Perspektif

Belajar Dari (Kasus) Erwan

tanda tanya

-Tanggapan, Pelajaran dan Tantangan-

Pada akhirnya semua yang gelap dan abu-abu harus diterangkan sejelas mungkin, agar terang pula jalan perjuangan kita. Kali ini kami ingin menerangkan perihal yang menyangkut mantan anggota kami sendiri yang bernama Erwan Susilo. Dia sekarang masih menjabat sebagai ketua serikat buruh di Tangerang bernama SBM. Kami semakin butuh menerangkannya karena, terhadap penyimpangan yang dia lakukan, dia masih berkeras hati dan pikiran untuk membenarkannya. Walaupun itu harus dilapisinya dengan kebohongan dan penyesatan pada anggota SBM dan kaum buruh pada umumnya. Hingga pada akhirnya setelah itu terbongkar, selain memberlakukan ‘tangan besi’ pada berbagai kritik yang datang dari internal SBM sendiri, Erwan bahkan menghambat anggota-anggotanya untuk teribat dan berhubungan dengan organisasi kami.

Hal yang dilakukan Erwan terhadap anggota SBM jauh berbeda dengan cara kami memperlakukannya sebelum dia kami pecat. Kami memberinya kesempatan untuk hadir di berbagai forum klarifikasi internal organisasi yang berturut-turut. Yaitu pada Oktober 2014, Desember 2014, dan Maret 2015. Namun atas ketiga undangan dan panggilan itu, Erwan bahkan lari dari tanggung jawab untuk sekedar menjelaskan. Di tengah pengelakan itu, Erwan malah menyebar kebohongannya kepada pengurus dan anggota SBM yang membuat masalah menjadi luas dan kabur. Yakni menjadikan kami sebagai yang bersalah atas kesalahannya.

Sesungguhnya, kesalahan tidak berubah menjadi kebenaran hanya karena yang salah bersimpuh tangis, atau karena melempar penyebabnya pada orang lain, apalagi pada organisasi. Tapi ternyata bukan itu cara berpikir sebagian sekutu kami—kalau masih dapat dikatakan sekutu—yang bergelar kiri. Mereka yang secara khusus tergabung dalam KP-KPBI justru seperti membusungkan dada bisa dekat dengan Erwan, walaupun mereka mengenal persis bahwa Erwan (sebelumnya) merupakan anggota kami, dan juga sudah diberitahu tentang penghianatannya. Dalam sebuah grup komunikasi, salah satu komentar sekutu (kiri) kami atas informasi penyimpangan Erwan justru menyamarkan sikapnya. Kira-kira seperti ini katanya: “dicari dulu apa penyebabnya dia melakukan itu”. Terdengar janggal karena akan datang pertanyaan: ‘sebab’ apa rupanya yang dapat membenarkan suatu perampasan hak buruh? Apakah kemiskinan? Atau kapitalisme? Kami menyebutnya oportunisme! Sayangnya dengan berlandaskan oportunisme Erwan itu pula, sekutu (kiri) kami merencanakan membangun suatu ‘konfederasi alternatif’.

Namun begitu, tulisan ini tidak terutama kami tujukan kepada ‘sekutu’ (kiri) kami, tetapi kepada kaum buruh pada umumnya. Baik yang secara khusus masih berada di bawah kepemimpinan Erwan, maupun yang pada hari esok akan menemui masalah-masalah serupa dengan apa yang terjadi pada Erwan. Sehingga melalui tulisan ini, kami juga sekaligus meminta maaf kepada kaum buruh yang secara khusus telah dirampas haknya, atau kaum buruh pada umumnya atas penyimpangan mantan anggota kami. Kami menanggung sebagian kesalahan yang dilakukannya, karena kami gagal menempanya menjadi seorang pejuang yang sadar kelas. Untuk itu, tulisan ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab kami terhadap perjuangan rakyat pekerja dan sosialisme yang sampai sekarang kami yakini.

