Perbincangan ini diselenggarakan oleh KPO PRP Yogyakarta dengan tema PHK Massal Dalam Kapitalisme di Indonesia dan Jalan Keluarnya. Dalam kesempatan ini pula, KPO PRP menghadirkan seorang aktivis dari Aliansi Buruh Kontrak Menggugat, Danial Indrakusuma.
Belakangan ini beredar issue, kalau perusahaan-perusahaan [asing] yang ada di Indonesia berencana akan hengkang atau minggat dari emak pertiwi. Dengan alasan, bisnis mereka, di negara para badut ini, sudah tidak kondusif lagi. Mereka, berdalih, terancam akan bangkrut, dan segala macamnya.
Rencana tersebut, pada gilirannya, diikuti oleh terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara massal. Beratus-ratus ribu, bahkan jutaan, buruh pun terancam akan kehilangan pekerjaan. Artinya, ini jadi masalah.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah benar perusahaan-perusahaan tersebut akan bangkrut, dan lain sebagainya? Apa solusi atau jalan keluarnya bagi gerakan buruh di Indonesia? Jawabannya, akan dipaparkan oleh kawan Danial
Krisis Fordisme dan Solusinya
Sebelum masuk pada ulasan pokok, PHK Massal Dalam Kapitalisme di Indonesia dan Jalan Keluarnya, terlebih dahulu diulas tentang sejarah umum perkembangan kapitalisme. Hal itu dilakukan untuk mengetahui atau melacak sebab dan akibatnya. Ketika ini telah diketahui, maka hal itu, pertama akan membantu kita untuk menguak sumber masalahnya, dan yang kedua itu akan memudahkan kita untuk mencari solusinya. Dengan kata lain, “mencari obatnya”, begitu kata kawan Danial Indrakusuma.
Perkembangan kapitalisme dimulai dengan terjadinya revolusi Industri. Itu menandai terjadinya perkembangan alat produksi manusia, yang kemudian diikuti dengan terjadinya pembagian kerja. Perkembangan ini dimulai di Amerika, awal abad ke-20 dan di Jerman ketika negara ini sedang menyerap revolusi industri. Untuk yang terakhir ini, penyebarannya hingga mencapai Jerman Selatan. Dan, untuk kepentingan ini, sampai-sampai, dilakukan standarisasi bahasa.
Dinamika kapitalisme itu ditandai, terutama, ketika ditemukannya Fordisme. Apa itu fordisme? Jawabannya, itu adalah produksi massal. Inti dari penemuan ini adalah terjadinya perincian pembagian kerja, sehingga ini akan menciptakan produksi massal. Dengan produksi semacam itu, hal itu akan membuat ongkos produksi menjadi lebih efesian.
Model produksi dengan menggunakan sistem Fordisme itu bukan tidak ada masalah. Memang, produksi yang dihasilkannya melimpah, karena diproduksi secara massal. Namun, akibatnya, adalah terjadinya penumpukan hasil produksi atau komoditi. Artinya, dengan menggunakan model ini, membuat kapitalisme mengalami krisis dalam bentuk over produksi atau over akumulasi.
Pertanyaannya, kenapa koq bisa seperti itu? Dengan kata lain, koq bisa ya kapitalisme mengalami over akumulasi? Jawabannya, karena barang-barang dagangan atau komoditi yang diproduksi secara massal itu tidak terjual. Sebabnya, karena daya beli masyarakat melorot. “Elu punya barang dagangan, lu tumpuk digudang penimbunan, karena enggak kejual.”
Krisis kapitalisme adalah masalah bagi kaum kapitalis. Oleh sebab itulah, mereka membutuhkan solusi untuk mengatasi permasalahan itu. Sejarah mencatat, solusi itupun ditemukan oleh mereka. Mereka menemukan itu dari teori-teori yang dirumuskan oleh John Maynard Keynes.
Bagaimana Keynes menyelesaikan masalah itu? Jawabannya, dengan cara menyediakan berbagai pekerjaan secara kolektif. Cara ini, menurut Danial, adalah cara dari sosial-demokrasi. Cara ini, baik dalam teori maupun prakteknya, adalah cara yang mengakibatkan pengembalian keuntungan atau profitnya cukup lama. Dengan cara seperti ini pengangguran bisa teratasi dan daya beli masyarakat pun menguat.
Krisis Terjadi Kembali dan Bagaimana Mengatasinya?
