Perspektif

Pengantar Seksualitas Dan Sosialisme : Sejarah, Politik dan Teori Pembebasan LGBT

Sexuality and Socialism BooksTerdapat kontradiksi yang berkembang dalam politik dan budaya masyarakat Amerika Serikat terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Disatu sisi di berbagai acara televisi menggambarkan gay dan lesbian secara relatif positif. Namun disisi yang lain kebanyakan undang-undang negara bagian dan federal menolak pernikahan sesama jenis, perlindungan di tempat kerja dan hak sipil untuk kaum minoritas secara seksual.

Angka kekerasan terhadap LGBT sangat mengkhawatirkan, termasuk kasus pembunuhan. Namun jejak pendapat menunjukan peningkatan penerimaan sosial terhadap berbagai macam tingkah laku seksual dan variasi-gender.

Kontradiksi tersebut merupakan produk dari baik kemunculan kebebasan seksual yang lebih besar dalam kapitalisme modern sehingga membentuk identitas seksual diluar keluarga tradisional serta kebutuhan dari kapitalisme untuk memaksakan norma-norma gender yang memperkuat keluarga “inti”.

Buku ini ditulis menggunakan cara pandang Marxisme untuk menganalisa persoalan sejarah, politik dan teoritis terhadap penindasan seksual dan gender. Dalam rangka membentuk sebuah argumentasi tentang bagaimana kita dapat mengorganisir pembebasan LGBT. Marx dan Engels (dan kaum Marxis lainnya setelah dia) menyediakan alat teoritis yang dibutuhkan untuk menganalisa dan melancarkan perang yang berhasil melawan berbagai bentuk penindasan.

Apakah intisari dari argumentasi mereka? Homofobia, seksis, rasis, nasionalis dan pembagian lainnya di masyarakat modern merefleksikan kepentingan klas dominan didalam masyarakat. Klas berkuasa itu merupakan minoritas kecil, oleh karena itu mereka harus menggunakan alat institusional dan ideologi yang mereka miliki untuk memecah belah massa rakyat. Sehingga dapat mencegah rakyat yang mayoritas untuk bangkit melawan dalam satu kesatuan merebut kembali apa yang dirampas dari mereka.

Menurut Marx, klas klas yang menguasai kekuatan material dari masyarakat pada saat yang bersamaan juga menguasai kekuatan intelektual. Ini juga benar bagi ide-ide mengenai “norma-norma” sosial dan legal dari tingkah laku seksual dibawah kapitalisme. Represi ideologi dan legal serta kontrol tingkah laku sosial di berbagai negeri kapitalis tumbuh dari kebutuhan klas yang berkuasa.

Namun penindasan bukan hanya ideologis tetap juga material. Seperti yang dijelaskan dalam bab I, keluarga inti menyediakan cara yang murah bagi klas berkuasa untuk menghapus biaya reproduksi, pemeliharaan dan tanggung jawab untuk mendisiplinkan generasi saat ini dan masa depan bagi buruh kedalam klas yang ditindas. Kaum LGBT ditindas karena identitas seksual dan gender mereka menantang keluarga tradisional yang diatasnya kapitalisme bergantung.

Jika kita hidup dalam masyarakat yang benar-benar bebas dimana batasan-batasan material dan sosial disingkirkan, manusia tidak akan ditindas ataupun didefinisikan oleh identitas seksual atau gender mereka. Hanya pada saat itulah kita dapat mulai melihat bagaimana seksualitas umat manusia yang dimerdekakan dapat berkembang dan mengekspresikan dirinya.

Namun dalam masyarakat berklas yang membutuhkan norma-norma tingkah laku tertentu untuk mendisiplinkan tenaga kerjanya dan ideologi untuk membenarkan keluarga inti, ide-ide seksual reaksioner – termasuk norma-norma gender – adalah makna untuk memperkuat perpecahan dan merepresi masyarakat secara keseluruhan.