Adapun, semua yang kami tuliskan disini menyangkut Erwan adalah fakta yang dapat diklarifikasi langsung melalui kami maupun saksi-saksi kami.

 

Penghianatan, Kebohongan dan Penyesatan

Untuk menyegarkan kembali ingatan, berikut kronologi singkat penyimpangan yang dilakukan Erwan:

(1) April 2014, Erwan bersama 3 orang pengurus basis bernegosiasi dengan pengusaha untuk menaikkan nominal pesangon buruh. Namun setelah berhasil menaikkannya sebesar 50 juta, Erwan mengajak 3 orang pengurus basis tersebut berkongkalikong untuk menutupi nilai tersebut kepada anggota.

(2) Oktober 2014, pengurus basis yang diajak kongkalikong kecewa atas ketidakadilan pembagian uang yang mereka rampas, lalu kemudian mengadu ke beberapa pengurus DPP SBM.

(3) November 2014, Erwan yang sudah 2 bulan tidak aktif dipanggil dalam rapat DPP-SBM untuk diminta klarifikasinya. Namun sebelum itu, Erwan diketahui telah mendatangi beberapa pengurus untuk memaafkannya dengan cara menyalahkan kami. Sehingga di dalam rapat, mayoritas pengurus sepakat menutupi penyimpangan itu dan memaafkan Erwan.

(4) Desember 2014, Erwan mengaktifkan diri dalam SBM, lalu mempercepat kongresnya dengan cara yang tidak demokratis, yaitu tidak mengundang seluruh perwakilan basis.

(5) April 2015, keluar surat oposisi dari salah satu basis SBM kepada DPP SBM, dengan tuntutan diselenggarakannya rapat akbar seluruh basis untuk membahas penyimpangan kepemimpinan SBM.

(6) Mei 2015, basis SBM yang beroposisi dibekukan.

Sebelum kami mengetahui penyimpangan yang dilakukan Erwan seperti ditulis diatas, sebenarnya memang sudah terdapat kejanggalan dan penghianatan Erwan terhadap kami. Setelah dia dipilih sebagai pengurus nasional organisasi kami (pada September 2014), dirinya mengundurkan diri dari pengurus nasional sebulan setelahnya. Bahkan saat itu dia mengatakan bukan hanya mundur dari kepemimpinan organisasi kami, tapi juga dari kepemimpinan serikat buruh yang dipimpinnya. Dalam kongres, dia sama sekali tidak menunjukkan penolakan apapun atas hasil-hasil kongres kami. Hanya keberatan untuk memimpinnya secara nasional. Alasannya mundur saat itu adalah ingin fokus bekerja mencari uang untuk keluarga.

Kami masih sempat membujuknya untuk bisa aktif kembali dalam perjuangan saat dia sudah tidak aktif selama 2 bulan, baik di organisasi kami maupun di serikat buruhnya. Saat kami mengutus seorang pimpinan untuk mengunjunginya tatap muka (pada November 2014), pimpinan kami pun sempat bertanya hal-hal khusus yang dimaksudnya dengan masalah keuangan. Namun Erwan tidak pernah menceritakannya dengan gamblang. Yang justru muncul darinya adalah keluhan mengenai konsep dan garis-garis politik organisasi, yang sama sekali tidak dia munculkan di dalam kongres. Dari persoalan garis ‘kewajiban propaganda’ sampai pada garis serikat buruh, dia mengkritik hasil-hasil kongres kami. Namun ketika dia diajak untuk mendiskusikannya lebih serius di dalam rapat, dia mengelak dengan mengatakan belum bisa aktif dan ‘pikir-pikir dulu’.

Pada Desember 2014, dia diketahui justru mengaktifkan diri kembali dalam serikat buruhnya. Namun keaktifannya tidak lagi menjalankan sama sekali hasil-hasil kongres kami yang dia setujui sendiri. Sampai akhirnya, ketika dia mulai tidak merespon kordinasi dari kami, kami pun memberi ketegasan kepadanya agar membuat surat resmi pengunduran diri berikut alasan-alasannya. Namun Erwan juga tidak melakukannya. Dan saat kami mulai mendapat informasi dari anggota kami tentang tindak-tanduknya yang menyimpang, kami kembali mengundangnya dalam rapat untuk memberikan klarifikasi, namun Erwan kembali tidak hadir.

