Sebelumnya kita sudah mengambil kesimpulan bahwa situasi gerakan buruh sekarang sedang menurun. Cengkraman elit-elit birokrasi serikat buruh terhadap massa buruh semakin kuat. Taktik kita adalah memfokuskan diri untuk mencari potensi radikalisasi massa buruh hingga diluar cengkraman elit-elit birokrasi serikat buruh.
Disisi yang lain di negeri dunia ketiga seperti Indonesia sangat sulit ada konsensi yang besar sehingga relatif menenangkan massa buruh. Tetap akan ada potensi dimana cengkraman elit birokrasi serikat buruh itu mendapatkan perlawanan. Tidak heran jika kita melihat bagaimana relatif mudahnya massa buruh secara berbondong-bondong pindah serikat buruh karena ketidakpuasan terhadap pimpinannya.
Oleh karena dimanapun terdapat potensi lemahnya pengaruh elit-elit birokrasi serikat buruh maka kita akan mengisolasi elit-elit birokrasi serikat buruh dan mendorong semakin tajamnya pertentangan antara massa buruh dengan elit-elit birokrasi serikat buruh. Sehingga memungkinkan massa buruh membebaskan dirinya dari cengkraman elit-elit birokrasi serikat buruh.
Dalam taktik tersebut dorongan dan propaganda utama yang harus kita bawa adalah membongkar kolaborasi antara elit-elit birokrasi serikat buruh dengan elit borjuasi. Persatuan klas buruh sebesar-besarnya bahkan untuk isu-isu yang bisa dianggap kecil. Serta mendorong demokrasi di internal serikat buruh maupun perjuangan klas buruh.
Sejauh apa propaganda tersebut memblejeti elit-elit birokrasi serikat buruh?
Menurut Ted Sprague, “kita mungkin tahu dengan jelas watak sesungguhnya dari reformisme dan para pemimpin ini, tetapi tidak demikian dengan jutaan buruh yang masih berada di bawah pengaruh ini.” Dengan begitu kita tidak boleh serampangan dan histeris, mengutuk dan menghujat setiap saat dan dimanapun. Posisi yang harus diambil adalah “harus selalu mulai dengan hal-hal benar yang dikatakan oleh kaum reformis dan lalu mengemukakan posisi kita.”
Contoh lainnya dikemukakan adalah ketepatan pernyataan sikap PPI yang menurut Ted “tidak sektarian, yang bergerak ke mana massa buruh berada, yang “berani bertarung gagasan dengan para ‘Bangkai berbau busuk’”
Jadi apa yang harus dilakukan oleh kaum revolusioner menurut Ted Sprague? Ambil “hal-hal yang benar” dari mereka dan majukan satu langkah itu rumusan jitunya. Lalu bagaimana dengan hal-hal yang tidak benar?
Bagaimana dengan aliansi mereka dengan Prabowo? Bagaimana dengan pembubaran sekolah-sekolah ekonomi politik? Bagaimana dengan penyingkiran dan pemecatan? Bagaimana dengan jatah komisaris BUMN? Bagaimana dengan…? Jawaban Ted adalah: Yang banyak bertanya dan mengkritik itu adalah orang-orang sektarian. Toh sudah tau bahwa elit-elit reformis itu adalah pengkhianat. Itulah yang disebut sebagai berani bertarung gagasan oleh Ted Sprague.
Mari kita melihat fakta bagaimana kritik kaum revolusioner terhadap elit-elit birokrasi serikat buruh. Hampir tidak ada kritik terhadap elit-elit birokrasi serikat buruh yang dilakukan oleh Militan, PPI ataupun Politik Rakyat. Sementara itu KPO PRP dalam beberapa tulisannya memblejeti elit-elit birokrasi serikat buruh. Namun terdapat kritikan terhadap pernyataan sikap KPO PRP untuk Mogok Nasional III yang menurunkan kritik terhadap elit birokrasi serikat buruh. Kritik tersebut dimuat di Arah Juang edisi V berjudul: “Sekali Lagi Tentang Mogok Nasional”. Sementara itu PPR gencar memberikan kritik melalui websitenya sendiri maupun solidaritas.net.
