Perspektif

Ilmu Pengetahuan Sosial “Bebas Nilai” Atau Nilai Komitmen Politik terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial

KnowledgeOleh : James Petras

Pendahuluan

Dalam berdekade belakangan ini, ilmuan-ilmuan sosial utama, kebanyakan konservatif, berpendapat bahwa komitmen politik dan penelitian ilmiah tidak kompatibel. Bertentangan dengan kecenderungan opini tersebut, kelompok lainnya, kebanyakan ilmuan sosial yang terlibat dalam politik, berpendapat bahwa penelitian ilmiah dan komitmen politik tidak bertentangan.

Dalam esai ini saya akan berargumentasi mendukung posisi kedua dengan menunjukan bahwa kerja-kerja ilmiah tertanam didalam alam semesta sosio-politik. Hal ini dapat disangkal oleh seorang praktisi namun tidak dapat dihindari. Saya lebih jauh menyatakan bahwa ilmuan sosial yang tidak sadar atas faktor penentu sosial dari kerja mereka, besar kemungkinan akan jatuh menjadi mangsa prosedur paling ketat dari kerja mereka – asumsi mereka yang tidak dipertanyakan, yang mengarahkan tujuan serta akibat dari penelitian mereka.

Kita kemudian akan melanjutkannya dengan menunjukan hubungan antara kerja ilmu pengetahuan sosial dengan komitmen politik dan meneliti semesta politik-institusional dimana penelitian ilmu pengetahuan sosial dilakukan. Kita akan mengingat kembali pengalaman sejarah dari pusat penelitian ilmu pengetahuan sosial serta, khususnya, hubungan antara ilmu pengetahuan sosial dengan sponsor keuangannya serta juga dengan mereka yang mendapatkan manfaat dari kerja-kerja tersebut.

Kita kemudian akan menjelaskan keuntungan positif, yang diberikan oleh komitmen politik, terutama dalam mempertanyakan subjek materi yang sebelumnya diabaikan serta asumsi-asumsi yang sudah mapan.
Kita akan mulai dengan mengangkat beberapa pertanyaan dasar mengenai kerja ilmiah dalam sebuah masyarakat berklas: secara khusus, bagaimana aturan-aturan analisa logis serta metode historis dan empiris diterapkan pada tujuan-tujuan penelitian yang ditentukan oleh elit-elit berkuasa.

Penelitian Ilmiah Ilmu Pengetahuan Sosial dan Konteks Sosio-politik

Kerja-kerja ilmiah memiliki aturan penyelidikannya terkait dengan pengumpulan data, prosedur analitiknya, formulasi hipotesis dan logika untuk mencapai kesimpulan. Namun, tujuan penelitian, subjek materi yang dipelajari, pertanyaan tentang ‘pengetahuan untuk apa?’ dan ‘untuk siapa?’ tidaklah inheren didalam metode ilmiah. Ilmuan tidak secara otomatis menunjukan identitas klas mereka ketika mereka memulai usaha ilmiahnya. Klas atau identitas sosial serta ambisi mereka, aspirasi profesional mereka serta kepentingan ekonomi mereka sangat mendalam mempengaruhi apa yang mereka pelajari dan siapa yang diuntungkan dari pengetahuan mereka.

Metode ilmiah ilmu pengetahuan sosial adalah alat yang digunakan untuk memproduksi pengetahuan bagi aktor sosial dan politik tertentu, entah mereka adalah elit-elit politik dan ekonomi inkumben atau klas-klas oposisi dan kelompok-kelompok non elit lainnya.