Namun, solusi dari model Keynesian itu tidak menyelesaikan masalah. Karena, dalam tahun-tahun selanjutnya, setelah krisis over produksi kapitalisme teratasi, pengangguran terjadi lagi. Dengan demikian, terjadilah krisis kapitalisme kembali.
Lagi-lagi, ketika kapitalisme mengalami krisis, predator mengerikan ini membutuhkan solusi. Lalu apa solusinya? Pada saat itu otak kaum intelektual borjuis mengalami kebuntuan. Dari kondisi inilah kemudian kaum kapitalis bertindak brutal. Untuk mengatasinya mereka melakukan perang, perang, dan perang. Ini terjadi pada tahun 1940an. Pada waktu itu, perusahaan-perusahaan mengalami kebangkrutan. Mereka banyak yang dibailed out, hasil-hasil produksinya dibeli oleh pemerintah. Dan mereka diarahkan untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan perang.
Yang menarik, untuk menemukan solusi terhadap krisis tersebut, berbagai Universitas dan lembaga-lembaga militer disubsidi, diberi dana untuk melakukan berbagai riset atau penelitian. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan berbagai bentuk baru alat-alat perang dan alat pemusnah massal.
Untuk Universitas sendiri, dia tidak hanya ditugaskan untuk itu, tetapi dia juga ditugaskan untuk menemukan berbagai bahan racikan (rumusan) produksi dan alat-alat produksi baru. Dari sinilah, kemudian ditemukan berbagai bentuk bahan dan alat tersebut.
Seharusnya atau idealnya, ketika berbagai bahan dan alat itu ditemukan, semua itu, dapat digunakan untuk kemaslahatan umum. Akan tetapi, dalam sistem kapitalisme, haram jadah, jika hal itu terjadi. Logikanya, karena mereka, secara pribadi, yang berinvestasi (memberikan subsidi), maka jika hal itu membuahkan hasil, buah itu harus dikuasainya secara pribadi. Dan itulah yang terjadi. Ketika berbagai bahan dan alat ditemukan, semua itu dialihkan menjadi milik pribadi atau swasta. Bahkan untuk memastikan kepemilikan secara pribadi ini, dikeluarkanlah hak paten.
Dengan cara demikian, maka bangkitlah kembali perekonomian negara-negara kapitalis-imperialisme, seperti Amerika Serikat dan Jerman. Untuk mengamankan kebangkitannya, bahkan Amerika Serikat nekat mencetak uang banyak untuk membiayai penemuan atau penciptaan berbagai tenaga produktif.
Jerman, Inggris, dan Perancis tidak berani senekat Amerika. Terlebih lagi Inggris. Negara ini tengah sibuk mengurusi daerah jajahannya. Dan itu berakibat tertinggalnya mereka oleh perkembangan tenaga produksi yang dikuasai oleh Amerika Serikat.
Dalam kondisinya yang sudah sehat, sudah terestorasi, Amerika Serikat berhasil mengatasi pengangguran. Berbagai bahan dan alat-alat produksi yang dikuasainya itu membuat negara itu membutuhkan begitu banyak tenaga kerja.
Di satu sisi, memang Amerika Serikat dapat menyerap tenaga kerja dengan baik. Namun, di lain sisi, muncullah monopoli. Semua rumus-rumus dan bahan memproduksi komoditi dikuasai atau dimonopoli olehnya. Bahkan, lagi-lagi, hal ini diperkuat dengan hak paten.
Kemunculan fenomena monopoli itu, tentu saja menimbulkan masalah. Misalnya, banyak perusahaan-perusahaan kecil yang dengan sadis dihabisi.
Masalah ini kemudian sok diatasi dengan dikeluarkannya hukum atau Undang-Undang anti Monopoli. Hukum ini omong kosong belaka, karena hukum besi dari dinamika kapitalisme adalah memonopoli.
Sehingga, dari kondisi seperti itu, perkembangan sumber-sumber kekayaan (teknologi) di dunia ini, sekitar 60-80%, hanya dikuasai oleh 200 orang saja. Dan, tentu saja, dengan begitu, otomatis memunculkan masalah. Contohnya, ketika perkembangan teknologi telah bisa memproduksi makanan yang dapat menghidupi 6 kali penduduk dunia, seharusnya sudah tidak ada lagi kelaparan dan kemiskinan. Namun, karena itu dimonopoli oleh segelintir kaum kapitalis (predator), maka banyak terjadi kelaparan dan kemiskinan kronis di dunia ini.
