Awalnya kita tentu harus menyambut baik seruan beberapa organisasi serikat buruh menjelang May Day 2015 lalu untuk mendirikan partai politik. Selain baru pernah terjadi dalam sejarah gerakan buruh sejak reformasi, namun juga karena semakin gagalnya partai-partai yang sekarang ada dalam membangun perubahan sejati bagi rakyat. Kita sudah cukup tahu siapa saja pendiri dan pemimpin partai-partai politik yang sekarang sedang menyusun kekuasaan negara. Seluruhnya adalah para pemodal, mewakili kepentingan modal, bukan kaum buruh yang mewakili kepentingan buruh dan rakyat. Organisasi-organisasi yang menyerukan saat itu kemudian membangun aliansi bernama GBI.
Setelah sebelumnya sebagian organisasi dalam GBI mendukung Jokowi dan sebagiannya lagi mendukung Prabowo dalam Pemilu 2014 lalu, seruan membangun partai dapat berarti belajar dari kesalahan “menjadikan kekuatan besar kelas buruh sebagai mainan” ditangan para pemodal. Perubahan memang tidak bisa disandarkan pada partai-partai dan elit pemodal itu, atau pada ‘perwakilan buruh’ yang telah berada dalam rejim atau partai-partai pemodal. Itu mengapa dalam Pemilu 2014 lalu, sebagian gerakan (yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif) telah menyerukan pembangunan partai alternatif. Itu juga alasan mengapa seruan membangun partai (oleh GBI) juga perlu disambut bagi semangat kaum buruh menegakkan kekuatan dan kemandirian politiknya sebagai sebuah kelas bersama rakyat.
Namun saat May Day berlangsung, usaha memandirikan politik kaum buruh dalam deklarasi “komitmen membangun partai” langsung mendapat ganjalan. Di depan Istana, tempat dimana deklarasi GBI dibacakan, organisasi yang menyerukan pembangunan partai justru (masih) memberi ruang kepada perwakilan pemerintah untuk mengilusi massa agar percaya pada pemerintah. Sedangkan di GBK, (faksi) elit pemodal lain yang mewakili DPR juga diundang hadir dan berpidato untuk mempercayai mereka sebagai ‘perwakilan’ yang berpihak pada buruh. Siapa yang berpikiran maju tentu sudah tahu apa yang dikatakan elit-elit partai pemodal itu adalah omong-kosong.
Dalam prosesnya, bukan langkah maju yang dicapai dengan mendiskusikan dan merumuskan syarat-syarat menjadi alternatif, justru diangkatnya Andi Gani-KSPSI (yang merupakan salah satu unsur GBI) menjadi Komisaris BUMN PT Pembangunan Perumahan. Kita tahu, posisi direksi atau komisaris BUMN adalah posisi (politik) yang terhubung langsung dengan kepentingan rejim berkuasa sekarang ini yang sedang bekerja menindas buruh. Sehingga bukannya memandirikan, gerakan buruh justru sedang menjadikan dirinya rahim dari kelahiran agen-agen pemodal didalam gerakan buruh itu sendiri. Dengan masih terkontaminasinya (kepentingan) para pimpinan serikat buruh dengan (kepentingan) partai dan elit-elit pemodal yang ada, kemandirian politik dari aliansi (GBI) yang hendak membangun partai justru tidak terlihat sama sekali.
Pada saat yang sama, GBI terlihat tidak efektif melakukan pekerjaan-pekerjaan politik bersamanya dengan ‘mendemokratiskan’ pembangunan partai dari kalangan anggota maupun massa buruh dan rakyat. Energi membangun partai masih hanya terlokalisir di kalangan pimpinan nasional. Demikian juga belum ada upaya yang serius untuk mendorong dan menangkap pandangan massa (anggota), lalu menghubungkannya dengan pembangunan gerakan dari berbagai serangan para pemodal.
