KebudayaanOpini Pembaca

Perang Sipil (Bukan) Perang Saudara (Bukan) Perang Kelas

CACWHanya selang beberapa bulan pasca Batman v Superman (BS), kita sudah disuguhi film bertema bentrokan antar super hero atau pahlawan super dalam Captain America: Civil War (CACW). Namun CACW bukan sekadar balasan terhadap BS melainkan juga cerminan sosio-politik hari ini.

*

Plot CACW bisa diringkas sebagai berikut: Lima tahun sejak bentrokan super hero melawan musuh-musuhnya, berbagai pemerintah di dunia memutuskan mendorong Sokovia Accord, perjanjian yang mewajibkan agar para individu berkekuatan super, khususnya The Avengers mendaftar ke pemerintah dan berada dalam pengawasan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun Steve Rogers alias Captain America tidak bisa menerimanya karena ini berarti menyerahkan moralitas Superhero ke bawah politik praktis, sementara Tony Stark alias Iron Man, menyatakan kalau mereka terus-menerus bertindak di atas hukum dan main hakim sendiri tanpa pengawasan maka mereka tidak ada bedanya dengan kriminal. Ini diperparah dengan serangan teroris yang diduga dilakukan Bucky, kawan lama Captain America, terhadap pertemuan PBB. Tony Stark menganggap Bucky harus ditangkap sementara Steve Rogers yakin sebenarnya Bucky dijebak. Pertentangan pandangan antara keduanya menyeret semua anggota Avengers serta membelahnya ke dalam dua faksi berlawanan: Team Cap dan Team Ironman.

*

Logika perumusan, penandatanganan, dan pengesahan Sokovia Accord dilatarbelakangi besarnya kerusakan serta korban jiwa akibat bentrokan-bentrokan antara manusia super, khususnya yang tergabung dalam Avengers, dalam melawan musuh-musuhnya. Persetujuan besar dari 117 negara terhadap Sokovia Accord akhirnya dicapai setelah insiden tewasnya puluhan korban jiwa dari kalangan rakyat sipil dalam serbuan Avengers pimpinan Captain America untuk menghentikan operasi HYDRA di negara fiktif Wakanda.

Insiden dan peristiwa di Dunia (fiktif) Marvel ini sebenarnya merupakan sekumpulan metafora cerminan dari ketegangan dan konflik yang ada di dunia nyata di antara para super power. Tentu saja dalam dunia nyata para pemegang super power bukanlah pahlawan super atau mutan melainkan negara-negara kapitalis dan imperialis dengan kekuatan-kekuatan militernya. Pencaplokan Rusia terhadap Crimea, serbuan Arab Saudi terhadap Yemen, perang proxy di Suriah dan Ukraina. Kehancuran bangunan dan jatuhnya korban jiwa di negara fiktif Sokovia sangat menyerupai kehancuran akibat konflik Ukraina yang membombardir Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk.

Namun sebagai suatu cerminan, ia menampilkan kenyataan secara terbalik dan terdistorsi. Serbuan tim Avengers pimpinan Captain America di Wakanda misalnya sebenarnya mencerminkan arogansi Imperialisme Amerika yang berlagak sebagai polisi dunia. Tanpa izin, tanpa permisi, beroperasi di negara lain. Sepanjang sejarah, militer Amerika berkali-kali mengobarkan invasi ke negara lain, (mendukung) kudeta terhadap pemerintahan lain, bahkan mensponsori terorisme yang melayani kepentingannya. Invasi Bush ke Irak dan Afghanistan serta invasi Teluk Babi terhadap Kuba, (mendukung) kudeta terhadap rezim Soekarno di Indonesia dan rezim Allende di Chile, mensponsori terorisme Contra terhadap rezim Sandinista di Nikaragua dan Mujahidin (yang kemudian menjadi rezim fundamentalis Taliban) di Afghanistan menunjukkan wajah buruk rupa nan bengis dari Imperialis AS (serta sekutunya). Alih-alih menunjukkan (dan memblejeti) wajah itu, film CACW malah meriasnya dengan wajah tampan Steve Rogers dan kegagahan Captain America. (Tidak hanya seperti cermin yang terbalik, CACW disini bahkan berfungsi seperti aplikasi Camera 360 yang bisa menghaluskan wajah bopeng-bopeng). Kita bisa melihat lebih jeli bahwa, melalui trilogi film Captain America, ditampilkanlah Amerika(nisme) sebagai ‘penjaga’ perdamaian dunia yang dipersonifikasikan dalam sosok Captain America itu sendiri. Film-film ini menekankan bahwa terlepas dari semua kehancuran dan korban jiwa, operasi-operasi militer AS punya tujuan mulia: menghancurkan (para) penjahat.

