AksiPerempuan dan LGBTPernyataan Sikap

Panggung Demokrasi: Marsinah Menggugat

IMG-20160514-WA0012Marsinah melawan: Kapitalisme, Orde Baru dan Militerisme.
23 Tahun, ‘Marsinah’ Masih hidup!
Ayo, Rakyat Bersatu : Rebut Demokrasi!
Lawan Fasisme! Lawan Kapitalisme! dan bersama kita melawan lupa!

23 tahun yang lalu, pada 8 Mei 1993 jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari tempat tinggalnya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Jasad Marsinah ditemukan pada 9 Mei 1993 setelah hilang pada tanggal 5 Mei 1993, tapi dia meninggal dari 8 Mei 1993. Tubuh Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka, pergelangan tangannya lecet bekas ikatan, tulang selangkangan dan vagina hancur.

Sebelum ditemukan meninggal, ia terlibat aktif dalam perjuangan buruh PT Catur Putra Surya. Ia terlibat aktif dalam perlawanan untuk menuntut kenaikan upah sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, No. 50/Th. 1992, dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Vokalitasnya dalam menuntut kenaikan upah 20 persen dari gaji pokok di pabrik arloji PT Catur Putra Surya tempat ia bekerja, berujung pada penghilangan nyawanya. Jasad Marsinah ditemukan setelah dia marah kepada Kodim Sidoarjo karena telah menangkap 13 teman Marsinah dan ditekan secara fisik dan psikologis, dipaksa menandatangi surat PHK. Kalau melihat kondisi tersebut sudah hampir dipastikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual.

Kasus Marsinah kembali menegaskan pola yang dilakukan oleh negara pada masa orde baru untuk menggunakan kekerasan seksual atas perempuan secara sistemik. Negara menggunakan kekerasan seksual untuk memaksakan otoritas, meneror individu atau kelompok, serta untuk mempermalukan dan mengerdilkan manusia itu sendiri. Stigmatisasi melalui kampanye hitam yang secara terus-menerus digaungkan oleh Orde Baru juga berakibat pada perempuan aktivis, dalam hal ini adalah Marsinah yang memperjuangkan hak-hak pekerja kemudian dinistakan, dihinakan, disiksa, lalu dihilangkan nyawanya. Lebih jauh lagi, kekerasan seksual ini juga harus dipahami berakar pada struktur sosial dan ekonomi sistem kapitalis/ kapitalisme, sebuah masyarakat klas yang membawa alienasi manusia sampai pada titik ekstrimnya.

Kini, setelah hampir 18 tahun reformasi, 23 tahun kematian Marsinah tidak ada keadilan dan pengungkapan kebenaran kematiannya. Kasusnya di peradilan sudah ditutup. Namun, kerumitan jalan cerita pembunuhannya tak pernah terungkap di pengadilan secara jujur. Ketika Orde baru masih berkuasa, rezim dimana Marsinah hidup dan dibunuh, mereka mengadili kematian Marsinah dengan penuh rekayasa. Rezim mengadili pemilik PT CPS, para manager perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, seorang satpam dan seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggi Surabaya setahun kemudian. Dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung. Keterlibatan tentara (ABRI) tidak pernah terbongkar. Bahwa yang membunuh Marsinah adalah rezim itu sendiri. Hal tersebut jelas menunjukkan betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk menegakkan keadilan.

Bahkan saat rejim berganti, ketika pemerintahan Habibie maupun Gus Dur menunjukkan niatnya untuk mengungkap kejahatan rezim lama itu. Bahkan, pada tahun 2002 Komnas HAM berupaya untuk membuka kembali kasus Marsinah dan itu pun gagal menguak kembali pembunuh sebenarnya dalam kasus Marsinah. Hingga rezim Jokowi beserta elit politiknya hari ini yang menjanjikan nawacita dan segala bentuk lainnya, mengatakan bahwa akan meminta maaf atas semua pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau, sampai hari ini belum juga dilakukan. Sampai hari ini tak ada ‘hasil’ apapun yang dicapai dari hiruk-pikuk wacana itu.
Pemerintahan era Reformasi selalu gagal dalam menyelesaikan kasus HAM karena tidak ada keseriusan dalam menyelesaikannya. Janji-janji untuk menyelesaikan kasus Marsinah dan Hak Asasi Manusia dalam setiap pemilu hanya menjadi isapan jempol belaka. Kasus Marsinah, merupakan salah satu wujud catatan hitam bagi penegakan keadilan dan demokrasi di Indonesia. Bagaimanapun, pemerintahan sampai hari ini adalah pemerintahan elit borjuis dimana sisa-sisa orde baru masih sangat melekat.