Pada dasarnya Ted Sprague meminta kaum revolusioner untuk mendiamkan berbagai pengkhianatan yang dilakukan oleh elit-elit birokrasi serikat buruh itu. Dan ini adalah hal yang sangat berbahaya. Klas buruh tidak akan belajar mencintai demokrasi ketika kita tidak memblejeti bahayanya mendukung Prabowo. Klas buruh tidak akan mendambakan pembebasan dirinya dengan revolusi dan sosialisme ketika mereka tidak dijelaskan penindasan yang diakibatkan dari kolaborasi elit-elit birokrasi serikat buruh dengan elit borjuis. Klas buruh tidak akan memahami watak sesungguhnya dari reformisme itu, justru ketika kita tidak membantu membongkar segala pengkhianatan mereka.
Partai Revolusioner Yang Sadar Diri
Adakah Ultra Kiri dalam menolak partai massa buruh besutan GBI? Secara riil ada dua suara yang menolak mendukung partai massa buruh besutan GBI. Yang pertama adalah PPRI dan kedua KPO PRP Yogyakarta. Namun jauh dari tuduhan yang dilontarkan oleh Ted Sprague, kedua-duanya tidak ada yang menolak secara prinsipil.
PPRI dalam selebarannya berjudul: “Kebutuhan Mendesak: Politik Tandingan!” mengapresiasi inisiatif GBI namun dengan sejumlah catatan. Antara lain persoalan kolaborasi yang dilakukan oleh KSPI, KSBSI maupun KSPSI dengan elit-elit borjuis.
Sementara KPO PRP Yogyakarta dalam selebaran May Day 2015 yang berjudul “Merayakan May Day, Membangun Kekuatan Politik Alternatif” menjelaskan kondisi munculnya seruan pembangunan partai massa alternatif. Kondisi tersebut adalah kemunduran gerakan buruh yang diakibatkan oleh cengkraman elit-elit birokrasi serikat buruh itu sendiri. Demikian maka politik yang dibawa oleh partai massa buruh besutan elit-elit birokrasi serikat buruh tersebut tidak akan jauh berbeda dengan politik mereka sebelumnya yaitu berkolaborasi klas.
Pertama, Bagi PPRI maupun KPO PRP Yogyakarta persoalan masuk (atau tidak masuk) ke dalam partai massa buruh adalah persoalan taktik. Ini yang tidak dijawab oleh Ted Sprague dan justru menyebarkan tuduhan ultra kiri. Padahal (2) problem utama kaum revolusioner bukanlah disitu.
Ted secara serampangan memberikan label ultra-kiri terhadap mereka yang menolak masuk kedalam partai massa buruh besutan GBI. Hal ini tidak terlepas dari perspektifnya yang mengangkat taktik masuk kedalam partai massa buruh menjadi sebuah strategi. Yang harus diterapkan dalam kapanpun dan dalam kondisi apapun.
Label yang sama diberikan kepada mereka yang mengkritik elit-elit birokrasi serikat buruh. Memang untuk menjalankan keinginan Ted ditengah elit birokrasi serikat buruh yang semakin ke kanan dan memberangus internalnya sendiri maka semua kritik harus ditanggalkan.
Namun ironinya adalah tujuan masuk kedalam partai massa buruh itu sendiri kemudian menegasikan tujuan untuk merangkul massa buruh yang termaju. Tidak ada potensi radikalisasi massa yang akan memunculkan para pemimpin buruh. Tidak ada syarat-syarat yang memungkinkan kerja-kerja revolusioner untuk memajukan massa buruh.
Memang betul ungkapan bahwa “kebenaran apapun kalau dilakukan berlebihan akan menjadi absurd atau konyol. Kebenaran apapun kalau diaplikasikan melebihi batas-batas yang ada akan menjadi kebalikannya, kekeliruan.” Mengangkat taktik masuk kedalam serikat buruh menjadi strategi yang harus diterapkan dalam waktu dan kondisi apapun bahkan ketika gerakan buruh menurun justru membuat kita menjadi buntut dari elit-elit birokrasi serikat buruh.
