Hukuman mati akan kembali dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Rencananya hukuman mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso akan dilakukan pada hari-hari kedepan. Mary Jane lahir dari keluarga miskin, orang tuannya hanyalah pemulung dan pedagang asongan. Dengan kondisi seperti itu tentunya tidak mengherankan jika Mary Jane hanya mengenyam pendidikan hingga 1 SMP. Diusia muda dia menikah namun berpisah karena suaminya tidak bekerja, senang berjudi dan mabuk-mabukan. Mary Jane kemudian menjadi single parent untuk kedua anaknya. Untuk menghidupi keluarganya serta menyekolahkan anaknya, Mary Jane mencari penghidupan sebagai buruh migran. Deritanya sebagai buruh migran sama dengan berbagai kisah yang kita dengar tentang nasib buruh migran Indonesia. Menjadi korban perdagangan manusia ataupun mengalami pelecehan seksual. Latar belakang kondisi seperti itulah yang membuat Mary Jane terjebak dalam kasus narkoba. Dijanjikan pekerjaan di Malaysia, Mary Jane dijebak membawa tas berisi narkoba ke Indonesia.
Seorang miskin, tidak berpendidikan, apalagi buruh adalah sasaran paling disenangi oleh para borjuis. Untuk menunjukan betapa borjuislah yang paling bermoral tinggi di dalam masyarakat ini. Media massa, terutama detik.com, memberikannya cap Mary Jane sebagai “ratu narkoba”. Sementara organisasi dan partai-partai kanan, seperti MUI dan PKS, berpesta pora mengklaim dirinya paling sayang terhadap generasi bangsa yang dirusak oleh narkoba. Menteri-menteri Jokowi satu suara menegaskan ini penegakan hukum. Menambahinya dengan bumbu-bumbu nasionalisme. Seolah-olah Jokowi-JK adalah yang paling depan berani menegakan hukum atau keadilan di Indonesia. Seolah-olah menghukum mati menunjukan keberaniannya sebagai elit politik berhadapan dengan negara lain.
Marilah kita hentikan omong kosong dan kemunafikan dari elit-elit politik, media massa dan organisasi-organisasi sayap kanan tersebut. Hukuman mati bukanlah tentang penegakan hukum. Kita mengetahui dengan baik bahwa banyak jenderal-jenderal serta elit-elit politik penjahat HAM dan koruptor yang masih bisa berkeliaran karena mereka memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Salah satunya adalah dia yang mengetahui (bahkan mungkin ikut) merencanakan penggunaan dosis mematikan arsenik didalam sebuah pesawat justru dijadikan penasehat tim transisi oleh Jokowi. Sementara itu kita tidak pernah menemui ada koruptor di hukum mati walau hal itu dimungkinkan dalam UU Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Ada Jenderal yang melakukan pembunuhan berencana (yang bisa dijatuhi hukuman mati), mendapatkan data nama 5.000 orang dari CIA, memeriksa mana2 yang sudah dibunuh. Korbannya hingga jutaan rakyat Indonesia. Seperti Rejim-rejim Militer di berbagai Negara, sang Jenderal besar mengetahui persis “generasi” mana yang harus habisi. Dia menghabisi generasi bangsa yang paling baik, yang sadar politik, yang sadar berjuang, yang punya cita-cita mulia, yang pandai berorganisasi, yang punya kepribadian. Toh sang Jenderal besar tidak pernah dihukum mati, justru ingin dijadikan Pahlawan Nasional. Sementara Rejim Jokowi-JK akan melupakan semua kejahatannya dan memberikan sang Jenderal hadiah rekonsiliasi.
Ini juga bukan tentang keberanian seorang Jokowi melawan kekuatan Imperialisme AS ataupun Australia. Toh sejak Soekarno digulingkan, Soeharto hingga Jokowi merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan Imperialisme untuk menjalankan kepentingan mereka di Indonesia. Demikian takutnya Jokowi kepada kekuatan Imperialis tersebut hingga dia harus memperlunak pidatonya di KAA.
