Kekayaan alam di Asia Tenggara yang belum dimanfaatkan sedang digali, tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan hak asasi manusia.
Telah muncul bukti baru bahwa kekerasan sistematis terhadap etnis Rohingya di Burma – “disebut sebagai genosida oleh beberapa ahli” – secara aktif didukung oleh institusi negara. Tapi hubungan kekerasan tersebut dengan ambisi negara untuk dengan cepat memperbesar produksi bahan bakar fosil, dengan dampak negatif yang besar bagi penduduk lokal dan lingkungan, telah diabaikan.
Lebih dari 125.000 etnis Rohingya telah diusir dengan paksaan sejak gelombang kekerasan melanda negara bagian Arakan, Burma tahun lalu, yang terus terjadi sampai sekarang, menurut laporan Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York. Kampanye “pembersihan etnis” terhadap minoritas Muslim Arakan, meskipun hasutan dilakukan sebagian besar oleh para biksu Buddha yang menggalang massa lokal, merupakan hasil dari “keterlibatan dan perencanaan ekstensif oleh negara “, menurut direktur HRW UK David Mepham.
Kelompok ini berpendapat bahwa:
“Semua pasukan keamanan negara [di Arakan] terlibat dalam kegagalan untuk mencegah kekejaman atau secara langsung terlibat di dalamnya, termasuk polisi setempat, polisi anti huru hara Lon Thein, otoritas antar-lembaga yang mengontrol perbatasan yang disebut Nasaka, dan tentara dan angkatan laut.”
Etnis minoritas Rohingya di Burma telah tinggal di negara itu selama beberapa dekade, tetapi secara resmi ditolak kewarganegaraan oleh pemerintah, menjadi objek kerja paksa, penyitaan tanah sewenang-wenang, dan terus menerus didiskriminasi. Meskipun kekerasan terbaru menimbulkan pertanyaan penting tentang integritas proses reformasi demokrasi nyata di Burma, Barat tidak bersedia serangan terhadap Rohingya mengganggu upaya mereka untuk mengintegrasikan rezim ke pasar global.
Dua tahun terakhir dapat dilihat pertama AS, kemudian Inggris dan Uni Eropa, mencabut sanksi ekonomi mereka yang telah berjalan selama beberapa dekade. Dengan maksud untuk “membuka bab baru” dalam hubungan dengan Burma.
Terletak secara strategis di antara India dan China, Burma kaya akan bahan bakar fosil dan sumber daya mineral lainnya, termasuk minyak bumi, gas, emas, kayu dan batu giok. Dalam beberapa bulan terakhir, bahkan ketika kekerasan genosida meningkat, negeri tersebut telah didekati oleh para pemimpin dunia, seperti Presiden Barack Obama, Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, dan Presiden Komisi Eropa José Manuel Barroso.
Seperti yang dilaporkan Forbes, terimakasih pada “cadangan minyak bumi dan gas alam yang luas, belum dimanfaatkan ” milik Burma – diperkirakan antara 11 triliun dan 23 triliun kaki kubik – “dan dengan sanksi yang telah dicabut serta dunia yang haus akan sumber energi baru, perusahaan multinasional Barat bersemangat untuk menandatangani perjanjian. ”
Tetapi perusahaan-perusahaan asing harus bermitra dengan perusahaan lokal untuk dapat mengajukan penawaran. Kondisi ini telah mendorong kroni elit kapitalis Myanmar yang terdiri kurang dari 20 keluarga – yang banyak di antaranya membangun kerajaan bisnis mereka di belakang bantuan negara yang sebelumnya berasal dari junta militer – untuk mengubah citra diri mereka menjadi broker jujur bagi investor Barat yang mencari daerah usaha baru.
Mencoba untuk mengkonsolidasikan posisi istimewa mereka dalam ekonomi yang sangat tidak adil tetapi kaya sumber daya, keluarga bisnis Burma membuat upaya baru untuk segera mengambil keuntungan dari sumber daya alam, membesar-besarkan kegiatan amal mereka, dan membangun hubungan baru dengan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi.
Investasi asing saat ini didominasi oleh Cina, Thailand dan perusahaan India, yang dioperasikan relatif tidak terpengaruh oleh sanksi Barat, tapi Amerika, perusahaan multinasional Inggris dan Perancis seperti Chevron, BP, Shell, dan Total berebut untuk mengejar ketinggalannya.