Asal Usul Historis Ilmu Sosial yang Dipengaruhi Elit

Setelah Perang Dunia II, elit-elit bisnis kaya dan pemerintahan kapitalis di Amerika Serikat dan Eropa Barat mendirikan dan mendanai begitu banyak lembaga penelitian yang dengan hati-hati memilih fungsionaris untuk memimpinnya. Mereka memilih kaum intelektual yang memiliki kesamaan perspektif dengan mereka. Kaum intelektual yang dapat diandalkan untuk mempromosikan studi dan akademisi yang sesuai dengan kepentingan imperial dan klas mereka. Hasil dari saling keterkaitan antara kepentingan bisnis dan negara, lembaga-lembaga serta pusat penelitian akademik ini adalah penerbitan buku-buku, artikel-artikel dan jurnal-jurnal serta penyelenggaraan konferensi dan seminar, yang membenarkan ekspansi ekonomi dan militer luar negeri AS. Sementara mengabaikan akibat destruktif dari kebijakan-kebijakan tersebut terhadap berbagai negeri dan rakyat yang menjadi sasaran. Ribuan publikasi, didanai jutaan dollar dalam hibah penelitian, berargumentasi bahwa ‘Barat adalah benteng demokrasi pluralistik’, sementara gagal mengakui, apalagi mendokumentasikan, pertumbuhan tatanan hirarkial imperialis di seluruh dunia.

Sepasukan sarjana dan peneliti menciptakan bahasa eufimistis untuk menutupi imperialisme. Sebagai contoh, ilmuan-ilmuan sosial terkemuka berbicara dan menulis tentang ‘pemimpin dunia’, sebuah konsep yang menyiratkan konsensus penerimaan berdasarkan atas persuasi. Ketimbang menggambarkan kenyataan tentang ‘dominasi imperial’, yang lebih tepat mendefinisikan penggunaan universal atas kekuatan, kekerasan serta eksploitasi kekayaan nasional. Istilah ‘pasar bebas’, berfungsi untuk menutupi kecenderungan historis menuju konsentrasi dan monopolisasi kekuasaan keuangan. ‘Pasar bebas’ mengaburkan rejim-rejim otoritarian agresif dan represi yang beraliansi dengan kekuasaan Eropa-AS. Banyak konsepsi eufimisme lainnya dibentuk untuk membenarkan ekspansi imperialis. Konsepsi tersebut diangkat ke status ilmiah dan dianggap ‘bebas nilai’.

Transformasi ilmu sosial menjadi senjata ideologi dari klas berkuasa merefleksikan basis institusional dan komitmen politik dari penelitinya. “Perilaku jinak” dari pembangunan-kerajaan AS paska Perang Dunia Kedua, menjadi asumsi yang beroperasi memandu penelitian ilmiah. Lebih dari itu, akademisi utama menjadi pemegang kunci dan anjing penjaga yang memperkuat ortodoksi politik baru dengan mengklaim bahwa penelitian kritis, yang berbicara untuk konstituen non elit, adalah tidak ilmiah, bermuatan ideologis dan terpolitisasi. Namun, akademisi, yang berkonsultasi dengan Pentagon atau terlibat dalam hubungan revolving-door dengan perusahaan-perusahaan multi nasional, dibebaskan dari hinaan keilmuan yang serupa: mereka hanya dilihat secara sederhana sebagai ‘konsultan’ yang aktivitas ekstrakulikuler ‘normal’-nya dipisahkan dari kerja akademik ilmiah mereka.

Bertentangan dengannya, sarjana-sarjana yang penelitiannya diarahkan untuk mendokumentasi struktur kekuasaan dan untuk memandu aksi politik dari gerakan sosial dikecam sebagai ‘bias’, ‘politis’ dan tidak sesuai untuk karir akademik manapun.

Dengan kata lain, otoritas akademik mereplikasi represi sosial dari klas berkuasa dalam masyarakat, didalam tembok akademi. Senjata ideologis utama adalah untuk mempertentangkan ‘objektivitas’ dengan ‘nilai’. Secara khusus, mereka akan berpendapat bahwa ‘ilmu pengetahuan sosial yang benar’ adalah bebas nilai bahkan ketika penelitian yang mereka terbitkan sebagian besar diarahkan untuk memperkuat kekuasaan, keuntungan dan hak istimewa dari para pemilik kekuasaan inkumben.

“Akademisi Objektif”: Pembuatan Eufimisme dan Kebangkitan Neoliberalisme

Selama dua dekade terakhir, seiring perjuangan klas dan pembebasan nasional semakin intensif dan kesadaran populer meningkat dalam oposisi terhadap neoliberalisme, salah satu fungsi kunci hamba akademik dari klas yang dominan adalah untuk mengelaborasi konsep dan bahasa yang menyelubungi kenyataan-kenyataan keras yang terkait dengan klas, yang memprovokasi perlawanan popular.