Cerita jaman Orde Baru, bahwa intimidasi terhadap rakyat cukup kuat kini sedang mencoba diulang kembali dibawah rezim Jokowi. Setelah pemerintahan sebelumnya pun tetap ada intimidasi yang dilakukan terhadap gerakan rakyat hususnya. Kekuasaan orde baru, dimana militer terlibat langsung dan menjadi bagian dari pola penyelesaian sistem pemerintahan masih eksis sampai hari ini. Mereka diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung represif guna menghentikan perlawanan gerakan rakyat.

Propaganda Orde Baru yang masih massif hari ini terlihat dari pemberangusan ruang-ruang demokrasi yang merajalela disegala aktivitas yang dianggap mengancam stabilitas negara. Mulai dari ranah akademik pembubaran diskusi dan pemutaran film oleh kelompok-kelompok reaksioner baik di ruang kampus maupun di ruang publik, intimidasi terhadap kelompok minoritas LGBT, merepresi, mengkriminalisasi pejuang-pejuang rakyat Papua, kriminalisasi dan represifitas terhadap gerakan buruh, bahkan isu anti komunis dan penangkapan-penangkapan aktivis semakin massif terjadi. Ini merupakan ancaman pemberangusan ruang demokrasi guna melancarkan stabilitas ekonomi kapitalisme di Indonesia.

Artinya, apa yang diperjuangkan Marsinah, apa yang dilawan Marsinah belum selesai sampai hari ini. Marsinah adalah gambaran buruh perempuan yang menjadi korban dari kolaborasi antara pemilik modal dan tentara (aparat negara). Kolaborasi antara pemilik modal dan aparat negara bukan hal yang aneh, karena dalam konsep negara/pemerintah borjuis keberpihakan adalah kepada modal. Aparat negara akan selalu dibutuhkan dan digunakan untuk menjaga alat-alat produksi milik pemodal.

Hari ini rakyat pekerja juga kembali dihadapkan dengan kriminalisasi. Saat ini setidaknya terdapat dua puluh tiga buruh, 2 pengacara LBH Jakarta serta 1 mahasiswa yang dikriminalisasi karena melakukan aksi penolakan PP Pengupahan di Istana Negara. Dua orang buruh, Saiful Anam dan Eko yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE karena mengungkap praktek sistem kerja kontrak di perusahaannya. Di Jawa Timur, dua orang buruh Abdul Hakam dan Agus Budiono di vonis 3 bulan penjara dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan karena memperjuangkan ribuan buruh outsourcing di PT Petro Kimia Gresik agar menjadi pekerja tetap.

Kriminalisasi saat ini atau dua dekade lalu dibawah Rejim Militer Soeharto; apapun undang-undang yang digunakan, entah itu UU ITE, KUHP, UU Subversif, dsb, dsb motivasinya tetap sama. Motivasinya adalah untuk mempertahankan dan menjalankan tatanan kapitalisme ini serta menindas perlawanan kelas buruh dan rakyat. Kriminalisasi ini merupakan bagian dari dirampasnya ruang-ruang demokrasi agar kapitalisme dapat berjalan tanpa gangguan.

Maka, dalam momen 23 tahun kematian Marsinah ini, Komite Perjuangan Perempuan Yogyakarta bersama elemen gerakan lainnya, menyerukan:
1. Persatuan seluruh elemen gerakan rakyat, untuk merebut Demokrasi, Lawan Fasisme, Hancurkan Kapitalisme!
2. Melawan lupa kejahatan Orde Baru terhadap Marsinah dan korban-korban pelanggaran HAM lainnya. Usut tuntas kasus pelanggaran HAM dan hukum penjahat HAM.
3. Lawan kriminalisasi aktivis dan buruh yang memperjuangkan hak-haknya.
4. Menghentikan semua eksploitasi terhadap kelas buruh dan rakyat seperti menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Hal inilah yang dulu juga diperjuangan oleh Marsinah sampai titik darah penghabisan.

Kontak Penyelenggara
Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta
FP : Komite Perjuangan Perempuan – KPP Yogyakarta | Cp. +6287763134104

Loading

Comment here