Aksi

Buruh dan Mahasiswa Menuntut Penegakan Keadilan dan Penghentian Kriminalisasi

13105793_169576200104185_1925052277_oSelasa, 26 April 2016, 85 orang massa aksi berdemonstrasi di Pengadilan Negeri (PN) Malang. Plakat-plakat dan poster bertulisan “lawan pengusaha busuk”, “Berikan dana Jaminan Hari Tua (JHT)”, “Segera tindak pengusaha nakal”, “Stop peradilan korup”, “Penuhi pesangon buruh”, diusung tinggi-tinggi oleh massa aksi. Mereka menolak kriminalisasi Saiful dan Liayati, aktivis SPSI PUK PT Indonesian Tobacco Malang, yang dituduh perusahaan menggelapkan dana pengurus serikat. Massa aksi yang merupakan gabungan dari para mantan buruh PT Indonesian Tobacco Malang dan para anggota Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan (FORMAH PK) ini juga menuntut hak-hak buruh yang selama ini belum diberikan perusahaan.

Sebelumnya pada tahun 2014 perusahaan melanggar hak para buruh dengan tidak membayarkan uang lembur. Ini diperparah dengan intimidasi perusahaan. Sehingga muncullah pemogokan spontan dengan massa aksi mencapai sekitar 250 buruh. Perusahaan kemudian melancarkan serangan balasan dengan memaksa 77 buruh yang dituduh sebagai provokator untuk menandatangani surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Merasa diperlakukan tidak adil, para buruh menolak menandatanganinya.

Oleh karenanya demi memaksakan PHK, perusahaan kemudian mengambil langkah lain dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Putusan Pengadilan kemudian mengabulkan permohonan PHK dengan syarat perusahaan wajib membayar uang pesangon kepada 77 buruh dengan jumlah Rp 2,7 miliar. Namun kewajiban ini belum dipenuhi, perusahaan malah melayangkan gugatan perdata ke PN Malang terhadap 77 buruh pemogok dengan dalih aksi mogok tersebut ilegal serta mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Gugatan ini ditolak oleh PN Malang dengan alasan bukan kewenangannya.

Pelanggaran perusahaan bukan hanya berupa tidak diberikannya pesangon kepada buruh. Melain juga berupa tidak diberikannya dana JHT yang dikelola perusahaan. Sementara di sisi lain, JHT yang dikelola Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) malah sudah diberikan ke para buruh. Padahal potongan gaji untuk JHT dari perusahaan lebih besar persenannya (yaitu 5,7% dari gaji) daripada potongan gaji untuk JHT dari JAMSOSTEK (yaitu 3,7% dari gaji). Pelanggaran pengusaha ini sampai sekarang tidak dikenai sanksi hukum. Akhirnya buruh kemudian melaporkan penyalahgunaan dana JHT oleh pengusaha tersebut ke polisi.

Pengusaha kemudian membalasnya dengan melayangkan laporan penggelapan dana sosial yang dituduhkan dilakukan oleh Saipul dan Liayati. Meskipun laporan pengusaha ini datang belakangan daripada laporan buruh namun diproses lebih awal. Sementara laporan buruh atas penyalahgunaan dana JHT tidak pernah diproses aparat sampai sekarang. Dasar hal yang dipermasalahkan oleh pengusaha sebagai dana sosial tersebut juga bersifat ganjil karena sebenarnya merupakan dana pengurus serikat sehingga tidak ada sangkut-pautnya dengan perusahaan. Intervensi perusahaan kepada serikat buruh juga terjadi dalam wujud pemaksaan pembuatan laporan keuangan dari serikat kepada perusahaan. Sementara secara organisasional serikat, laporan pertanggungjawaban (termasuk soal administrasi dan keuangan) secara periodik disampaikan melalui mekanisme Musyawarah Unit Kerja (MUSNIK) yang diadakan tiga tahun sekali, dan saat ini belum waktunya diselenggarakan. Karenanya gugatan laporan penggelapan bukan hanya ganjil namun juga prematur secara hukum.

Salah satu peserta aksi, H, menduga bahwa gugatan-gugatan dan kriminalisasi tersebut bukan hanya taktik untuk menghancurkan serikat buruh namun juga untuk melepas tanggungjawab perusahaan terhadap buruh serta berkaitan langsung dengan perputaran kapital. Dana yang seharusnya diterima buruh kemudian dengan berbagai dalih dipakai perusahaan untuk operasi produksi.

Pengkhianatan Elit Birokrasi Serikat

Sementara itu di sisi lain, serangan tidak hanya datang dari kapitalis namun juga dari elit birokrat serikat buruh, yaitu SPSI Malang. Awalnya para buruh yang diPHK (termasuk para pengurus SPSI PUK PT Indonesian Tobacco Malang) meminta bantuan advokasi dari para pengurus SPSI Malang. Namun tidak ada perkembangan berarti, meskipun para buruh sudah membayar biaya advokasi. Sebaliknya SPSI Malang kemudian malah menyodorkan surat pengunduran diri dengan mengharuskan pihak buruh membayar Rp 1 juta. Kaum buruh menolaknya.

Sikap SPSI yang lebih berpihak kepada kapitalis ini memang menunjukkan watak dari elit birokrat serikat buruh. Ini dipertegas dengan kenyataan bahwa salah satu pemegang jabatan pimpinan SPSI tingkat Malang adalah Rendra Kresna, Bupati Kabupaten Malang. Oleh karena itu selama konflik para buruh melawan perusahaan PT Indonesian Tobacco Malang, sama sekali tidak terlihat keberadaan apalagi dukungan dan solidaritas dari SPSI Malang. (LK)

Loading

Comments (1)

  1. Mari kelas pekerja kontrol organisasi serikat kalian dan edukasi diri kalian dan kawan kalian untuk melenyapkan akar permasalahan ini: sistem ekonomi kapitalisme.
    Kelas pekerja seluruh dunia bersatulah!

Comment here