Dan yang dominan adalah kesadaran, dan turunannya pada bentuk-bentuk organisasi, yang menolak bagian terburuk dari penindasan kapitalisme dan berusaha untuk memperbaikinya.  Minoritas kecil yang menyadari bahwa untuk mengakhiri penindasan kapitalisme maka kapitalisme itu sendiri harus dihancurkan. Dan sebuah tatanan masyarakat baru harus dibangun.

Dalam waktu-waktu tertentu penindasan kapitalisme akan memunculkan dorongan untuk adanya perlawanan bersama diantara berbagai kelompok rakyat tertindas. Disitulah taktik front digunakan, front berfungsi untuk menghimpun sebanyak mungkin kekuatan, organisasi maupun individu, dalam membela kepentingan-kepentingan mendesak kelas buruh dan rakyat dari serangan kelas borjuis.

Melawan serangan kelas borjuis tersebut kemudian dimanifestasikan terutama dalam aksi massa. Dalam aksi massa bersama itu massa dapat belajar mengenai kekuatannya sendiri. Belajar mengenai kekuatan kolektif dan solidaritas sesama kelas buruh dan rakyat tertindas.

Dalam konteks saat ini kepentingan mendesak kita adalah serangan-serangan terhadap ruang demokrasi, menguatnya militerisme yang keduanya berhubungan dengan akses ekonomi yang dikuasai oleh segelintir pemilik modal. Berbagai organisasi dan individu kemudian berkumpul bersama untuk mempertahankan kepentingan mendesak tersebut.

Namun adalah sebuah kesalahan ketika menganggap bahwa bergabungnya berbagai organisasi dan individu itu berarti semua harus seragam dalam semua segi. Lebih fatal lagi ketika berbagai perbedaan tersebut ingin dihapuskan dengan paksaan.

Seperti kata-kata dari Forum LSM yang menuntut pemberian sanksi terhadap organisasi yang keluar dari KBR 1998. Ataupun koordinator KBR 1998 yang mengatakan bahwa penjelasan dari organisasi yang keluar dari KBR 1998 harus diverifikasi dahulu oleh KBR 1998. Bahkan pernyataan bahwa dalam demokrasi memang harus ada yang dikorbankan.

Sementara PEMBEBASAN yang menggunakan dalih bahwa karena adanya kemungkinan bagi organisasi-organisasi untuk keluar paska voting maka PEMBEBASAN berubah posisi dari mendukung kebebasan propaganda seutuh-utuhnya menjadi pilihan 1, yaitu organisasi anggota aliansi tidak boleh membuat selebarannya sendiri.

Keberadaan sebuah front justru karena memang ada berbagai macam organisasi dan individu yang berkumpul bersama dengan landasan kepentingan mendesaknya. Diluar dari itu ada ideologi, perspektif dan bahkan tradisi organisasi yang berbeda. Itulah kenapa tuntutan demokrasi seutuh-utuhnya menjadi dua kali lipat pentingnya. Demokrasi seutuh-utuhnya merupakan solusi untuk kemajuan bangsa ini. Demokrasi itulah yang menjadi landasan penguat bagi sebuah front persatuan.

Memang betul sekali bahwa front tidak akan ada gunanya jika tidak bisa bersama-sama melancarkan perlawanan terhadap serangan kelas borjuis. Tapi bukankah sudah berulang kali ditegas-tegas-tegaskan bahwa persatuan juga harus dilandasi oleh prinsip. Kita tidak menolak adanya kedisiplinan dalam aksi disebuah front persatuan. Pun begitu bersamaan dengannya kaum revolusioner dituntut untuk “mempertahankan hak dan kesempatan untuk bersuara, tidak saja sebelum dan sesudah aksi namun jika dibutuhkan saat aksi dilancarkan…”.[7]

Namun “kesempatan untuk bersuara” itu dibatasi oleh Komite Bersama Reformasi 1998. Oleh karena itu KPO PRP menyatakan keluar dari Komite Bersama Reformasi 1998. Kemudian dengan mempertimbangkan kemungkinan serta kemampuan subjektif, KPO PRP bersama beberapa organisasi lain membentuk Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan melakukan aksi bagi-bagi selebaran di pertigaan UIN. Kemudian berusaha memberikan solidaritas dan membagi-bagikan selebaran di Deklarasi Forum Intelektual Progresif.