Dalam kondisi itu, kampanye membangun partai malah disambut dengan dua nada yang sama kelirunya. Diantara pengurus atau perangkat serikat, membangun partai dan berpolitik justru (ingin) dipisahkan dari pembangunan gerakan massa. Mulai muncul suara sumbang bahwa jika ingin membangun partai dan berpolitik, maka kasus-kasus basis (PUK/PTP) yang membutuhkan suatu gerakan tidak perlu terlalu dipikirkan, melainkan fokus pada upaya mencalonkan tokoh-tokoh buruh, dan memenangkan rakyat dengan memperlihatkan wajah ramah dan ‘non-gerakan’ kepada rakyat. Hal ini (telah) menyebabkan satu per satu serikat buruh tingkat basis/perusahaan mulai dilucuti tanpa perlawanan yang maksimal dari serikat buruh. Dalam nada yang lain, anggota serikat buruh yang kasusnya terbengkalai mulai ragu pada rencana membangun partai sebagai rencana yang tidak berhubungan langsung dengan nasibnya.
Di satu sisi ingin menjadikannya pengganti gerakan massa, di sisi lain justru keraguan pada rencana membangun partai yang tidak berhubungan dengan persoalan buruh dan rakyat. Demikian kita mengatakan, satu langkah tepat (dalam seruan) belum cukup menentukan dua-tiga langkah tepat berikutnya.
Menemukan (kembali) Alasan Membangun Partai
Dari perkembangan diatas, kaum buruh harus memulai lagi dari pertanyaan awal: mengapa kaum buruh dan rakyat harus membangun partai politik?
Sudah menjadi kenyataan umum saat buruh dan rakyat berjuang menuntut hak-haknya, perjuangan tersebut mau tidak mau dan suka tidak suka pasti berhadapan dengan tembok negara. Negara lah, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun aparatus kekerasannya (TNI/Polri), yang pada akhirnya menghambat tercapainya tuntutan buruh dan rakyat. Mungkin disini bukan waktu yang tepat untuk membeberkan kasus-kasus pemiskinan rakyat oleh negara, atau kasus-kasus gerakan rakyat yang direpresi oleh negara. Namun kita masih dapat melihat hasilnya: kemiskinan masih terus meluas, dan kebebasan semakin terbatas.
Jika ditarik lebih mendasar, pemiskinan sekaligus hambatan terhadap tuntutan buruh dan rakyat hanya cermin dari golongan kelas mana yang menguasai negara saat ini, yang kepentingannya berbeda dari kepentingan buruh dan rakyat banyak, yakni golongan kelas pemodal. Perbedaan kepentingan itu dapat dicontohkan dalam lingkup sebuah perusahaan. Pengusaha selalu berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya dan biaya produksi yang sekecil-kecilnya, untuk bersaing sesama mereka dan bagi perluasan modal mereka. Sedangkan kaum buruh sebagai salah satu ‘biaya produksi’ bagi pengusaha, walaupun dipaksa terus bersaing sesama buruh, selalu membutuhkan hidup yang lebih sejahtera dan manusiawi. Pertentangan mendasar ini yang menyebabkan mengapa pemodal selalu membutuhkan (penguasaan) negara untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan ‘pemaksa’ bagi kepentingan mereka. Dengan alasan yang sama pula kaum buruh membutuhkan penguasaan negara bagi kepentingannya.
Alasan ini bertambah karena pengalaman selama 17 tahun reformasi, partai-partai yang dibangun para pemodal telah silih-berganti gagal meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Oleh karenanya, kesimpulan melakukan perjuangan politik membentuk partai (harus) berangkat dari kesadaran bahwa negara hanya akan berpihak pada buruh dan rakyat saat buruh dan rakyat sendiri lah yang berkuasa.
Namun apa dan bagaimana yang disebut berkuasa serta (program) apa yang akan dijalankan saat berkuasa? Bukan kah pimpinan serikat buruh dapat jadi perwakilan buruh melalui partai-partai pemodal yang ada atau duduk di salah satu jabatan pemerintahan sehingga dapat dikatakan ‘berkuasa’? Seperti dikatakan diatas, ketika tugas politik gerakan buruh hanya menjadi saluran untuk memasukkan pimpinan serikat buruh kedalam rejim (atau partai pemodal) yang pada dasarnya juga menindas buruh, itu bukan lah kekuasaan kaum buruh. Melainkan gerakan buruh yang melahirkan penindas-penindas baru dari kalangannya sendiri, dan sekaligus melahirkan ‘agen-agen pemodal’di dalam gerakan buruh itu sendiri.