Hukuman mati bukanlah tentang itu semua. Hukuman mati seperti Negara ini adalah tentang klas penguasa menggunakan kekerasan untuk menindas klas buruh dan rakyat.
Ada dua kelompok besar mereka yang paling sering mendapatkan hukuman mati. Pertama adalah mereka yang paling disingkirkan dari sistem ini, yang dipaksa untuk hidup dalam kondisi paling buruk, miskin dan menderita. Dengan begitu mereka paling mudah menjadi korban kriminalisasi atau pelaku kriminalitas, secara sadar maupun tidak sadar.
Di Amerika Serikat, kelompok ras minoritas-lah yang paling terpinggirkan dari sistem kapitalisme AS. Mereka pulalah yang paling banyak mendapatkan hukuman mati, yaitu sekitar 77 persen. Juga hampir semua terpidana mati adalah mereka yang tidak mampu membayar pengacaranya sendiri. Bahkan dinyatakan bahwa hampir semua dari 3.500 orang Amerika yang menunggu dieksekusi memiliki latar belakang pendapatan rendah. Hal yang sama juga terjadi diseluruh dunia. Mereka yang miskin atau bagian dari kelompok minoritas akan lebih mungkin dihukum mati. Seperti Mary Jane yang seorang buruh migran atau Rodrigo Gularte yang mengalami gangguan jiwa. Atau kaum homoseksual yang oleh MUI diusulkan halal untuk dihukum mati.
Kelompok besar kedua yang paling sering mendapatkan hukuman mati adalah mereka yang menentang sistem yang menindas ini. Kelompok ini membuat saya teringat bahwa beberapa hari lagi adalah Hari Buruh Internasional (May Day). Sejarahnya terkait juga dengan hukuman mati. Pimpinan-pimpinan buruh yang memperjuangkan 8 jam kerja melancarkan demonstrasi di Haymarket, Chicago. Tiba-tiba bom meledak dan 8 orang pimpinan buruh disalahkan. Tujuh orang kemudian dihukum mati. Satu orang memilih untuk bunuh diri, 2 orang dibatalkan hukumannya dan 4 pimpinan buruh sisanya digantung. Beberapa tahun setelah itu diketahui bahwa tidak ada satu buktipun yang menunjukan keterlibatan pimpinan-pimpinan buruh tersebut dalam insiden meledaknya bom.
Demikian mayoritas dari pasal KUHP yang terdapat pidana hukuman mati terkait dengan mempertahankan kekuasaan negara. Puluhan orang telah secara “legal” dibunuh saat Rejim Militer Soeharto naik kedalam kekuasaannya. Melalui pengadilan jadi-jadian mereka dihukum mati karena dituduh mendukung Gerakan 30 September dan terlibat PKI. Beberapa baru dihukum mati setelah dipenjara seumur hidupnya. Sementara jutaan lainnya “dihukum mati” begitu saja tanpa pengadilan apapun.
Hukuman mati sekarang adalah tentang klas atas, baik itu Jokowi, Abbot ataupun Obama, menunjukan kekejaman yang bisa mereka lakukan terhadap klas buruh dan rakyat. Entah secara legal dengan vonis hukuman mati dari pengadilan ataupun illegal seperti pembantaian 1965, invasi ke Timor Leste, Papua dan Aceh, menembak mahasiswa Trisakti, menyulut kerusuhan Mei, meracuni Munir, invasi ke Irak, penindasan rakyat Palestina, berbagai macam kudeta, dsb, dsb.
Kalau sudah begitu, maka jelas tidak perlu memohon-mohon pada Jokowi ataupun elit politik lainnya untuk menghapuskan hukuman mati. Sejarah juga sudah menunjukan bagaimana hukuman mati dapat dihapuskan. Di Australia, hukuman mati berhasil dihapuskan bukan karena kebaikan para elit politik. Penghapusannya merupakan hasil dari protes yang teguh didukung oleh pemogokan buruh.
Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.
wah mengerikan juga,manusia lebih sadis dari pada iblis