Dari bertumbuhnya urbanisasi dan imigrasi hingga perang dunia, kekuatan sosial yang digerakan dari atas telah membangkitkan cara material dan ideologis bagi rakyat untuk secara drastis merubah kehidupan intim mereka. Hal ini menunjukan juga bahwa kita bukan hanya korban dan pecandu dari ideologi dan kontrol sosial dari klas yang berkuasa. Hal ini dijelaskan di Bab 2 dan 3.

Sejarah berulang kali menunjukan bahwa klas buruh mampu memecahkan hambatan legal dan sosial yang dibebankan padanya. Sementara bukan merupakan insiden kebangkitan massa pertama melawan norma-norma seksual dan gender, pemberontakan Stonewall di New York pada tahun 1969 menandai titik balik bagi kaum lesbian, gay dan biseksual. Dan memunculkan kondisi bagi transgender untuk menyatakan tuntutan mereka dan membangun organisasi mereka sendiri. Seperti yang didetailkan di Bab 4.

Kerusuhan Stonewall terjadi ditengah ledakan sosial yang lebih besar lagi. Yaitu ledakan melawan tatanan rasis, imperialis dan seksual dari masyarakat AS. Kerusuhan tersebut memberikan ekspresi bagi ide-ide radikal tentang pembebasan seksual. Namun berdekade setelah itu terjadi penyempitan dalam perdebatan dan tujuan-tujuan dari organisasi LGBT yang ada. Semua pembicaraan tentang pembebasan dibuang, digantikan dengan tujuan perbaikan hak-hak sipil secara bertahap. Hak sipil LGBT sebagian besar diperjuangkan didalam batasan politik elektoral. Ini akan kita bahas pada bab 5.

Tuntutan minimalis dari era ini muncul dari debat politik dan organisasi yang memandang kebebasan seksual dalam kerangka bagaimana seorang individu berbicara, berpakaian, bersosialisasi dan mengkonsumsi barang-barang dari pasar, sebuah posisi yang sering disebut sebagai politik gaya hidup. Ide-ide tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1990an dengan hampir hilangnya perjuangan klas di AS dan penurunan organisasi kiri yang dapat memajukan alternatif terhadap isolasi dan pesimisme yang menjadi ciri dari usaha individual untuk menantang penindasan LGBT, didiskusikan di bab 6.

Di bab 7 saya membongkar beberapa mitos dan kesalahan asumsi yang menggunakan pemikiran ilmiah kontemporer untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah orang “dilahirkan gay”, resiko dari identitas transgender dan perawatan medis yang diterapkan terhadap jutaan bayi yang lahir dengan alat kelamin ambigu, yang dikenal sebagai interseks.

Dari tema yang sepertinya sangat apolitis dan tidak ada gerakan. Pengorganisiran, protes dan perdebatan yang sehat telah muncul didalam dan hingga keluar lingkaran LGBT di AS. Latar belakangnya adalah keruntuhan ekonomi yang paling buruk sejak Depresi Besar 1930an dan terpilihnya presiden berkulit hitam pertama dalam sebuah negara yang dibangun dari perbudakan kulit hitam.

Sekarang sudah mulai terjadi kebangkitan dalam gerakan. Kekalahan elektoral dalam hak pernikahan sesama jenis di California, Florida dan Arizona pada November 2008 ternyata hanya temporer. Kekalahan tersebut justru memunculkan gerakan oposisi yang kuat yang lebih bersifat konfrontatif dan tidak suam-suam kuku seperti tahun-tahun sebelumnya. Pejuang-pejuang muda (dan ada juga yang sudah tidak muda) tersebut adalah bagian dari tentara yang berkembang di setiap kota besar dan kecil di Amerika Serikat.

Tentara dari buruh-buruh magang berupah rendah dan barista dari berbagai café. Gerakan yang baru terbentuk ini sebagian besar pro-buruh, anti pemilik modal dan secara tegas terbuka bagi mereka yang non LGBT untuk terlibat dalam perjuangan.