Sejumlah eufimisme, yang awalnya dielaborasi oleh ilmuan-ilmuan sosial terkemuka, telah menjadi hal umum di dunia melampaui menara gading dan telah dianut oleh kepala-kepala institusi keuangan internasional, para editor, pakar politik dan selebihnya.

Dua puluh tahun lalu, konsep ‘reformasi’ mengacu pada perubahan-perubahan progresif: berkurangnya ketidakadilan, kesejahteraan sosial yang semakin besar, meningkatnya partisipasi popular dan lebih banyak pembatasan eksploitasi kapitalis terhadap buruh. Sejak saat itu, ilmuan sosial kontemporer (terutama ilmuan ekonomi) menggunakan istilah ‘reformasi’ untuk menggambarkan perubahan regresif, seperti deregulasi kapital, terutama sekali privatisasi badan usaha negara, institusi kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain, akademisi utama mengubah konsep ‘reformasi’ menjadi bisnis pribadi demi keuntungan. ‘Reformasi’ telah berarti pembalikan seluruh kemajuan klas buruh yang telah dimenangkan diabad-abad sebelumnya melalui perjuangan popular. ‘Reformasi’ dipromosikan oleh ideolog neoliberal, berkotbah tentang kebajikan kapitalisme yang tidak dikekang. Klaim mereka bahwa ‘efisiensi’ membutuhkan diturunkannya ‘biaya-biaya’, faktanya berarti penghilangan semua peraturan mengenai kualitas konsumen, keselamatan kerja dan hak buruh.

Gagasan mereka tentang ‘efisiensi’ gagal untuk memahami bahwa ekonomi, yang meminimalisir keselamatan di tempat kerja, atau menurunkan kualitas barang-barang konsumsi (terutama sekali makanan) dan menekan upah, adalah tidak efisien dari cara pandangan memaksimalkan kesejahteraan umum dari sebuah negeri. ‘Efisiensi’ dibatasi oleh ahli ekonomi ortodoks dalam kebutuhan klas yang sempit dan kepentingan keuntungan bagi segelintir kecil populasi. Mereka mengabaikan fakta sejarah bahwa asumsi awal dari ekonomi klasik adalah untuk menyediakan keuntungan terbesar kepada sebanyak mungkin orang.

Konsep ‘penyesuaian struktural-structural adjustment’ adalah eufimisme regresif lainnya, yang telah beredar luas dikalangan ilmuan sosial utama neoliberal. Selama beberapa dekade sebelum pengaruh neoliberal, konsep ‘perubahan struktural’ berarti transformasi hubungan kepemilikan dimana sektor-sektor utama strategis ekonomi dinasionalisasi, pendapatan didistribusikan ulang dan reforma agraria diterapkan. ‘Konsepsi klasik perubahan struktural’ ini diubah oleh ahli neoliberal utama menjadi kutub yang berlawanan: sasaran baru dari ‘perubahan struktural’ adalah kepemilikan publik, tujuannya adalah untuk memprivatisasi dengan menjual perusahaan negara yang menguntungkan kepada konglomerat-konglomerat swasta dengan harga paling murah. Dibawah tatanan baru pembuat kebijakan neoliberal, ‘penyesuaian struktural’ menghasilkan potongan terhadap pajak keuntungan dari mereka yang kaya dan peningkatan upah regresif dan pajak konsumen terhadap buruh dan klas menengah. Dibawah neoliberalisme, ‘penyesuaian struktural’ melibatkan konsentrasi ulang kekayaan dan kepemilikan.

Ruang lingkup dan kedalaman dari perubahan, yang dibayangkan oleh ahli ekonomi neoliberal, jauh melebihi sebuah ‘penyesuaian’ sederhana dari negara kesejahteraan yang ada; melibatkan perubahan skala besar, jangka panjang dari standart kehidupan dan kondisi kerja. ‘Penyesuaian’ adalah eufimisme lainnya yang dibentuk oleh akademisi untuk mengkamuflasekan konsentrasi lebih besar kekayaan plutokratik, kepemilikan dan kekuasaan.

