AksiPernyataan Sikap

Rebut Demokrasi Seluas-luasnya Untuk Rakyat, Lawan Militerisme dan Kebangkitan Orde Baru

3“Setelah 32 tahun ruang demokrasi di Indonesia ditutup oleh rezim orde baru, REFORMASI 1998 berhasil mendobrak dan membuka ruang demokrasi dengan banyak pengorbanan dan perjuangan persatuan rakyat.Pemberangusan demokrasi, banyaknya rakyat yang tertindas dan kasus pelanggaran HAM hari-hari ini kembali marak, akankah rakyat diam saja?”

18 tahun lalu, pada 21 Mei 1998 presiden yang korup dan lalim Soeharto terpaksa melengserkan diri usai dihantam oleh gelombang demonstrasi masal dari pelbagai penjuru tanah air. Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, seniman semua berkonsolidasi dan bergerak untuk satu tujuan: menurunkan Soeharto dan memulai REFORMASI.

Namun faktanya, Soeharto tidak benar-benar tumbang. Kekuatannya dalam wujud rezim Orde Baru masih bercokol dan terus menjadi oligarki yang kuat memegang segala lini kehidupan masyarakat. Budaya demokrasi yang diharapkan muncul berpihak kepada rakyat tidak kunjung terjadi, alih-alih kebebasan berkumpul, berpendapat, berekspresi bahkan kebebasan akademik mulai satu per satu dihadang oleh kekuatan yang dihimpun oleh oligarki.

Laten militeristik kembali hadir sebagai solusi untuk menangani persoalan bangsa, seperti di Papua Barat, begitu juga menghidupkan kembali musuh-musuh palsu seperti komunisme dan LGBT untuk menutupi borok persoalan sesungguhnya yakni kemiskinan dan ketidakadilan akses dan kepemilikan alat produksi sebagai akar persoalan. Pembredelan, represi kepada rakyat yang berjuang terhadap haknya, sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, kriminalisasi diantaranya menjadi watak orde baru. Cara-cara militeristik juga digunakan oleh kelompok tertentu secara sistematik dan massif untuk menghambat demokrasi dan menghina proses rekonsiliasi yang tengah dibangun oleh negara ini terhadap pelanggaran kemanusiaan di masa lalu.

Di saat yang sama, sistem ekonomi Indonesia makin terperosok dalam jeratan dan model kapitalisme neoliberal. Kepentingan modal asing menjadi tonggak yang diagungkan. Cita-cita kedaulatan ekonomi saat ini adalah ilusi yang diciptakan.

Dalam konteks Yogyakarta, kita melihat pelbagai pembangunan infrastruktur berjalan mulus bagi kepentingan modal besar dan kepentingan kelompok elit lain, BUKAN untuk Rakyat. Misalnya, dalam warna sikap kebijakan keraton dan pakualaman soal pengaturan tanah SG dan PAG yang telah didorong bersamaan dengan UU Keistimewaan. Investasi modal besar dipermudah dan megaproyek strategis dipercepat. Bahkan dengan jalan hutang pada lembaga keuangan internasional, sementara upah buruh dan kedaulatan buruh semakin dihambat.

Buruh semakin diperas dan dicekik. PP No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan tak kunjung dicabut, menjadikan muara yang menyengsarakan sekitar 90 juta pekerja formal di Indonesia. Kerja kontrak dan outsorching, serta bergabungnya Indonesia masuk ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) semakin mencekik keadaan buruh.

Percepatan pembangunan menyengsarakan rakyat. Pembangunan hotel, apartemen, dan bandara yang hanya menguntungkan elite tersebut semakin menggeser jumlah pohon, ruang hidup di Jogja. Imbas lain terjadi pada perampasan tanah kaum petani atau aset keberlangsungan hidup seperti air. Seperti konflik yang terjadi pada Petani PPLP, WTT, Watu Kodok, serta warga-warga yang terdampak, karena pembangunan tersebut. Perjuangan warga merebut haknya, harus berhadapan dengan aparat kepolisian dan militer.

Di sisi yang lain, kriminalisasi juga menjadi cara untuk menghadang perlawanan rakyat. Sepanjang tahun 2016 saja, Penangkapan Adlun Fikri dan Supriyadi, 28 aktivis serikat buruh dikriminalisasi, Salim kancil dibunuh, dua orang pengacara dikriminalisasi, mahasiswa, seniman, lebih dari 2300 rakyat Papua, serta para petani ditangkap dan dipenjara. Kaum miskin kota, pekerja seks dan LGBT juga dikriminalisasi, ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang melalui peraturan daerah yang diskriminatif, contohnya Perda DIY no. 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dan Perda Ketertiban Umum. Surat Edaran Gubernur DIY tentang larangan pengoperasian becak motor di DIY mengkriminalisasi pengemudi becak motor.

Kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak belum mampu ditangani oleh negara melalui aparat penegak hukum, terutama dikarenakan kurangnya perspektif hak perempuan dan anak. Menurut catatan Komnas Perempuan, 40% pelaporan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan mandeg di kepolisian.