Dalam hal ini penjahatnya adalah HYDRA, organisasi pecahan fasis NAZI yang pasca kekalahan Jerman dalam PD II menyusup ke berbagai (badan) pemerintahan serta institusi militer. Namun tentu saja Dunia (fiksi) Sinematik Marvel tidak kekurangan (kelompok) penjahat sebagai tokoh antagonis. Sebut saja HYDRA, Loki dan pasukan Centauri, Ultron dan pasukan robotnya, Thanos, The Mandarin, serta lain sebagainya. Berbeda-beda dan motif latar belakangnya namun satu benang merahnya: sebagai tokoh fiksi, mereka menggeser posisi kaum Imperialis dan kelas penindas sebagai biang kerok permasalahan dunia saat ini.

Melalui Avengers, ditanamkanlah “Bahaya Asing” yang dimetaforakan berupa serbuan pasukan Centauri. Tentu saja “Bahaya Asing” ini merupakan histeria buatan yang menjadi favorit kelas penguasa di AS untuk jadi dalih pembenaran invasi-invasi dan partisipasinya dalam perang-perang Imperialis. Bahwasanya AS dari waktu ke waktu selalu berada di bawah ancaman dari pihak luar dan pihak asing. Dalam bahasa Inggris, pihak luar dan pihak asing ini bisa dipadankan dalam satu kata: ‘Alien’. Melalui Captain America: The Winter Soldier (CATW)—prekuel CACW, Mass Surveillence atau tindakan pemerintah memata-matai warganya secara masif, pemberangusan demokrasi, dan pembatasan bahkan perampasan kebebasan sipil ditampilkan sebagai diakibatkan oleh menyusupnya HYDRA dalam pemerintahan. Bukan karena tindakan dan kebijakan demikian (yang diungkap ke publik oleh Julian Assange, Chelsea Manning, Edward Snowden, dan lainnya) dilakukan demi kepentingan kelas penindas yang berkuasa. Melalui Avengers: Age of Ultron (AAU), ditampilkanlah sosok Ultron yang punya agenda memusnahkan manusia dan alam, sehingga menutupi bahaya pemanasan global yang mengancam keberlangsungan makhluk hidup sekaligus diakibatkan kerusakan alam akibat keserakahan kapitalisme.

Sedangkan dalam CACW, meskipun terdapat tokoh antagonis yang memainkan peran pemecah-belah dan pengadudomba—seperti Lex Luthor dalam BS, sebenarnya konflik sentralnya digeser antara pihak pro-registrasi—dalam hal ini diwakili Iron Man dengan pihak anti-registrasi—yang diwakili Captain America. Namun bila dibandingkan dengan Marvel: Civil War (MCW), serial komik lintas judul sumber inspirasi adaptasi bagi CACW, film ini sebenarnya justru lebih regresif alias lebih mundur. James Crafti dari Socialist Alternative menyatakan, “…komik Civil War kemungkinan merupakan seri buku komik kesukaan saya, karena penuh dengan diskusi politik seputar kebebasan-kebebasan sipil dan analogi-analogi pengajuan Undang-undang Pendaftaran Muslim, McCarthyisme, dan bahkan acuan-acuan ke penjara Teluk Guantanamo…(dalam komiknya para pahlawan super yang menolak mendaftar ke pemerintah kemudian ditangkap dan dijebloskan ke penjara di dimensi lain di luar yurisdiksi AS). Alih-alih menunjukkan hal itu…secara dasar ceritanya digeser ke kisah personal Captain America membela Bucky yang dicuci otak.”

Penggeseran fokus cerita ini dikatakan memang diniatkan para sutradara Russo bersaudara yang beralasan agar membuat film ini tetap menjadi film Captain America dan bukan film Avengers. Namun poin yang ditekankan Crafti tetap berlaku di sini. Alih-alih kita menyaksikan meningkatnya militerisme di AS, penangkapan terhadap para pahlawan super yang menolak bekerja untuk pemerintah AS, malah fokus tema CACW kemudian dibelah dan digeser bukan hanya ke pembelaan Captain America terhadap Bucky namun juga isu (kontra) terorisme dan bukan perang sipil antara tim Iron Man dengan tim Captain America.

Namun bicara soal perang sipil, yang seharusnya menjadi tema utama CACW, ada hal menarik yang perlu diungkap. Sebenarnya terdapat persoalan dalam penerjemahan kata bahasa Inggris “Civil War” ke bahasa Indonesia. Alih-alih menerjemahkannya menjadi perang sipil, mayoritas penerjemahan ke bahasa Indonesia menjadikannya “perang saudara.” Ini sebenarnya menunjukkan kuatnya pengaruh sentimen nasionalisme dalam kebahasaan. Padahal perang sipil berarti perang yang bukan hanya melibatkan tentara profesional atau militer melainkan melibatkan mayoritas penduduk sipil (yang kemudian mengangkat senjata). Dengan menyebut perang sipil sebagai perang saudara maka mengesankan seolah-olah orang-orang berkebangsaan atau bernegara sama memiliki hubungan darah atau hubungan keluarga. Logika turunannya berarti perang sipil merupakan tragedi lebih besar dan lebih patut diratapi daripada perang-perang lainnya. Otomatis, menurut logika ini pula, perang-perang Imperialis (seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan perang-perang invasi/rebutan koloni lainnya) adalah perang-perang yang kurang patut diratapi. Padahal PD I dan PD II mewajibmiliterkan rakyat pekerja untuk saling bunuh-membunuh dengan rakyat pekerja yang diwajibmiliterkan dari negara lain demi kepentingan Imperialis berebut jajahan.