Dalam rapat itu lah kami baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi seperti diungkapkan diatas. Rapat saat itu juga menguak upaya sebagian pengurus SBM untuk mengadili Erwan pada November 2014, dimana saat itu Erwan diketahui memulai kebohongannya dengan menyalahkan kami. Sehingga saat itu, ketegasan pada Erwan gagal dicapai. Sebagian pengurus luluh/iba untuk memaafkannya sekaligus menjauhi kami, dan sebagian lain yang tetap ingin memberi ketegasan justru dimusuhi.

Adapun kebohongan utama yang dipakai Erwan untuk menyalahkan kami adalah kolektivitas. Kata-kata ini mungkin begitu mahir dipakainya untuk menunjukkan bahwa dia tidak pernah dibantu secara keuangan oleh kolektifnya di nasional, dan yang lain justru berkecukupan. Dia memosisikan sebagai kader yang berjuang sendirian tanpa perhatian. Apalagi katanya, seorang kader lain malah dibantu keuangannya oleh organisasi. Setelah itu, bergulir lah serangan personal terhadap pimpinan-pimpinan kami yang tidak menyangkut prinsip-prinsip politik dan organisasi. Dari si A yang lebih diperhatikan, Si B memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi, si C anak orang kaya, si D ‘darah biru’ dan seterusnya. Tidak ada kesimpulan politik apapun selain bahwa dirinya memang pantas melakukan korupsi karena paling menderita dalam perjuangan.

Untuk itu pertama-tama, kami perlu menegaskan bahwa dalam membangun organisasi, kami tidak pernah menjanjikan dukungan keuangan pada siapapun yang ingin bergabung dengan kami. Termasuk saat Erwan bergabung. Bahkan, setiap kader kami memiliki kewajiban membayar iuran per bulannya. Singkatnya, organisasi kami mengumpulkan anggota berdasarkan komitmen berjuangnya bagi cita-cita kami, bukan berdasarkan janji atas dukungan fasilitas apapun.

Tentu saja dengan segala kekurangan yang ada, kami tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami kader kami, jika itu disampaikan dengan terbuka didalam forum organisasi. Itu pun tidak seluruhnya dapat kami bantu, karena kami juga masih terus membangun fondasi keuangan kami untuk membiayai pengurus fulltime organisasi. Bahkan sebaliknya, terhadap kader-kader yang bekerja fulltime di serikat buruh, strategi kami adalah mendorong partisipasi keuangan anggota serikat buruh untuk memandirikan pengurusnya. Dan saat itu, Erwan diketahui telah mendapat dukungan keuangan dari SBM sebagai satu-satunya pengurus fulltime disana. Sebelumnya pun, Erwan sempat mendapat dukungan keuangan lain dari sebuah federasi yang juga sempat dipimpinnya (berdasar keputusan organisasi). Sedangkan kader yang ‘dicemburui’ Erwan hanya mendapat dukungan keuangan tidak lebih dari yang dia dapatkan dari serikat buruhnya. Demikian jika Erwan berpikir tentang ketidakadilan, sesungguhnya dia telah keliru besar.

Lagipula, kalaulah perjuangan memang dipenuhi kesulitan-kesulitan, apakah dengan tidak berjuang dan tidak berorganisasi maka kesulitan akan hilang? Dan apa hak kita merampas hak orang lain karena kesulitan perjuangan kita? Kita harus dapat berpikir lebih adil, bahwa tanpa berjuang dan menjadi aktivis sekalipun, kapitalisme sudah pasti menyulitkan kehidupan kelas buruh. Kelas buruh justru berjuang karena kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Dengan begitu sebenarnya, kesulitan apapun yang dihadapi para aktivis dalam perjuangan, tidak lah dapat dibenarkan untuk menyalahkan perjuangan dan organisasi perjuangan atas kesulitan itu, atau malah memaksakan ‘ganti-rugi’ atas perjuangan.