Negara juga semakin terang-terangan memberi dukungan atas penggunaan cara-cara kekerasan, teror dan intimidasi pada setiap kebijakan pembangunannya. Negara bersama aparatnya membangkitkan ideologi reaksioner berbahaya seperti nasionalisme sempit, homofobia dan transfobia, rasisme, fobia pada kaum miskin kota, serta fobia pada gagasan-gagasan kritis yang berkembang di masyarakat.

Deretan pelanggaran HAM masih begitu panjang. Kelompok agama dan keyakinan minoritas dibatasi Negara melalui Pemda dengan tidak memberikan izin IMB bagi rumah ibadah. Pembatasan ini kemudian memberi ruang bagi kelompok intoleran menyebarkan stigma ‘sesat’ yang justru menyesatkan, kemudian melakukan represi dan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Februari 2016, ujaran kebencian dan seruan pembunuhan terhadap kaum LGBT diserukan kelompok milisi reaksioner.

Kebebasan akademik di kampus dan ruang seni diberangus. Di Yogyakarta, sepanjang tahun 2015, puluhan diskusi hingga pemutaran film di kampus dibubarkan atau dilarang. Kebangkitan watak politik anti demokrasi justru dipertontonkan melalui pelbagai pemberangusan buku, media-media literasi lainnya, termasuk juga pemberangusan ruang berekspresi, berkarya dan demokrasi pada pekerja seni.

PENTING bagi seluruh rakyat untuk mengingat kembali spirit dan semangat perjuangan Reformasi 1998, sebuah semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk bebas dari belenggu represif kekuasaan negara. Sebuah perjuangan pembebasan dari deretan kejahatan kemanusiaan: pembantaian massal tahun 1965, kasus Tanjung Priok, pembantaian rakyat Aceh dan rakyat Papua, pembantaian di Timor Leste, di Jakarta saat 27 Juli 1996, Kasus pembunuhan jurnalis Udin sejak tahun 1996. pembunuhan Marsinah di Jawa Timur tahun 1993, pembunuhan Munir, penculikan aktivis, kekerasan rasial dan seksual terhadap etnis tionghoa 1998, penembakan misterius, dan lain sebagainya belum terungkap keadilannya.

“Pengungkapan kebenaran dan Pengadilan HAM dibutuhkan agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang bermartabat dan berkemanusiaan!”

Untuk itulah sekali lagi perlu digerakkan gelombang demonstrasi dari masyarakat luas untuk DEMOKRASI YANG SEJATI. Aliansi Rakyat untuk Demokrasi bersama berbagai elemen rakyat menyerukan:

(1) Kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, berideologi, beragama, berkeyakinan, berekspresi, kebebasan pers, kebebasan orientasi dan identitas seksual, hak menentukan nasib sendiri serta hak-hak demokratik lainnya yang sudah dimandatkan dalam cita-cita republik ini. Cabut dan mengkoreksi kembali semua produk hukum yang menghambat dan membelenggu demokrasi seperti (TAP MPRS XXV Tahun 1966, UU Intelijen, UU Ormas, UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Kamnas, RUU KUHP, RUU Keamanan Nasional, dsb.

(2) Kembalikan sepenuhnya pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat. Hak dasar kedaulatan ekonomi diberikan sepenuhnya oleh dan untuk masyarakat. Menolak segala bentuk eksploitasi dan intervensi modal asing dalam pengelolaan aset sumber daya alam Indonesia dan cabut segala peraturan kebijakan yang menjadi legalitas untuk eksploitasi dan perampokan sumber kekayaan alam.

(3) Menolak segala bentuk watak militerisme dan penggunaan cara-cara kekerasan, teror, intimidasi dan tindakan represif aparat keamanan negara (militer dan polisi) yang telah terbukti telah melumpuhkan sendi-sendi demokrasi. Pembubaran fungsi teritorial militer dari Kodim sampai Babinsa menjadi relevan dilakukan dengan menimbang spirit reformasi dan terbangunnya institusi kemiliteran modern ke depan. Bangun dan konsolidasikan kekuatan rakyat demokratik dan perluasan mobilisasi kekuatan rakyat untuk melawan segala bentuk watak dan tindakan milisi sipil kekerasan reaksioner yang banyak terbukti melawan demokrasi dan mengancam hal kedaulatan dan kenyamanan warga masyarakat. Milisi sipil kekerasan anti demokrasi justru sering dipakai oleh kepentingan kekuasaan negara yang jauh dari semangat penghargaan atas hak dasar mastabat manusia dan tentu akan mengancam bangunan cita-cita demokrasi itu sendiri.

Mari rakyat, bergabung untuk mendorong demokrasi seluas-luasnya dan mencegah militerisme kembali merusak demokrasi!

Yogyakarta, 21 Mei 2016
Aliansi Rakyat untuk Demokrasi

Loading

Comment here