Konsep ‘fleksibilitas tenaga kerja’ telah mendapatkan penerimaan oleh ilmuan-ilmuan sosial ortodoks meskipun bias terkait-klas. Makna operasional dari konsep tersebut adalah memaksimalkan kekuasaan klas kapitalis untuk menentukan jam kerja dan dengan bebas memecat buruh dengan alasan apapun, meminimalisir atau menghilangkan peringatan dan pesangon. Istilah ‘fleksibilitas’ adalah eufimisme lainnya untuk kontrol kapitalis tak terbatas terhadap buruh. Wajar hal tersebut berakibat pada buruh kehilangan jaminan kerja dan perlindungan dari PHK sewenang-wenang. Konotasi negatifnya dikaburkan oleh manipulasi bahasa para ilmuan sosial atas nama klas kapitalis: makna operasional dari ‘fleksibilitas tenaga kerja’ adalah ‘kekakuan kapitalis’.

Contoh keempat kita dari bias klas ilmu pengetahuan sosial utama neoliberal adalah konsep ‘ekonomi pasar’. Makna luas dari ‘pasar’ gagal untuk menspesifikan beberapa karakteristik esensial: Ini termasuk corak produksi dimana transaksi pasar terjadi; ukuran dan ruang lingkup aktor-aktor utama (pembeli dan penjual); dan hubungan antara produsen dan konsumen, bankir (kreditur) dan manufaktur (debitur).

‘Pasar’ telah ada dibawah ekonomi perbudakan, feodal, merkantilis dan kapitalis. Selain itu, dalam kondisi saat ini, pasar petani lokal skala kecil, produsen koperasi dan pasar konsumen ‘hidup berdampingan’ dan diserap kedalam pasar nasional dan internasional. ‘Aktor’ bervariasi dari petani sayur-sayuran dan buah-buahan skala kecil, nelayan dan pasar tukang hingga pasar yang didominasi oleh konglomerat-konglomerat multi miliarder. Hubungan didalam pasar tersebut bervariasi antara pasar lokal kompetitif, ‘relatif’ bebas dan pasar internasional masif yang didominasi oleh sepuluh konglomerat ‘monopoli’ terbesar. Sekarang di Amerika Serikat, bankir internasional dan institusi keuangan lainnya memiliki pengaruh besar terhadap semua aktivitas pasar skala besar.

Dengan mencampur semua perbedaan dan disparitas ‘pasar’ dibawah istilah generik ‘ekonomi pasar’, ilmuan sosial memainkan sebuah fungsi ideologis penting untuk mengaburkan konsentrasi kekuasaan dan kekayaan dari institusi kapitalis oligarkial serta peran yang dimainkan institusi keuangan dalam menentukan peran negara untuk mempromosikan dan melindungi kekuasaan.

Pertanyaan Mengenai Komitmen Politik dan Objektivitas Dipertimbangkan Ulang

Dengan secara kritis meneliti beberapa konsep utama yang memandu peneliti ilmu pengetahuan sosial ortodoks, kita telah menyingkap bagaimana komitmen politik mereka kepada sistem kapitalis dan bagaimana klas yang memimpinnya menunjukan tujuan mereka dan analisa, mengarahkan penelitian mereka dan memandu rekomendasi kebijakan mereka.

Setelah komitmen politik mereka mendefinisikan ‘rumusan masalah’ penelitian yang harus dipelajari. Kemudian menetapkan kerangka konseptualnya, mereka menerapkan metode ‘empiris’, historis dan matematis untuk mengumpulkan dan mengorganisir data. Mereka kemudian menerapkan prosedur logis untuk ‘mencapai kesimpulan’. Dengan dasar yang cacat ini mereka mempresentasikan karya mereka sebagai ilmu pengetahuan sosial ‘bebas nilai’. Satu-satunya ‘kritik yang diterima’ terbatas bagi mereka yang bekerja didalam parameter konseptual dan asumsi akademik mainstream.

Siapa Yang Diuntungkan dari Penelitian Ilmu Sosial?