Pada akhirnya, kebohongan-kebohongan Erwan berakhir dengan penyesatan berpikir terhadap SBM dan kaum buruh pada umumnya. Terkait dengan pendidikan di serikat buruh, misalnya, Erwan mengatakan kepada beberapa pengurus bahwa pendidikan (SKB) kepada anggota tidak perlu terlalu sering karena dapat membuat anggota terlalu kritis dan bisa ‘injak kepala’. Istilah ‘injak kepala’ dimaksud Erwan untuk menunjuk anggota-anggota yang kritis terhadapnya. Mungkin bagi Erwan, mereka tidak tunduk dan berterima kasih kepada Erwan sebagai orang yang pertama kali mengenalkan serikat buruh dan perjuangan kepada mereka.

Logika oportunis Erwan berlanjut dengan menganggap keberhasilannya membangun serikat buruh dapat membuatnya menggunakan aturan sendiri dalam serikat buruh layaknya milik pribadi. Hal itu tersirat dari penyampaian Erwan kepada salah seorang pimpinan kami. Secara garis besar dia katakan, karena dia membangun serikat itu dengan ‘keringatnya sendiri’, maka hanya dia yang berhak untuk mengaturnya sendiri. Begitu luar biasa cara Erwan memandang pekerjaan membangun serikat buruh sebagai pekerjaan sendiri. Padahal jika mau jujur, tidak ada satu orang pun yang sanggup membangun serikat buruh sendirian. Kalaupun saja seseorang mungkin mempelopori pembangunan serikat buruh, tetapi untuk menjadikannya terbangun dia tetap membutuhkan dukungan tenaga dan pikiran orang lain. Untuk membangun serikat buruh di suatu perusahaan saja dibutuhkan minimal 10 orang yang menyetujuinya. Lalu bagaimana mungkin sebuah federasi bisa dibangun sendiri? Tentu cara berpikir itu bukan cara berpikir kolektif seperti yang digembar-gemborkan Erwan.

Sekarang, dengan menyebar serangan personal kepada pimpinan-pimpinan kami dan bahkan kepada organisasi kami, Erwan pada dasarnya sudah menghambat perjuangan kami. Erwan ingin berkata bahwa individu-individu kami tidak layak disebut pejuang, karena tidak mengalami penderitaan yang dia alami, karena bukan dari kelas buruh, karena tidak bekerja di serikat buruh, dan sebagainya. Dengan begitu Erwan dapat lari dari tanggung jawab kelasnya serta mengaburkan bentuk-bentuk organisasi perjuangan kelas buruh. Disini sekaligus perlu diketahui, bahwa dalam organisasi kami, seseorang tidak diukur dari apakah dia anak orang kaya, bekerja di serikat buruh, sering mengadvokasi, dan sebagainya. Melainkan dari komitmennya atas cita-cita kami: sosialisme. Seorang yang bukan berasal dari kelas buruh sekalipun, jika mampu menunjukkan komitmennya pada cita-cita kami, jauh lebih pantas disebut ‘kelas buruh’ ketimbang kaum buruh yang tidak sadar kelas, menghianati kelas, atau justru mengabdi pada kapitalisme. Namun begitulah takdir berpikir seseorang yang terlempar mundur.

tangan

 

Apa Yang Dapat Dipelajari?

Sebagian orang yang tidak memahami pentingnya “prinsip” dan “belajar” mungkin akan menganggap tulisan ini sebagai kesombongan karena menjadi hakim atas individu-individu yang ‘masih berjuang’. Mungkin juga dianggap penghambat persatuan. Tapi apa yang sebenarnya (masih) diperjuangkan pengurus serikat buruh yang justru menggantikan peran pemodal untuk merampas hak buruh? Apa yang (masih) diperjuangkan seseorang yang tidak sanggup bertanggung jawab? Bagi kami, penting untuk memberi kesimpulan kaum buruh sadar kelas atas kejadian ini, maupun atas situasi umum perjuangan buruh saat ini.