Sebuah forum pernikahan gay diorganisir di Chicago pada 11 Desember 2008. Forum tersebut diorganisir oleh aktivis-aktivis baru, mahasiswa dan aktivis sosialis satu hari setelah kemenangan historis buruh pabrik Republic Windows and Doors (RWD) . Dalam forum pernikahan gay tersebut, Raul Flores salah satu buruh dari RWD menyatakan bahwa “Kemenangan Kami adalah Kemenangan Kalian Juga”.

“Sekarang kami harus bergabung dengan kalian dalam pertempuran memperjuangkan hak-hak kalian. Dan menjawab solidaritas yang telah kalian tunjukan untuk buruh RWD”. Sehari sebelumnya, ratusan demonstran gay menuntut hak pernikahan sesama jenis. Demonstrasi mereka juga dihubungkan dengan demonstrasi buruh RWD diluar Bank of America.

Film Milk menyinggung aspek kunci dari perjuangan gay bersatu dengan buruh yang berhasil dalam melawan perusahaan bir Coors dan Briggs Initiative 1978 yang melarang guru-guru gay dan lesbian serta pendukung mereka untuk mengajar. Dengan bersatu bersama serikat buruh bernama Teamster di pertarungan Coors dan membangun aliansi dengan buruh kerah putih dan biru dalam perjuangan melawan Briggs Initiative, Harvey Milk, bersama dengan puluhan ribu aktivis, memajukan perjuangan untuk hak sipil gay maupun persatuan buruh.

Hubungan antara pengorganisiran buruh dan perjuangan hak LGBT memiliki sejarah yang panjang. Harry Hay, pendiri organisasi gay pertama di AS memulai perjuangannya sebagai organiser buruh pada tahun 1930an dan 1940an di Serikat Buruh Swalayan New York yang berafiliasi ke International Workers of the World (IWW). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh ahli sejarah Allan Berube di Marine Cooks and Stewards Union (MSC-serikat buruh anak buah kapal) menunjukan bahwa sebelum kemunculan organisasi hak gay di AS, kelompok buruh multi ras dan gay yang dipimpin oleh orang-orang komunis di kapal penumpang merubah serikat buruh yang reaksioner menjadi membela hak gay, menentang rasisme dan memenangkan capaian-capaian material.

Spanduk yang terdapat di aula serikat buruh MCS yang dipimpin oleh kulit hitam dan gay, yang beranggotakan dua puluh ribu buruh bertuliskan: “Race-baiting, Red-baiting and Queer-baiting Is Anti Union.” (slogan itu bermakna kata-kata yang rasis, anti kiri dan anti LGBT adalah anti serikat buruh). Di bab 8 saya menuliskan bahwa persatuan klas diantara LGBT dan hetero adalah dimungkinkan dan dibutuhkan dalam rangka membangun sebuah dunia dimana semua seksualitas dibebaskan. Buku ini disimpulkan dengan argumentasi kebebasan seksual untuk semua orang.

Gerakan yang baru akan menghadapi tantangan yang serius. Organisasi hak gay nasional yang terbesar disponsori oleh perusahaan multinasional. Dan terikat dalam posisi pejabat-pejabat atas Partai Demokrat yang menuntut jangan terlalu keras. Yang dalam kondisi PHK massal dan krisis ekonomi parah akan mengusung pendekatan pelan-pelan atau sabar dahulu untuk isu-isu LGBT. Pendekatan itu bisa dan harus ditantang.

Sebagai tambahan bagi kesetaraan dan melegalkan seksualitas LGBT, perjuangan untuk hak pernikahan sejenis adalah untuk keuntungan material yang lebih dibutuhkan – layanan kesehatan, Jaminan Sosial, dan hak serta jaminan lainnya yang diinginkan dan dibutuhkan oleh klas buruh. Dengan kata lain, itu adalah bagian dari perjuangan klas.