Persoalan utama kaum revolusioner sama sekali bukan pada teriakan-teriakan anti atau boikot Partai Massa Buruh. Apa yang dihadapi sekarang, seperti dalam tulisan saya “16 Tahun Reformasi”, terkait dengan pandangan sempit sebagian kaum revolusioner dalam menilai keberhasilan Reformasi 1998. Sehingga membuat “…perjuangan membuka ruang demokrasi tersebut menjadi dilebih-lebihkan, bentuk-bentuk ataupun metode-metode organisasi yang muncul diidealisir mendesak kebelakang atau bercampur aduk dengan perjuangan sosialisme itu sendiri, dengan partai revolusioner.”
Pencampuradukan tersebut dapat terlihat dari (1) Meletakan tujuan dari partai revolusioner kepada partai massa buruh. Tujuan partai revolusioner adalah: menghancurkan tatanan kapitalisme. Untuk bersama klas buruh dan rakyat merubah secara radikal tatanan ekonomi dan politik. Kekuasaan (politik) untuk menjaga dan mengontrol ekonomi yang sebelumnya dipegang oleh borjuis, yang segelintir itu, akan diambil alih oleh mayoritas klas buruh dan rakyat. Ekonomi akan direncanakan secara demokratis dan sadar. Oleh karena itu kekuasaan politiknya pun harus demokratis, bukan politik lima tahunan, namun kekuasaan politik yang kapanpun dapat digunakan oleh klas buruh dan rakyat.
Dalam pernyataan sikapnya yang berjudul “Kaum Buruh, Ayo Berpolitik dan Majukan Gerak Sejarah”, Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI) menyatakan mendukung deklarasi GBI untuk membangun alat politiknya sendiri. Dan menyatakan bahwa partai politik tersebut harus memiliki program yang salah satunya adalah” menata ulang ekonomi yang bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak, seperti sektor finansial perbankan, pertambangan migas dan non-migas, pertanian dan perkebunan besar atau agrobisnis, kehutanan, transportasi, telekomunikasi – yang akan diletakkan dalam sistem ekonomi terencana yang demokratis.”
Lagi dalam tulisan Azmir Zahara, DPP PPI Bekasi dinyatakan bahwa “…pembentukan partai buruh sebagai alat politik adalah untuk mengakhiri kediktatoran kelas borjuis. “Selanjutnya, pendirian partai ini, mau tidak mau bertujuan merebut kekuasaan kelas borjuasi dan membangun pemerintahan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Kelas buruh berkuasa dengan beraliansi dengan sekutu tertindas lainnya.” Dalam tulisan Restu Baskara dikatakan bahwa partai massa buruh tersebut harus “…menyerukan membangun sosialisme, karena itu satu-satunya jalan untuk pembebasan manusia dan alam dunia ini dari penindasan kapitalisme dan imperialisme.”
Apakah yang dimaksud dengan “menata ulang ekonomi” sehingga membentuk sebuah “sistem ekonomi terencana yang demokratis”? Apakah yang dimaksud dengan mengakhiri “kediktaktoran borjuis” atau “membangun pemerintahan rakyat” yang merupakan aliansi antara klas buruh dengan sekutu tertindas lainnya? Ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah revolusi untuk menghancurkan tatanan kapitalisme. Dan itu tidak akan bisa menjadi tujuan dari partai massa buruh.
Kedua, Menganggap bahwa partai massa buruh dapat dirubah menjadi partai revolusioner. Bahwa kaum revolusioner akan dapat mempengaruhi seluruh massa partai massa buruh menjadi berkesadaran sosialis. Ini adalah sesuatu yang mustahil bahkan paska revolusi, masih akan ada sisa-sisa kesadaran borjuis.
Menurut Restu Baskara tugas kaum revolusioner adalah “…mempengaruhi perspektif dan ideologi”. Dengan begitu maka diharapkan dapat dibangun “…kesadaran di massa buruh luasnya terutama seperti di konfederasi kuning agar bisa sadar secara ideologis.” Tujuan akhirnya adalah memiliki kesadaran “…membangun sosialisme”.