Jika ditelusuri dari sejarah, penyimpangan yang dilakukan Erwan sebenarnya bukan hal yang baru. Erwan sebelumnya sempat mengacaukan garis politik dan organisasi kami dalam suatu serikat buruh nasional, dimana saat itu dia keluar sepihak dari serikat buruh tersebut dan membawa basis yang dianggapnya ‘hasil keringatnya sendiri’. Hal itu mendorong kader-kader kami yang memiliki loyalitas yang tinggi pada serikat buruh tersebut akhirnya juga memilih mundur karena dianggap sebagai sikap organisasi. Walau saat itu memang terdapat perbedaan pandangan diantara beberapa kader (yang belum terselesaikan), namun menginisiasi suatu perpecahan dalam serikat buruh tanpa landasan yang jelas dan demokratis adalah keliru. Demikian pula pengunduran diri kader sebagai bentuk reaksi juga belum dapat kami benarkan (dalam upaya membangun partai pelopor kelas buruh yang kuat melalui demokrasi yang ada). Bagaimana pun, peristiwa itu tetap menjadi pelajaran penting bagi kami.

Namun begitu, Erwan tetap merupakan contoh aktivis buruh yang terdorong maju untuk menyadari tugas-tugas sejarahnya, minimal di dalam mulut. Namun apa yang terjadi saat ini menunjukkan Erwan kembali terlempar mundur. Bukan hanya dalam tindakan menyimpang yang disertai pembenaran dan pelemparan kesalahannya (kepada kami), tetapi juga dari pandangan-pandangannya terkait organisasi dan perjuangan kelas buruh secara umum.

Bila berpikir mekanis, Erwan dapat dianggap korban dari gempuran kesadaran borjuis dan himpitan kapitalisme. Yang bersalah adalah situasi yang membuatnya berhianat dan mundur. Sehingga setiap orang yang mengalami situasi seperti yang dialami Erwan, niscaya akan melakukan hal yang serupa dengan yang Erwan lakukan. Tetapi itu cara berpikir yang keliru. Bagaimanapun, Erwan adalah subjek yang diberi kesempatan mengambil ‘pilihan-pilihan’ dari posisinya sebagai pembela kelas buruh, dan dari pemahamannya atas perjuangan kelas. Maka atas pilihan-pilihan yang diambilnya, Erwan adalah orang yang paling bertanggung jawab pada tindakannya sendiri.

Namun dengan hanya menyalahkan Erwan kita masih hanya berangkat satu langkah. Kita perlu menarik faktor-faktor yang menyebabkan Erwan berhianat dan mundur. Hal itu setidaknya tercakup ke dalam 3 faktor. Pertama, lemahnya ideologi perjuangan. Kedua, lemahnya demokrasi serikat buruh, dan ketiga, ‘kebutuhan ekonomi’ pengurus fulltimer.

Sekarang kita masuk lebih dulu ke faktor ‘kebutuhan ekonomi’ yang sering dijadikan alasan para aktivis untuk berhianat dan menyimpang dari garis-garis organisasi dan perjuangan. Kita bisa saja mengambil standar KHL atau yang lebih manusiawi dari itu untuk mengukur tingkat kebutuhan hidup para aktivis atau pengurus serikat buruh. Tapi itu hanya berarti, organisasi atau serikat buruh memang harus mendorong kesadaran dan kesanggupan organisasinya untuk menopang kemandirian pengurus fulltimer-nya itu. Lalu ketika organisasi yang dipimpinnya sendiri belum sanggup menopang itu, apa alasan untuk mengambil hak orang lain dan merusak prinsip organisasi itu sendiri? Pengurus dan aktivis seperti itu justru harus memarahi dirinya sendiri yang belum sanggup, bukan malah mengorbankan (hak) orang lain. Untuk kasus Erwan, dengan cara mengambil lebih dari yang dia butuhkan (kebutuhan ekonomi apa senilai 40 juta?), terdapat pertanyaan apakah itu kebutuhan ekonomi, atau hasrat individu untuk ‘naik kelas’ dalam kapitalisme.