Dalam 150 tahun sejak ‘pendiriannya’ didalam universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian, para pemberi dana dan penjaga gerbang dari profesi, termasuk para editor jurnal profesional dan akademik, sangat mempengaruhi ilmuan sosial utama. Ini terutama sekali benar saat periode ‘normal’ pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan perang imperialis yang berhasil. Namun, krisis ekonomi yang mendalam, kekalahan perang berkepanjangan dan pergolakan sosial tidak dapat dihindari memiliki dampak pada dunia ilmu pengetahuan sosial. Keretakan dan perbedaan diantara ilmuan tumbuh sebanding langsung dengan ‘keruntuhan’ tatanan yang telah mapan: paradigma akademik dominan terlihat tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dari akademisi dan juga publik. Krisis dan gerakan massa nasional, klas, rasial dan gender yang mengiringinya memunculkan tantangan pada paradigma akademik dominan. Pada awalnya, sebuah minoritas, kebanyakan mahasiswa dan sarjana yang lebih muda membentuk sebuah pelopor iconoclast melaui kritik mereka, membongkar bias-bias politik yang tertanam didalam kerja ilmuan-ilmuan sosial terkemuka.

Sebagai contoh, kritik menunjukan bahwa mengejar ‘stabilitas’, ‘kemakmuran’, ‘kohesi sosial’ dan ‘perubahan yang dimanajemen’ adalah tujuan-tujuan ideologis, yang ditentukan oleh dan untuk menjaga klas dominan yang menghadapi keruntuhan sosial, kemiskinan yang semakin luas dan semakin dalamnya perubahan sosial.

Apa yang mulai sebagai sebuah gerakan minoritas mengkritik klaim ‘bebas nilai’ dari mainstream, menjadi gerakan mayoritas, secara terbuka merangkul nilai informasi ilmu pengetahuan sosial yang berorientasi kepada memajukan perjuangan gerakan popular. Hal ini terjadi melalui ilmuan-ilmuan sosial yang berkomitmen, yang kerjanya mengkritik struktur kekuasaan dan mengajukan institusi ekonomi serta hubungan klas, nasional, ras dan gender alternatif.

Krisis ekonomi, kekalahan imperialis dan kebangkitan perjuangan sosial direfleksikan dalam polarisasi didalam dunia akademik: antara mahasiswa dan akademisi yang lebih muda yang berhubungan dengan perjuangan massa dan fakultas senior yang terkait dengan negara/ yayasan yang sudah mapan.

Karena kehilangan hegemoni ideologi, penjaga gerbang elit menggunakan represi: Menolak memberikan waktu mengajar bagi mereka yang mengkritik dan menskors atau men-DO mahasiswa atas dasar tuduhan palsu bahwa aktivisme politik dan penelitian yang diarahkan untuk perjuangan massa tidak kompatibel dengan kerja-kerja ilmiah. Pemberontakan akademik yang bangkit melawan dengan membongkar kemunafikan para elit – aktivitas politik, komitmen dan konsultan mereka dengan korporasi dan institusi negara.

Gerakan diluar akademi, akademisi serta mahasiswa kritis didalam institusi menujukan jurang sangat besar antara elit yang mendeklarasikan ‘pembelaan terhadap nilai-nilai universal’ dengan kepentingan sempit klas elit, imperialis dan ras yang mereka layani dan tergantung padanya.

Sebagai contoh, akademisi elit yang mengklaim membela demokrasi melalui intervensi, kudeta dan perang AS terbukti dustanya oleh gerakan perlawanan mayoritas yang menentang, dan juga oligarki dan junta militer yang mendukung, intervensi tersebut. Akademisi elit, dihadapkan dengan fakta empiris dan historis ini, menggunakan beberapa dalih ideologi untuk tetap ‘loyal’ kepada prinsip-prinsip mereka: Mereka dapat mengakui fakta-fakta tersebut namun mengklaim bahwa fakta tersebut adalah ‘pengecualian untuk tatanan yang ada’ – hingga penyimpangan temporer dan lokal. Beberapa akademisi elit, dihadapkan dengan kontradiksi antara keyakinan mereka terhadap ‘hipotesis demokratik’ dan kenyataan otoritarian-imperialis, mengecam ‘tirani mayoritas’ dan mengagung-agungkan minoritas, sebagai pembawa sejati dari ‘nilai-nilai demokrasi’. Dalam kasus ini ‘nilai-nilai’ ditumpangkan diatas pencarian untuk pengayaan ekonomi dan ekspansi militer; ‘nilai-nilai’ dirubah menjadi entitas yang tersebar, yang tidak memiliki makna operatif, juga tidak dapat menjelaskan secara mendalam praktek-praktek otoritarian.