Persis logika inilah yang juga dipakai CACW atau kalau boleh diterjemahkan juga (secara awam) sebagai Kapten Amerika: Perang Saudara. Penerimaan pemahaman atas bentrokan antar pahlawan super dalam CACW karena itu berjalan paralel terhadap penerimaan atas latar belakang para pahlawan super ini yang terbelah oleh garis kelas yang berbeda dan terpecah ke dalam banyak latar belakang sosial yang berlainan. Satu sisi kita mendapati Steve Rogers/Captain America yang punya pangkat setingkat saja di atas prajurit (Kapten merupakan pangkat pimpinan regu beranggotakan 12 prajurit), Bucky Barnes bekas prajurit rekan perang Steve Rogers yang diculik dan dicuci otak oleh HYDRA kemudian dijadikan Winter Soldier sang pembunuh, Hank Pym/Ant Man seorang kriminal kambuhan tapi bukan penjahat—alias lumpen proletar, Peter Parker/Spiderman seorang pelajar SMA dari latar belakang keluarga kelas pekerja yang tinggal di rumah susun, Wanda Maximoff/Scarlet Witch sang imigran sekaligus pengangguran sekaligus yatim piatu, Sam Wilson/Falcon dan James Rhodes/War Machine seorang perwira Angkatan Udara (AU) Amerika Serikat, sedangkan di sisi lainnya kita mendapati Natasha Romanov/Black Widow dan Clint Burton/Hawk Eye sebagai agen SHIELD, Sharon Carter/Agent 13 sebagai agen CIA, Thunderbolt Ross sebagai seorang Jenderal Angkatan Darat (AD) AS, T’hcalla/Black Panther seorang raja dari Wakanda, dan Tony Stark/Iron Man sebagai…tentu saja sebagai kapitalis. Keterbelahan kelas dan keterpecahan latar belakang sosial ini dinormalisir dalam film, sebagaimana dinormalisir pula dalam kehidupan sehari-hari, terlepas bahwasanya sesungguhnya kelas-kelas yang berbeda dan bertentangan memiliki kepentingan yang juga bertentangan. Normalisasi kolaborasi kelas dan masyarakat kelas inilah yang direproduksi pula oleh film CACW. Pesan terselubung CACW, disadari atau tidak menyatakan bahwa perang pahlawan super melawan penjahat super boleh terjadi, perang antar pahlawan super bisa terjadi, namun perang melawan sistem dan kelas penindas yang berkuasa tidak boleh dan tidak bisa terjadi.

Kenyataan bahwa Marvel yang hampir bangkrut akibat krisis kapitalisme kini telah selamat karena diakusisi oleh Disney (yang juga mengakusisi Lucas Arts (beserta seluruh waralaba Star Wars-nya) yang menguasai sekian anak perusahaan dan komoditas dalam jumlah masif di skala dunia, bukan hanya menunjukkan kebenaran pernyataan Lenin tentang Imperialisme Tahapan Tertinggi Kapitalisme dimana salah satu cirinya adalah konsentrasi alat produksi mencapai tahap tertinggi sehingga menciptakan monopoli yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi, namun juga kenyataan bahwasanya film-film Hollywood harus melanggengkan kolaborasi dan masyarakat kelas serta tidak boleh memberi tempat bagi gagasan ataupun sekadar imajinasi atas perjuangan kelas, pembebasan, apalagi kekuasaan kelas buruh.

Jauh-jauh hari Karl Marx dalam Ideologi Jerman menyatakan, “Produksi pemikiran, gagasan, dan kesadaran, pertama-tama saling berhubungan secara langsung tindakan material dan pergaulan material manusia, bahasa kehidupan nyata.” Sedangkan dalam Kontribusi terhadap Kritik Ekonomi Politik ia menambahkan, “Corak produksi kehidupan material menentukan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, namun sebaliknya, keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadarannya.” Sehingga kapitalis sebagai kelas yang memiliki keadaan sosial memonopoli alat-alat produksi serta menguasai kekayaan akibat menghisap dan menindas kelas pekerja perlu memproduksi dan mereproduksi gagasan-gagasan dan kesadaran-kesadaran yang tidak bertentangan, bahkan mendukung kekuasaan tiraninya. Termasuk salah satunya dengan melalui film-film. CACW dengan tema perang sipil dan semua sub-tema yang dijelaskan di atas, juga tetap tidak bisa lepas dari kerangka kultural kapitalistis tersebut.

Akhir kata perjuangan kelas memang tidak hanya berlangsung di lapangan ekonomi, politik, dan ideologi saja, namun juga berlangsung di lapangan kebudayaan. Kepada Captain America: Civil War ini pun bisa kita teriakkan slogan lama kita:

NO WAR BUT CLASS WAR!

TAK ADA PERANG KECUALI PERANG KELAS!

oleh Leon Kastayudha, Co-editor Bumi Rakyat, Kader KPO PRP.

Loading

Comment here