Memang, selama masih dalam kapitalisme, kaum buruh yang paling militan sekalipun belum akan terbebas dari ide-ide borjuis yang individualis dan eksploitatif. Bahkan serikat buruh yang paling militan saja, jika masih hanya bertindak sebagai ‘serikat buruh’, belum akan lepas dari hakikatnya untuk menegosiasikan kepentingan kelas buruh dengan pemodal, dan hanya akan melahirkan kesadaran anggota untuk meminta remah-remah kapitalis tanpa sama sekali merubah sistem yang timpang. Namun justru karena itu lah dibutuhkan organisasi (politik revolusioner). Selain untuk memfasilitasi kesadaran dan kapasitas juang secara terus menerus, organisasi juga berfungsi sebagai penyaring sekaligus stabilisator kesadaran dan tindakan yang menghambat perjuangan kelas buruh. Organisasi yang dimaksud pastilah juga organisasi yang demokratis, dan memiliki ideologi yang mengabdi pada pembebasan kelas buruh.

Sedangkan dalam serikat buruh saja, seorang pengurus akan selalu ditekan oleh kesadaran untuk menegosiasikan kepentingan kelas buruh dengan pemodal, sesuai dengan hakikat serikat buruh itu sendiri. Kondisi itu mendorong para pengurus serikat buruh untuk bertindak lebih birokratis terhadap massa/anggota yang sedang bergerak maju melampaui fungsi serikat buruh. Embrio kesadaran kelas yang tumbuh di antara massa justru tidak dianggap suatu kepentingan untuk dimajukan kedalam perjuangan politik dan partai politik. Namun kalau ideologi perjuangan yang dimaksud bahkan hanya negosiator kelas buruh, bertindak mengangkangi organisasi demi kepentingan pribadi saja tetap merupakan penyimpangan dari organisasi (negosiator) itu sendiri.

Lingkungan dan organisasi memang berpengaruh pada pembentukan ideologi seseorang. Kami telah mengakui diatas, bahwa kami ikut bertanggung jawab karena kami merupakan salah satu organisasi yang turut memberi pengaruh pada Erwan. Namun disini kita perlu melihat, bahwa pengaruh terhadap Erwan tidak lah berdiri sendiri. Dalam lingkungan sehari-harinya di Tangerang, Erwan lebih sering tenggelam dalam pekerjaan serikat buruh yang didominasi sendiri olehnya sebagai pendiri. Ditambah pula, hubungannya dengan serikat-serikat buruh lain di Tangerang yang memiliki pemimpin dengan kecenderungan ideologi berbeda (bahkan bertentangan) dengan kami dalam melihat kaum buruh dan serikat buruh.

Sebagai pendiri dan satu-satunya pengurus yang bekerja full-time, Erwan mendapat kesempatan untuk lebih berkuasa dalam serikat buruhnya. Belum ada kaderisasi yang cukup matang yang mampu menopang demokrasi internal untuk mengontrol Erwan dalam memimpin serikat buruhnya. Hal itu menjelaskan, mengapa Erwan begitu mudahnya mengajak ‘kongkalikong’ pengurus basis tanpa kontrol anggota maupun pengurus lain. Menjelaskan pula mengapa sebagian pengurus kemudian luluh dan iba untuk ‘menyelamatkan’ Erwan tanpa menganggap organisasi adalah milik seluruh anggota bahkan milik seluruh kelas buruh. Sebagian yang lain juga butuh waktu yang cukup lama untuk keluar dari ‘kuasa Erwan’ karena menganggap tidak punya hak setara dalam organisasi.