Lalu, jika salah satu langkahnya adalah membangun partai politik untuk menggalang dukungan rakyat mayoritas bagi perubahan sistem dan kebijakan, bukankah sudah banyak partai-partai yang (di mata rakyat) hanya ingin sekedar berkuasa dengan menggalang dukungan rakyat? Bukankah sudah banyak pula yang berjanji tentang program-program kesejahteraan yang tidak pernah terwujud? Lantas, bagaimana cara rakyat membedakan partai yang dibangun buruh dan rakyat dengan partai-partai pemodal? Bagaimana membedakan partai tersebut dengan partai-partai baru seperti Perindo yang dibangun Harytanoe atau Partai Solidaritas Indonesia yang dibangun Grace Natalie?
Pada titik itulah kita meletakkan makna ‘alternatif’ dari partai yang akan dibangun. Agar kalangan gerakan (sebagai unsur pembangun) dan rakyat pada umumnya tidak memandang partai tersebut sama dengan partai-partai yang ada, maka partai tersebut harus sanggup menjadi ‘alternatif’ yang ‘berbeda’ dan ‘menandingi’ partai-partai pemodal yang sudah lama ada maupun yang baru. Untuk kepentingan itu, partai alternatif membutuhkan garis-garis politik ‘alternatif’ pula sejak dalam pembangunannya.
Dalam membangun garis politik alternatif, sekedar “membangun partai politik” saja masih jauh dari cukup. Bahkan jika mengacu pada pengalaman dunia, sudah banyak pula contoh-contoh negara yang dipimpin oleh partai-partai buruh, namun pada kenyataannya justru mengabdi pada pemodal melalui kebijakan-kebijakannya. Ini perlu digarisbawahi kaum buruh dalam membangun partai.
Sehingga, ketika kita ingin membuat sebuah garis alternatif sebagai landasan partai alternatif, garis pertama ialah posisinya yang tegas pada partai dan elit-elit pemodal yang ada. Dalam arti, posisi kemandiriannya sebagai satu kesatuan kelas bersama rakyat. Bahkan satu helai benang pun kerjasama yang masih tersambung dengan rejim dan partai-partai pemodal tersebut, baik langsung maupun melalui tokoh-tokohnya, merupakan pelemahan fondasi alternatif dari partai yang hendak dibangun. Kalaupun dalam perjalanannya sebagian (faksi) elit pemodal mungkin saja mendukung pembangunan partai serta tujuan-tujuan sementara kaum buruh dan rakyat, mereka tetap bukanlah bagian dari partai alternatif yang dibangun karena perbedaan kepentingan mendasarnya.
Garis alternatif kedua ialah garis partisipasi massa. Garis ini lebih dari sekedar kebebasan berpendapat, melainkan partisipasi massa (anggota) untuk ikut memutuskan jalannya peristiwa. Lewat garis ini, setiap pimpinan serikat buruh tidak bisa begitu saja mewakili pikiran-pikiran politik anggotanya, apalagi jika menggantikannya dengan instruksi-instruksi ala serikat buruh. Demikian anggota serikat buruh yang ingin membangun partai pun tidak dapat hanya menunggu pimpinan mereka mengarahkannya. Melainkan harus memulainya dengan diskusi-diskusi lintas pabrik dan serikat untuk merumuskan program dari partai yang dibangun.
Pembentukan partainya buruh dan rakyat bukanlah seperti pembentukan partai-partai pemodal layaknya Perindo, Nasdem atau Gerindra, yang ditentukan oleh satu dua orang dari A sampai Z, lalu seluruh jajaran anggota mengikutinya seperti paduan suara. Justru sebaliknya, dengan tidak adanya pemodal (yang lebih berkuasa), maka setiap organisasi, pengurus basis dan anggota yang sepakat membangun partai, berhak untuk menentukan partai seperti apa yang dimaksud.