Namun berebut mengeksplorasi Burma untuk bisnis telah memainkan peran langsung dalam mengobarkan ketegangan masyarakat. Salah satu penyebab yang paling menonjol adalah Shwe Gas Project yang dipimpin oleh perusahaan Korea Selatan dan India, untuk mengekspor gas alam melalui pipa dari negara bagian Arakan ke provinsi Yunnan, Cina. Pipa darat sepanjang 2,800km dijadwalkan mulai beroperasi tahun ini.
Proyek ini direncanakan untuk memproduksi 500 juta kaki kubik (Mcfd) gas bumi per hari selama 30 tahun, memasok 400 Mcfd ke Cina, dan sisanya 100 Mcfd ke pabrik yang dimiliki oleh pemerintah Burma, militer dan elit bisnis terkait.
Yang kalah dari usaha ini adalah rakyat Burma dan lingkungan hidup. Sebuah laporan ekstensif oleh Gerakan Gas Shwe (SGM), jaringan hak asasi manusia berbasis di Burma, mendokumentasikan penghancuran industri perikanan dan pertanian lokal, termasuk penyitaan ribuan hektar tanah untuk “membersihkan daerah yang akan dilalui pipa dan infrastruktur terkait”, dari tahun 2010 sampai 2011. Puluhan ribu orang telah menjadi pengangguran, dengan sedikit atau tanpa kompensasi atau kesempatan kerja.
Pipa tersebut juga melintasi ekosistem hutan Arakan Yoma dari Western Mountain Range, bagian dari wilayah Timur Hindu Kush-Himalaya, sehingga mengakibatkan erosi tanah dan membahayakan spesies yang ada. Sepertiga dari terumbu karang utara dari kota Kyauk Phyu telah rusak parah, merusak ikan dan kehidupan laut, dan nelayan lokal. Sungai air tawar dan saluran air telah dikeruk untuk mengambil pasir dan kerikil untuk berbagai macam konstruksi, dan dijadikan tempat pembuangan bahan beracun.
Pada Desember 2011, proyek pipa memicu kemarahan meluas di kota Arakan dan daerah pedesaan, karena masyarakat setempat menuntut penyediaan listrik 24 jam. Program Pembangunan PBB menempatkan Arakan di peringkat kedua negara bagian Burma yang paling miskin, sekitar 3 juta orang yang tinggal di Arakan tidak memiliki akses listrik publik, dengan hanya beberapa kota-kota besar dapat mengakses listrik dan itu hanya lima sampai enam jam per hari, yang disediakan oleh perusahaan perusahaan dengan harga yang terlalu tinggi 400-600 Kyat per unit (dibandingkan dengan 25 KW per unit di Rangoon). Secara keseluruhan, Burma adalah negara termiskin di Asia Tenggara, dengan sepertiga dari penduduk hidup dalam kemiskinan.
Oleh karena itu, kemungkinan besar letusan kekerasan etnis di Arakan terhadap etnis Rohingya enam bulan kemudian ditahun 2012 dipicu ketegangan mendidih yang ditimbulkan oleh meningkatnya marginalisasi ekonomi. Di satu sisi, semakin dalamnya krisis ekonomi di Arakan, dipicu oleh proyek pipa yang yang dukungan negara, meletakkan dasar bagi meningkatnya xenophobia dan rasisme terhadap Rohingya.
Di sisi lain, lembaga negara Burma tampaknya sengaja memupuk kampanye pembersihan etnis untuk mengalihkan kemarahan populis jauh dari dampak buruk yang ditimbulkan proyek pipa, dan sebagai gantinya ke arah target yang paling mudah dan rentan.
Bahkan ketika kekerasan terhadap Rohingya meningkat, konflik juga telah pecah di sepanjang rute pipa antara pasukan keamanan Burma dan kelompok perlawanan bersenjata lokal yang terkait dengan negara bagian Kachin, di mana rakyat menghadapi penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, kerja paksa, pemerkosaan dan kekerasan seksual di tangan Angkatan Bersenjata Burma.
Penderitaan berbagai kelompok-kelompok ini menggarisbawahi bahwa dongeng transisi merekahnya demokrasi Burma adalah persis seperti itu – sebuah dongeng.
Tapi terpikat oleh janji keuntungan yang luar biasa besar, ini merupakan dongeng yang nyaman bagi kekuatan gelobal yang sedang bersemangat bersaing untuk mengeksplorasi kekayaan alam, tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan korban jiwa.
Diterjemahkan dari tulisan Dr. Nafeez Ahmed “The dirty fossil fuel secret behind Burma’s democratic fairytale” yang dimuat dalam website The Guardian.
Diterjemahkan Oleh Danang April, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP Yogyakarta.
Saat ini perdamaian dunia sepertinya sudah tidak berdiri tegak lagi