Demikian sebenarnya, lemahnya demokrasi serikat buruh (SBM) menjadi alasan puncak mengapa penyimpangan Erwan terjadi. Demokrasi menjadi hal yang penting dalam serikat buruh, karena pimpinan serikat buruh yang berjuang untuk orang banyak pun, masih ditekan oleh kesadaran individualis dalam kapitalisme. Dalam hal ini bahkan dapat dikatakan, seseorang yang paling suci sekalipun, bila diletakkan dalam kekuasaan yang tidak terkontrol, akan sangat mungkin menyimpang juga dari apa yang disetujuinya sendiri.

Lalu apakah Erwan sedang melakukan penyimpangan yang baru dalam dunia serikat buruh? Tentu saja tidak. Bila diikuti dari jejaknya, apa yang dilakukan Erwan bukan hal yang baru. Bahkan tradisi ini sudah hidup di kalangan serikat buruh, khususnya serikat buruh ‘kuning’ yang sejak jaman orde baru sudah terbiasa menghianati buruh demi kepentingan para pengurusnya. Namun, pertumbuhan serikat buruh paska reformasi sebenarnya sudah cukup mampu melahirkan serikat-serikat buruh yang maju dan militan dalam memperjuangkan kaum buruh dan menggunakan organisasi. Para pendiri berkepentingan menumbuhkan kader-kader baru bagi arena perjuangan yang semakin luas dan kompleks. Hal ini diikuti pula dengan demokrasi serikat buruh yang semakin dibuka bagi partisipasi dan aksi massa. Tidak seperti serikat kuning yang sejak lahir sudah absen dari partisipasi, absen dari kaderisasi dan absen dari aksi massa. Tetapi pertumbuhan serikat buruh itu bagaimanapun dipengaruhi oleh organisasi yang memiliki ideologi kelas buruh, dalam hal ini adalah partai pelopor kelas buruh yang ada saat itu.

Pada perkembangannya, arena perjuangan buruh menghasilkan bentuk-bentuk persatuan serikat buruh baik di level nasional maupun kota. Walaupun serikat-serikat buruh yang berasal dari SPSI (baca: serikat kuning) belum sepenuhnya mampu merubah tradisi berjuang seperti yang sudah dimiliki serikat-serikat buruh progresif, namun sebagian tradisi serikat buruh progresif mulai diambil serikat kuning. Salah satunya adalah aksi massa. Dalam ajang-ajang persatuan itu, serikat buruh progresif mulai didorong memaklumi berbagai perbedaan (bahkan penyimpangan) yang sempat dan masih dilakukan serikat kuning agar dapat bersatu dalam aksi.

Dari interaksi antar serikat buruh ini, serikat buruh progresif mendapat ruang pengaruhnya dalam aksi-aksi massa, dimana mereka memang lahir dan dididik untuk itu. Namun sebaliknya, tradisi oportunis yang masih sering mewujud dalam cara berpikir dan berjuang serikat kuning, lama-lama mendapat tempat pula diantara pemimpin serikat progresif. Itu khususnya terjadi ketika: pertama, serikat progresif mulai menjauh dari ideologi kelas buruh dan dari organisasi yang berideologi pembebasan kelas buruh—namun justru mendekat pada pemodal, organisasi kelas pemodal, atau pada serikat-serikat buruh yang membawa pengaruh oportunis pada gerakan buruh. Kedua, serikat buruh progresif justru mengalami kemerosotan dalam demokrasi serikat buruhnya, yang menyebabkan terhambatnya partisipasi dan kaderisasi (politik) kelas buruh. Sehingga dari memaklumi kesalahan-kesalahan serikat kuning, pimpinan serikat progresif mulai menirunya dalam menjalankan organisasi—mungkin agar terlihat sama sebagai ‘serikat buruh’. Penerimaan pengaruh (oportunis) ini bahkan dapat lebih eksis dalam situasi dimana peran massa relatif menurun dalam perjuangan.

