“Segala gerakan yang dapat mengancam kesejahteraan dan keadilan sosial, menyuburkan kapitalisme, membuat kebebasan demokrasi tersendat, melakukan diskriminasi HAM, serta dapat menimbulkan pertikaian antar ras, etnis, suku hingga agama, maka hukumnya wajib dilawan dan dihapuskan dari muka bumi” – FPD.
Aksi Forum Jogja Anti Separatis (FJAS) pada 1 Desember 2015 nampaknya akan membuka babak lanjut tentang upaya Negara untuk menutup ruang demokrasi bagi rakyat. Segala upaya memang akan terus dilakukan meski dengan menggunakan isu rasialisme sekalipun. Aksi FJAS menjadi salah satu indikatornya. Aksi yang dimotori oleh Paksi Katon dengan mengklaim didukung oleh sebagian besar ormas di Yogyakarta itu membawa tiga tuntutan, meliputi, tuntutan pengaturan perda tentang demonstrasi di DIY, kemudian perda larangan demonstrasi separatis, dan yang ketiga adalah pengusiran dan penutupan asrama mahasiswa Papua di DIY. FJAS yang dikomandoi oleh Muhammad Suhud itu menuduh aksi mahasiswa Papua sebagai aksi separatis OPM, dan karenanya bagi mereka harus di USIR dari DIY.
Sebelumnya, sempat beredar broadcast aksi dengan seruan “Ayo Bergabung, Usir Separatis dari Jogja. Jogjakarta Kota Pelajar, budaya dan wisata yang aman damai telah dikotori dan dibuat tidak nyaman oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka)”. Seruan rasialis yang dibroadcast secara massal itu juga dibawa sebagai tuntutan ke DPRD DIY. Tak hanya itu, aksi tindak rasial, intimidasi hingga kekerasan sebenarnya juga terjadi tiap kali mahasiswa Papua melakukan aksi. Aksi FJAS itu tentu sangat bertentangan dengan jaminan HAM, dan mengancam ruang-ruang demokrasi bagi bangsa indonesia.
Tepat pada peringatan hari HAM sedunia kemarin (10 Desember), Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua memang sudah melaporkan Muammad Suhud dan Chang Wendryanto, salah satu anggota DPRD DIY ke Polda DIY. Laporan itu dilakukan karena dianggap telah melanggar HAM soal diskriminasi ras dan etnis.
Diskriminasi ras dan etnis terhadap mahasiswa Papua di DIY sebenarnya sudah sering dilakukan. Hampir tiap mahasiswa Papua melakukan aksi demonstrasi, Paksi Katon yang kemudian berkembang menjadi FJAS melakukan hal serupa, bahkan tak jarang sampai melakukan kontak fisik. Kenyataan itu diutarakan langsung oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Seperti diketahui bahwa Paksi Katon merupakan salah satu alat keamanan kraton Jogja yang memiliki persenjataan lengkap dengan seragam khasnya. Mereka kemudian menghimpun kekuatan untuk melakukan aksinya terhadap masyarakat Papua di DIY dengan mengajak ormas-ormas agama dan sipil, bahkan tak jarang juga melakukan klaim dukungan seperti yang terjadi pada 1 Desember silam di gedung DPRD Jogja.
Membiarkan organisasi macam Paksi Katon atau frontnya yang mereka sebut FJAS terus hidup sama halnya dengan memberikan peluang terhadap tertutupnya ruang-ruang demokrasi. Tuntutan-tuntutan mereka, selain bertentangan dengan kebebasan demokrasi dan jaminan HAM, juga dapat menyulut kebencian sesama ras dan etnis di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Isu Separatisme etnis Papua yang mereka sebarkan jelas hanya pemahaman sempit. Padahal, hak menentukan nasib sendiri jelas-jelas ada dan ditegaskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 45, yang berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan diatas muka bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan’’.
Aksi itu tentu juga akan memiliki efek sistemik, karena tertutupnya ruang-ruang demokrasi juga akan dibarengi dengan eskalasi ekonomi kaum bojuis, feodal dan negara. Dengan berdalih pembangunan, penindasan dan diskriminasi akan terus dilakukan, Implikasinya, akses rakyat atas hak tanah dan airnya perlahan akan hilang. Pun demikian, ketika organisasi-organisasi sipil reaksioner serta aparat terus dibiarkan merenggut kebebasan demokrasi dan HAM, maka aksi-aksi, aspirasi serta suara rakyat akan menjadi terancam. Ketika ruang-ruang demokrasi berhasil dibungkam oleh negara melalui aparat represifnya, maka hanya suara kaum pemodal, feodal serta bisnislah yang akan lebih dominan. Di saat seperti itulah kesejahteraan rakyat mustahil terjadi, kebebasan berekpresi dan akademik juga akan terus dibatasi dengan represi, pun demikian cita-cita mewujudkan keadilan sosial akan tertutup.
Artinya, aksi milisi sipil reaksioner macam Front Jogja Anti Separatis, Front Anti Komunis Indonesia, hingga Front Pembela Islam tak lebih dari sekedar alat Negara untuk menjaga bisnis para pemodal yang mengekploitasi tanah dan air rakyat indonesia. Front-front kontra demokrasi seperti itulah yang sebenarnya mengancam kesejehteraan dan keadilan sosial, karena seringkali menyulut pertikaian lewat aksi-aksi rasial dan pembungkaman agenda rakyat.
Hal itu nyata, pembubaran agenda-agenda mahasiswa baik diskusi, nonton bareng, represi terhadap pers mahasiswa, hingga aksi demonstrasi, pelakunya kalau tidak aparat kepolisian, pasti milisi sipil tersebut. Padahal hal itu didalam kampus yang sudah di lindugi oleh kebebasan akademik. Pun demikian represi terhadap aksi-aksi buruh, tani, kaum minoritas seperti LGBT, syiah, Ahmadiyah bahkan tak jarang juga isu antar agama.
Oleh sebab itu, gerakan pro demokrasi melalui kekuatan rakyat harus melawan gerakan rasial dan kontra demokrasi. Rakyat harus percaya, bahwa untuk mewujudkan kebebasan HAM dan Demokarasi harus dipelopori oleh kekuatan rakyat itu sendiri. Bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, harus diiringi dengan perlawanan terhadap gerakan-gerakan yang mengancam itu.
Berangkat dari itu pulalah, kami dari Front Perjuangan Demokrasi, mengutuk keras tindakan diskriminasi ras dan etnis terhadap orang-orang maupun organisasi Papua di Indonesia, khususnya di Yogyakarta yang 1 Desember lalu dilakukan oleh FJAS dan Anggota DPRD Jogja. Kami juga mengutuk keras tidakan aparat yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap orang-orang dan organisasi Papua di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Kami juga menegaskan bahwa Kebebasan berdemokrasi, akademik serta HAM harus tetap terjamin di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, tanpa ada batasan-batasan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, maupun Peraturan Polri sekalipun.
Comment here