Dengan garis ini, alasan-alasan (palsu) untuk masih mengikat diri pada elit pemodal dapat langsung dijawab dengan kekuatan massa. Tapi yang terutama dan mendesak, garis partisipasi massa harus menghubungkan upaya membangun partai dengan gerakan massa itu sendiri. Masalah-masalah mendesak yang dihadapi gerakan buruh dan rakyat saat ini penting untuk dijawab. Penurunan gerakan buruh yang pada kenyataannya ikut melemahkan kapasitas kaum buruh membangun partai perlu kembali diangkat. Namun di saat yang sama, mulai pula memformulasikan tuntutan-tuntutan massa kedalam program-program politik yang akan diusung.
Demikian garis kedua akan memperkuat pula garis ketiga, yakni garis program alternatif. Jika partai didirikan memang untuk menjawab masalah-masalah buruh dan rakyat, maka pimpinan serikat buruh memang tidak seharusnya menghindar dari masalah-masalah yang langsung dihadapi buruh/rakyat dengan alasan ingin berpolitik. Ini merupakan pandangan yang keliru. Setiap masalah buruh dan rakyat justru adalah masalah politik itu sendiri. Sebelum mampu berkuasa (sebagai kelas), setiap keresahan dan penindasan rakyat justru harus semakin didekati bagi kemajuannya menjadi perjuangan politik. Dalam arti ini pula, semua masalah rakyat harus mampu diberikan solusinya oleh partai yang dibangun.
Program partai tentu akan memperjelas kemana arah perubahan sedang dituju, sekaligus penanda yang mempermudah rakyat untuk mengenali apakah partai memang mengabdi pada buruh dan rakyat, atau justru dipakai bagi kepentingan pemodal. Melalui kejelasan itu, partisipasi massa akan didorong melebihi ikatan kepada tokoh-tokoh seperti yang sering dilakukan partai pemodal dengan media-medianya.
Lalu apa program alternatif? Berbicara program, kaum buruh dan rakyat sangat keliru jika hanya membatasinya pada ‘sepuluh tuntutan’ atau ‘lima tuntutan’ yang sangat pragmatis dan terbatas, yang bahkan tidak menyelesaikan masalah rakyat, dan hanya mengalihkan dari satu bentuk masalah ke bentuk lainnya. Melainkan diformulasikan dari masalah-masalah nyata rakyat yang saling terhubung satu sama lain. Program itu setidaknya berasal dari dua platform besar dari yang sedang diperjuangkan rakyat saat ini, yakni demokrasi dan kesejahteraan. Namun dengan hanya mengangkatnya sebagai slogan masih jauh dari program alternatif. Semua partai pemodal bahkan juga mengisi program-programnya berdasar dua platform besar tersebut. Tetapi demokrasi yang seperti apa yang dimaksud? Kesejahteraan yang datang dari mana? Dalam pengertian ini, program alternatif harus dibangun sebagai program yang menyeluruh bagi rakyat.
Untuk menjawab dua pertanyaan program dengan ringkas, kita dapat mulai menjawabnya dengan demokrasi yang kerakyatan, dan kesejahteraan yang datang dari redistribusi kekayaan nasional. Demokrasi yang kerakyatan bermakna kebebasan bagi rakyat untuk mengembangkan organisasi dan kebudayaannya tanpa diskriminasi dan intimidasi, serta partisipasi rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan redistribusi kekayaan nasional akan mencakup setidaknya nasionalisasi aset-aset vital dan penerapan pajak progresif yang diabdikan bagi kesejahteraan rakyat.
Tentu program alternatif adalah yang paling penting untuk dirumuskan lebih tajam dan detail bagi upaya membangun partai. Namun dengan program diatas saja, partai yang dibangun diyakinkan sudah akan mampu menunjukkan ke-alternatif-annya diantara partai-partai pemodal yang tidak akan mampu mewujudkannya.
Percaya Pada Kekuatan Massa!
Indonesia sekarang ini dihuni oleh 250 juta penduduk, dimana masih sebagian kecilnya saja yang terorganisasi dalam organisasi-organisasi perjuangan. Sebagian kecilnya lagi adalah kaum yang sadar bahwa penindasan dan kemiskinan sangat mungkin dihapuskan. Namun perubahan ke arah itu tidak dapat dibuat hanya oleh kaum yang sekarang sadar saja, apalagi oleh pimpinan yang hanya mencari ‘jabatan’ dan jauh dari kesadaran pada hakikat kelasnya. Kaum buruh sadar kelas adalah yang paling bertanggungjawab membangun garis-garis alternatif diatas bagi rencana ‘membangun partai’.