 

Tantangan Kita

Dengan menurunnya tradisi demokrasi dalam serikat buruh sekaligus meningkatnya tradisi ‘menghianati buruh’ oleh serikat buruh, maka sebenarnya, peluang bagi munculnya ‘Erwan-Erwan baru’ dalam situasi sekarang masih terbuka lebar. Jika itu terus terjadi, serikat buruh akan dipenuhi para individualis dan oportunis tulen yang hanya mengejar keuntungan/karir pribadi dalam organisasi, lalu menularinya pada generasi kelas buruh yang sedang gigih berjuang. Tentu saja hal itu akan mempengaruhi kepercayaan kaum buruh pada perjuangan buruh dan serikat buruh. Secara berangsur, mengkondisikan pula serikat buruh tidak lagi menjadi alat perjuangan kaum buruh.

Dalam situasi tersebut, tugas kaum buruh sadar kelas yang berada dalam serikat buruh hari ini adalah kembali menegakkan konsep serikat buruh yang maju/progresif bagi kaum buruh. Serikat buruh progresif itu telah dibangun secara historis setidaknya melalui beberapa faktor pembentuk, antara lain: integritas pemimpin pada organisasi dan kelas, kaderisasi dan regenerasi, demokrasi serikat buruh, serta aksi massa. Untuk memenuhi syarat itu, para (elit) pimpinan yang tidak teguh, berhianat, merampas hak buruh, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya, tentu harus terlebih dulu diberi kritik dan ketegasan oleh anggota maupun organisasi. Elit-elit seperti itu tidak sepantasnya diberi ruang memimpin dalam serikat buruh. Pembiarannya bukan hanya akan membuat kaum buruh menjadi ragu pada perjuangan dan alat perjuangannya, tetapi juga melahirkan generasi-generasi baru yang akan menirunya di masa depan.

Tetapi hal diatas saja tentu belum cukup. Masalah ideologi pengurus dan anggota serikat buruh harus segera dijawab dengan adanya kepemimpinan partai yang berideologi pembebasan kelas buruh. Tanpa partai yang demikian, kesadaran kaum buruh hanya akan terbatas pada kesadaran meminta remah-remah kapitalis seumur hidupnya. Tanpa partai yang demikian, kaum buruh dapat melupakan tugas-tugas sejarahnya, melainkan terus melanggengkan kapitalisme.

Selain itu, masalah-masalah keuangan pengurus serikat buruh yang selalu ‘dijadikan alasan’ untuk menyimpang juga harus diselesaikan. Penyelesaiannya tentu bukan dengan cara menyalahkan organisasi atau orang per orang, melainkan membangunnya melalui organisasi itu sendiri. Mendorong kesadaran anggota untuk iuran dan berpartisipasi dalam penggalangan dana/sumbangan di dalam serikat buruh adalah hal yang utama. Selain berguna bagi keuangan organisasi, iuran anggota akan meningkatkan tanggung jawab anggota pada organisasi. Pengurus serikat buruh yang menganggap rendah arti penting iuran dan partisipasi keuangan anggota pasti akan mendapat kesulitan lebih jauh lagi dalam perjuangan. Selanjutnya, unit-unit usaha (koperasi) mandiri yang sudah berjalan di sebagian organisasi serikat buruh dapat dikatakan tepat untuk dijadikan model pembangunan keuangan mandiri. Serikat buruh memang memiliki potensi partisipasi keuangan yang mampu menyokong kemandirian organisasi dan pengurusnya. Namun yang perlu dipastikan, program keuangan apapun yang dibangun organisasi, harus lah juga menjadi bagian utuh dari organisasi itu sendiri. Sehingga dalam penerapannya, keuangan tersebut harus lah berorientasi pada perjuangan, dan dikontrol secara reguler oleh seluruh anggota.

Akhirnya, peristiwa kali ini lagi-lagi merupakan pelajaran berharga bagi kami. Keberanian berjuang bagi kelas dan perubahan kali ini semakin membutuhkan keberanian untuk melawan penghianatan, membangun demokrasi internal, dan membangun kaderisasi dalam serikat buruh itu sendiri. Namun yang lebih penting dari itu semua, keberanian membangun partai kelas buruh revolusioner!

 

 

Komite Sentral KPO-PRP

 

Loading

Comment here