Ada penekanan yang berlebihan diantara kaum revolusioner terhadap kuantitas massa. Sepertinya kaum revolusioner yang kuantitasnya kecil selalu mendapatkan stempel bahwa mereka adalah kelompok yang tidak bisa apa-apa. Seperti yang tertuang dalam sartir yang ditulis oleh Surya Anta dari PPR. Dimana karena jumlahnya yang kecil tersebut maka tidak boleh banyak omong. Ataupun ironi sindiran Oncom, pimpinan FPBI di group WA terhadap KPO PRP yang berjualan koran dengan mengatakan: “Bangun partai pake massa atau pake koran?” Padahal FPBI sering dikategorikan sebagai serikat buruh merah atau kiri.
Dengan kaum revolusioner yang melebih-lebihkan persoalan kuantitas sementara memundurkan persoalan ideologi dan program maka tidak akan mungkin terjadi apa yang disebut sebagai “aktivitas kaum revolusioner yang independen dan bebas”.
Begitu banyak bantuan diberikan oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai kaum revolusioner untuk mengurusi advokasi keresahan dan persoalan-persoalan normatif. Namun hampir tidak ada yang dilakukan untuk menaikan kesadaran klas buruh menjadi revolusioner. Menjelaskan tujuan-tujuan mendasar dari pembebasan klas buruh dan rakyat. Penekanan utama akan berkutat pada mengumpulkan sebanyak mungkin massa, yang dalam banyak hal ini akan berkaitan dengan aktivisme meng-advokasi keresahan-keresahan. Karena berbasiskan atas advokasi keresahan-keresahan itu maka bentuk organisasi utamanya adalah organisasi-organisasi massa atau serikat buruh. Kerja-kerja penyebarluasan ide-ide maju, untuk mendapatkan dukungan berdasarkan atas kesadaran (bukan keresahan) dari massa buruh akan dimundurkan.
Karena sudah terbiasa memundurkan apa itu partai revolusioner hanya pada persoalan mobilisasi massa saja maka ketika melihat (kemungkinan) adanya serikat-serikat buruh besar membangun partai mereka terjebak dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa diberikan atribut-atribut revolusioner. Akibatnya kaum revolusioner akan mengikuti perkembangan apapun yang muncul dari gerakan buruh tanpa berupaya memajukannya.
Hubungan didalam GBI akan lebih banyak merupakan kesepakatan-kesepakatan tertutup diantara berbagai pimpinan organisasi dan elit-elit birokrasi serikat buruh. Tidak heran bahwa paska gegap gempita pembicaraan tentang deklrasi partai massa buruh May Day kemarin, tidak ada kabar lanjutannya. Kesepakatan apapun dengan elit-elit birokrasi serikat buruh itu, hitam diatas putih akan dapat dengan mudah mereka buang. Kemudian hanya meninggalkan kuasa elit-elit birokrasi tetap kuat terhadap massa buruh.
Membangun kesepakatan-kesepakatan dengan elit-elit birokrasi serikat buruh itu menggantikan tugas utama kaum revolusioner untuk mendapatkan dukungan sadar dari massa buruh yang termaju. Karena memang selama ini tidak ada tradisi melakukan aktivitas yang terkait dengan penyebarluasan gagasan revolusioner. Tidak ada koran partai revolusioner, minim sekali media-media propaganda lainnya seperti selebaran ataupun online.
Kesalahan dalam melihat mana yang menjadi persoalan dalam praktek dan perspektif kaum revolusioner akan memperkuat dimundurkannya partai revolusioner. Pada akhirnya kita akan memukuli hantu ultra kiri sementara justru mendorong kaum revolusioner tercampur aduk, bekerja tanpa syarat mengikuti dan pada akhirnya terlikuidasi dalam lautan partai massa buruh.
Lalu kapan pembangunan partai revolusioner dapat dilakukan? Kapan kita akan memiliki koran reguler? Kapan kita akan memiliki kader yang solid, berdisiplin dan bergerak secara kompak?
