Sabtu pagi tanggal 19 Desember, mahasiswa, pelajar, masyarakat Papua yang berdomisi di wilayah Jawa Tengah (Jogja, Semarang, Salatiga, Solo, Kulongprogo, Wates, dan beberapa kota di Jawa Tengah) yang dipelopori oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan demonstrasi damai dengan tema “TRIKORA 19 Desember 1961 Ilegal, Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”.
Pukul 09.00 WIB massa demonstrasi damai mulai berdatangan di Bundaran UGM kemudian mereka mulai melakukan persiapan sembari menunggu kawan-kawan yang masih dalam perjalanan. Ditengah-tengah persiapan, datang 5-8 orang Intel Korem menghampiri salah seorang anggota AMP meminta massa aksi menanggalkan atribut aksi (bendera AMP, bendera bintang kejora dan poster-poster aksi) namun permintaan ini ditolak, atribut aksi tetap dipersiapkan untuk digunakan. Setelah 20 menit melakukan persiapan dan massa sudah berkumpul, aksi demostrasi damai pun dimulai.
Setelah kordinator lapangan memberi komando agar massa aksi berkumpul didalam tali pembatas yang ada dan orasi pembuka diteriakan, silih berganti massa aksi maju ke depan untuk menyapaikan orasi politiknya. Diiringi dengan slogan: Papua…merdeka! Para orator menjelaskan bahwa TRIKORA yang dideklarasikan di Alun-alun Utara Yogyakarta bertujuan untuk menggagalkan pembentukan Negara Papua Barat yang telah dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 1961. TRIKORA menjadi eskpresi awal dilakukannya penjajahan terhadap Negara Papua Barat, yang faktanya bukan merupakan bentukan Belanda. Sejak saat itu berbagai operasi militer dilancarkan, yang dicurigai menimbulkan pembantaian terhadap orang Papua.
Para orator juga menggambarkan penindasan Militer Indonesia terhadap rakyat Papua. Aksi Militer Indonesia berlanjut pada dekade 1980an-1990an. Yang antara lain mengakibatkan pembunuhan terhadap tokoh nasionalis Papua Arnold Clernens Ap pada 26 April 1984 disertai pengungsian besar-besaran ke Papua New Guinea (PNG), kemudian pembunuhan terhadap DR. Thomas Wanggai pada 13 Maret 1996. Hingga Pada dekade 2000an terjadi pembunuhan oleh pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terhadap Ketua Dewan Presidium Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001.
Pasca Reformasi 1998, kekejaman Militer Indonesia masih berlanjut. Delapan Desember 2014 terjadi penembakan di Paniai yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia. Pembunuhan yang hingga kini belum diungkap. Sementara baru saja pada tanggal 1 Desember 2015 di Kabupaten Yapen terjadi penembakan, penyisaran, dan penganiayaan oleh aparatur negara TNI-Polri terhadap rakyat sipil hingga rnengakIbatkan 4 orang meninggal dunia dan, 8 lainya luka tembak.
Belum lagi ditambah dengan pengerukan sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Ini menegaskan bahwa kehadiran Indonesia adalah untuk menjajah rakyat Papua. Maka hak menentukan nasib sendiri adalah jalan keluar yang demokratis bagi rakyat Papua.
Di aksi AMP kali ini beberapa organisasi maupun individu yang tergabung dalam Front Perjuangan Demokrasi (FPD) juga datang bersolidaritas. Solidaritas dari FPD ini tidak terlepas dari adanya ancaman dari Front Jogja Anti Separatis yang akan menyerang aksi-aksi massa dari kawan-kawan Papua (Baca : Statement FPD Mengecam Tindak Diskriminasi HAM Oleh Font Jogja Anti Separatis).
Haedar, koordinator FPD, menyatakan bahwa ancaman tersebut menunjukan bahwa mereka tidak memahami Konstitusi Pembukaan UUD 1945. “Hak menentukan nasib sendiri ada dalam konstitusi, artinya aktivis dan jaringan pro demokrasi memang harus terlibat dalam aksi ini”. Dikatakan juga di dalam FPD perspektif yang utama adalah mempertahankan hak-hak demokratis, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, sementara masih terdapat perdebatan di FPD terkait dengan isu kemerdekaan Papua.
Disisi yang lain walau pada saat ini FJAS menggunakan isu separatisme untuk membenarkan ancamannya namun jika dibiarkan maka ruang demokrasi akan terancam. Termasuk tuntutan dari FJAS untuk adanya Perda yang mengatur demonstrasi. Haedar mengatakan bahwa ini seperti Pergub DKI Jakarta yang akan berimbas bukan saja bagi gerakan buruh namun seluruh gerakan pro demokrasi. FPD juga menegaskan siap melawan ancaman-ancaman yang muncul dari milisi sipil reaksioner, bahkan jika diperlukan kontak fisik untuk mempertahankan ruang-ruang demokrasi. FPD juga menyerukan agar seluruh kekuatan pro demokrasi dapat melakukan konsolidasi dan menyatukan kekuatan.
Pukul 11.30 demonstrasi damai ini diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap oleh Abi, Ketua AMP Yogyakarta.Dengan tuntutan: (1) Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Popua Sebogai Solusi Demokratis. (2) Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanoh Papua Sebagai Syarat Damai. (3) Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC iainnya Yong Merupakan Dolang Kejahatan Kernanusiaan di Atas Tanah Papua (da, kk).
Comment here