Minggu, 1 Mei 2016, sekitar 50an buruh dan mahasiswa yang tergabung di Aliansi Rakyat Malang Bersatu, memperingati Mayday atau Hari Buruh Internasional di area Car Free Day, lebih tepatnya depan museum Brawijaya, Malang. Massa yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aufklarung Teknik, IMM FPP, IMM FISIP, Media Mahasiswa, Serikat Gerakan Mahasiswa Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Brawijaya (UB), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ini menuntut cabut PP 78/2015 tentang Pengupahan, usut tuntas kriminalisasi aktivis buruh, hapus sistem kerja kontrak dan outsourcing, tolak PHK sepihak, wujudkan upah layak nasional, jamin kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat bagi buruh, berikan hak berpartisipasi buruh di dalam kebijakan publik, berikan jaminan pendidikan dan kesejahteraan bagi buruh. ARMB ini menggelar panggung rakyat dan rapat akbar untuk menegaskan bahwasanya Mayday adalah Hari Perlawanan Kaum Buruh. Bukan perayaan apalagi pesta tanpa esensi perjuangan melawan penindasan.
Dalam konteks Indonesia, sejak tahun 2012 perjuangan kelas buruh mengalami kemunduran, dan ini diperparah dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. “Munculnya PP 78/2015 sekarang benar-benar memupus harapan buruh mendapatkan upah layak. Alih-alih mendapatkan upah layak, pemerintah membatasi kenaikan upah dengan dalih menjaga investor tetap di Indonesia. Ini adalah salah satu bukti bahwa kenaikan upah buruh dilarang lebih tinggi dari tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Buruh dipaksa berkompromi dengan ekonomi yang semakin sulit dan pertumbuhan ekonomi nasional yang bermasalah,” terang Firman Rendi, hubungan masyarakat (Humas) ARMB ini. Hal demikian menurutnya merupakan bagian dari agresi atau serangan bertubi-tubi dari kaum pemodal serta rezim Jokowi-JK.
Aktivis SPBI ini juga menyatakan penindasan terhadap buruh juga semakin parah dengan semakin masifnya kriminalisasi. Rendi menerangkan bahwasanya aktivis-aktivis buruh yang menuntut hak-hak normatif yang sebenarnya dilindungi hukum dan perundang-undangan justru dipidanakan. “Aparat pemerintahan bertindak beringas terhadap kaum buruh, tetapi lemah lembut terhadap para pemodal. Negara berpihak pada para pemodal,” terangnya. Lebih lanjut ia juga mengungkapkan, “Aksi Mayday kita juga dihalang-halangi bahkan diintimasi. Kita sudah menyiapkan panggung rakyat di area Car Free Day tetapi ditekan oleh para aparat. Alasannya demonstrasi tidak boleh dilakukan di area Car Free Day. Para polisi berlindung di balik instruksi pusat dari Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang melarang aksi di CFD. Namun itu jelas bertentangan dengan kebebasan berpendapat, berserikat, dan menyampaikan pendapat di muka umum yang dijamin Undang-Undang Dasar 45. Jadi pelarangan itu tidak sah,” tekannya. “Namun aparat tetap ngotot. Akibatnya baru menjelang pagi peralatan dan perlengkapan baru bisa didirikan,” ujarnya. “Memang pelarangan demonstrasi di CFD ini pola umum yang semakin sering dipakai pejabat dan aparat. Jakarta di bawah rezim Basuki Tjahaya Purnama sudah terlebih dahulu menerapkan itu dan diikuti pemda-pemda dan aparat di daerah-daerah lainnya, termasuk Malang. Kita sendiri jelas akan menggugat kalau benar-benar dilarang,” tegasnya memperingatkan.
Sementara itu di sisi lain, Pemkot Malang, berusaha mengooptasi serikat-serikat buruh di Malang dengan mengadakan pesta rakyat dan bakti sosial berupa bagi-bagi Sembako. Kemunduran gerakan buruh yang terjadi sejak tahun 2012, juga menimpa serikat-serikat buruh di Malang, dan di Mayday 2016 kali ini juga mengakibatkan terpecahnya massa SPBI. Sementara di satu sisi sebagian massa SPBI berdemonstrasi di CFD Malang, di sisi lain tidak sedikit massa SPBI lainnya yang di bawah pimpinan Luthfi Chafid, Ketua Umumnya, memutuskan mengikuti acara pesta rakyat di Balai Kota Malang. Dalam orasinya, Luthfi, juga menyiratkan pergeseran mendekat dengan pemerintah dan aparat. Ia menyatakan, “Buruh bersama pemerintah bersama membangun bangsa,” ujarnya. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan, “Dulu saya diklaim pergerakan kiri, kini saya tegaskan saya ada di sayap kanan. Buat apa unjuk rasa anarkis bila bisa ditempuh dengan cara damai dan dialog,” katanya.
Turut hadir di Balai Kota, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Malang, Soehirno, mewakili serikat-serikat buruh yang menerima undangan perayaan Hari Buruh di Balai Kota menyatakan, “Kami minta stop kriminalisasi buruh dan tolak upah murah…” ujarnya. Selain itu mereka juga menuntut upah layak, penghapusan sistem kerja kontrak, penghapusan PP No. 78/2015, penurunan harga sembako, peningkatan kualitas pelayanan BPJS, serta kebebasan berserikat, serta pembuatan Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi buruh.
Memanfaatkan momentum tersebut, Walikota Malang, Mochammad Anton, mempromosikan program neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bersama Kapolresta Kota Malang dan Kapolres Kabupaten Malang ia menuntut agar kaum buruh menyiapkan diri menghadapi MEA dan Asian Free Trade Area (AFTA). Ia mengumbar janji, “…Pemerintah akan selalu hadir untuk memperjuangkan kesejahteraan kaum pekerja.” Janji ini tentu kontradiktif bukan hanya dengan kenyataan buruh dipaksa menerima program Neoliberal yang merugikannya, dengan kenyataan dimana ribuan buruh di Malangdigaji di bawah UMK, namun juga dengan kenyataan bahwa Anton sendiri merupakan walikota yang datang dari latar belakang pengusaha atau kapitalis.(LK)
Comment here