Tanggung jawab itu dilakukan dengan kepercayaan pada kekuatan massa. Tapi itu tidak berarti pembangunan partai harus bergantung pada massa yang tidak menghendaki adanya partai yang memperjuangkan kelas buruh. Menunda pembangunan partai hanya karena mayoritas pimpinan serikat buruh dan kaum buruh ‘belum siap’ adalah kesalahan bagi ketidaksiapan politik kaum buruh selamanya. Karena bagaimanapun, politik bagi kelas buruh dan rakyat tertindas adalah keharusan dalam setiap kondisi.
Kini, kesalahan langkah pimpinan-pimpinan buruh dalam GBI untuk membangun garis alternatif perlu dikoreksi dengan tegas. Proses membangun partai tidak lagi dapat disandarkan pada konsolidasi pimpinan (yang belum membebaskan diri dari kontaminasi elit pemodal dan belum menunjukkan program alternatifnya). Oleh karenanya, setiap daerah, kota, kecamatan, kawasan industri, bahkan perusahaan, rencana ‘membangun partai’ perlu mewujudkan dirinya kedalam perjuangan-perjuangan massa bagi solidaritas kelas dan kapasitas politik massa. Bersamaan dengan itu, kaum buruh sadar kelas perlu mengorganisasikan dirinya kedalam komite-komite politik yang dibangun oleh setiap individu yang bersetuju membangun partai alternatif.
Dalam pengorganisasian komite-komite politik itu, kaum buruh yang berserikat atau bahkan pimpinan serikat tidak selalu menjadi yang paling berkepentingan. Berjuang untuk upah tiap tahun dan tradisi membayar/memotong iuran serikat tiap bulan mungkin sudah cukup bagi mereka. Walau itu sama sekali tidak menjawab masalah rakyat yang mendasar. Oleh karenanya, komite-komite politik harus membuka dirinya pada massa buruh dan rakyat yang belum berserikat sekalipun. Tugas komite politik pada tahap awal adalah terus-menerus merumuskan dan mengabarkan apa-apa yang diperlukan bagi sebuah partai alternatif, sekaligus mengajak partisipasi massa dalam rumusan bersama tersebut.
Namun begitu, langkah ini tentu saja bukan sesuatu yang cepat saji. Pengalaman perjuangan kelas buruh membuktikan bahwa pekerjaan membangun partai membutuhkan suatu kepeloporan. Pengalaman perjuangan itu juga telah memberi banyak pelajaran akan penghianatan ‘wakil-wakil buruh’ yang tidak memiliki kesadaran kelas. Itu adalah catatan agar tidak bertumpu pada pimpinan-pimpinan serikat buruh yang menghambat perjuangan kelas buruh, bahkan harus secara sistematis dan sabar mengkritik dan menyingkap hambatan yang dilakukan pimpinan tersebut. Namun tugas menyingkap hambatan dan penghianatan itu juga tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang menjauhkan pelopor dari massa, karena pada akhirnya tugas pelopor kelas buruh adalah memenangkan massa untuk berada di pihaknya.
Sekarang, dalam usaha membangun partai alternatif, kaum buruh sadar kelas sangat berkepentingan untuk memajukannya. Kesiapan untuk memfasilitasi diskusi dan konsolidasi bagi kaum buruh dan rakyat yang terpanggil menjadi pelopor kelas buruh sangatlah diperlukan. Tugas itu harus dilakukan dengan cara membangun garis-garis politik alternatif diantara kaum buruh dan rakyat yang paling maju dan berani berjuang bagi perubahan.
======================
KPO-PRP sendiri sangat mendukung pembangunan partai alternatif di Indonesia. Dan karenanya, kami siap berdiskusi dan berkonsolidasi dengan kaum buruh dan rakyat pekerja manapun tentang program-program dan pembangunan kekuatan partai alternatif.
Komite Sentral KPO-PRP
Kontak: email: kpo_prp@yahoo.com; phone: 089650544939
[…] Kredit ilustrasi: Arah Juang […]