Saya teringat diskusi dengan seorang kawan, dia menjawab pertanyaan tersebut: Tidak mungkin kita membangun partai revolusioner kalau masih kecil. Jika kita sudah memiliki basis massa cukup besar maka partai revolusioner dapat dibangun. Oleh karena itu kita harus membangun konfederasi serikat buruh kita sendiri dahulu, organisasi mahasiswa kita, organisasi pemuda, petani, perempuan, nelayan, dsb, dsb, dsb. Ted juga menggunakan alasan masih kecil (harus siap “secara ideologis maupun organisasional”) untuk membatasi kerja-kerja yang akan dilakukan oleh partai revoluisoner.
Satu hal yang tidak pernah dijawab oleh mereka adalah, kapan waktu yang tepat untuk membangun partai revolusioner? Kapan waktu yang tepat untuk melakukan intervensi? Apakah jika sudah memiliki konfederasi serikat buruh yang beranggotakan 50 juta buruh? Ataukah jika sudah membaca dan hafal seluruh karya Marx, Engels, Lenin dan Trotsky?
Kehidupan bagaimanapun akan lebih kaya daripada teori manapun. Namun saat ini justru yang sangat penting adalah melawan upaya-upaya memundurkan partai revolusioner. Melawan upaya yang menjadikan sosialisme terpisah dari gerakan buruh maupun memisahkan gerakan buruh dari sosialisme.
Salah satu esensi dan strategi atau taktik adalah justru untuk melipatgandakan kekuatan kita. Jika kita memiliki strategi atau taktik yang tepat maka kekuatan yang kecil bisa berkembang. Jika Ted Sprague melihat intervensi masuk ke dalam partai massa buruh adalah sesuatu yang potensial untuk mendapatkan kaum buruh yang rela berkorban dan yakin dengan tujuan revolusioner maka adalah sebuah keharusan untuk masuk kedalamnya.
Kaum revolusioner dimanapun juga dalam masa-masa pra revolusi selalu merupakan minoritas kecil.
Namun itu bukan berarti kita harus mengutuki kondisi tersebut. Yang justru dapat membuat kita kehilangan fungsi kepeloporan. Karena merasa bahwa tidak ada hal-hal yang bisa dicapai oleh kondisi kecil tersebut. Dan sebaiknya kita fokus pada diri kita sendiri dan menunggu melakukan hal-hal lain ketika kita sudah besar dan kuat. Justru kita tidak akan pernah mengetahui batasan-batasan dari kondisi kita yang masih merupakan minoritas kecil jika kita tidak terus menerus berupaya mendorong maju kerja-kerja kaum revolusioner. Itu makna kepeloporan.
Selesai………….
Oleh : Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.
Catatan Kaki :
- Silahkan membandingkan : KPO PRP : www.arahjuang.com dan koran Arah Juang edisi III, IV dan V. Untuk PPR bisa dilihat di: http://koranpembebasan.org/. Terdapat juga beberapa tulisan juru bicara PPR dan di www.solidaritas.net. Untuk PPI bisa dilihat di https://ppibekasi.wordpress.com/ dan https://ppijkt.wordpress.com. Untuk Politik Rakyat: www. politikrakyat.com. Untuk Militan: www.militanindonesia.org
- http://koranpembebasan.org/2015/05/kebutuhan-mendesak-politik-tandingan.html
- http://www.arahjuang.com/2015/04/27/merayakan-hari-buruh-membangun-kekuatan-politik-alternatif/
- https://ppijkt.wordpress.com/2015/04/28/kaum-buruh-ayo-berpolitik-dan-majukan-gerak-sejarah/#more-1231
- https://ppibekasi.wordpress.com/2015/05/17/politik-kelas-buruh-bagian-ii/
- https://ppijkt.wordpress.com/2015/04/28/situasi-sekarang-akan-pentingnya-partai-buruh-dan-langkah-ke-depan/
- https://ppijkt.wordpress.com/2015/04/28/situasi-sekarang-akan-pentingnya-partai-buruh-dan-langkah-ke-depan/
- http://pembebasan.org/marx-marxisme-printilan-dan-kaum-anti-kritik.html
mantap gan http://screensay.com/article/1146/partai-idaman