Memang, kalau dilihat secara kasat mata, berbagai teknologi yang ditemukan itu disebar ke seluruh dunia, sehingga tampak tidak terjadi monopoli. Negara-negara non-monopoli, termasuk negara terbelakang atau dunia ketiga, tampak juga menikmati hasil penemuan itu. Dari sinilah kemudian ditebarkan imajinasi, “kesejahteraan untuk semua.”
Pret! Yang namanya imajinasi enggak ada bedanya sama menipu, cuma istilahnya doank yang beda. Kawan Danial Indrakusuma, menandaskan, yang disebar hanya hasil teknologinya saja, sedangkan rumus-rumus teknologi tetap dikuasai oleh negara yang memonopolinya: Amerika Serikat. Dengan demikian, tidak ada yang namanya penyebaran teknologi demi kesejahteraan bersama. Bullshit!
Lebih spesifiknya, yang disebarkan oleh negara pemonopoli itu hanya modifikasinya saja.
Yang jadi masalah, bagi kapitalisme monopoli adalah ketika modifikasi itu membuat hasil produksi lebih murah. Melalui ini, barang bisa diproduksi lebih mahal di dalam negeri, namun ketika dipasarkan ke luar negeri bisa dijual lebih murah. Dimana letak masalahnya? Jawabannya, terganggunya aktivitas akumulasi kapital yang mereka lakukan. Murahnya komoditi, rahasianya terletak dari, diturunkannya kualitas hasil produksi dan digencetnya upah kaum buruh. Tingkat kesejahteraan buruh dibatasi.
Namun, dalam prakteknya, kelas kapitalis tidak bisa selalu menggencet upah buruh, karena hal itu menimbulkan gerakan perlawanan. Untuk mengatasi hal ini, kemudian mereka mengalihkan pemasarannya ke luar negeri. Termasuk di Indonesia. Di Indonesia pernah akrab ditelinga kita, kalau barang-barang elektronika dan otomotif yang bagus itu buatan dari negara Jepang.
Sebagai kapitalis-imperialisme, dalam perkambangan, Jepang juga masuk ke negara-negara Eropa dengan standar yang lebih tinggi. Misalnya, ke Timur Tengah. Mereka masuk dengan penawaran barang yang lebih murah. Bahkan lebih jauh lagi, Jepang selain berani menawarkan barang-barang yang lebih murah, dia juga berani memberikan jaminan kualitas terhadap barang-barang dagangannya.
Nah, bisnis Jepang tersebut, menjadi ancaman bagi kapitalis-imperialisme lainnya, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Karena barang-barang Jepang ini, membuat barang-barang kapitalis-imperialisme lainnya kehilangan pasaran. Kenapa kehilangan pasaran? Jawabannya, karena barang-barang mereka dianggap terlalu mahal.
Yanga menarik adalah, yang membuat barang-barang modifikasi itu mahal karena sumber-sumber formula/rumusan berbagai teknologi dikuasai oleh negara-negara kapitalis-imperialisme yang dominan, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Jepang sendiri pun masih mengacu ke sana, baik teknologinya maupun formula/rumus-rumusnya dan penemuan-penemuan barunya. Seperti Hand Phone misalnya. Untuk alat komunikasi ini Jepang tidak mampu untuk menemukannya. Yang pertama menemukan alat ini untuk pertama kalinya adalah Eropa, Amerika Serikat. Tidak hanya Hand Phone, demikian pula dengan komputer, Jepang tidak mampu menemukannya. Semuanya modifikasi.
Dalam perkembangannya, modifikasi produk dan penyebarluasannya tidak hanya dilakukan oleh Jepang, tetapi juga dilakukan oleh Korea Selatan dan juga Australia.
Karena Jepang dan Korea Selatan membahayakan bagi kepentingan kapitalis-imperialisme yang dominan, maka mereka pun melakukan proteksi dengan cara melakukan persekongkolan. Kalau dalam bahasa aufimisme, kemitraan. Hal ini dilakukan untuk menjamin lalu-lintas perdagangan antara Eropa dan Amerika Serikat supaya tidak terganggu.
Persekongkolan ini, sudah pasti, mengakibatkan terepresinya upah dan kesejahteraan buruh. Terlebih lagi Amerika Serikat dan Eropa melakukan politik nasionalisasi barang dagangannya ke negara-negara “jajahan” mereka melalui pemaksaan dan memaksa barang-barang Jepang dihambat akses pemasarannya.