Dari berbagai survey terdapat indikator positif dari sikap sosial terhadap gay dan lesian. Mayoritas setuju diakhirinya segala bentuk diskriminasi terhadap LGBT. 52 persen menentang larangan federal terhadap pernikahan sesama jenis. Sementara itu 73 persen setuju meluaskan layanan kesehatan untuk pasangan gay, 86 persen setuju hak kunjungan ke rumah sakit yang sama. Hasil survey tersebut sangat bagus mengingat hampir tidak adanya gerakan aktivis selama beberapa tahun serta para politisi yang mengelak dari isu-isu LGBT.

Diantara kaum intelektual dan aktivis keadilan sosial terdapat keingintahuan yang besar dan perdebatan tentang sejarah, politik dan teori pembebasan LGBT. Tulisan saya ini tidak menutupi afiliasi politik yang saya miliki. Sebagai seorang Marxis yang lesbian yang datang dari masa neo-Perang Dingin, kerusakan yang dibuat oleh AIDS pada tahun 1980anb, saya merupakan bagian dari generasi paska Stonewall. Banyak dari sesama saya mempertanyakan relevansi dan bahkan dibutuhkannya sebuah organisasi dan perjuangan. Namun kenyataan memaksakan alternatif tersebut.

Saya ingin mengingatkan para pembicara agar tidak menyempitkan pandangan mereka. Dengan menganggap bahwa pertarungan LGBT akan atau seharusnya tumbuh secara independen dari kemarahan yang lebih luas terhadap perang yang terus menerus terjadi dan ekonomi yang semakin sulit. Bagaimanapun juga kaum minoritas seksual secara langsung terpengaruh oleh bencana-bencana tersebut dan tuntutan kita dapat dan harus dibawa kedalam pertempuran yang lebih luas yang pada akhirnya akan meletus dan dapat dimajukan oleh ide-ide sosialis.
Contoh Chicago diatas menunjukan bahwa era politik baru sedang terbangun. Kelompok imigran dan buruh dapat dan dalam berbagai kesempatan sudah menyerukan kepada kelompok LGBT untuk bergabung dengan mereka dalam mengorganisir perlawanan dalam krisis saat ini.

Bagi mereka yang masih terlalu muda untuk berpartisipasi dalam kebangkitan tahun 1960an dan 1970an dan yang hidup dengan kecurigaan bahwa revolusi telah melewati kita, bersemangatlah. Dalam dunia yang mirip kondisinya dengan tahun 1960an dan 1930an, namun sikap terhadap ras, perempuan, seksualitas dan gender telah berkembang pesat, mungkin saja kita akan mengalami waktu-waktu perjuangan sengit.

Apakah Arti Sebuah Nama?

Saya tidak dapat menggunakan kata-kata yang saya anggap sebagai serangan, yang dilemparkan kepada saya saat sekolah oleh banyak bigot, yaitu kata “queer”. Saya telah memilih sebagian besar untuk menggunakan kata LGBT agar sesuai dengan banyak ahli sejarah dan juga aktivis mahasiswa dan buruh.

Saya mengetahui banyak yang peduli pada isu tersebut, namun saya percaya bahwa kita harus bergerak maju dan saling menghormati pilihan linguistik masing-masing. Semua rakyat tertindas harus memiliki hak untuk menyebut diri mereka sendiri, apapun pilihannya. Sebuah hak yang harus juga diberikan kepada saya.

Bersambung Pada Bab Berikutnya Yang BerjudulAkar Penindasan LGBT“.

Tulisan ini merupakan hasil bedah buku “Sexuality and Socialism: History, Politics and Theory of LGBT Liberation“, yang diselenggarakan oleh Pelangi Study Club.

Dipresentasikan oleh : Dilla
Resume oleh : Amir
Disunting oleh : Mahe

Jika ingin bergabung silahkan isi formulir pendaftaran di Page FB : Pelangi Study Club. Atau hubungi : 0858 7579 4044.

Loading

Comment here