Akhirnya dan paling sering, akademisi elit, dihadapkan dengan demikian banyak fakta-fakta yang bertentangan dengan asumsi mereka, menolak untuk mengakui kritik dari para pengkritiknya. Mereka begitu saja menghindari debat publik dengan mengklaim bahwa mereka bukan ‘orang politik’… namun mempertahankan hak mereka untuk mencelakakan dan menghukum para penentangnya, di belakang pintu tertutup, melalui tindakan-tindakan administratif. Jika mereka tidak dapat mengalahkan para pengkritiknya secara intelektual atau secara ilmiah, mereka menggunakan kekuasaan administratif besar mereka untuk memecat atau mensensor mereka, memotong upah dan anggaran penelitian dan dengan demikian…’mengakhiri debat’.

Dengan mengingat opsi elit tersebut dan karena kekuasaan mereka berada dalam hak prerogratif administratif mereka, akademisi kritis, yang berorientasi pada gerakan popular, harus terlibat dalam pembangunan koalisi didalam dan diluar dunia akademik. Pertama mereka harus membangun aliansi luas dengan gerakan solidaritas akademik lokal dan nasional membela kebebasan berekspresi dan menentang represi; kedua mereka harus terlibat dalam penelitian yang mendukung gerakan popular. Koalisi apapun yang berhasil harus inklusif diantara akademisi kritis, mahasiswa, buruh universitas dan orang tua mahasiswa yang mampu melumpuhkan universitas dan bernegosiasi dengan dunia akademik – elit kekuasaan administratif. Akhirnya, mereka harus memperkuat dan membangun koalisi politik dengan gerakan sosial diluar dunia akademik. Terutama sekali dengan kelompok-kelompok yang dengannya peneliti akademik telah membangun hubungan kerja. Ini termasuk kelompok-kelompok di tempat tinggal, perkumpulan penyewa rumah, serikat buruh, gerakan petani dan lingkungan hidup serta organisasi komunitas yang berjuang melawan penggusuran di perkotaan, yang akan beraliansi dengan perjuangan akademik atas dasar hubungan kerja dan solidaritas mutual sebelumnya. Ketika akademisi hanya muncul untuk meminta dukungan popular pada saat mereka resah mobilisasi sosial yang efektif kemungkin besar tidak berkembang.

Strategi ‘didalam dan diluar’ akan berhasil jika dia menyerang cepat dengan dukungan skala besar. Aliansi ini dapat maju melalui kemenangan segera bahkan jika itu dalam skala kecil: kemenangan kecil membangun gerakan besar.

Kesimpulan

Kebebasan akademik dalam melakukan penelitian ilmiah untuk dan dengan gerakan popular, nasional, demokratik dan sosialis bukanlah sekedar isu akademik. Untuk menyangkal penelitian tersebut dan untuk mengeluarkan akademisi tersebut menciptakan konsekwensi politik yang lebih besar. Studi ketat dapat memainkan peran besar dalam membantu gerakan dalam berargumentasi, berjuang dan bernegosiasi demi hak dan kepentingan mereka. Demikian pula, akademisi kritis, yang studinya dipisahkan dari praktek popular, berakhir dengan menerbitkan narasi dan risalah remeh temeh. Ilmuan sosial semacam itu mengadopsi kosa kata eksotis dan tumpul, yang dapat diakses hanya oleh mereka yang telah diinisiasi untuk masuk kedalam kultus akademik. Elit mentoleransi tipe akademisi kritis eksotis tersebut karena mereka tidak membuat ancaman apapun terhadap paradigma dominan atau kekuasaan administratif para elit.

Bagi akademisi kritis yang serius, dalam menjawab pertanyaan ‘pengetahuan untuk siapa?’: mereka akan dapat menjawabnya dengan baik dengan mengikuti pepatah bijak Karl Marx, ‘Tujuan filsafat bukan hanya untuk mempelajari dunia namun untuk merubahnya.’

Sumber : The James Petras Website. Diterjemahkan oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Loading

Comments (1)

  1. […] oleh Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP. Disadur dari arahjuang.com semata-mata guna kepentingan […]

Comment here