Jepang pun semakin mengalami kesulitan. Terlebih lagi modal-modal Amerika Serikat, Eropa, dan Australia di gerakan di China. Melalui China barang-barang dagangan dimodifikasi dan dijual dengan harga yang murah.
Mereka berproduksi di sana menjadi murah. Misalnya Apple. Gadget ini dijual di Amerika Serikat seharga 300 dollar AS. Untuk dealernya sampai 85 dollar AS. Sedangkan untuk Apple-nya sendiri seharga 65 dollar AS. Untuk perusahaan China termasuk CEO-nya 2,61 dollar AS.
Seperti biasanya, China kemudian melakukan modifikasi lagi. Jadi dengan cara ini China memperoleh dua keuntungan. Yang pertama, dia memperolehnya dari sub-kontraktornya, Amerika Serikat, Australia, dan Jerman. Dan yang kedua, dari modifikasinya itu sendiri.
Keuntungan yang diperoleh oleh Australia bukan pada pasokan barang-barang produksinya, tetapi dari energinya (batu bara) yang dipasokan untuk China.
Dalam perkembangannya, China mengizinkan berbagai modifikasi, bahkan oleh swasta. Barang-barang yang merupakan modifikasi yang bersumber dari Amerika Serikat dan Eropa, menjadi lebih rendah dan murah. Yang kemudian diekspor (dikirim) ke Indonesia untuk dipasarkan dan negeri-negeri yang daya belinya rendah, yang sudah tidak mampu lagi membeli barang-barang dari imperialisme Jepang.
Bagaimana pun masyarakat ingin menjadi manusia abad 21 yang ditandai dengan berbagai kemilikan, seperti Hand Phone, Laptop, dan segala macamnya. Dan barangnya itu ada dan murah.
Daya beli rendah itu, tentunya, dicerminkan oleh daya beli buruh.
Coba bayangkan, betapa besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pihak swasta melalui super eksploitasi tersebut.
Omong Kosong Globalisasi Investment
Ada gembar-gembor saat ini sedang terjadi globalisasi investment. Itu adalah kebohongan. Karena investasi-investasi yang besar itu bukan ada di negara-negara Asia, tetapi ada di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Yang dikirim oleh mereka hanya mesin-mesinnya saja, yang katanya adalah investasi, tetapi formula dan rumus-rumusnya tetap dikuasai oleh Amerika Serikat.
Untuk Uni Soviet saat terjadi revolusi proletariat kaum taninya berjumlah 80%, dan hanya beberapa persen saja untuk industri manufakturnya. Dan jumlahnya semakin menurun ketika negara ini diganggu oleh perang-perang imperialisme dan perang saudara. Solusi terhadap permasalah ini, adalah memunculkan kebijakan ekonomi baru yang bernama NEP oleh Lenin. Namun, solusi ini, pada saat itu, tidak berhasil. Solusinya adalah, membuka diri terhadap investasi dari luar. Maka, pada saat itu, dibukalah Uni Soviet. Nah, pembukaan ini, pada akhirnya, menghasilkan masukan-masukan tekhnologi, yang kemudian dimodifikasi, dan diusut hingga ke rumus-rumusnya. Dibongkar kembali, sehingga mereka dapat melakukan modifikasi, bahkan sampai mereka menemukan rumus-rumusnya. Melalui modifikasi ini barang-barang produksi, seperti otomotif dan baja-bajanya kualitasnya menjadi lebih baik.
Namun, sampai dengan saat ini, persaingan dalam dunia perdagangan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya belum bisa disaingi. China pun sebenarnya memainkan peran sebagai kaki tangan mereka, dalam hal menjual barang-barang yang murah.
Dalam perkembangannya ada terbentuk jalinan kerjasama (persekongkolan) antara Jepang dan China. Misalnya Sanyo (perusahaan Jepang) kerjasama dengan Haier (perusahaan China). Dan, ada beberapa barang milik Jepang yang distribusinya dilakukan oleh China. Suzuki juga kerjasamanya dengan China. Jadi, ada Suzuki yang dibiayai oleh Suzuki-nya sendiri, oleh perusahaan Jepangnya, ada juga yang membiayai pengusaha dari Indonesia dan ada juga dari China.
PHK Massal (?)
Kondisi-kondisi itu memang mengganggu, namun belum begitu membahayakan secara ekstrim, seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Yang pada tahun-tahun ini terjadi pemecatan (PHK) secara massal.
