- Penegakan supremasi hukum;
- Pemberantasan KKN;
- Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya;
- Amandemen UUD 1945;
- Pencabutan dwifungsi TNI/Polri;
- Pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.
18 tahun lalu, enam tuntutan itu digemakan gelombang demonstrasi massal dari pelbagai penjuru. Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, semua berkonsolidasi dan bergerak untuk satu tujuan: menurunkan Soeharto dan memulai reformasi. Gelombang demonstrasi itulah yang membuat Soeharto, pemimpin rezim militeristik orde baru menyatakan berhenti dari jabatannya selaku Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Namun sayang, kekuasaan dan militerisme Orde Baru tidak pernah benar-benar jatuh. Kekuatannya masih bercokol dan beranak pinak menjadi oligarki yang kuat mencengkram segala lini kehidupan masyarakat, membajak cita-cita reformasi dan menggerogoti demokrasi.
Kebangkitan orde baru dan militerisme ditandai dengan pengusulan gelar Pahlawan bagi Soeharto, pemberangusan kebebasan berkumpul, berpendapat, berekspresi, dan berpikir. Bahkan kebebasan akademik mulai satu per satu dihadang oleh kekuatan yang dihimpun oleh oligark.
Dengan megabaikan supremasi sipil dan supremasi hukum, militer menjadi penafsir tunggal kehidupan berbangsa, penafsir tunggal ideologi Pancasila dan konstitusi. Atas nama Pancasila dan NKRI, mereka mengaburkan agenda-agenda reformasi. Agenda upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan berbagai gerakan masyarakat sipil menuntut keadilan justru dikaburkan dengan memunculkan isu palsu kebangkitan komunisme, LGBT, dan separatisme.
Agenda reformasi pemberantasan KKN gagal mewujudkan transparansi anggaran di tubuh TNI dan gagal menghentikan keterlibatan TNI dalam bisnis.
Agenda pencabutan dwifungsi ABRI/TNI dikerdilkan dengan munculnya kembali aturan perundang-undangan yang mengupayakan kembali keterlibatan TNI dalam berbagai kehidupan sipil, seperti munculnya Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, Rancangan Perubahan UU Terorisme, Rancangan Undang-undang Pilkada, Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional.
Keterlibatan TNI dalam keseluruhan upaya penyelesaian konflik (penggusuran, intoleransi, pembagunan) justru semakin memperburuk kondisi sipil. Terlebih lagi dalam penyelesaian konflik di wilayah Papua. Dominasi TNI telah meruntuhkan seluruh tatanan supremasi hukum dan pemenuhan hak asasi manusia bagi rakyat Papua. Reformasi ’98 gagal mengakhiri penutupan akses jurnalis asing ke Papua, pembunuhan dan penghilangan aktivis-aktivis Papua, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembungkaman kemerdekaan berekspresi dan berkumpul, pengabaian hak-hak masyarakat adat di Papua, eksploitasi sumber daya alam yang merusak alam Papua, dan lain sebagainya.
Untuk itu Gema Demokrasi kembali mengajak seluruh masyarakat sipil bergerak melakukan konsolidasi merebut demokrasi dan supremasi hukum yang sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Saatnya menyerukan, “Demokrasi Seluas-luasnya, Lawan Kebangkitan Militerisme dan Orde Baru!” dengan menuntut:
- Presiden Joko Widodo bersikap tegas menjalankan kewenangannya selaku Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Panglima Tertinggi TNI, serta menjaga supremasi hukum dan supremasi sipil.
- Presiden Joko Widodo menghentikan seluruh bentuk pemberangusan kemerdekaan berkumpul, berorganisasi, berekspresi.
- Presiden Joko Widodo memulihkan dan menjamin kebebasan akademik yang lepas dari segala bentuk militerisme.
- Presiden Joko Widodo kembali menegakkan supremasi sipil atas militer dengan membubarkan komando teritorial serta menempatkan kembali militer ke barak, jangan campuri urusan sipil.
- Presiden Joko Widodo harus memerintahkan menindak tegas segala bentuk penindakan hukum yang sewenang-wenang seperti:
- pemberangusan buku tanpa melalui proses peradilan
- penangkapan dan penahanan sewenang-wenang
- kriminalisasi aktivis dan gerakan rakyat
- Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri untuk menindak tegas segala bentuk main hakim sendiri, kekerasan dan pelanggaran hukum oleh kelompok intoleran.
- Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR melanjutkan reformasi hukum untuk menyisir dan mencabut semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, dan demokrasi.
- Presiden Joko Widodo memastikan berjalannya penegakkan hukum dan menghentikan praktik impunitas.
- Presiden Joko Widodo menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto
- Presiden Joko Widodo selaku Panglima Tertinggi TNI menarik seluruh tentara organik, dan menghentikan cara-cara militeristik dan pembungkaman demokrasi dalam penyelesaian konflik Papua.
- Presiden Joko Widodo menghapuskan segala bentuk keterlibatan militer dalam dunia usaha/bisnis.
Jakarta, 21 Mei 2016
GEMA DEMOKRASI
AJI Indonesia, LBH Pers, LBH Jakarta, KontraS, Elsam, SEJUK, SAFENET, PPRI (KPO PRP, SGMK, SGBN, PPR, GSPB, FSedar, SPRI, Solidaritas.net, SeBUMI, Pembebasan), YLBHI, KPRI Jakarta, PRP, INFID, ITP/Institut Titian Perdamaian, PULIH Area Aceh, Pergerakan Indonesia, PurpleCode, IMPARSIAL, Komite Pembaruan Agraria (KPA), Ultimus, IPT ‘65, Belok Kiri Festival, YouthProactive, Remotivi, Gereja Komunitas Anugrah, ICJR, KPJKB Makassar, LBH Bandung, Arus Pelangi, LBH Semarang, Sanggar Bumi Tarung, LBH Pers Padang, Perempuan Mahardika, Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK), komunalstensil, Yayasan Satu Keadilan, KASBI, FNKSDA, Gusdurian, Politik Rakyat, Ingat65, Desantara,
dan individu-individu yang peduli pada masa depan demokrasi Indonesia.
Narahubung:
- Asep Komarudin : 081310728770
- Dhyta Caturani : 089608699968
- Pratiwi Febry : 081387400670
Comment here