Tugas-tugas Memajukan Gerakan dan Fungsi Kebebasan Propaganda

Penolakan terhadap kebebasan propaganda seutuh-utuhnya berulang kali menekankan anggapan bahwa ketika organisasi-organisasi anggota front diberikan kebebasan untuk membuat selebaran sendiri maka itu akan menutup isu utama dan melemahkan front itu sendiri. Benarkah demikian? Sama sekali tidak

Kami tidak akan berkutat pada persoalan-persoalan teknis jumlah selebaran. Logika sederhana saja, jika semakin besar mobilisasi massa, semakin besar persatuannya maka akan bisa lebih banyak selebaran front yang disebarluaskan. Ataupun argumentasi mengenai menutupi isu di media massa mainstream, sebenarnya sejak kapan gerakan bisa mengontrol apa yang dimuat dan tidak dimuat di media massa yang dikontrol oleh para pemilik modal itu?

Salah satu point penting dalam front adalah aksi massa bersama yang dilancarkannya. Semakin persatuan serta mobilisasi massa besar bisa terjadi maka semakin besar juga capaian tuntutan front tersebut.

Demokrasi seutuh-utuhnya (salah satu manifestasinya adalah kebebasan propaganda seutuh-utuhnya) di dalam sebuah front memberikan landasan bagi kemampuan membangun persatuan luas dan menguatkannya. Setiap organisasi bersatu bersama memperjuangkan kepentingan mendesaknya. Disisi yang lain perbedaan perspektif, ideologi dan tradisi dari berbagai macam organisasi tetap diberikan ruang. Tentunya selama tidak bertentangan dengan isu utama. Ini menjadi sangat bermanfaat juga bagi bagian-bagian dari rakyat tertindas yang ruang demokrasinya direpresi luar biasa.

Kebenaran perspektif ini bisa terlihat dari komposisi hasil voting. Kawan-kawan yang paling ditindas oleh kapitalisme menyetujui kebebasan propaganda. Kawan-kawan Papua dan LGBT yang ruang demokrasinya diberangus dimana-mana. Ditambah dengan rasisme dan homofobia yang terus menerus dikumandangkan oleh para pemilik modal.

Dengan propaganda dari masing-masing organisasi tersebut setidaknya juga memungkinkan untuk semakin menunjukan berbagai segi penindasan kapitalisme, didalamnya termasuk pemberangusan demokrasi.

Namun kita tidak dapat melupakan point yang paling penting dari kebebasan propaganda itu sendiri. Yaitu adanya ruang bagi kaum revolusioner untuk menjelaskan tujuan-tujuan revolusionernya seutuh-utuhnya. Bagaimana merangkum, menjeneralisasi serta mengambil kesimpulan-kesimpulan dari berbagai pemberangusan demokrasi. Seperti menjelaskan bahwa kelas buruh harus menjadi pelopor dalam perjuangan demokrasi. Bahwa demokrasi tidak bisa dititipkan pada kelas borjuis. Bahwa demokrasi seutuh-utuhnya akan membuka jalan bagi perjuangan untuk menghancurkan akar penindasan kelas buruh dan rakyat, yaitu kapitalisme. Demokrasi seutuh-utuhnya akan menjadi salah satu landasan bagi pembangunan tatanan masyarakat baru, yaitu sosialisme.

Pada akhirnya demokrasi setengah-setengah bukanlah demokrasi. Demikian juga kebebasan propaganda setengah-setengah bukanlah kebebasan propaganda. Penolakan terhadap kebebasan propaganda seutuh-utuhnya sebenarnya menunjukan penolakan untuk menerima program-program demokrasi secara menyeluruh. Atau setidaknya itu yang menjadi konsekwensi dari penolakan terhadap kebebasan propaganda seutuh-utuhnya.

[1] http://solidaritasperjuangandemokrasi.net/profil-solidaritas-perjuangan-demokrasi-spd/

[2] https://m.tempo.co/read/news/2016/05/10/078769774/gerakan-selamatkan-jogja-berdemo-tuntut-kompol-sigit-dicopot

[3] http://solidaritasperjuangandemokrasi.net/trilogi-penyerangan-forum-diskusi-di-yogyakarta/

[4] Selebaran bersama dari KPO PRP, PPR dan Politik Rakyat saat aksi Komite Aksi May Day: https://koranpembebasan.wordpress.com/2013/05/05/buruh-berkuasa-rakyat-sejahtera/

[5] http://www.arahjuang.com/2015/05/05/peringatan-mayday-2015-di-yogyakarta/

[6] http://www.arahjuang.com/2016/05/07/may-day-yogyakarta-upaya-membangun-persatuan-di-tengah-cengkraman-elit-birokrasi-serikat-buruh/

[7] https://www.marxists.org/history/international/comintern/4th-congress/united-front.htm

Loading

Comment here