Dalam keadaan sekarang ini perusahaan-perusahaan asing di Indonesia belum akan kabur atau melarikan investasinya dari Indonesia. Selama keuntungan mereka masih sedikit, mereka tidak akan kabur. Di Venezuela peroleh keuntungan yang hanya 5% sampai 10% tidak kabur. Ford misalnya, bukannya kabur, tetapi mereka hanya memindahkan distributornya. Selain itu produksi mobil yang di Thailand diperbesar ketimbang yang ada di Indonesia. Karena apa? Bukan karena di Thailand lebih menguntungkan. Bukan. Tetapi, karena di Thailand Ford numpuk stok (over produksi). Itu artinya pemasaran Ford di Thailand mengalami penurunan.
Strategi Ford untuk membuat barangnya menjadi murah, bukan kualitas barangnya yang dikurangi, tetapi ukuran barangnya diperkecil.
Untuk Sony sendiri, sudah pergi dari Indonesia. Namun, yang harus dicatat, mereka pergi bukan karena bangkrut, tetapi menanamkan modalnya di negara lain, salah satunya pindah di Spanyol.
Kalau anda pergi ke pasar elektornika, misalnya di Glodok-Jakarta, dan anda menemukan televisi, ada yang dari Jepang, Spanyol, dan China. Ketika barang elektornika ini anda tes, dengan saluran yang sama. Dari tes ini, anda akan mendapati, yang paling bagus adalah barang buatan Jepang.
Kalau menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi) investasi di Indonesia itu meningkat. Iya, kalau dinilai dengan Rupiah. Tetapi kalau dinilai dengan dollar menurun.
Kondisi Buruh
Untuk menyelamatkan perusahan-perusahaan imperialisme itu dari kebangkrutan, maka yang dikorbankan adalah kaum buruh, seperti buruh kontrak (outsourching), buruh harian, dan buruh magang. Melalui jalan pengupahan yang rendah, menghemat ongkos produksi perusahaan sekitar 10%. Buruh-buruh itu mengalami diskriminasi dalam bentuk kesenjangan upah, bukan UMK, tetapi berbagai uang tunjangan. Dan jika dipecat pun dia tidak mendapatkan apa-apa (baca: pesangon).
Itulah kenapa beberapa perusahaan memaksakan ketentuan-ketentuan tentang outsourching menjadi Undang-Undang (Hukum Negara yang tertulis). Bahkan pimpinan-pimpinan Serikat Buruh yang pada awalnya menolak outsourching, turut menandatanganinya, seperti SPSI dan SPMI.
Lembur buruh pun penghematannya cukup tinggi. Dari sini penghematan yang prosentasinya 100% yang dikembalikan ke buruh hanya 23%. Dengan lembur, jumlah produksinya lebih banyak, tetapi biaya produksinya tetap, fix capital atau cost-nya itu tetap. Nah, itu ada penghematan, tetapi penghematan itu tidak dikembalikan semua ke buruh. Ada rumusnya itu. Kami para buruh oleh mereka disebut dengan rumus setan.
Kemudian durasi waktu kontrak semakin difleksibelkan. Ada yang satu bulan, tiga bulan, hingga satu tahun. Mereka yang sudah habis masa kontraknya itu diganti dengan buruh-buruh yang segar, yang bodoh, dan, alhamdulilah, sudah mendapat pekerjaan. Strategi ini digunakan untuk mempertahankan persaingan tenaga kerja agar mereka bisa diupah dengan upah yang tetap murah.
Dinarasikan Oleh Ismantoro Dwi Yuwono.
Akar permasalahan kita kelas pekerja adalah kapitalisme (kepemilikan pribadi alat produksi: pabrik, alat kerja, tempat kerja, dan tanah), yang mana membuat kita kelas pekerja beserta anak cucu kita mendapatkan upah yang hanya bisa untuk bertahan hidup, tidak bisa mengakses pendidikan, kesehatan, tidak mempunyai tanah, tidak mempunyai rumah dan kita mendapatkan lingkungan yang tercemar limbah industri dan pertanian.
Mari kita hapuskan kapitalisme dari muka bumi ini. Dan mari kita membangun sosialisme (alat produksi yang dimiliki bersama dan dibawah kontrol kelas pekerja).
Kelas pekerja seluruh dunia bersatulah!
Mari kita kelas pekerja bangun koordinasi untuk rebut negara dan rebut semua alat produksi yang ada untuk di jadikan milik bersama dibawah kontrol kelas pekerja dan persenjatai semua orang untuk mempertahankannya dari serangan balik kelas borjuis dari negara kita dan dari negara lain.